Ditemukan 111249 dokumen yang sesuai dengan query
Zarrah Mutia Sakinah
"Peraturan perusahaan merupakan aturan tertulis yang dibuat oleh pengusaha untuk mengatur hubungan kerja di lingkungan perusahaan. Aturan ini menjadi dasar hukum bagi pengusaha dan pekerja/buruh dalam menjalankan aktivitasnya. Namun, jika terjadi pelanggaran terhadap peraturan perusahaan oleh pekerja/buruh, hal ini dapat mengakibatkan pemutusan hubungan kerja. Pemutusan hubungan kerja yang dilakukan secara sepihak cenderung menimbulkan konflik antara pengusaha dan pekerja/buruh. Penelitian ini menggunakan penelitian doktrinal dengan tipologi deskriptif analitis. Data sekunder dikumpulkan melalui studi dokumen dan dianalisis dengan metode kualitatif. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk memahami serta menganalisis kompensasi dan implikasi hukum dari pemutusan hubungan kerja (PHK) yang dilakukan oleh perusahaan dengan alasan pelanggaran ketentuan dalam Peraturan Perusahaan (PP). Studi kasus pada Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor 1076 K/Pdt.Sus-PHI/2023 menunjukkan bahwa PHK yang dilakukan oleh pengusaha tidak sesuai dengan ketentuan Pasal 52 ayat (1) Peraturan Pemerintah Nomor 35 Tahun 2021, sehingga dikategorikan sebagai Perbuatan Melawan Hukum (PMH). Penelitian ini mengungkap bahwa PHK yang dilakukan secara semena-mena dan sepihak oleh pengusaha, tanpa mengikuti prosedur yang berlaku, berpotensi menimbulkan dampak yang serius. Sebagai akibat dari PHK tersebut, pekerja berhak menerima kompensasi sesuai dengan peraturan yang berlaku. Namun, hasil penelitian menunjukkan bahwa kurangnya kehati-hatian Majelis Hakim dalam memutus perkara mengakibatkan penggugat tidak menerima ganti rugi sebagai akibat dari PHK yang dikategorikan sebagai perbuatan melawan hukum.
Company regulations are written rules made by employers to regulate working relationships within the company. This rule becomes the legal basis for employers and workers/laborers in carrying out their activities. However, if there is a violation of company regulations by workers/laborers, this can result in termination of employment. Unilateral termination of employment tends to cause conflict between employers and workers/laborers. This research uses a doctrinal approach with analytical descriptive typology. Secondary data is collected through document study and analyzed using qualitative method. The purpose of this study is to understand and analyze the compensation and legal implications of termination of employment carried out by the company on the grounds of violation of provisions in the Company Regulation. The case study on the Decision of the Supreme Court of the Republic of Indonesia Number 1076 K/Pdt.Sus-PHI/2023 shows that the layoffs carried out by employers are not in accordance with the provisions of Article 52 paragraph (1) of Government Regulation Number 35 of 2021, so they are categorized as Unlawful Acts. This research reveals that layoffs carried out arbitrarily and unilaterally by employers, without following the applicable procedures, have the potential to cause serious impacts. As a result of such termination, workers are entitled to receive compensation in accordance with applicable regulations. However, the results showed that the lack of caution of the Panel of Judges in deciding the case resulted in the plaintiff not receiving compensation as a result of the termination which was categorized as a tort."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2024
S-pdf
UI - Skripsi Membership Universitas Indonesia Library
Mutiara Hanizah Mahatri
"Kompensasi sebagai hak yang harus diterima oleh pekerja yang mengalami Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) dengan alasan Pelanggaran Disiplin sebagai alasan yang dibenarkan dalam Undang-undang Ketenagakerjaan Nomor 13 Tahun 2003 sebagaimana diubah menjadi Undang-undang Cipta Kerja Nomor 6 Tahun 2023. Penelitian Direpresentasikan melalui pengkajian pada Putusan Mahkamah Agung Nomor No.389 K/Pdt.Sus-PHI/2023. Penelitian ini dilakukan untuk menganalisis ketentuan hukum mengenai Pemutusan Hubungan Kerja dengan Alasan Pelanggaran Disiplin dan Kompensasi pada Pemutusan Hubungan Kerja dengan alasan Pelanggaran Disiplin berdasarkan ketentuan hukum ketenagakerjaan yang berlaku di Indonesia. Metode penelitian doktrinal melalui penelusuran kepustakaan menggunakan data sekunder dan di olah secara kualitatif. Simpulan dari penelitian ini, Pemutusan Hubungan Kerja dengan Alasan Pelanggaran Disiplin dilakukan setelah perusahaan memberikan Surat Peringatan sebanyak ketiga kali dengan tujuan sebagai pencegahan Pemutusan Hubungan Kerja sekaligus untuk memperbaiki kinerja pekerja. Dalam kasus Putusan Mahkamah Agung Nomor No.389 K/Pdt.Sus-PHI/2023 dimana perusahaan hanya memberikan surat peringatan ketiga (SP-3) atas pelanggaran disiplin pekerja. Majelis Hakim menyatakan surat peringatan tidak sah dan batal demi hukum. Namun, Pemutusan Hubungan Kerja di setujui dengan alasan pekerja melakukan pelanggaran yaitu penukaran shift tanpa koordinasi pimpinan keamanan dan kompensasi mengenai pemutusan hubungan kerja ini telah sesuai dengan ketentuan yang berlaku saat ini.
Compensation is a right that must be received by workers who experience Termination of Employment (PHK) for reasons of Disciplinary Violation as a justified reason in Employment Law Number 13 of 2003 as amended into Job Creation Law Number 6 of 2023. Research is represented through studies in Supreme Court Decision Number No.389 K/Pdt.Sus-PHI/2023. This research was conducted to analyze the legal provisions regarding Termination of Employment for Reasons of Disciplinary Violations and Compensation for Termination of Employment for Reasons of Disciplinary Violations based on the provisions of labor law in force in Indonesia. Doctrinal research method through literature searches using secondary data and processed qualitatively. The conclusion of this research is that termination of employment for reasons of disciplinary violations was carried out after the company gave a warning letter three times with the aim of preventing termination of employment as well as improving employee performance. In case of Judgment Supreme Court Number No.389 K/Pdt.Sus-PHI/2023 where the company only gave a third warning letter (SP-3) for violations of worker discipline. The Panel of Judges declared the warning letter invalid and null and void. However, the termination of employment was approved on the grounds that the worker committed a violation, namely changing shifts without coordination from the security leadership and compensation regarding the termination of employment was in accordance with the current provisions in force."
Jakarta: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2024
S-pdf
UI - Skripsi Membership Universitas Indonesia Library
Dinda Lofina
"Pengusaha dapat melakukan Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) secara sepihak terhadap pekerja/buruh yang terbukti melakukan pelanggaran peraturan perusahaan setelah memberikan Surat Peringatan (SP) berkelanjutan. SP merupakan bentuk pembinaan pengusaha kepada pekerja/buruh yang melakukan pelanggaran peraturan perusahaan. SP tidak wajib apabila pengusaha melakukan PHK terhadap pekerja/buruh yang terbukti melakukan pelanggaran bersifat mendesak. Peraturan perusahaan merupakan aturan tertulis yang dibuat oleh pengusaha, memuat ketentuan selama hubungan kerja berlangsung serta hak, kewajiban, dan bentuk kesalahan yang dapat dikenakan PHK. PHK secara sepihak ini menimbulkan suatu perselisihan hubungan industrial. Penelitian ini disusun menggunakan metode penelitian doktrinal. Penelitian ini menganalisis keabsahan PHK tanpa adanya SP dan akibat hukum terjadinya PHK karena alasan berat yang tercantum dalam peraturan perusahaan berdasarkan Putusan Mahkamah Agung Nomor 916 K/Pdt. Sus-PHI/2023. Dalam putusan Mahkamah Agung terdapat pembuktian pelanggaran bersifat mendesak. Namun dalam peraturan perusahaan terdapat ketidaksesuaian besaran hak terhadap PHK karena pekerja/buruh terbukti melakukan pelanggaran bersifat mendesak dengan Pasal 52 ayat (3) Peraturan Pemerintah Nomor 35 Tahun 2021. Dalam peraturan perusahaan pekerja/buruh yang melakukan pelanggaran bersifat mendesak hanya diberikan uang pisah. Selain itu Majelis Hakim juga kurang tepat dalam memperhitungkan uang pisah yang diterima oleh pekerja/buruh.
The employer can unilaterally terminate the employment of workers who are proven to have violated provisions of company regulations after giving continuous warning letters. Warning letter is a form of guidance from the employer to workers who violate the provisions of company regulations. Warning letters is not mandatory if the employer wants to terminate workers are proven committed urgent violations. The company regulation is a written by the employer, containing provisions during the employment relationship as rights, obligations, and forms of misconduct that can be subject to termination. This unilateral dismissal gives to industrial relations dispute. This article is prepared by using doctrinal research method. This research analyses the validity of layoffs without a warning letter and the legal consequences of layoffs due to serious reasons stated in company regulations based on Supreme Court Decision Number 916 K/Pdt.Sus-PHI/2023. There was evidence of urgent violations committed by workers. In the company regulation, there are discrepancies with Article 52 paragraph (3) of Government Regulation Number 35 of 2021 because workers are only given separation money. In addition, the Judges also incorrect calculating the separation pay received by workers."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2024
S-pdf
UI - Skripsi Membership Universitas Indonesia Library
Lutfiah Ariani
"Pekerja harian lepas merupakan pekerja yang melakukan pekerjaan dengan menerima upah harian. Peraturan perundang-undangan yang mengatur tentang perlindungan pekerja di Indonesia sebagian besar berfokus pada pekerja dengan perjanjian kerja waktu tertentu. Hal ini menyebabkan kurangnya ketentuan yang tegas mengenai hak-hak pekerja harian lepas ketika mengalami pemutusan hubungan kerja. Penelitian ini dilakukan dengan metode doktrinal atau yang biasa disebut dengan metode penelitian hukum kepustakaan untuk memperoleh data sekunder. Berupa bahan hukum primer yakni, peraturan perundang-undangan dan Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia No. 392 K/Pdt.Sus-PHI/2023. Hasil penelitian menyimpulkan bahwa pemutusan hubungan kerja bagi pekerja lepas dengan alasan mangkir harus dilakukan secara hati-hati dan berdasarkan kriteria yang jelas, dengan bukti ketidakhadiran yang sah sesuai dengan peraturan yang berlaku. Selain itu, status pekerja harian lepas dalam kontrak kerja juga perlu dinyatakan secara eksplisit guna menghindari sengketa, utamanya dengan adanya putusan Mahkamah Agung yang menyatakan bahwa pekerja yang bekerja lebih dari 21 (dua puluh satu hari) hari dalam 1 (satu) bulan dapat dianggap sebagai Pekerja Waktu Tidak Tertentu, sehingga pengusaha harus mematuhi ketentuan yang berlaku untuk melindungi hak-hak pekerja dengan menghindari potensi sengketa hukum.
Casual daily workers are workers who do work and receive daily wages. The laws and regulations governing worker protection in Indonesia mostly focus on workers with fixed-term work agreements. This causes a lack of strict provisions regarding the rights of casual daily workers when their employment is terminated. This research was conducted using a doctrinal method or what is usually called a library legal research method to obtain secondary data. In the form of primary legal materials, namely, statutory regulations and the Decision of the Supreme Court of the Republic of Indonesia No. 392 K/Pdt.Sus-PHI/2023. The research results concluded that termination of employment for freelance workers for reasons of absenteeism must be carried out carefully and based on clear criteria, with valid proof of absence in accordance with applicable regulations. Apart from that, the status of casual daily workers in work contracts also needs to be stated explicitly to avoid disputes, especially with the Supreme Court decision which states that workers who work more than 21 (twenty one) days in 1 (one) month can be considered as Indefinite Time Workers, so employers must comply with applicable regulations to protect workers' rights by avoiding potential legal disputes."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2024
S-pdf
UI - Skripsi Membership Universitas Indonesia Library
Raisa Berliana Nadhifah
"Tanah ulayat kaum merupakan harta milik bersama suatu kaum dan diwarisi secara turun-temurun. Dalam praktik pendaftaran sertipikat hak atas tanah harta pusaka tinggi di Minangkabau, banyak terjadi pensertipikatan atas nama perorangan tanpa sepengetahuan dan persetujuan anggota kaum atau disertipikatkan pertama kali oleh orang yang tidak berhak atas Harta Pusaka Tinggi tersebut. Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis akibat hukum sertipikat hak milik atas tanah harta pusaka tinggi kaum yang dinyatakan lumpuh dan tidak berharga karena perbuatan melawan hukum, serta mengungkap peran Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT) dalam peralihan hak atas tanah harta pusaka tinggi. Metode penelitian yang digunakan adalah Doktrinal, yang mengacu kepada norma hukum sebagai sasaran penelitian. Akibat sertipikat hak milik atas tanah harta pusaka tinggi kaum yang dinyatakan lumpuh dan tidak berharga adalah tidak mempunyai kekuatan hukum sertipikat hak atas tanah serta segala dokumen yang dilahirkan sebelum ataupun setelah diterbitkan sertipikat, perbuatan hukum yang dilakukan setelah diterbitkannya sertipikat lumpuh dan tidak berharga, kembali ke keadaan semula, pemilik yang sebenarnya dapat mengajukan permohonan pembatalan sertipikat dan ganti kerugian. PPAT dalam melakukan tindakan hukum harus senantiasa menerapkan prinsip kehati-hatian. Berkaitan dengan peralihan hak atas tanah pusaka tinggi, peranan PPAT antara lain memastikan bahwa penghadap benar sebagai pemilik tanah, melakukan checking terhadap sertipikat, melakukan pengecekan terhadap warkah, melakukan konfirmasi faktual mengenai Harta Pusaka Tinggi tersebut ke nagari tempat objek tersebut berada, melakukan pengecekan SKPT, meminta dokumen lain seperti Ranji, Sporadik, Surat Penyataan Kepemilikan Tanah, Surat Kesepakatan atau Persetujuan Kaum, Surat Keterangan Wali Nagari atau Lurah setempat, Bukti bayar PBB serta KTP dan KK penghadap serta mengerti tentang hukum adat daerah di mana PPAT berkedudukan.
The customary land of the people is a joint property of a people and is inherited from generation to generation. In the practice of certifying high inheritance land rights in Minangkabau, there are many certificates in the name of individuals who do not get approval from members of other customary clans or are certified for the first time by individuals who are not entitled to the land which causes disputes over inherited land in the future. This study aims to analyze the legal consequences of ownership certificates on the High Inheritance’s land of people who are declared paralyzed and worthless due to acts against the law and to reveal the role of the Land Deed Making Officer (PPAT) in the transfer of rights to High Inheritance’s Land. The research method used is Doctrinal, which refers to legal norms as research targets. This study uses primary and secondary data with qualitative analysis methods. Legal consequences of land ownership certificates of high inheritance that has been declared paralyzed and worthless due to unlawful acts is certificates of land rights do not have the force of law, and all documents issued before or after the issuance of the certificate and legal actions taken after the issuance of the certificate are paralyzed and worthless, returning to their original state, the actual owner can apply for cancellation of the certificate and compensation. In carrying out legal actions, PPAT must always apply the precautionary principle. Concerning the transfer of rights to heritage high land, the role of the PPAT includes ensuring that the claimant is genuinely the owner of the land, checking the certificate, checking the Warkah, making factual confirmation regarding the inheritance to the Nagari where the object is located, checking the SKPT, ask for other documents such as Ranji, Sporadic, Declaration of Land Ownership, Letter of Agreement or Clan Agreement, Certificate of Wali Nagari or local Lurah, Proof of PBB payment and KTP and KK of the party and understand the customary law of the area where the PPAT is domiciled, thus can minimize disputes over high inheritance land within the scope of PPAT."
Jakarta: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2023
T-pdf
UI - Tesis Membership Universitas Indonesia Library
Chrisya Nadine Immanuela
"Proses jual beli seringkali didasari dengan pembuatan Perjanjian Pengikatan Jual Beli sebelum dilanjutkan dengan Akta Jual Beli. Para pihak tidak menyadari adanya ketentuan yang juga mengikat akibat pembuatan Perjanjian Pengikatan Jual Beli walaupun belum terjadinya peralihan hak. Penulisan ini terdiri dari dua rumusan masalah, yaitu mengenai akibat hukum terhadap perbuatan melawan hukum setelah penandatanganan Perjanjian Pengikatan Jual Beli dan mengenai pertimbangan hakim dalam memutus perkara perbuatan melawan hukum setelah penandatanganan Perjanjian Pengikatan Jual Beli. Penulisan ini menggunakan metode yuridis normatif dan tipologi penelitian eksplanatoris. Bahan hukum yang digunakan adalah bahan hukum primer berupa peraturan perundang-undangan yang mengatur terkait Perjanjian Pengikatan Jual Beli, Akta Pemberian Hak Tanggungan, perbuatan melawan hukum, dan juga kredit, sedangkan bahan hukum sekunder yang terdiri dari buku, jurnal, dan internet. Penulisan ini juga melakukan wawancara baik terhadap Notaris dan PPAT serta juga kepada Bank. Penulis menyimpulkan bahwa akibat adanya perbuatan melawan hukum setelah dilakukan penandatanganan Perjanjian Pengikatan Jual Beli, maka Akta Pemberian Hak Tanggungan dapat batal demi hukum karena tidak dibuat atas dasar sebab yang halal. Selain itu, pertimbangan majelis hakim dalam memutuskan perkara perbuatan melawan hukum setelah penandatanganan Perjanjian Pengikatan Jual Beli kurang tepat karena tidak mempertimbangkan mengenai hak dan kewajiban yang timbul akibat Perjanjian Pengikatan Jual Beli. Majelis hakim juga seharusnya mempertimbangkan tentang perbuatan Bank. Hal ini karena Bank tidak menerapkan prinsip kehati-hatian Bank dalam pemeriksaan sebelum pemberian kredit.
The buying and selling process is often based on the making of a Sale and Purchase Binding Agreement before proceeding with the Sale and Purchase Deed. The parties are not aware of the existence of provisions that are also binding due to the making of the Sale and Purchase Binding Agreement even though there has not been a transfer of rights. This writing consists of two problem formulations, namely regarding the legal consequences of unlawful acts after the signing of the Sale and Purchase Binding Agreement and regarding the judge's considerations in deciding cases of unlawful acts after the signing of the Sale and Purchase Binding Agreement. This writing uses a normative juridical method and an explanatory research typology. The legal materials used are primary legal materials in the form of laws and regulations relating to the Sale and Purchase Binding Agreement, Deed of Granting Mortgage Rights, unlawful acts, and also credit, while secondary legal materials consist of books, journals, and the internet. This writing also conducts interviews with both Notaries and PPAT as well as to Banks. The author concludes that as a result of an unlawful act after the signing of the Sale and Purchase Binding Agreement, the Deed of Granting Mortgage may be null and void because it was not made on the basis of a lawful cause. In addition, the consideration of the panel of judges in deciding cases of unlawful acts after the signing of the Sale and Purchase Binding Agreement is not appropriate because it does not consider the rights and obligations arising from the Sale and Purchase Binding Agreement. The panel of judges should also consider the actions of the Bank. This is because the Bank does not apply the prudential principle of the Bank in the examination before granting credit."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2022
T-pdf
UI - Tesis Membership Universitas Indonesia Library
Siregar, Elfira Diana
"Dalam melaksanakan jabatannya sebagai pejabat umum pembuat akta otentik Notaris untuk melaksanakan jabatannya sesuai dengan peraturan yang berlaku. Namun dalam prakteknya Notaris dapat melakukan perbuatan yang oleh pengadilan diputuskan telah melakukan Perbuatan Melawan Hukum dan akta yang dibuatnya dinyatakan cacat hukum. Dalam hal ini Notaris telah membuat akta pembatalan jual beli tanpa sepengetahuan salah satu pihak. Akta pembatalan sepihak ini membuat pihak yang dirugikan mengajukan gugatan ke pengadilan meminta akta dibatalkan. Mengacu pada persoalan diatas penulisan tesis ini menelaah beberapa hal yaitu bagaimana bentuk dan substansi akta yang cacat hukum karena Notaris melakukan Perbuatan Melawan Hukum dan implikasi hukumnya dan bagimana tanggung jawab notaris terhadap akta yang dinyatakan cacat hukum karena Notaris melakukan Perbuatan Melawan Hukum ? Dalam penelitian ini menggunakan metode penelitan yuridis normatif serta menggungakan jenis data sekunder berupa bahan hukum primer maupun bahan hukum sekunder. Analisis kasus dilakukan terhadap putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor : 895K/Pdt/2013. Adapun terhadap akta yang dinyatakan cacat hukum dapat berimplikasi paenurunan status atau degradasi kekuatan alat bukti. Degradasi kekuatan bukti akta notaris dari otentik menjadi kekuatan bukti dibawah tangan, dan cacat yuridis akta notaris mengakibakan akta notaris dapat dibatalkan atau batal demi hukum atau non existent. Terhadap perbuatannya, Notaris dapat dimintai pertanggungjawaban secara perdata, pidana dan administratif.
In doing the function as a Public Official who makes the authentic deed, a Notary required to perform his duty based on actual law. As for the practice, Notary may do some inappropriate action or against the law that by the court has been punished for Unlawful Acts and the deed stated as disable. In this case, Notary has made the cancellation deed of sell and purchase without any notification to other party. This cancellation deed made without notification has trigger the other party as a buyer to bring this case to the court where they sue the seller for the deed their made without notification and ask to cancel the deed. Based on the case above this thesis try to analyze several issues for instance how the form and substance from the disability of deed and its implication because Notary has done unlawful acts and how is Notary responsibility for his deed that has been declared as disabled because of unlawful acts This research using normative juridical methods and using secondary data namely primary law materials and secondary legal materials. In this regard, the case analysis taken from the decisions of the Supreme Court of The Republic of Indonesia Number 895K Pdt 2013. Regarding to the disability of deed, its implication is the degradation of strength of evidence from the deed. Degradation the strength of evidence of deed cause an authentic deed become unauthentic and disability of deed cause Notary deed can be cancelled or null or non existent. Related to his action, several sanction may imposed to Notary which are civil sanction, administrative sanction and criminal sanction."
Depok: Universitas Indonesia, 2017
T46893
UI - Tesis Membership Universitas Indonesia Library
Sabrina Harvestia Oriszasativa
"Pemanggilan kerja kembali kepada pekerja yang dirumahkan dapat menjadi penyebab terjadinya Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) dengan alasan mangkir kerja yang menimbulkan terjadinya perselisihan PHK. Penelitian Direpresentasikan melalui pengkajian pada Putusan Mahkamah Agung Nomor 159K/Pdt.Sus-PHI/2023, Permasalahan yang dikaji adalah ketentuan pemanggilan kembali pekerja yang dirumahkan dan proses penyelesaian PHK dengan alasan mangkir. Penelitian dilakukan dengan metode doktrinal dengan tipe deskriptif-analisis menggunakan data sekunder diperoleh melalui studi kepustakaan dan dianalisis secara kualitatif. Simpulan diperoleh bahwa ketentuan mengenai pemanggilan kerja secara patut tidak terdapat dalam ketentuan khusus, akan tetapi telah diatur sebagai unsur pemenuhan kualifikasi pekerja mangkir pada Pasal 154A Ayat (1) Huruf J Undang-Undang Cipta Kerja yang harus dilakukan dalam mekanisme tertulis dan dikirim kepada alamat masing-masing pekerja sebanyak dua (2) kali. Kemudian dalam proses penyelesaian perselisihan PHK dengan alasan mangkir masih ditemukan ketidaksesuaian dikarenakan masih terdapat inkonsistensi dalam penggunaan perundang-undangan sebagai dasar hukum penyelesaian perselisihan PHK tersebut.
Calling workers who have been laid off to work again can be the cause of Termination of Employment on the grounds that they are absent from work. The research focuses on the Supreme Court Decision Number 159K/Pdt.Sus-PHI/2023. The issues are about the provisions for calling back laid-off workers and the process of resolving termination of employment for reasons absenteeism. The research was carried out using a doctrinal method with a descriptive-analysis type using secondary data obtained through literature study and analyzed qualitatively. The conclusion is that the provisions regarding proper calling for work are not contained in special provisions, but have been regulated as qualifications of absent workers in Article 154A Paragraph (1) Letter J of the Job Creation Law which must be carried out in a written mechanism and sent to the address for each worker two (2) times. Then, in the process of resolving layoffs due to absenteeism, discrepancies were still found because there were still inconsistencies in the use of statutory regulations as the legal basis for resolving layoffs."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2024
S-pdf
UI - Skripsi Membership Universitas Indonesia Library
Muhammad Ravanza Kindy
"Pada dasarnya peraturan perundang-undangan membebaskan para pihak untuk membuat perjanjian kerja dalam bentuk tertulis maupun tidak tertulis. Dalam hal hubungan kerja dilakukan secara tidak tertulis serta pemutusan hubungan kerja dilakukan secara lisan, maka perlu adanya pembuktian yang membuktikan bahwa adanya hubungan kerja yang terjalin antara pekerja dengan pengusaha serta hak-hak pekerja apabila terjadinya pemutusan hubungan kerja. Dengan demikian, tulisan ini menganalisis mengenai bagaimana fungsi surat pengangkatan sebagai bukti adanya hubungan kerja antara pekerja dengan pengusaha serta bagaimana kepastian hubungan kerja dan pemutusan hubungan kerja secara lisan dalam Putusan Pengadilan Hubungan Industrial pada Pengadilan Negeri Medan Nomor 151/Pdt.Sus-PHI/2023/PN Mdn serta Putusan Mahkamah Agung Nomor 250 K/Pdt.Sus-PHI/2024. Tulisan ini disusun menggunakan metode penelitian doktrinal dengan tipologi Deskriptif-Analitis yang menggunakan metode analisis data kualitatif dengan data sekunder. Hasil penelitian menyimpulkan bahwa fungsi surat pengangkatan kerja sebagai bukti adanya hubungan kerja sangat penting untuk melindungi serta menjamin hak serta kewajiban baik pekerja maupun pengusaha. Selain itu, pemutusan hubungan kerja yang dilakukan secara lisan oleh pengusaha merupakan tindakan yang melanggar ketentuan peraturan perundang-undangan, yang mana pengusaha harus terlebih dahulu memberikan pemberitahuan secara tertulis kepada pekerjanya 14 (empat belas) hari sebelum dilakukannya pemutusan hubungan kerja.
In principle, the laws and regulations allow the parties to make an employment agreement in either written or unwritten form. In the situation where the employment relationship is not in written form and the termination of employment is conducted verbally, it is necessary to have evidence to prove that there is an employment relationship between the worker and the employer as well as the rights of the worker in the event of termination of employment. Therefore, this paper analyzes how the appointment letter functions as evidence of the existence of an employment relationship between workers and employers and how the certainty of employment and oral termination of employment in the Industrial Relations Court Decision at the Medan District Court Number 151/Pdt.Sus-PHI/2023/PN Mdn and Supreme Court Decision Number 250 K/Pdt.Sus-PHI/2024. This paper is prepared using doctrinal research method with Descriptive-Analytical typology that uses qualitative data analysis method with secondary data. The result of the research concludes that the function of employment appointment letter as evidence of employment relationship is very important to protect and secure the rights and duties of both workers and employers. In addition, termination of employment carried out verbally by employers is an act that violates the provisions of the legislation, which the employer must first give written notice to its employees 14 (fourteen) days before termination of employment."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2025
S-pdf
UI - Skripsi Membership Universitas Indonesia Library
Benedicta Bitia Yaffa Abebi
"Ketentuan Pasal 95 ayat (2) UU Nomor 13 Tahun 2003 (UU Ketenagakerjaan) dan Pasal 61 PP Nomor 36 Tahun 2021 (PP Pengupahan) mengatur tentang pengenaan denda terhadap pengusaha atas keterlambatan pembayaran upah pekerja, yang mana besarannya disesuaikan dengan persentase tertentu dari upah pekerja. Pengenaan denda tersebut diberikan dalam rangka melindungi hak pekerja atas kesejahteraan, salah satunya bersumber dari penerimaan upah secara layak, tepat waktu, dan berkesinambungan. Skripsi ini disusun dengan metode penelitian doktrinal dengan memanfaatkan data sekunder yang diperoleh melalui penelusuran literatur serta dengan melakukan wawancara kepada sejumlah informan dan narasumber untuk melengkapi kebutuhan penelitian akan data-data penunjang. Hasil penelitian menunjukkan bahwa dalam praktiknya, ketentuan tersebut belum sepenuhnya dilaksanakan dengan baik sebagaimana tercermin melalui Putusan Pengadilan Hubungan Industrial Nomor 16/Pdt.Sus-PHI/2023/PN.Bdg dan Mahkamah Agung Nomor 1014 K/Pdt.Sus-PHI/2023. Dalam putusan Mahkamah Agung, Majelis hakim justru menghapus pengenaan denda terhadap pengusaha atas keterlambatan pembayaran upah dengan sejumlah pertimbangan tertentu. Seharusnya, upah dipandang sebagai hal esensial bagi pekerja yang dimanfaatkan guna mencukupi kebutuhan hidupnya dan keluarganya, sehingga perlindungan terhadapnya harus selalu diusahakan. Dengan menghapuskan pengenaan denda atas keterlambatan pembayaran upah, Majelis Hakim dipandang tidak memberi keadilan dan menghalangi pekerja dalam memperoleh hak atas kesejahteraan. Oleh karenanya, Perumda Trans Pakuan Kota Bogor harus dapat menjamin pembayaran upah pekerja ke depannya dilaksanakan dengan baik. Selain itu, perlu disepakati bersama dan dituangkan dalam Perjanjian Kerja, Peraturan Perusahaan, atau Perjanjian Kerja Bersama mengenai tanggal pembayaran upah setiap bulan dan mekanisme pengenaan denda atas keterlambatan pembayaran upah pekerja. Adapun, dibutuhkan peran pemerintah dalam mengawasi pelaksanaan pembayaran upah pekerja.
Article 95 paragraph (2) of the Law Number 13 of 2003 on Manpower and Article 61 of Government Regulation Number 36 of 2021 on Wages regulate the imposition of fines on entrepreneurs for delays in paying workers' wages, the amount of which is adjusted to a certain percentage of the workers' wages. The imposition of fines is given to protect workers' rights to welfare, one of which stems from receiving wages in a decent, timely, and sustainably. This thesis is prepared using the doctrinal legal research method by utilizing secondary data obtained through literature review and by conducting interviews with several informants and sources to complement the research needs for supporting data. The research results show that in practice, these provisions have not been fully implemented properly as reflected in the Industrial Relations Court Decision Number 16/Pdt.Sus-PHI/2023/PN.Bdg and the Supreme Court Number 1014 K/Pdt.Sus-PHI/2023. In the Supreme Court Decision, the panel of judges actually removed the imposition of fines on entrepreneurs for delays in paying wages with certain considerations. Wages should be seen as essential for workers to meet their and their families' needs, thus protection for it should always be sought. By removing the imposition of fines for delays in paying wages, the panel of judges is considered to not provide justice and hinder workers in obtaining their rights to welfare. Therefore, Perumda Trans Pakuan Kota Bogor must ensure that future payment of workers' wages is carried out properly. In addition, it is necessary to collectively agree and stipulate in the Employment Agreement, Company Regulations, or Collective Labor Agreement regarding the date of wage payment each month and the mechanism for imposing fines for delays in paying workers' wages. Furthermore, government intervention is needed to oversee the implementation of workers' wage payments."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2024
S-pdf
UI - Skripsi Membership Universitas Indonesia Library