Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 96093 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Sinaga, Hans Sc Martogi
"Latar Belakang: Penyakit ginjal kronik (PGK) menunjukkan peningkatan signifikan dalam prevalensi dan angka kematian. Pasien PGK yang menjalani hemodialisis (HD) kronik rentan mengalami kejadian hipoglikemia intradialisis. Kejadian ini jarang dilaporkan karena tidak bergejala dan memiliki ambang batas yang bervariasi, terutama pada pasien diabetes melitus (DM).
Tujuan: Penelitian ini bertujuan untuk mengidentifikasi faktor prediksi kejadian hipoglikemia intradialisis pada pasien PGK yang menjalani HD kronik.
Metode: Penelitian kohort prospektif ini melibatkan 156 pasien PGK yang menjalani HD di Unit HD, Divisi Ginjal-Hipertensi, FKUI-RSUPN-CM, Jakarta, pada bulan Juni 2024. Analisis bivariat dan multivariat digunakan untuk mengidentifikasi faktor prediksi kejadian hipoglikemia intradialisis.
Hasil: Hipoglikemia intradialisis terjadi pada 29,5% pasien. Faktor prediksi signifikan termasuk hipotensi intradialisis (OR 6,78; 95% CI 2,47-18,59; p = 0,000), lama menjalani HD ≤ 1 tahun (OR 4,75; 95% CI 1,72-13,09; p = 0,003), inadekuasi HD (OR 3,54; 95% CI 1,38-9,06; p = 0,009), dan diabetes melitus tipe 2 (OR 2,62; 95% CI 1,07-6,43; p = 0,036). Persamaan model prediksi, logit(p) = -2,94 + 1,91 × hipotensi intradialisis + 1,56 × lama menjalani HD + 1,26 × adekuasi HD + 0,96 × diabetes tipe 2 dikembangkan menjadi sistem skoring dengan total skor 5. Skor yang lebih tinggi menunjukkan probabilitas hipoglikemia yang lebih tinggi. Model ini menunjukkan kalibrasi baik (Hosmer-Lemeshow p = 0,37) dan diskriminasi kuat (AUC = 0,83 IK 95% 0,75-0,91).
Kesimpulan: Faktor-faktor yang memprediksi terjadinya hipoglikemia intradialisis adalah hipotensi intradialisis, lama menjalani HD, adekuasi HD, dan DM tipe 2. Model prediksi yang dihasilkan menunjukkan performa statistik yang baik.

Background: Chronic kidney disease (CKD) shows a significant increase in prevalence and mortality rates. Patients with CKD undergoing chronic hemodialysis (HD) are prone to experience intradialytic hypoglycemia. This condition is rarely reported due to its asymptomatic nature and varying thresholds, especially among diabetic patients.
Objective: This study aims to identify predictors of intradialytic hypoglycemia in CKD patients undergoing chronic HD.
Methods: A prospective cohort study was conducted with 156 CKD patients receiving HD at hemodialysis unit, Division of Nephrology-Hypertension, FKUI-RSUPN-CM, Jakarta, in June 2024. Bivariate and multivariate analyses were used to identify significant predictors of intradialytic hypoglycemia.
Results: Intradialytic hypoglycemia occurred in 29.5% of patients. Significant predictors included intradialytic hypotension (OR 6.78; 95% CI 2.47-18.59; p = 0.000), HD duration ≤ 1 year (OR 4.75; 95% CI 1.72-13.09; p = 0.003), HD inadequacy (OR 3.54; 95% CI 1.38-9.06; p = 0.009), and type 2 diabetes mellitus (OR 2.62; 95% CI 1.07-6.43; p = 0.036). The predictive model, logit(p) = -2.94 + 1.91 × intradialytic hypotension + 1.56 × HD duration + 1.26 × HD adequacy + 0.96 × type 2 diabetes was developed into a scoring system with a total score of 5. Higher scores indicated a higher probability of hypoglycemia. The model showed strong calibration (Hosmer-Lemeshow p = 0.37) and discrimination (AUC = 0.83 95% CI 0.75-0.91).
Conclusion: The factors that predict the occurrence of intradialytic hypoglycemia include intradialytic hypotension, duration of HD, HD adequacy, and type 2 diabetes mellitus. The predictive model developed exhibits strong statistical performance.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2024
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Ginting, Leo
"Hemodialisis (HD) dapat memicu terjadinya hipoglikemia intradialisis. Insidensi terjadinya hipoglikemia intradialisis cukup sering ditemui pada pasien rawat inap. Hipoglikemia intradialisis dapat mengakibatkan komplikasi lebih lanjut, memperpanjang lama rawat bahkan dapat menyebabkan kematian intradialisis. Hipoglikemia intradialisis dapat disebabkan oleh banyak faktor. Penelitian ini bertujuan untuk mengidentifikasi kejadian hipoglikemia intradialisis dan menganalisis faktor-faktor yang mempengaruhi terjadinya hipoglikemia intradialisis pada pasien gagal ginjal rawat inap yang menjalani HD. Penelitian ini merupakan penelitian obervasional (non eksperimental) dengan rancangan kuantitatif deskriptif-analitik dengan pendekatan potong lintang, melibatkan 266 pasien HD yang dirawat inap. Analisis data menggunakan uji Chi Square dan Regersi Logistik Ganda. Hasil penelitian ini mendapatkan sebanyak 54,1% subjek penelitian mengalami hipoglikemia intradialisis, dengan 39,6% diantaranya tanpa disertai tanda dan gejala hipoglikemia serta 38,2% mengalami hipoglikemia berulang. Waktu kejadian hipoglikemia intradialisis paling tinggi terjadi pada jam ke-2 intradialisis dengan rerata penurunan kadar gula darah pada jam pertama intradialisis sebesar 37,9 mg/dl ± 53,7 standar deviasi. Terdapat pengaruh yang signifikan antara ultrafiltration goal, sakit DM, hipertensi, asupan nutrisi, terapi obat anti diabetik, dan terapi β Bloker dengan kejadian hipoglikemia intradialisis (p < 0,05; α 0,05). Faktor yang paling berpengaruh terhadap kejadian hipoglikemia intradialisis adalah asupan nutrisi dengan nilai OR 6,113. Hasil penelitian ini merekomendasikan agar pemeriksaan gula darah intradialisis dilakukan secara rutin dan upayakan asupan nutrisi adekuat pada pasien HD, terutama pada pasien yang memiliki risiko tinggi.

Hemodialysis (HD) induces intradialytic hypoglycemia. The incidence of intradialytic hypoglycemia commonly occurred in hospitalized patients. Inpatient intradialytic hypoglycemia leads to further complications, prolongs the length of stay, and even causes intradialytic death. Intradialytic hypoglycemia is caused by many factors. This study aims to identify the incidence of intradialytic hypoglycemia and analyze the influencing factors of the occurrence of intradialytic hypoglycemia in inpatients with renal failure undergoing HD. This study used a descriptive-analytical quantitative design with a cross-sectional approach and recruited 266 inpatients who undergoing HD. Data analysis used the Chi-Square test and Multiple Logistic regression. This study’s result found that 54.1% of the subjects experienced intradialytic hypoglycemia, where 39.6% of subjects had no signs and symptoms, and 38.2% of subjects experienced recurrent hypoglycemia. The highest incidence of intradialytic hypoglycemia occurred in the 2nd hour of intradialytic, with an average decrease in blood glucose levels in the first hour of intradialytic of 37.9 mg/dl (SD± 53.7). There were significant effects between the ultrafiltration goal, diabetes mellitus, hypertension, nutritional intake, anti-diabetic, and beta-blocker therapy with intradialytic hypoglycemia (p < 0.05; α 0.05). The most influencing factor of intradialytic hypoglycemia incidence was nutritional intake, with OR value of 6.113. Based on this study’s result, it is recommended to conduct continuous blood glucose monitoring during hemodialysis, and also monitor nutritional intake among those patients, especially in high-risk patients."
Depok: Fakultas Ilmu Keperawatan Universitas Indonesia, 2023
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Frans Liwang
"Latar Belakang: Variabilitas hemoglobin (var-Hb) merupakan suatu fenomena fluktuasi kadar Hb dalam satuan waktu tertentu yang dialami oleh pasien penyakit ginjal kronikyang menjalani hemodialisis rutin (PGK-HD).Var-Hb telah diketahui sebagai prediktor independen luaran klinis buruk. Namun,faktor-faktor yang mempengaruhinya belum banyak diketahui. Tujuan: Mengetahui besaran proporsi var-Hb pada pasien PGK-HD di Indonesia dan faktor-faktor yang mempengaruhinya. Metode: Penelitian ini merupakan studi kohort prospektif yang melibatkan pasien GGK-HD berusia ≥18 tahun di Unit Hemodialisis RSCM. Faktor-faktor yang dinilai saat awal ialah kadar Hb, reticulocyte-hemoglobin equivalent(RET-He), albumin, fosfatase alkali, dan C-reactive protein (CRP)serum, serta adekuasi dialisis (Kt/V). Adanya perdarahan saluran cerna(termasuk darah samar feses), dosis erythropoietin-stimulating agent(ESA)dan zat besi, serta kejadian transfusi darah akan dicatat. Kadar Hb kemudian diperiksa setiap 4 minggu hingga 24 minggu pengamatan. Var-Hb dinilai dengan standar deviasi residual dan nilai ≥1,0dianggap sebagai var-Hb tinggi. Uji hipotesis dilakukan dengan uji bivariat sesuai jenis data, dilanjutkan dengan analisis multivariat menggunakan uji regresi logistikmultipel. Hasil: Sejumlah 127 subyek (rerata[SD]usia 49,06[15,1], perempuan 52%, rerata[SD]kadar Hb 9,75[1,00]g/dL) diikutsertakan dalam analisis. Proporsi subyek dengan var-Hb tinggi ialah 47,24%. Berdasarkan analisis bivariat dan multivariat, faktor yang mempengaruhi var-Hb adalah kadar RET-He(p=0,004), dosis ESA (p=0,032), dan kejadian transfusi darah (adjustedOR6,967, IK95% 2,74-17,71;p<0,001). Kesimpulan: Proporsi pasien PGK-HD di Indonesia yang memiliki var-Hb tinggi ialah 47,24%(IK95% 38,3-56,3%). Faktor-faktor yang mempengaruhi var-Hb ialah kadar RET-He,dosis ESA, dan kejadian transfusi darah.

Background: Hemoglobinvariability(Hb-var) is a phenomenon of Hb fluctuation during a course of time that is frequently observed in chronic kidney disease on hemodialysis (CKD-HD)patients. Hb-varis now recognized asapredictor of poor clinical outcomes. However, factors that influence the Hb-var are not well understood.Objectives.This study was aimedto measure the proportion of Hb-var in CKD-HD patients in Indonesia and identify factors associated. Methods: This was a prospective cohort study involving CKD-HD patients aged ≥18 years old in Hemodialysis Unit in RSCM. Factors identified at baseline were serum levels of Hb,reticulocyte-hemoglobin equivalent (RET-He), albumin,alkalinephosphatase, C-reactive protein (CRP), and dialysis adequacy (Kt/V). Hb level was measured every 4 weeks until 24weeks of follow up. Any evidence of gastrointestinal bleeding (including occult blood feces), erythropoietin-stimulating agent (ESA) dosage, and blood transfusion werealsonoted. Hb-var was calculatedas the residual standardofdeviation, and value ≥1.0 was considered as high.Hypothesis testing was performed by bivariate analysis, thencontinued with multivariateanalysis using multiple regression logistic test. Results: As 127 subjects (mean[SD]of age 49.06[15.1], female 52%, mean[SD]of Hb 9.75[1.00]g/dL) were included in the analysis. The proportion of subjects with high Hb-var were 47.24%. According to bivariate and multivariate analysis, factors that determined Hb-var were RET-Helevels (p=0.004), ESA dosage (p=0.032), and blood transfusion (adjustedOR 6.967, 95%CI2.74-17.71,p<0.001). Conclusion: Theproportion of CKD-HD patients in Indonesia with high Hb-var was47.24% (95%CI 38.3-56.3%). Factors that determined Hb-var wereRET-Helevels, ESA dosage, and blood transfusion."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2020
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Ira Camelia Fitri
"Latar Belakang: Pasien penyakit ginjal kronis (PGK) memiliki risiko lebih tinggi untuk jatuh ke dalam frailty karena berbagai perubahan fisiologis terkait penyakit dan berisiko mengalami dampak kesehatan yang lebih buruk. Pemahaman mengenai faktor-faktor yang berhubungan dengan kejadian frailty pada pasien PGK yang menjalani hemodialisis  sangat di perlukan untuk menginformasikan pengetahuan dan mendapatkan solusi. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui prevalensi frailty pada pasien hemodialisis dan faktor yang berhubungan dengan terjadinya frailty pada pasien hemodialisis.
Metode: Penelitian ini merupakan penelitian potong lintang dengan menggunakan data primer. Sembilan puluh satu pasien dari unit hemodialisis RSCM dari berbagai kelompok demografis disertakan dalam studi. Sampling menggunakan metode total sampling. Frailty dinilai dengan kuesioner Frailty Index 40 item. Riwayat medis diperoleh dari rekam medis RS dan dilakukan pemeriksaan laboratorium. Dilakukan uji bivariat menggunakan Chi-Square terhadap usia, jenis kelamin, lama dialisis, status gizi, adekuasi dialisis, hemoglobin, CRP, albumin, kalsium darah, fosfat darah, dan Charlson Comorbidity Index (CCI). Identifikasi faktor yang berhubungan dengan terjadinya frailty dilakukan dengan uji binary regression dengan metode backward stepwise regression.
Hasil: Dua puluh enam (28,6%) pasien mengalami frailty. Faktor yang berhubungan dengan kejadian terhadap frailty pada pasien hemodialisis yaitu jenis kelamin perempuan (PR 1,064; IK 95% 1,064-1,065), skor CCI (PR 27,168; IK 95% 3,838-192,306), lama (vintage) hemodialisis (PR 1,227; IK 95% 1,226-1,227), hemoglobin (PR 3,099; IK 95% 1,325-7,254), albumin (PR 1,387; IK 95% 1,386-1,388), CRP (PR 1,432; IK 95% 1,431-1,433), dan fosfat (PR 1,110; IK 95% 1,110-1,111).
Kesimpulan: Prevalensi frailty pada populasi studi ini yaitu 28,6%. Jenis kelamin perempuan, peningkatan skor CCI, lama (vintage) hemodialisis, anemia, hipoalbuminemia, dan fosfat yang rendah ditemukan sebagai faktor yang berhubungan secara signifikan  terhadap kejadian frailty pada pasien hemodialisis di RSCM.

Background: Patients with chronic kidney disease (CKD) have a higher risk of falling into frailty due to various physiological changes related to the disease and are at risk for worse health impacts. Understanding the factors that correlate with the incidence of frailty in CKD patients undergoing hemodialysis is needed to inform knowledge and obtain solutions. This study aims to determine the prevalence of frailty in hemodialysis patients and predictors of frailty in hemodialysis patients.
Methods: This study is a cross-sectional study using primary data. Ninety-one patients from the RSCM hemodialysis unit from various demographic groups were included in the study. Sampling using the total sampling method. Frailty is assessed with a 40-item Frailty Index questionnaire. Medical history was obtained from hospital medical records, and laboratory examinations were carried out. A bivariate test using Chi-Square was performed on age, sex, duration of dialysis, nutritional status, dialysis adequacy, hemoglobin, CRP, albumin, blood calcium, blood phosphate, and the Charlson Comorbidity Index (CCI). The binary regression test with the backward stepwise regression method identifies factors associated with frailty.
Results: Twenty-six (28.6%) patients experienced frailty. Factors related to the incidence of frailty in hemodialysis patients were female gender (PR 1.064; 95% CI 1.064-1.065), CCI score (PR 27.168; 95% CI 3.838-192.306), duration (vintage) of hemodialysis (PR 1.227; 95% CI 1.226-1.227), anemia (PR 3.099; 95% CI 1.325-7.254), albumin (PR 1.387; 95% CI 1.386-1.388), CRP (PR 1.432; 95% CI 1.431-1.433), and phosphate (PR 1.110; CI 95% 1.110-1.111).
Conclusion: The prevalence of frailty in this study population is 28.6%. Female gender increased CCI score, old (vintage) hemodialysis, anemia, hypoalbuminemia, and low phosphate were factors significantly related to the incidence of frailty in hemodialysis patients at RSCM.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2022
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Fransiska
"Penyakit kardiovaskular merupakan penyebab utama morbiditas dan mortalitas pada pasien yang menjalani hemodialisis. Stratifikasi risiko kejadian kardiovaskular pada pasien hemodialisis (HD) dibutuhkan untuk dapat memengidentifikasi pasien yang membutuhkan tatalaksana yang lebih intensif yang dapat diaplikasikan pada seluruh tipe layanan kesehatan. Tujuan penelitian ini adalah mengembangkan model prediksi kejadian Major Adverse Cardiovascular Events (MACE) satu tahun pertama pada pasien penyakit ginjal tahap akhir yang menjalani hemodialisis kronik. Penelitian dilakukan dengan desain studi kohort prospektif terhadap 310 pasien yang melakukan hemodialisis kronik pertama pada dua rumah sakit di Jakarta. Didapatkan hasil sebanyak 81 (26,1%) dari 310 subjek mengalami MACE satu tahun pertama menjalani HD dengan kejadian terbanyak (43,21%) pada 3 bulan pertama. Terdapat empat variabel yang menjadi faktor prediktor terjadinya MACE pada satu tahun pertama menjalani HD yaitu riwayat kejadian kardiovaskular sebelumnya, diabetes melitus, rasio monosit limfosit   ≥ 0,35, dan kadar LDL ≥ 100 mg/dL. Sistem skor pada penelitian ini mendapatkan nilai total skor 6, dengan skor ≥ 4 menunjukkan risiko tinggi terjadinya MACE pada 1 tahun pertama menjalani hemodialisis kronik. Nilai diskriminasi AUC adalah 0,682 (IK 95% 0,605-0,757)  dengan kemampuan kalibrasi yang baik (p>0,05). Sensitivitas sistem skor ini adalah 55,26% dengan spesifitas 76,78%.

Cardiovascular disease is a major cause of morbidity and mortality among patients on hemodialysis. The development of a simple prediction model to assess cardiovascular risk is necessary in order to make clinical decisions for hemodialysis patients which is applicable in different type of clinical settings. This study golas is to develop a simple prediction model for first year Major Adverse Cardiovascular Events (MACE) in chronic kidney disease patients initiating hemodialysis. We retrospectively enrolled 310 chronic kidney disease patients who underwent their first hemodialysis at two hospitals in Jakarta. We longitudinally assessed the association between several potential candidate predictors and composite cardiovascular events in the first year after hemodialysis. In this study, 81 of 310 subjects (26,1%) developed MACE with 43,21% occurred in the first 3 months of hemodialysis. Four variables included in the final model were history of cardiovascular events, diabetes mellitus,  monocyte/lymphocyte ratio greater than 0,35,  and LDL level more than 100 mg/dL. Total score in this model is 6, with score 4 and above considered high risk. The AUROC for MACE 1 year of initiation hemodialysis was 0,682 (95% CI, 0,605-0,757) with good calibration (p > 0,05). Sensitivity and specificity for this model were 55,26% and 76,78%."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2023
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
cover
Heru Nurinto
"Fatigue merupakan salah satu gejala paling umum yang dialami oleh orang dengan gagal ginjal kronik yang menjalani hemodialisis. Intervensi kombinasi latihan intradialitik dan terapi musik diharapkan memperbaiki fatigue lebih signifikan. Tujuan penelitian ini untuk mengidentifikasi pengaruh latihan intradialitik dan terapi musik terhadap fatigue pada pasien gagal ginjal kronik yang menjalani hemodialisis. Desain penelitian yang digunakan adalah quasi eksperiment dengan 35 responden yang terbagi menjadi kelompok intervensi dan kelompok kontrol. Kelompok intervensi berjumlah 17 responden yang diberikan latihan intradialitik dan terapi musik sedangkan kelompok kontrol berjumlah 18 responden yang diberikan latihan intradialitik. Pengukuran fatigue menggunakan kuesioner Multidimensional Fatigue Inventory (MFI) versi Indonesia. Analisis data yang digunakan adalah independent t-test, one way ANOVA, dan paired t test untuk melihat perbedaan rerata skor fatigue pada kelompok intervensi dan kelompok kontrol. Hasil penelitian menunjukkan bahwa terdapat perbedaan yang bermakna rerata fatigue sebelum dan sesudah perlakuan pada kelompok intervensi dengan nilai p value 0,000. Pada kelompok kontrol juga terdapat perbedaan yang bermakna rerata fatigue sebelum dan sesudah intervensi dengan nilai p value 0,001. Tidak terdapat perbedaan yang signifikan selisih rerata fatigue post test dan pre test antara kelompok intervensi dengan kelompok kontrol (p value 0,231), namun penurunan rerata fatigue pada kelompok intervensi lebih besar dari pada penurunan rerata fatigue pada kelompok kontrol. Tidak ada hubungan yang bermakna antara karakteristik responden (usia, jenis kelamin, tingkat pendidikan, penyakit penyerta dan lama hemodialisis) dengan fatigue kelompok intervensi (p value > 0,05). Kesimpulan penelitian latihan intradialitik dan terapi musik dapat menurunkan nilai fatigue baik pada kelompok intervensi maupun kelompok kontrol. 

Fatigue is one of the most common symptoms experienced by people with chronic renal failure undergoing hemodialysis. The combined intervention of intradialytic exercise and music therapy is expected to improve fatigue more significantly. The purpose of this study was to identify the effect of intradialytic exercise and music therapy on fatigue in patients with chronic renal failure undergoing hemodialysis. The research design used was a quasi-experiment with 35 respondents divided into intervention and control groups. The intervention group amounted to 17 respondents who were given intradialytic exercise and music therapy while the control group amounted to 18 respondents who were given intradialytic exercise. Measurement of fatigue using the Indonesian version of the Multidimensional Fatigue Inventory (MFI) questionnaire. Data analysis used was independent t-test, one way ANOVA, and paired t test to see the difference in mean fatigue scores in the intervention group and control group. The results showed that there was a significant difference in the average fatigue before and after treatment in the intervention group with a p value of 0.000. In the control group there was also a significant difference in the average fatigue before and after the intervention with a p value of 0.001. There was no significant difference in the difference in mean fatigue post test and pre test between the intervention group and the control group (p value 0.231), but the decrease in mean fatigue in the intervention group was greater than the decrease in mean fatigue in the control group. There was no significant relationship between the characteristics of respondents (age, gender, education level, comorbidities and duration of hemodialysis) with fatigue in the intervention group (p value > 0.05). The study concluded that intradialytic exercise and music therapy can reduce fatigue values in both the intervention and control groups. "
Depok: Fakultas Ilmu Keperawatan Universitas Indonesia, 2024
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Isna Amalia Mutiara Dewi
"Hipertensi intradialitik merupakan komplikasi yang paling sering terjadi pada pasien yang menjalani hemodialisis dengan prevalensi kejadian sebesar 38%, kejadian hipertensi intradialitik yang tidak diatasi dapat meningkatkan morbiditas dan mortalitas pasien. Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis faktor-faktor yang berhubungan dengan kejadian hipertensi intradialitik pada pasien gagal ginjal kronik yang menjalani terapi hemodialisis. Desain penelitian ini adalah analitik cross sectional dengan jumlah sampel 57 orang. Analisis data menggunakan Chi-square dan Regresi Logistik. Hasil penelitian menunjukkan adanya hubungan antara transfusi darah saat hemodialiasis (p= 0,001), interdialytic weight gain (IDWG) (p= 0,002), laju ultrafiltrasi (UFR) (p= 0,037) dan pemberian erythropoetin stimulating agents (ESA) (p= 0,048). Hasil analis multivariat regresi logistik berdasar nilai Odd Ratio menunjukkan IDWG ≥ 3% dan transfusi darah saat hemodialisis merupakan faktor yang paling berhubungan dengan kejadian hipertensi intradialitik pasien gagal ginjal kronis yang menjalani terapi hemodialisis. Berdasarkan hasil penelitian ini, perlu dilakukan intervensi keperawatan terkait pembatasan cairan pada pasien hemodialisis sebagai salah satu upaya pencegahan kejadian hipertensi intradialitik.

Intradialytic hypertension is the most common complication in patients undergoing hemodialysis with a prevalence of 38%, untreated intradialytic hypertension can increase patient morbidity and mortality. This study aims to analyze the factors associated with the incidence of intradialytic hypertension in patients with chronic renal failure undergoing hemodialysis therapy. The design of this research is analytic cross sectional with a sample size of 57 people. Data analysis using Chi-square and Logistic Regression. The results showed that there was a relationship between blood transfusion during hemodialysis (p= 0.001), interdialytic weight gain (IDWG) (p= 0.002), ultrafiltration rate (UFR) (p= 0.037) and the administration of erythropoetin stimulating agents (ESA) (p= 0.048). ). The results of multivariate logistic regression analysis based on Odd Ratio values ​​showed IDWG 3% and blood transfusion during hemodialysis was the most associated factor with the incidence of intradialytic hypertension in patients with chronic renal failure undergoing hemodialysis therapy. Based on the results of this study, it is necessary to carry out nursing interventions related to fluid restriction in hemodialysis patients as an effort to prevent the incidence of intradialytic hypertension."
Depok: Fakultas Ilmu Keperawatan Universitas Indonesia, 2022
T-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Rifka Hanum
"Pasien gagal ginjal kornik (GGK) membutuhkan penatalaksaan berupa pengaturan diet, masukan kalori suplemen dan vitamin, obat-obatan, pembatasan asupan cairan dan terapi pengganti ginjal. Hemodialisis merupakan salah satu terapi pengganti ginjal. Komplikasi pada hemodialisis seringkali terjadi karena masalah kepatuhan diet. Penerimaan penyakit dan dukungan sosial dapat berhubungan dengan kepatuhan diet. Tujuan penelitian ini yaitu mengetahui hubungan penerimaan penyakit dan dukungan sosial dengan kepatuhan diet pada pasien GGK yang menjalani hemodialisis. Penelitian ini menggunakan desain cross sectional dengan consecutive sampling pada 106 responden. Pengumpulan data dengan kuesioner acceptance of illness, kusioner dukungan sosial dan kuesioner kepatuhan diet. Analisis yang digunakan yaitu uji Chi-Square dan regresi logistik berganda. Hasil penelitian didapatkan responden yang patuh terhadap kepatuhan diet sebanyak 78.3%, dukungan sosial tinggi sebanyak 61.3% dan penerimaan penyakit tinggi 40.6%. Hasil analisis didapatkan adanya hubungan yang signifikan antara penerimaan penyakit dengan kepatuhan diet (p=0.005), terdapat hubungan yang signifikan antara dukungan sosial dengan kepatuhan diet (p=0.026). Selanjutnya pada analisis multivariat variabel yang paling dominan mempengaruhi kepatuhan diet adalah lama menjalani hemodialisis (p=0.032) setelah dikontrol variabel jenis kelamin, tingkat pendidikan pekerjaan, lama menjalani hemodialisis, sosial ekonomi, penerimaan penyakit, dan dukungan sosial serta mampu memprediksi sebesar 8% terhadap kepatuhan diet. Rekomendasi penelitian ini adalah perawat perlu mengidentifikasi serta melakukan upaya meningkatkan penerimaan penyakit dan dukungan sosial pada pasien untuk meningkatkan kepatuhan diet.

Patients with chronic kidney disease (CKD) require management in the form of diet regulation, calorie intake, supplements and vitamins, medication, limiting fluid intake and kidney replacement therapy. Hemodialysis is a type of kidney replacement therapy. Complications in hemodialysis often occur due to dietary compliance problems. Disease acceptance and social support may be associated with dietary compliance. This research aims to determine the relationship between acceptance of illness and social support with dietary compliance in CKD patients undergoing hemodialysis. This study used a cross-sectional design with consecutive sampling of 106 respondents. Data were collected using an acceptance of illness questionnaire, social support questionnaire and diet compliance questionnaire. The analysis used is the Chi-Square test and logistic regression. The research results showed that 78.3% of respondents were compliant with diet, 61.3% had high social support and 40.6% had high disease acceptance. The results of the analysis showed that there was a significant relationship between acceptance of illness and diet compliance (p=0.005), and there was a significant relationship between social support and diet compliance (p=0.026). Furthermore, in the multivariate analysis, the variable that most dominantly influenced diet compliance was the length of time undergoing hemodialysis (p=0.032) after controlling for the variables gender, occupational education level, length of time undergoing hemodialysis, socio-economics, disease acceptance, and social support and was able to predict 8% of dietary compliance. This research recommends that nurses need to identify and make efforts to increase disease acceptance and social support for patients to increase dietary compliance."
Depok: Fakultas Ilmu Keperawatan Universitas Indonesia, 2024
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Bambang Agustian
"

Latar Belakang: Penyakit Ginjal Kronik (PGK) adalah kondisi serius dengan morbiditas dan mortalitas tinggi, ditandai oleh kerusakan ginjal selama lebih dari tiga bulan. Hemodialisis adalah tatalaksana umum untuk PGK lanjut, yang dijalani oleh 19,33% pasien di Indonesia. Risiko Penyakit Kardiovaskular (PKV) pada PGK stadium 4-5 mencapai 50%, dengan 40% kematian terkait PKV. Padahal sebanyak 12,5% pasien CKD ditemukan pada pasien yang sudah memiliki penyakit kardiovaskular. Maka biomarker seperti Pentraxin-3 (PTX3) penting untuk diagnosis dan prognosis, terutama karena telah ditemukan lebih efektif daripada C-Reactive Protein (CRP) dan biomarker inflamasi lain. PTX3 juga bersifat kardioprotektif dan dapat memprediksi kejadian Major Adverse Cardiovascular Events (MACE) tetapi belum pernah ada penelitian yang memprediksi MACE pada pasien PGK. Penelitian ini termasuk dalam penelitian CARE-CKD di Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo (RSCM) dan menganalisis kemampuan PTX3 dalam memprediksi MACE pada pasien PGK.

Tujuan: Mengetahui kadar, nilai potong, dan kemampuan PTX3 dalam memprediksi MACE pada pasien PGK yang menjalani HD di RSCM, dengan kalibrasi dan diskriminasi baik setelah dikontrol faktor jenis kelamin, usia, IMT dan infeksi.

Metode: Penelitian ini menggunakan desain kohort retrospektif. Data sekunder dari pasien PGK yang menjalani hemodialisis dianalisis untuk melihat hubungan kadar PTX3 dengan kejadian MACE selama satu tahun. Analisis statistik menggunakan SPSS versi 26.

Hasil:

Pada 74 pasien PGK yang menjalani HD di RSCM, kadar PTX–3 median adalah 0,9 ng/mL. Dari mereka, 11 pasien mengalami MACE dengan PTX–3 median 1,324 ng/mL. Analisis ROC menunjukkan AUC 0,630. PTX–3 dapat memprediksi MACE, dengan cut-off 1,317 ng/mL.

Simpulan: Pentraxin 3 dapat menjadi prediktor MACE pada pasien PGK yang menjalani HD yang baik setelah dikontrol oleh variable perancu.


Background: Chronic Kidney Disease (CKD) is a serious condition with high morbidity and mortality, characterized by kidney damage for over three months. Hemodialysis is a common treatment for advanced CKD, undertaken by 19.33% of patients in Indonesia. The risk of Cardiovascular Disease (CVD) in CKD stages 4-5 reaches 50%, with 40% of deaths related to CVD. Therefore, biomarkers like Pentraxin-3 (PTX3) are crucial for diagnosis and prognosis, as PTX3 has been found to be more effective than C-Reactive Protein (CRP) and other inflammatory biomarkers. PTX3 also has cardioprotective properties and can predict Major Adverse Cardiovascular Events (MACE), though no studies have yet predicted MACE in CKD patients. This research is part of the CARE-CKD study at Cipto Mangunkusumo Hospital and will analyze PTX3's ability to predict MACE in CKD patients.

Objective: To determine the levels, cut-off value, and predictive ability of PTX3 for Major Adverse Cardiovascular Events (MACE) in Chronic Kidney Disease (CKD) patients undergoing hemodialysis at Cipto Mangunkusumo Hospital, with good calibration and discrimination after controlling for gender, age, BMI, and infection factors.

Methods: This study utilized a retrospective cohort design. Secondary data from CKD patients undergoing hemodialysis were analyzed to examine the relationship between PTX3 levels and MACE occurrences over one year. Statistical analysis was conducted using SPSS version 26.

Results: In 74 CKD patients undergoing HD at Cipto Mangunkusumo Hospital, the median PTX-3 level was 0.9 ng/mL. Among them, 11 patients experienced MACE with a median PTX-3 level of 1.324 ng/mL. ROC analysis indicated an AUC of 0.630. PTX-3 can predict MACE, with a cut-off of 1.317 ng/mL.

Conclusions: Pentraxin 3 could be a predictor of MACE in CKD patients undergoing HD after calibration of confounding factors."

Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2024
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>