Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 79543 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Faiz Idris Wiyasa
"Penelitian ini membahas mengenai potensi pengaruh yang mungkin timbul dari dikeluarkannya Advisory Opinion tentang Kewajiban Negara Terkait Perubahan Iklim oleh Mahkamah Internasional. Tiga inti permasalahan yang akan diangkat dalam penelitian ini, yakni kewenangan Mahkamah Internasional dan peran advisory opinion-nya terhadap dinamika hukum internasional secara umum; status quo hukum perubahan iklim; serta prospek dampak yang mungkin timbul ketika Mahkamah Internasional menjawab pertanyaan dari Majelis Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa sehubungan dengan tanggung jawab negara terkait perubahan iklim. Penelitian akan dilakukan secara doktrinal, dengan memaparkan berbagai instrumen hukum yang relevan secara sistematis, menganalisis kaitan masing-masing instrumen, serta mengidentifikasikan implikasi hambatan dan potensi dari berbagai instrumen terseput. Hasil dari penelitian ini mencatat tiga skenario respon Mahkamah Internasional dari pengajuan advisory opinion ini: 1) penolakan untuk menjawab inti pertanyaan; 2) afirmasi semata atas status quo hukum perubahan iklim; 3) diberikannya kontribusi progresif terhadap status quo hukum perubahan iklim. Terkait skenario terakhir, tulisan ini akan mencatat ekspektasi bentuk kontribusi tersebut. Terakhir, pengaruh bagi hubungan internasional dan hukum domestik juga ditelaah.

This research discusses the potential influences that may arise from the upcoming Advisory Opinion on State Obligations Regarding Climate Change issued by the International Court of Justice. The study focuses on three main issues: the authority and role of the Court’s advisory opinions in the dynamics of international law in general; the status quo of climate change law; and the prospective impacts that may emerge when the Court responds to questions presented by the United Nations General Assembly in relation to States’ climate change obligations. The research will be conducted doctrinally, meaning that it will systematically present various relevant legal instruments, analyze the relationship between each instrument, and identify the obstacles and potential implication of these various instruments. The findings of this research suggest three scenarios on which the Court may respond to the request: 1) refusal to clarify the “core” of the question; 2) mere affirmation of status quo climate change law; and 3) progressive contributions from status quo climate change law. With regards to the latter, this study will also suggest in what way can the Court make such progressive contributions. Lastly, influences towards international relations and domestic law will also be analyzed."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2024
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Salsabila Siliwangi Surtiwa
"

Fungsi advisory adalah salah satu fungsi yang dimiliki oleh Mahkamah Internasional sebagai organ utama PBB. Terdapat perkembangan untuk membahas pertanyaan hukum yang terkait sengketa berjalan melalui fungsi advisory meski memiliki karakteristik contentious. Perbedaan antara dua fungsi ini adalah signfikansi dari prinsip state consent sebagai landasan. Terdapat dua pandangan bertentangan terkait kedudukan prinsip state consent dalam advisory opinion terkait sengketa berjalan. Pandangan pro state consent menekankan pada kaitannya dengan prinsip international obligation, compliance, dan prinsip yudisial dengan karakteristik serupa yakni res judicata dan lis pendens. Di sisi lain, pandangan yang mengesampingkan state consent menegaskan pada urgensi pada isu tertentu yang berkaitan dengan tujuan PBB sebagai organisasi, salah satunya mengenai isu dekolonialisasi dan pendapat Mahkamah Internasional sebelumnya bahwa state consent tidak dibutuhkan dalam yurisdiksi advisory. Setelah melakukan penelitian dengan metode studi pustaka, dapat disimpulkan bahwa pembahasan suatu sengketa berjalan dalam advisory opinion harus dilihat secara kasus per kasus, dari perumusan pertanyaan hukum yang diajukan, ada tidaknya isu terkait perdamaian dan keamanan dunia, serta keanggotaan dari negara pihak dalam PBB, untuk dapat menentukan dicederainya prinsip state consent. Dalam Legal Consequences of the Separation of the Chagos Archipelago from Mauritius in 1965, terdapat isu dekolonialisasi yang belum terselesaikan karena terdapat pemisahan paksa antara Kepulauan Chagos dengan Mauritius. Selain itu, Mauritius dan Inggris Raya merupakan anggota PBB, yang mana artinya telah memberikan state consent fondasional terhadap yurisdiksi Mahkamah Internasional. Adapun saran yang dapat diberikan adalah perlu adanya ketentuan lebih mendetail bagi pelaksanaan fungsi advisory opinion, terutama dalam hal pertanyaan tersebut berkaitan erat dengan sengketa berjalan.

 


The advisory function is one of the functions upheld by the International Court of Justice (ICJ) as one of the principle organs of the United Nations (UN). There is a trend to discuss legal questions related to pending disputes through the advisory function despite having contentious characteristics, where the two functions share different significance of the principle of state consent. The pro state consent view emphasizes its relation to the principles of international obligation, compliance, and judicial principles such as res judicata and lis pendens. The opposing view refers to the mandate of UN to maintain international peace and a previous ICJ opinion which points out that state consent is not required in the advisory jurisdiction. It can be concluded that advisory opinion on pending disputes must be seen on a case-by-case basis; from the formulation of the questions, its relation to international peace, as well as the state membership to the UN, to determine the role of state consent. In the Legal Consequences of the Separation of the Chagos Archipelago from Mauritius in 1965, there is an unresolved issue of decolonialism due to the forced separation between the Chagos Islands and Mauritius. In addition, Mauritius and the United Kingdom are members of the UN, which means they have given their foundational state consent to the jurisdiction of the ICJ. The recommendation that can be given is the need for more detailed provisions for the implementation of the advisory opinion function, especially related to a pending dispute.

 

"
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2020
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Toweula, Stefan Bonardo
"Skripsi ini membahas hal-hal apa saja yang menjadi tanggung jawab dan kewajiban sponsoring state dalam kegiatan eksplorasi dan eksploitasi di area dasar laut Internasional (Kawasan) yang dilakukan oleh subjek hukum privat yang disponsori olehnya. Kawasan merupakan wilayah dasar laut yang terletak di luar yurisdiksi negara manapun dan menyimpan kekayaan sumber daya mineral yang begitu besar. International Seabed Authority melaui Bab XI dari UNCLOS 1982 merupakan lembaga yang diberikan kewenangan untuk mengatur segala macam kegiatan eskplorasi dan eksploitasi sumber daya mineral yang dilaksanakan di Kawasan. Salah satu fungsi dari International Seabed Authority adalah mempromosikan partisipasi efektif dari negara-negara berkembang untuk melakukan kegiatan di Kawasan. Akan tetapi sampai saat ini tidak banyak negara berkembang yang terlibat secara efektif dalam kegiatan eksplorasi dan eksploitasi di Kawasan. Minimnya partisipasi negara berkembang ini lebih disebabkan kepada kurang jelasnya tanggung jawab dan kewajiban negara-negara yang terlibat secara efektif dalam kegiatan di Kawasan. Kekurangjelasan ini menyebabkan banyak negara-negara berkembang tidak mampu untuk menakar apakah dirinya sanggup untuk terlibat dalam kegiatan di Kawasan. Dalam pembahasan demi pembahasan di skripsi ini, akan dijelaskan mengenai apa yang menjadi tanggung jawab dan kewajiban dari negara-negara terkhusus sponsoring state dalam melakukan kegiatan di Kawasan berdasarkan Advisory Opinion dari Seabed Disputes Chamber tahun 2011. Secara ringkas, kejelasan mengenai tanggung jawab dan kewajiban negara dalam kegiatan di Kawasan membuat partisipasi negara-negara berkembang mulai bermunculan.

This undergraduate thesis discusses the responsibilities and obligations of Sponsoring State in accordance with activities of exploration and exploitation in International Seabed Area (The Area) carried by the private subject which is sponsored by such state. The Area is area of seabed that lies outside the jurisdiction of any state which holds extremely huge amount of mineral resources. International Seabed Authority through Part XI of UNCLOS 1982 is an institution authorized to organize all sorts of activities to explore and exploit the mineral resources in the Area undertaken. One of the functions of the International Seabed Authority is to promote the effective participation of developing countries to carry out activities in the Area. But until 2011, not many developing countries engage effectively in the activities of exploration and exploitation in the Area. The lack of participation of developing countries is due to the lack of clear responsibilities and obligations of the states that effectively engage in activities in the Area. This lack of clarity led to many developing countries not to be able to measure whether they are have the capability to engage in activities in the Area. In the analysis in this paper, will be explained about what the responsibilities and obligations of states especially those sponsoring state in conducting activities in the area by the Advisory Opinion of the Seabed Disputes Chamber in 2011. In summary, the clarity regarding the responsibilities and obligations of the state in accordance with activities in The Area make the effective participation of developing countries began to appear.
"
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2016
S62567
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
cover
Deniza Ariani
"ABSTRACT
Climate change has become an issue that is increasingly raising concerns. Scientific studies have portrayed the possible detrimental effects it could have towards human life. Consequentially, governments have started to regulate and implement measures in response. States have also convened together and negotiated international legal instruments in order to collectively address climate change. Nevertheless, an issue that remains of concern is compliance. The most recent international legal instrument, which is the Paris Agreement on Climate Change addresses compliance through a Compliance Committee, but limits possible responses in case of non compliance to not include adversarial and punitive responses. This brings the question on how can a State rsquo s citizens ensure that their government indeed complies with obligations and commitments under the climate change regime. In finding the answer to such question, this undergraduate thesis uses the normative juridical method in order to research, then analyse and evaluate a possible solution to the issue of compliance. After using such method, this thesis concludes that a possible solution is to use climate change litigation as a venue to hold governments accountable to their international, as well as national obligations. This is possible in Indonesia through Citizen Lawsuits. Nevertheless, there are external factors that may affect the success of cases, including the time needed for the central or regional government to adhere to court decisions, and how the resulting measure will be implemented and supervised. Therefore, it is suggested for further research to be conducted in order to understand the possibilities of climate change litigation.

ABSTRAK
Perubahan iklim telah menjadi isu yang semakin meningkatkan kekhawatiran. Studi ilmiah telah menggambarkan dampak merugikan yang mungkin terjadi terhadap kehidupan manusia, jika persoalan perubahan iklim tidak ditangani dengan benar. Akibtanya, pemerintahan berbagai negara telah mulai mengatur dan menerapkan langkah-langkah mitigasi dan adaptasi. Negara-negara juga telah menegosiasikan instrumen hukum internasional untuk bersama-sama menangani persoalan perubahan iklim. Namun demikian, masalah yang masih menjadi perhatian adalah kepatuhan. Instrumen hukum internasional terbaru, yaitu Paris Agreement on Climate Change telah membahas persoalan kepatuhan melalui diaturnya sebuah Komite Kepatuhan. Tetapi terdapat pembatasan terhadap tanggapan yang mungkin diberi oleh Komite Kepatuhan jika terdapat ketidakpatuhan terhadap Paris Agreement, yakni, tidak boleh bersifat adversarial dan punitif. Hal tersebut menimbulkan pertanyaan tentang bagaimana warga negara dapat memastikan bahwa pemerintahannya mematuhi kewajiban dan komitmen di bawah rezim perubahan iklim. Dalam menemukan jawaban untuk pertanyaan tersebut, riset skripsi ini menggunakan metode normatf yuridis untuk meriset, lalu menganalisis dan mengevaluasi solusi yang mungkin diterapkan terhadap masalah kepatuhan Negara. Dengan menggunakan metode tersebut, tesis ini menyimpulkan bahwa solusi yang mungkin adalah menggunakan litigasi perubahan iklim sebagai tempat untuk meminta pertanggungjawaban pemerintah terhadap kewajiban internasional, serta kewajiban nasional mereka. Hal ini dimungkinkan di Indonesia melalui Tuntutan Warga. Namun demikian, ada faktor eksternal yang dapat mempengaruhi keberhasilan kasus, termasuk waktu yang diperlukan bagi pemerintah pusat atau daerah untuk mematuhi keputusan pengadilan, dan bagaimana ukuran yang dihasilkan akan dilaksanakan dan diawasi. Oleh karena itu, disarankan supaya riset lebih lanjut mengenai kemungkinan-kemungkinan dan akibat terkait litigasi perubahan iklim untuk dilaksanakan oleh pihak berkepentingan."
2018
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Fetrycia Angela Octory
"Kegiatan eksplorasi di kawasan dasar laut menjadi industri pertambangan yang sangat mahal nilainya bagi kepentingan ekonomi.Sehingga kegiatan di kawasan dasar laut perlu diatur, dan terdapat dalam United Nations Convention on The Law Of The Sea Of 10 December 1982 atau Konvensi Hukum Laut Internasional tahun 1982,Agreement for the Implementation of Part XI of the UNCLOS of 10 December 1982 atau Perjanjian Implementasi 1994, Regulations on Prospecting and Exploration for Polymetallic Nodules in the Area, dan Regulations on Prospecting and Exploration for Polymetallic Sulphides in the Area. Eksplorasi kekayaan yang dihasilkan kawasan, yang dinamakan mineral-mineral, merupakan hal baru dalam perkembangan hukum laut dan menyangkut kepentingan seluruh umat manusia. Oleh karena pengelolaan kekayaan di kawasan bukan hal mudah, maka dibentuklah International Seabed Auhtority sebagai organisasi internasional yang melakukan pengawasan terhadap kegiatan di kawasan. Negara-negara berkembang, yang belum memiliki kemampuan teknis dan finansial untuk melakukan penambangan dasar laut di perairan internasional, namun ingin berpartisipasi secara efektif dalam kegiatan di Kawasan, maka negara-negara tersebut harus melibatkan entitas di sektor swasta global, dengan memberikan sponsorship bagi pihak yang ingin melakukan kegiatan di kawasan, dimana dalam penulisan ini diberikan contoh berdasarkan Republik Nauru dan Kerajaan Tonga.

Exploration activities in the area of seabed becomes a mining industry which have a very expensive value to economic interests. So that activities in the area of the seabed should be regulated, and there are in United Nations Convention on The Law Of The Sea Of 10 December 1982, Agreement for the Implementation of Part XI of the UNCLOS of 10 December 1982, Regulations on Prospecting and Exploration for Polymetallic Nodules in the Area, and Regulations on Prospecting and Exploration for Polymetallic Sulphides in the Area. Exploration of the resources which produced in the area, called the minerals, a novelty in development of maritime law and concerns the interests of all mankind. Therefore, management of resources in the area is not simple, hence formedInternational Seabed Authority as an international organization to supervise the activities in the area. Developing countries, which not already have the technical and financial capability to perform seabed mining in international waters, but would like to participate effectively in activities in the Area, then these countries should involve entities in the private sector globally, by providing sponsorship for those who want to do activities in the area, which some examplesare the Republic of Nauru and the Kingdom of Tonga in this Thesis.
"
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2014
T41867
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Afghania Dwiesta
"Putusan Pengadilan Negeri Den Haag pada tahun 2011 memutuskan untuk menerima klaim gugatan yang diajukan oleh keluarga para korban pembantaian Rawagedeh yang dilakukan oleh tentara Belanda pada tahun 1947 silam. Pengajuan klaim ganti kerugian dilakukan dengan cara mengajukan gugatan perdata ke muka Pengadilan Negeri Den Haag. Hal ini dilakukan sebagai upaya hukum terakhir yang dapat dilakukan oleh penggugat mengingat tidak adanya penyelesaian perkara yang seharusnya dilakukan oleh negara Belanda secara publik. Meskipun Pengadilan Negeri Den Haag mengabulkan klaim gugatan atas pemulihan para keluarga korban, akan tetapi dalam amar putusannya tidak menjelaskan bentuk pelanggaran atas kewajiban internasional yang dilakukan oleh Belanda atas pembantaian Rawagedeh. Oleh karena itu, penulisan skripsi ini dimaksudkan untuk menganalisis bentuk tanggung jawab negara Belanda kepada para keluarga korban Rawagedeh menurut hukum internasional.

The Hague District Court in 2011 decided to accept the claims filed by the relatives of the Rawagedeh massacre victims back in 1947 conducted by the Dutch troops. The plaintiffs filed a lawsuit for reparations through civil procedure to the District Court of The Hague. This action is seen as the last resort taken by the plaintiff given the absence of any judicial process the Dutch authority should have conducted publicly. Although the Hague District Court has granted these lawsuit, but the verdict did not explain what kind of violation of international obligations taken by the Dutch troop in Rawagedeh massacre. Thus, this thesis is aimed to analyze the Dutch responsibility to give remedies to the families of the victims in Rawagedeh under international law."
Depok: Universitas Indonesia, 2014
S55048
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
cover
Ardhi Arsala Rahmani
"

Perubahan iklim merupakan ancaman terbesar bagi kesintasan umat manusia. Sejak perubahan iklim masuk ke dalam pertimbangan kebijakan di tahun 1980an, tanggapan global atas perubahan iklim berupa perjanjian iklim internasional. Di balik negosiasi perjanjian iklim internasional, pengurangan emisi dan komitmen untuk berubah selalu tidak memadai atau tidak mencukupi. Proses pembingkaian perjanjian iklim internasional sarat akan pertikaian, dominasi dan marginalisasi narasi yang bergantung pada kekuatan struktural dan material aktor-aktor negosiator. Dengan itu, tesis ini mempertanyakan gagasan dominan yang terbentuk dalam sebuah diskursus dan melandasi ketidakcukupan dalam penanganan perubahan iklim, khususnya kemudian bagaimana diskursus tersebut memengaruhi pembentukan perjanjian iklim. Melalui metode analisis diskursus yang dipandu oleh pendekatan Gramsci, dikemukakan bahwa ada dominasi gagasan yang melenceng dari isu perubahan iklim itu sendiri.

 


Climate change represents the single greatest threat to humanities survival. Ever since it`s entrance into the policy dialogue in the 1980s, global response to climate change has been in the form of international climate agreements. Behind the negotiations on international climate change agreements, emissions reductions and commitments to change have always been inadequate. The process of developing international climate agreements are faced with conflicts, domination and marginalization of narrations which are dependent upon the structural and material powers of the negotiating actors. That being said, this thesis questions the dominating ideas formed within a discourse and becomes the underlying basis driving inadequacies in climate change response, specifically how said discourses influence the development of international climate agreements. Through a discourse analysis method guided by a Gramscian approach, this thesis finds a dominant idea that deflects from the issue of climate change itself.

"
2019
T52897
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
M. Reiza Syeilendra Permana
"Pengalihan kepemilikan satelit di orbit merupakan fenomena yang
kemudian lahir akibat perkembangan komersialisasi antariksa. Satelit yang
ditempatkan di orbit didaftarkan atas nama negara, sehingga adanya pengalihan
kepemilikan menyebabkan isu yurisdiksi atau pengendalian dan tanggung jawab
negara menjadi krusial untuk dibahas, mengingat intrumen hukum internasional
yang mengatur mengenai kegiatan keantariksaan lahir sebelum fenomena
pengalihan kepemilikan satelit di orbit terjadi.
Permasalahan hukum yang berkaitan dengan tanggung jawab negara
dalam pengalihan kepemilikan satelit di orbit meliputi: bagaimana persoalan
pengalihan kepemilikan satelit di orbit diatur dalam hukum internasional;
bagaimana penerapan prinsip tanggung jawab negara dalam pengalihan
kepemilikan satelit di orbit; dan masalah-masalah hukum yang timbul berkenaan
dengan pengalihan kepemilikan satelit di orbit dan bagaimana cara
penyelesaiannya.
Guna mencari jawaban terhadap permasalahan tersebut maka dilakukan
penelitian yuridis normatif dengan menggunakan 3 (tiga) macam pendekatan,
yaitu Pendekatan Perundang-undangan (Statute Approach), Pendekatan
Konseptual (Conseptual Approach), dan Pendekatan Kasus (Case Approach).
Berdasarkan hasil penelitian dapat disimpulkan bahwa: Pertama,
pengalihan kepemilikan satelit di orbit dimungkinkan berdasarkan ketentuan
Pasal II Registration Convention 1975; Kedua, penerapan tanggung jawab Negara
dalam pengalihan kepemilikan satelit di orbit didasarkan pada Outer Space Treaty
1967, Liability Convention 1972, dan Registration Convention 1975; dan terakhir,
masalah hukum yang timbul terutama masalah pendaftaran objek antariksa dan
tanggung jawab negara dalam pengalihan kepemilikan khususnya jika terjadi
kerugian yang disebabkan oleh objek antariksa yang dialihkan.
Terhadap permasalahan tersebut disarankan agar Negara yang menerima
pengalihan kepemilikan setidaknya mencatat satelit tersebut dalam sistem
registrasi nasionalnya untuk dapat memperoleh status sebagai Negara
pendaftaran. Khusus untuk pengalihan kepada bukan Negara peluncur yang asli,
maka diperlukan suatu perjanjian khusus yang mengatur tentang pengalihan
yurisdiksi dan hak pengendalian serta kewajiban atas objek antariksa.

ABSTRACT
Transfer of ownership of the satellite in orbit is a phenomenon that is born
due to the development of space commercialization. Satellites which placed in
orbit, registered in the name of the State so that the transfer of ownership leading
to issues of jurisdiction, or control and responsibility of the State, becomes crucial
to be discussed, considering the international legal instruments governing outer
space activities published before the phenomenon of transfer of ownership of the
satellite in orbit occur.
Legal issues relating to state responsibility in the transfer of ownership of
the satellite in orbit include: how issues of ownership satellites in orbit governed
by international law, how the application of the principle of state responsibility in
the transfer of ownership of the satellite in orbit, and the legal issues which arise
in regard to transfer of ownership of the satellite in orbit and how to solve it.
In order to find answers to these problems normative research is
conducted using three kinds of approaches, i.e. Statute Approach, Conceptual
Approach, and Case Approach.
Based on the results of this study concluded that: First, the transfer of
ownership of the satellite in orbit is possible under the provisions of Article II of
the Registration Convention 1975; Second, the implementation of State
responsibility in the transfer of ownership of the satellite in orbit based on the
Outer Space Treaty of 1967, the Liability Convention 1972 and the Registration
Convention 1975; and finally, the legal issues which arise mainly space object
registration problem and state responsibility in the transfer of ownership
especially if there is damage caused by space objects which transferred.
Of these issues it is recommended that the State receiving the transfer of
ownership, at least recorded the satellite in the national registration system, in
order to obtain status as a State registration. Specifically for transfer to the State
instead of the original launcher, it would require a special agreement governing
the transfer of jurisdiction and the rights and obligations of control over the object
space."
Jakarta: 2013
T35096
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>