Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 64743 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Mayla Amelia Putri Widiani
"Dengan meningkatnya pengaruh media digital, aksesibilitas terhadap konten telah meluas secara global, menjadikan peran media semakin penting. Komunitas LGBTQIA+ telah lama mengadvokasi representasi yang akurat dan inklusif di media. Penelitian ini menganalisis serial Druck (2018) musim ketiga, berfokus pada karakter Matteo dan David, serta mengeksplorasi penggambaran mereka sebagai remaja LGBTQIA+. Dengan menggunakan metode penelitian kualitatif dan teori maskulinitas hegemonik oleh R.W. Connell dan James W. Messerschmidt, penelitian ini menginterpretasikan bagaimana konstruksi sosial tentang maskulinitas mempengaruhi representasi karakter LGBTQIA+ dan interaksi mereka dalam alur cerita. Aspek sinematografi dalam Druck dianalisis melalui teori sinematografi Blain Brown. Druck secara efektif menggambarkan perjuangan dan penerimaan identitas LGBTQIA+, menampilkan perjalanan Matteo menuju penerimaan diri dan navigasi David melalui prasangka sosial. Serial ini mengilustrasikan transisi dari heteronormativitas konvensional menuju pemahaman yang lebih inklusif tentang maskulinitas dan identitas, menyoroti pentingnya lingkungan sosial yang mendukung dan mencerminkan pergeseran budaya yang lebih luas menuju keberagaman dan penerimaan.
With the increasing influence of digital media, accessibility to content has expanded globally, rendering media's role increasingly essential. The LGBTQIA+ community has long advocated for accurate and inclusive representation in the media. This paper analyzes Druck (2018), focusing on the third season’s characters Matteo and David, exploring their portrayal as LGBTQIA+ adolescents. By using a qualitative research method and R.W. Connell and James W. Messerschmidt's theory of Hegemonic Masculinity, the study interprets how social constructions of masculinity influence the representation of LGBTQIA+ characters and their interactions within the narrative. The cinematographic aspects of Druck are analyzed through the theoretical lens of Cinematography by Blain Brown. Druck effectively portrays the struggle and acceptance of LGBTQIA+ identities, depicting Matteo’s journey towards self-acceptance and David’s navigation through societal biases. The series illustrates the transition from conventional heteronormativity to a more inclusive understanding of masculinity and identity, highlighting the importance of supportive social networks and reflecting a broader cultural shift towards diversity and acceptance."
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia, 2024
MK-pdf
UI - Makalah dan Kertas Kerja  Universitas Indonesia Library
cover
Reza Praditya Yudha
"Isu sosial tentang politik dan agama melatarbelakangi sejumlah konflik ataupun ujaran kebencian di beberapa media. Akan tetapi, kehidupan masyarakat Tulungagung menunjukkan nuansa kerukunan sebagaimana data Data Badan Kesatuan Bangsa dan Politik Kab. Tulungagung mencatat ketiadaan konflik sosial sepanjang tahun 2017-2019. Merujuk Teori Konstruksi Sosial atas Realitas dan mediatisasi -yang menyatakan konteks sosial budaya melandasi praktik komunikasi dan penggunaan media-, studi ini berargumen bahwa engagement media masyarakat Tulungagung memiliki kaitan dengan guyub rukun sebagai nilai sosial budaya. Untuk itu, studi ini bertujuan untuk memahami interelasi masyarakat Tulungagung dengan media dalam konteks guyub rukun. Studi ini menggunakan etnografi sebagai metode penelitian demi memahami pengalaman, makna, dan praktik keseharian guyub rukun dari perspektif masyarakat Tulungagung. Temuan studi menunjukkan bahwa masyarakat membangun makna guyub rukun dari perspektif politik, sejarah, dan sosial budaya. Guyub rukun kemudian membentuk kesadaran kognitif dan diimplementasikan masyarakat dalam praktik-praktik sosial. Masyarakat Tulungagung juga membangun mekanisme bersama untuk menjaga guyub rukun melalui kebiasaan, aktivitas sosial budaya, dan penyelesaian konflik yang mengutamakan nilai kebersamaan, keharmonisan, inklusivitas, kepedulian, dan saling menghormati. Dalam kesehariannya, masyarakat menggunakan media untuk mendiseminasi, meneguhkan, dan merepresentasikan guyub rukun, menjaga nilai lokalitas, mengelola konflik, memunculkan eksistensi subkultur, membentuk relasi sosial yang harmonis, serta menyajikan informasi secara cepat, valid, dan sesuai dengan konteks sosial.

Social issues regarding politics and religion are the background for a number of conflicts or hate speech in several media. However, the life of the people of Tulungagung shows nuances of harmony as data from the National Unity Agency and Politics of the Regency Tulungagung recorded the absence of social conflict throughout 2017-2019. Referring to the Social Construction of Reality Theory and mediatization -which states that the socio-cultural context underlies the practice of communication and media use-, this study argues that media engagement in the Tulungagung society is related to togetherness and harmony (guyub rukun) as a socio-cultural value. For this reason, this study aims to understand the interrelationships between the Tulungagung society and the media in the context of guyub rukun. This study uses ethnography as a research method to examine the experiences, meanings, and daily practices of guyub rukun from the perspective of the Tulungagung people. The findings of the study show that society constructs the meaning of guyub rukun from a political, historical and socio-cultural perspective. Guyub rukun then forms cognitive awareness and is implemented by the society in their social practices. The Tulungagung society has also built a joint mechanism to maintain guyub rukun through customs, socio-cultural activities and conflict resolution that prioritizes the values of togetherness, harmony, inclusiveness, caring and mutual respect. In their daily lives, people use the media to disseminate, strengthen and represent the harmonious society, maintain local values, manage conflict, bring out the existence of subcultures, form harmonious social relations, and provide information quickly, validly and in accordance with the social context."
Jakarta: Fakultas Ilmu Sosial Dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2023
D-pdf
UI - Disertasi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Annisa Fadlilah Haqq
"Penelitian ini membahas mengenai citra positif seorang perempuan muslim berhijab yang ditampilkan dalam sebuah serial remaja Jerman. Dengan menggunakan metode penelitian kualitatif yang berfokus pada analisis tekstual teori post-islamisme milik Asef Bayat yang juga dilihat dari sudut pandang feminisme Islam digunakan dalam analisis korpus. Korpus berupa serial Jerman berjudul Druck yang difokuskan pada musim keempat yang rilis pada tahun 2019. Dilatarbelakangi oleh maraknya misrepresentasi mengenai muslim dalam industri film Barat dengan sejumlah stereotip yang melekat, penelitian ini bertujuan untuk mengetahui sejauh mana penggambaran perempuan muslim berhijab yang dilakukan Druck musim keempat. Hasil penelitian menunjukkan bahwa penggambaran perempuan muslim dalam serial ini ditampilkan secara positif dan sejalan dengan konsep post-islamisme yang menjunjung ketaqwaan beragama dalam suatu modernisasi, namun dengan tetap menyertakan realita kehidupan sosial komunitas muslim di Jerman. Hal ini menunjukkan bahwa serial ini mampu mematahkan stereotip yang selama ini melekat pada komunitas muslim di media maupun industri film Barat terutama di Jerman.

This study discusses the positive image of a muslim woman wearing a hijab that is shown in a german youth series. By using a qualitative research method that focuses on textual analysis, Asef Bayat's post-islamism theory is used which is also seen from the point of view of islamic feminism in analyzing the corpus in the form of a german series entitled Druck which is focused on the fourth season which was released in 2019. Muslims in the western film industry with a number of inherent stereotypes, this study aims to determine the extent to which Druck's representation of muslim woman in hijab has been portrayed in the fourth season. The results show that the representation of muslim women in this series is presented positively and in line with the concept of post-islamism which upholds religious piety in a modernization, but still includes the reality of the social life of the muslim community in Germany. This shows that this series is able to break the stereotypes that have been attached to the muslim community in the media and the western film industry, especially in Germany."
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan dan Budaya Universitas Indonesia, 2022
TA-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Galuh Sakti Bandini
"Tesis ini membahas kaitan antara ideologi teks yang ada di dua novel karya Liem Khing Hoo, Berjuang 1934 dan Merah 1937 , dengan situasi sosial, ekonomi, dan politik yang melingkupinya. Ideologi teks yang terdapat dalam dua karya tersebut berkenaan dengan komunisme dan konstruksi sosial masa kolonial. Penelitian ini menggunakan dua pendekatan, yaitu sosiologi sastra dan pascakolonial. Hasil penelitian ini memperlihatkan bahwa kedua teks ini menolak tujuan politik yang dibawa oleh komunisme, yaitu menghancurkan sistem kolonial. Akan tetapi dalam Berjuang sistem ekonomi yang digagas oleh komunis, yaitu kepemilikan bersama, disetujui sehingga membentuk masyarakat tanpa kelas. Kedua teks ternyata melanggengkan konstruksi sosial yang membedakan kelas berdasarkan ras. Hal ini terlihat dari penggambaran Eropa yang selalu menempati posisi paling tinggi, serta ketiadaan interaksi antara Tionghoa peranakan dan pribumi.

This thesis examines the intercourse between the textual ideology with the surrounding social, economic, and political situation found in two novels by Liem Khing Hoo, Berjuang 1934 and Merah 1937 . The textual ideology contained in the two works relates to communism and social construction of the colonial period. The textual research uses two approaches, sociology of literature and postcolonialism. The result of this study shows that these two texts rejected the political objectives brought by communism to destruct the colonial system. However, Berjuang welcomed the idea of joint ownership as to form a classless society, which is the economic system initiated by the communists. In the other hands, both texts evidently perpetuate social constructs that distinguish classes based on race. This narration is depicted with the positional construction that always puts Europe at the top and the lack of interaction between the Chinese Peranakan with the indigenous people.
"
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan dan Budaya Universitas Indonesia, 2018
T49586
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Kartika Utami Putri
"Beberapa masalah serius di Jepang diantaranya terjadi karena para ayah menerapkan konsep maskulinitas dominan secara berlebihan dengan sibuk bekerja sepanjang waktu. Oleh karena itu pemerintah Jepang mengadakan kampanye Ikumen Project agar para ayah dapat menjalankan pekerjaan dan mengurus keluarga dengan kesan maskulin. Kampanye Ikumen Project tersebut menampilkan pernyataan-pernyataan para ayah yang bekerja dan berpartisipasi dalam pekerjaan rumah tangga dan pengasuhan anak. Penelitian bertujuan untuk mengetahui konsep maskulinitas para ayah dalam Ikumen Project dengan menggunakan metode studi dokumen dan analisis kualitatif. Analisis masalah penelitian menggunakan konsep teoritis maskulinitas hegemoni dan konsep teoritis maskulinitas complicit Raewyn Connell . Hasil penelitian menunjukkan bahwa konsep maskulinitas, yang diterapkan ayah partisipan Ikumen Project dalam kegiatan kesehariannya, bertentangan dengan konsep maskulinitas dominan yang masih berlaku pada mayoritas ayah di Jepang.

Several critical problem happens in Japan since fathers practice dominant masculinity excessively by devoting long hours to their workplace. Consequently, the government launched the Ikumen Project Campaign so fathers could do both work and take care of their families in a masculine sense. The Ikumen Project shows statements of fathers who not only work but also participate in housework and child care. This research aims to know the masculinity concept of fathers in Ikumen Project by using literature review and qualitative analysis methods. The research problem analyzed by using theoretical concept of hegemonic masculinity and theoretical concept of complicit masculinity Raewyn Connell . The result of the research shows that masculinity concept, which is practiced by fathers of Ikumen Project in their everday lives, contradicts the dominant masculinity concept that is still being practiced by majority of fathers in Japan.
"
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan dan Budaya Universitas Indonesia, 2018
MK-Pdf
UI - Makalah dan Kertas Kerja  Universitas Indonesia Library
cover
Resti Nurfaidah
"Tesis ini membahas representasi maskulinitas yang terdapat dalam korpus berupa film yang berjudul Malaikat Bayangan dan Malaikat Tanpa Sayap. Penelitian ini dilakukan sebagai penelitian kualitatif melalui pendekatan cultural studies. Penelitian ini menggunakan beberapa teori berikut, yaitu maskulinitas Reeser dan Beynon, metafora konseptual dari Lakoff dan Johnson, metafora multimodal Forceville, dan struktur film dari Boggs dan Petrie, serta Nathan Abrams, et.al. Reeser dan Beynon memandang maskulinitas sebagai satu konsep yang dinamis, cair, dan kompleks. Kedua korpus penelitian tersebut memiliki perbedaan, antara lain, dalam latar tahun produksi, genre, atau setting. Film Malaikat Bayangan mengangkat tema maskulinitas imperial dengan latar era kolonial. Sosok maskulin imperial, Thomas, mengabdikan diri sepenuhnya pada kepentingan negara tanpa mengaharapkan imbalan materi. Untuk itu maskulin imperial dituntut untuk tidak menjalin hubungan yang terlalu intim dengan lawan jenis serta memiliki kemampuan untuk menguasai diri seutuhnya. Jika dikaitkan dengan teori Reeser, sosok maskulin imperial dalam film Malaikat Bayangan tidak berkonstitusi dengan jenis maskulinitas lain. Namun, dalam sebuah penyamaran, Thomas tidak dapat menghindari untuk mengadopsi unsur-unsur dari kluster lain, seperti metroseksual dan narcissist. Sementara itu, Film Malaikat Tanpa Sayap mengangkat konsep maskulinitas breadwinner yang dapat berkonstitusi dengan jenis maskulinitas lain, yaitu new man as a nurturer dan maskulinitas imperial. Sosok maskulin yang diangkat di dalam tesis ini merupakan sosok yang dianggap sebagai malaikat (malaikat metaforis). Metafora konseptual yang muncul sebagai penguat tokoh malaikat metaforis cenderung untuk mengarah pada sikap, sifat, serta peristiwa yang dialami oleh para tokoh. Dalam film Malaikat Bayangan, sosok Thomas memenuhi kriteria sebagai malaikat karena ia mengabdi dengan sepenuh hati tanpa pernah memikirkan imbalan materi; memiliki kekuatan fisik dan batin yang prima; patuh pada aturan, dan cernat. Sementara itu, film Malaikat Tanpa Sayap menampilkan tokoh Amir sebagai sosok yang dianggap sebagai malaikat. Tokoh Amir tanpa menunjukkan kontak fisik mampu memberikan kontribusi besar bagi anaknya sendiri dan orang lain. Konsep maskulinitas tersebut didukun unsur sinematografis (teknik pengambilan gambar, penentuan ukuran gambar, teknik pencahayaan) dan unsur naratif (tema, alur, latar, dan penokohan).

This thesis discusses the representation of masculinity in Malaikat Bayangan (1987) and Malaikat Tanpa Sayap (2012). This is a qualitative research with cultural studies approaches. There are several theories used in this study: Reeser (2010) and Beynon (2002) masculinities, Lakoff and Johnson's (2003) conceptual metaphor, Forceville's (1996) multimodal metaphor, and film structures from Boggs & Petrie (2008) and Nathan Abrams, et al (2001). Both movies have differences, especially in these points: year of production, genre, or setting. However, they were assumed to share common concepts of masculinity. Malaikat Bayangan provided representation of imperial masculinity. The imperial masculine gave his life serving the state totally without material orientation. He was not allowed to have an overly intimate relationship with women and ought to have a perfect stamina. Based on Reeser's view, the imperial masculine figure in Malaikat Bayangan can not be substituted with another type of masculinity. However, on certain occasions, the main character must be adaptive to elements of other clusters, such as metrosexual and narcissist. On the other hand, Malaikat Tanpa Sayap provided a fluid masculinity concept. The breadwinner can be subsituted with other types of masculinity, such as nurturer or imperial masculinity. The thesis focuses on masculine figures that are metaphorically regarded as angels. Conceptual metaphor application is related to their attitudes, characteristics, and experiences. In Malaikat Bayangan, Thomas gives his total commitment for the state without material reward. He has the most powerfull energy, obedient, and has good precision. Meanwhile, Malaikat Tanpa Sayap is featuring Amir as a metaforic angel in a different way. Through his own fight, without physical contact as Thomas, which is associated to the contemporary period, Amir fulfills his angelic criteria. The concept of masculinity that emerges in both movies is supported by the cinematographic elements (shooting technique, size of the image, or lighting techniques) and narrative elements (theme, plot, setting, and characterization)."
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan dan Budaya Universitas Indonesia, 2014
T42489
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Quinta Binar Resista
"Skripsi ini membahas tokoh Bean dalam serial televisi Mr. Bean (1990) sebagai contoh parodi terhadap ide maskulinitas Britishman. Parodi terhadap maskulinitas Britishman akan dianalisis melalui cara tokoh Mr. Bean memperlakukan tubuh tanpa memandang konsep heteronormativitas yang hidup di lingkungan sekitarnya, berdasarkan beberapa adegan yang terdapat dalam episode Mr. Bean, The Return of Mr. Bean, dan The Curse of Mr. Bean. Selain itu, parodi terhadap ide maskulinitas karakter Britishman pada teks penelitian akan ditinjau dengan kebiasaan para mahasiswa Oxford dan Cambridge University (Oxbridge Men) di awal abad 19, yang diketahui sebagai cikal bakal konsep Britishman di Inggris. Melalui penelitian ini, penulis menemukan bahwa Mr. Bean adalah seorang dengan identitas jender yang tidak dapat didefinisikan, namun ia telah menjadi subjek atas tubuhnya sendiri.

The purpose of this final thesis is to analyze the character of Bean in the Mr. Bean tv shows (1990) as a form of parody toward the concept of Britishman masculinity. The analysis is conducted by examining how Mr. Bean treats his own body without a regard to the concept of heteronomativity around him, based on several scenes from the episodes of Mr. Bean, The Return of Mr. Bean, and The Curse of Mr. Bean. Furthermore, the parody toward the concept of Britishman masculinity in this paper will be examined in its connection with the habit of students from Oxford and Cambridge University (Oxbridge Men) in the beginning of 19th century, which has been known as the role model of an ideal Britishman in England. Through this study, the writer found that Mr. Bean is a gender entity who can't be easily defined, and instead mould his own identity as a subject based on his body."
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan dan Budaya Universitas Indonesia, 2012
S43429
UI - Skripsi Open  Universitas Indonesia Library
cover
Shebby Kharisma Dewi
"Film merupakan salah satu temuan budaya inovatif yang merupakan bagian dari seni. Film dapat menggarap rangkaian subjek yang hampir tak terbatas. Éléonore Pourriat mengembangkan film dengan ide fiksi menggunakan inversi dalam dunia paralel melalui film Je ne suis pas un homme facile. Adaptasi dari film pendek Majorité Opprimée membawa tema di mana tokoh Damien, seorang seksis, membanggakan superioritasnya dengan menunjukkan seksismenya kepada kaum perempuan. Keberadaan Damien di dunia inversi menunjukkan adanya pergeseran karakter terhadap stigma gender yang berlaku di masyarakat. Penelitian ini bertujuan untuk memperlihatkan bahwa gender tidak hanya didominasi oleh kaum laki-laki dengan karakteristik maskulinitasnya, namun karakteristik ini dapat diperankan baik oleh tokoh laki-laki maupun perempuan. Penelitian ini menggunakan metode kualitatif yang didukung menggunakan analisis film dengan struktur naratif dan sinematografi Boggs dan Petrie, teori gender oleh Giddens untuk menganalisis konsep identifikasi gender, dan teori stereotip gender oleh Hentschel, Heilman dan Peus untuk menganalisis konsep asosiasi maskulinitas dalam film. Hasil analisis menunjukan bahwa Pourriat membawa dunia inversi untuk menimbulkan kesadaran bahwa terdapat suatu keganjilan dalam sistem masyarakat yang meninggikan posisi kaum laki-laki sebagai kaum dominan, serta menunjukkan bahwa maskulinitas tidak bergantung pada jenis kelamin seseorang, tetapi peran sosial dalam masyarakat.

Film is an innovative culture that falls under the umbrella of art. Films work on a collection of almost infinite subjects. Éléonore Pourriat develops the film Je ne suis pas un homme facile with a fictional idea using inversion as a parallel world. The adaptation of the short film Majorité Opprimée brings up a theme in which Damien, a sexist, boasts his superiority by exhibiting sexism toward women. Damien’s existence in an inverted world shows a character shift regarding the stigma of gender that exists in society. This research aims to show that gender is not only dominated by men with their masculine characteristics, as these characteristics can be embodied by both male and female characters. This research uses a qualitative method supported by film analysis using Boggs and Petrie’s narrative and cinematographic structures, Giddens’ gender theory to analyse the concept of gender identification, and gender stereotype theory by Hentschel, Heilman, and Peus to analyse the concept of the association of masculinity in film. The analysis shows that the inverted world is used to raise awareness of an oddity in the system of society that uplifts the position of men as the dominating group. The analysis also shows that masculinity does not depend on one’s sex, but rather on the roles within society."
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia, 2023
MK-pdf
UI - Makalah dan Kertas Kerja  Universitas Indonesia Library
cover
Justine Yohana Mardhianti
"Remaja perempuan yang hamil di luar pernikahan mendapatkan stigma dan diskriminasi dari institusi sosial terkecil yaitu keluarga hingga masyarakat luas. Mereka dianggap sebagai pelanggar norma karena gagal menjaga dirinya sendiri dan mematuhi peran berbasis gender yang disematkan kepada mereka. Hal ini berpengaruh terhadap pembentukan agensi mereka. Penelitian ini berusaha menjelaskan agensi remaja perempuan yang hamil di luar pernikahan yang diperlemah oleh konstruksi sosial dan juga relasi kuasa yang timpang antara diri mereka dan agen-agen di sekitar mereka. Penelitian ini menggunakan metode kualitatif dengan pendekatan fenomenologi. Hasil penelitian menyimpulkan bahwa agensi remaja perempuan yang hamil di luar pernikahan diperlemah oleh konstruksi sosial sejak sebelum ia mengalami kehamilan. Identitasnya sebagai perempuan membuat mereka dinilai sebagai individu subordinat dan mendapatkan perlakuan tidak adil. Sebagai remaja yang tidak mengikuti konstruksi sosial membuat mereka dianggap sebagai individu yang tidak bertanggung jawab. Hal ini menyebabkan agensi di dalam diri mereka menjadi lemah. Lemahnya agensi mereka membuat diri mereka berada di posisi yang rentan akan pergaulan bebas yang berujung pada kehamilan di luar pernikahan. Setelah hamil di luar pernikahan mereka mendapatkan identitas yang terstigma untuk kedua kalinya yang membuat agensi di dalam diri mereka semakin lemah. Konstruksi sosial pembagian peran berbasis gender dan juga relasi kuasa yang timpang dengan agen lain membuat agensi mereka semakin tereduksi, sehingga sulit bagi para remaja perempuan yang hamil di luar pernikahan untuk kembali berfungsi sosial di dalam masyarakat.

Adolescent girls who experienced unwanted pregnancy face stigma and discrimination from their family, as well as their community. They are considered as violator of norms due to their failure to protect themselves and conform with their gender based role. This affects to the formation of their agency. This study tries to explain the agency of adolescent girls who experienced unwanted pregnancy which weakened by social construction and unequal power relation between themselves and other agents. This study uses qualitative methods with phenomenology approach. This study concludes that agency of adolescent girls with unwanted pregnancy is weakened by social construction even before they experienced unwanted pregnancy. Their identity as women makes them valued as subordinate individuals and obtained unfair treatment. As teenager who do not conform with social construction, they were considered as irresponsible individuals. This led to subdued agency. Their subdued agency causes them to be vulnerable to promiscuity that results in unwanted pregnancy. After experienced unwanted pregnancy, they obtain stigmatized identity for the second time which makes their agency even weaker. Social construction of gender based role, as well as unequal power relation cause their agency reduced, thus making it difficult for these adolescent girls to return as functioning agent in their community."
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2020
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Myrs Rethika
"Kajian perkembangan perkotaan saat ini menjadi salah satu bidang kaji yang sangat penting dan kompleks, baik dalam konteks Indonesia maupun global. Untuk memahami sebuah kota, kita tidak dapat lagi sekedar melihat artefak- artefaknya, melainkan dalam konteks penelitian ini, kota dipahami sebagai sebuah konstruksi sosial, yang dibentuk untuk dapat memenuhi kebutuhan sehari-hari serta berfokus pada persoalan bagaimana warga kota memperjuangkan hidupnya.
Alun-alun merupakan ciri khas ruang peninggalan sejarah yang ditemukan di hampir seluruh perkotaan di Indonesia terutama di Jawa. Sebagai salah satu wujud ruang publik yang paling terbuka di pusat-pusat kota, alun-alun ditafsirkan sebagai pusat kegiatan untuk umum, dengan bermacam bentuk dan tujuannya yang dapat menggambarkan peijalanan sejarah kota tersebut di masa lampau. Ruang publik di kota menjadi aspek yang sangat menentukan karena kehidupan keseharian dan kehidupan sosial terjadi, serta kehidupan sosial di kota tak luput dari sejarah kota itu sendiri.
Di beberapa kota, fungsi alun-alun sebagai sebuah ruang publik tidak dapat dipisahkan dari kontrol-negara, praktek lokalitas yang dilakukan oleh warga sekitar maupun masyarakat luas, reproduksi-nya sebagai simbol kuasa pemerintah, dan sekaligus kecenderungan kegiatan rekreasi. Perubahan makna alun-alun sebagai tempat terjadinya dunia dalam konteks ritual spiritual menjadi ruang terbuka umum kota adalah konsep perkotaan yang dapat berkembang dalam kehidupan bermukim modem. Perumusan masalah penelitian ini adalah identitas kekuasaan pemerintah melalui alun-alun menjadi berubah ketika warga kota berkegiatan dalam kesehariannya. Warga sepertinya mampu memaknai sendiri keadaan maupun dari wujud fisik alun-alunnya di tengah aturan-aturan terhadap alun-alun sebagai identitas kekuasaan pemerintahan.
Hasil penelitian ini, bahwa konsep commandery yang terjadi pada alun-alun kota Serang ini yang sejatinya memberikan suprastratifikasi pada warga terhadap alun- alun tersebut, ternyata ada suatu celah yang memberikan kesempatan bagi warganya menjadikan alun-alun menjadi suatu pemandangan dan aksi yang menunjukkan makna simbolik Pengguna alun-alun sebagai pelaku konstruksi sosial, mampu menyampaikan wujud nyata pada ruang alun-alun yang ditransformasikan melalui hubungan antar manusia, memori, imajinasi dan hal-hal yang sering dilihat tiap harinya. Konstruksi sosial dari pengguna alun-alun mampu menciptakan waktu kegiatan kesehariannya dan zona kegiatannya.

The study of urban deveiopment recently becomes one of the most important and more complex fields of study either in this country and global context. It does not only find at the artifacts when we try to understand the contexl of urban but we have to know its social construction which is formed to fulfill their daily needs and focus on their problems of how the urban strike to live.
We recognize alun-alun is one of the history works that mostly found in many cities in lava. As a very wide-open public space in center of city, alun-alun is interpreted as center of public activities, with many forms and purposes that describe historical of an urban in the past.
In some of cities, the function of alun-alun could not be separated fiom the control of nation, public activities, its reproduction as a symbol of govemment authorities and even its recreation appealing of society. The alteration of its purpose fiom ritual spiritual context to become public space in the city is the urban concept which is able to be developed in this modem view. The problem in this research is that the identity of government authorities of alun-alun has changed when society has had their activities in their everyday life. Society seems has their own meaning of the setting and of the physical appearance of alun-alun, among rules as the identity of government authorities.
The result of this research, commandery concept of alun-alun in Serang that provides suprastratification to society, has had space that gave chance to society to make alun-alun as a view and action that show symbolic meaning. Society as the actor of social construction is able to give real appearance in form of social interaction, memory and their imagination to things their experienced in their everyday life. Social construction of alun-alun users has its own ability to create everyday activities and also their zone of activities.
"
Jakarta: Program Pascasarjana Universitas Indonesia, 2010
T26842
UI - Tesis Open  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>