Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 110111 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Siti Sarah Hajar
"Beban penyakit akibat pajanan timbel terus meningkat. Timbel mengganggu hidroksilasi 25(OH)D dan transportasi kalsium sehingga aktivitas osteoklastik dan resorpsi tulang meningkat. Pyridinoline crosslinks (PYD) sebagai indikator kerusakan tulang lebih dini dari pencitraan. Penelitian ini merupakan penelitian sekunder dari penelitian primer yang berjudul Korelasi Kadar Serum 25(OH)D dengan Penanda Biologis Kardiovaskular pada Pekerja Terpajan Timbel. Penelitian berdesain potong lintang ini dilakukan untuk mengetahui hubungan kadar 25(OH)D serum dengan rasio PYD/kreatinin urin pada pekerja terpajan timbel. Penelitian berlokasi di Kabupaten Tegal, Kabupaten Tangerang, Kota Surabaya, dan Kabupaten Bogor. Subjek adalah bagian dari seluruh pekerja terpajan timbel yang terdaftar sebagai responden dalam penelitian primer dan memenuhi kriteria, didapatkan total 104 subjek. Instrumen yang digunakan adalah formulir karakteristik subjek, pemeriksaan fisik, Global Physical Activity Questionnaire, Semi-Quantitative Food Frequency Questionnaire, hasil pemeriksaan fungsi ginjal dan hepar, kadar timbel dalam darah, kadar 25(OH)D serum, dan sampel urin pagi. Median kadar timbel dalam darah 6,3 (1,2-35,5) µg/dL, indeks pajanan timbel kronik 35,3 (1,2-535,8) tahun µg/dL, kadar 25(OH)D serum 22 (8-52) ng/mL, dan rasio PYD/kreatinin urin 5,3 (3,6-28,1).10-6. Sebagian besar (86,5%) subjek memiliki kadar 25(OH)D serum yang tidak adekuat. Studi menunjukkan terdapat hubungan negatif yang signifikan antara kadar 25(OH)D serum dengan rasio PYD/kreatinin urin pada pekerja terpajan timbel (r = -0,39, p < 0,001), dan terdapat hubungan positif yang signifikan antara indeks pajanan timbel kronik dengan rasio PYD/kreatinin urin (r = 0,21, p = 0,036).

The burden of disease due to lead exposure continues to increase. Lead interferes with 25(OH)D hydroxylation and calcium transport, increasing osteoclastic activity and bone resorption. Pyridinoline crosslinks (PYD) as an indicator of bone damage that can be seen earlier than imaging. This study is a secondary study of the primary study entitled Correlation of Serum 25(OH)D Levels with Cardiovascular Biological Markers in Workers Exposed to Lead. This cross-sectional study was conducted to determine the correlation between serum 25(OH)D levels and the urinary PYD/creatinine ratio in workers exposed to lead. The study was located in Tegal Regency, Tangerang Regency, Surabaya City, and Bogor Regency. The subjects were part of all lead-exposed workers who were registered as respondents in the primary study and met the criteria, resulting in a total of 104 subjects. The instruments used were subject characteristic form, physical examinations, Global Physical Activity Questionnaire, Semi-Quantitative Food Frequency Questionnaire, kidney and liver function test results, blood lead levels, serum 25(OH)D levels, and morning urine samples. Median blood lead levels were 6.3 (1.2-35.5) µg/dL, chronic lead exposure index 35,3 (1,2-535,8) years µg/dL, serum 25(OH)D levels were 22 (8-52) ng/mL, and urinary PYD/creatinine ratio was 5.3 (3.6-28.1).10-6. Among the most population (86.5% of subjects) had inadequate serum 25(OH)D  the study showed a significant negative correlation between serum 25(OH)D levels and urinary PYD/creatinine ratio in workers exposed to lead (r = -0.39, p < 0.001). There was also a significant positive correlation between chronic lead exposure index and the urinary PYD/creatinine ratio (r = 0.21, p = 0.036)."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2024
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Danny Surya
"Hand eczema (HE) adalah peradangan kulit tangan yang umum terjadi pada pekerjaan tertentu, termasuk di pelayanan kesehatan. Insidensi HE pada tenaga medis meningkat di era pandemi Covid-19 akibat peningkatan praktik hand hygiene. Vitamin D merupakan salah satu vitamin larut lemak yang memiliki berbagai pengaruh terhadap kulit, khususnya pada kondisi inflamasi. Vitamin D berperan dalam proses proliferasi dan diferensiasi epidermis serta berkaitan dengan imunitas kulit dan penyembuhan luka. Kadar rendah vitamin D diduga berkaitan dengan HE dan derajat keparahannya. Penelitian ini bertujuan menganalisis korelasi antara derajat keparahan HE dan kadar vitamin D yang diukur dengan 25(OH)D serum pada tenaga medis di RSUPN Dr. Cipto Mangunkusumo (RSCM) Jakarta. Penelitian ini merupakan studi deskriptif analitik dengan desain potong lintang. Populasi target penelitian adalah tenaga medis RSCM dengan HE yang dipilih menggunakan metode consecutive sampling berdasarkan kriteria penerimaan dan penolakan. Penilaian keparahan HE dilakukan dengan instrumen Hand Eczema Severity Index (HECSI) dan pengukuran kadar 25(OH)D serum dilakukan dengan pengambilan darah vena perifer. Analisis statistik yang sesuai dilakukan untuk membuktikan hipotesis penelitian. Nilai p<0,05 dianggap signifikan secara statistik. Di antara 44 sampel tenaga medis dengan HE, 29 orang mengalami HE ringan, 11 orang mengalami HE sedang, dan 4 orang mengalami HE berat. Rerata kadar 25(OH)D serum untuk seluruh SP adalah 17,50 ng/mL yang termasuk ke dalam kategori defisiensi vitamin D. Rerata kadar 25(OH)D serum pada SP dengan HE ringan adalah 17,85 ng/mL, pada HE sedang sebesar 16,45 ng/mL, dan pada HE berat sebesar 17,87 ng/mL. Tidak terdapat korelasi yang bermakna antara kadar 25(OH)D serum dengan derajat keparahan HE yang diukur dengan menggunakan HECSI (r = -0,056; p = 0,359). Pada hasil tambahan, tidak ditemukan korelasi bermakna antara skor HECSI dengan skor Dermatology Life Quality Index (DLQI) (r = 0,113; p = 0,232). Median kadar 25(OH)D serum pada SP dokter didapatkan lebih tinggi dibandingkan tenaga medis nondokter dengan nilai yang bermakna secara statistik (23,00 vs 14,00; p <0,001). Didapatkan pula rerata berat badan dan indeks massa tubuh (IMT) yang lebih tinggi pada kelompok SP dengan status vitamin D defisiensi dibandingkan nondefisiensi yang bermakna secara statistik (60,74 vs 55,00; p = 0,008 dan 23,74 vs 21,83; p = 0,014). Sebagai kesimpulan, tidak ditemukan korelasi yang bermakna antara kadar 25(OH)D serum dengan derajat keparahan HE pada tenaga medis.

.Hand eczema (HE) is an inflammation of the skin of the hands that commonly occurs in certain occupations, including healthcare services. The incidence of HE in healthcare workers has increased in the era of the Covid-19 pandemic due to increased hand hygiene practices. Vitamin D is a fat-soluble vitamin that has various effects on the skin, especially in inflammatory conditions. Vitamin D plays a role in the process of proliferation and differentiation of the epidermis and is related to skin immunity and wound healing. Low levels of vitamin D are thought to be related to HE and its severity. This study aims to analyze the correlation between the severity of HE and vitamin D levels as measured by serum 25(OH)D in healthcare workers at RSUPN Dr. Cipto Mangunkusumo (RSCM) Jakarta. This is an analytic descriptive study with a cross-sectional design. The target population of the study were RSCM healthcare workers with HE who were selected using the consecutive sampling method based on acceptance and rejection criteria. Assessment of the severity of HE was carried out using the Hand Eczema Severity Index (HECSI) instrument and measurement of serum 25(OH)D levels was done by drawing peripheral venous blood. Appropriate statistical analyzes were performed to prove the research hypotheses. A p-value of <0.05 was considered statistically significant. Among the 44 samples of healthcare workers with HE, 29 people had mild HE, 11 people had moderate HE, and 4 people had severe HE. The mean serum 25(OH)D level for all subjects was 17.50 ng/mL which belonged in the vitamin D deficiency category. The mean serum 25(OH)D level in subjects with mild, moderate, and severe HE was 17.85 ng/mL, 16.45 ng/mL, and 17.87 ng/mL, respectively. There was no statistically significant correlation between serum 25(OH)D levels and HE severity measured using HECSI (r = -0.056; p = 0.359). In additional results, no significant correlation was found between the HECSI score and the Dermatology Life Quality Index (DLQI) score (r = 0.113; p = 0.232). The median level of serum 25(OH)D among physicians was found to be higher than non-physicians healthcare workers with a statistically significant value (23.00 vs 14.00; p <0.001). The average body weight and body mass index (BMI) were also found to be higher in the subject group with vitamin D deficiency status compared to non-deficiency which was statistically significant (60.74 vs 55.00; p = 0.008 and 23.74 vs 21.83; p = 0.014). In conclusion, no statistically significant correlation was found between serum 25(OH)D levels and the severity of HE among healthcare workers as measured by HECSI."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2023
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Raissa
"Latar belakang: Alopesia androgenetik (AAG) merupakan jenis kebotakan rambut paling umum pada laki-laki yang menyebabkan gangguan estetik sehingga memengaruhi kualitas hidup dan dapat berkaitan dengan kondisi sistemik. Tata laksana yang ada seringkali belum memuaskan. Vitamin D sebagai salah satu mikronutrien yang telah dikenal memiliki banyak manfaat juga diduga berperan dalam kejadian kelainan rambut termasuk AAG.
Tujuan: Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis hubungan antara kadar 25(OH)D serum dan status kecukupan vitamin D dengan derajat keparahan AAG pada laki-laki.
Metode: Penelitian ini merupakan suatu studi observasional analitik dengan desain potong lintang. Subjek penelitian dipilih menggunakan metode consecutive sampling berdasarkan kriteria penelitian. Diagnosis AAG ditegakkan secara klinis berdasarkan klasifikasi Hamilton-Norwood lalu dibagi menjadi derajat ringan dan sedang-berat. Dilakukan pula fotografi 7 posisi kepala serta pemeriksaan trikoskopi dan Trichoscan®. Pemeriksaan kadar 25(OH)D serum diambil dari darah vena sebanyak 3 mL dan menggunakan metode chemiluminescent microparticle immunoassay (CMIA). Klasifikasi status kecukupan vitamin D ditetapkan menjadi defisiensi dan nondefisiensi berdasarkan Endocrine Society Guideline. Nilai p<0,05 dianggap bermakna secara statistik.
Hasil: Di antara 74 SP dengan rerata usia 37,4(8,89) tahun yang berpartisipasi dalam penelitian, sebanyak 29 orang (39,2%) mengalami AAG ringan dan 45 orang (60,8%) mengalami AAG sedang hingga berat. Rerata kadar 25(OH)D serum untuk seluruh SP adalah 18,9(5,89) ng/mL yang termasuk ke dalam kategori defisiensi vitamin D. Rerata kadar 25(OH)D serum pada SP dengan AAG ringan adalah 21,8(6,39) ng/mL dan pada AAG sedang hingga berat sebesar 17,1(4,79) ng/mL. Terdapat hubungan bermakna secara statistik antara kadar 25(OH)D serum dan status kecukupan vitamin D dengan derajat keparahan AAG (p=0,01; p<0,001). Sebagai data tambahan, ditemukan pula hubungan bermakna secara statistik antara diameter rambut (p=0,036) dengan derajat keparahan AAG.
Kesimpulan: Terdapat hubungan bermakna antara status kecukupan vitamin D dengan kadar 25(OH)D serum dengan derajat keparahan AAG pada laki-laki.

Background: Androgenetic alopecia (AGA) is the most common type of hair loss in men which causes aesthetic disturbances that affect quality of life and can be associated with systemic conditions. Existing management is often not satisfactory. Vitamin D, as a micronutrient that is known to have many benefits, is also thought to play a role in the incidence of hair disorders including AGA.
Objective: This study aims to analyze the association between serum 25(OH)D levels and vitamin D sufficiency status with the severity of AGA in men.
Method: This research is an observational analytic study with a cross-sectional design. The study subjects were selected using consecutive sampling. The diagnosis of AGA was established clinically according to the Hamilton-Norwood classification and then categorized into mild and moderate-severe degrees. Photographs of the head in seven positions were taken, and trichoscopy and Trichoscan® examinations were performed. Serum 25(OH)D levels were measured from 3 mL of venous blood using the chemiluminescent microparticle immunoassay (CMIA) method. Vitamin D status was classified as deficient or non-deficient according to the Endocrine Society Guideline. Statistical significance were set at p<0.05.
Results: Among the 74 subjects with a mean age of 37.4 (8.89) years, 29 (39.2%) had mild AGA and 45 (60.8%) had moderate to severe AGA. The mean serum 25(OH)D level for all participants was 18.9 (5.89) ng/mL, indicating vitamin D deficiency. For those with mild AGA, the mean serum 25(OH)D level was 21.8 (6.39) ng/mL, while for those with moderate to severe AGA, it was 17.1 (4.79) ng/mL. There was a statistically significant association between serum 25(OH)D levels and vitamin D status with AGA severity (p=0.01; p<0.001). Additionally, a significant association was found between hair diameter and AGA severity (p=0.036).
Conclusion: This study found significant association between vitamin D status and serum 25(OH)D levels with AGA severity in men
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2024
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Nita Nurul Rachman
"Vitamin D memiliki efek mempertahankan fungsi endovaskular dan mengatur aktivitas inflamasi dalam dinding pembuluh darah. Lemak viseral, disebutkan sebagai prediktor risiko yang baik untuk penyakit vaskular karena berperan aktif secara metabolik serta bersifat meningkatkan pengeluaran sitokin proinflamasi Kedua hal ini berpengaruh dalam peningkatan risiko kejadian stroke akut. Sampai saat ini penelitian yang membahas korelasi antara kedua faktor tersebut masih inkosisten. Studi potong lintang dilakukan pada subyek berusia >18 tahun dengan stroke akut yang menjalani perawatan di RSUPN Dr. Cipto Mangunkusumo dan RS Universitas Indonesia. Pengukuran kadar lemak viseral menggunakan bioelectrical impedance analysis bedridden multifrekuensi. Penilaian kadar serum vitamin D (25 (OH)D) menggunakan metode chemiluminescent immunoassay. Terdapat total 73 subyek penelitian, sebanyak 55 subyek (75,3%) dengan insufisiensi dan 15 subyek (20,5%) mengalami defisiensi vitamin D, dengan nilai rerata di 17,08±7,85 ng/mL. Sejumlah 78,1% subyek memiliki kadar lemak viseral yang tinggi. Terdapat korelasi negatif (r= -0,271) yang signifikan (p <0,021) antara kadar lemak viseral dan kadar vitamin D serum pada stroke akut. Dilakukan analisis multivariat lanjutan, didapatkan kadar lemak viseral dan jenis pakaian (pakaian tertutup) menjadi faktor paling signifikan dalam menilai kadar vitamin D serum.Terdapat korelasi yang signifikan antara kadar lemak viseral dengan kadar vitamin D 25 (OH) pada pasien stroke akut.

Vitamin D has effects in maintaining endovascular function and regulating inflammatory activity in the vascular wall. Visceral fat is said to be a good risk predictor for vascular disease because it plays a metabolically active role and increases the release of pro-inflammatory cytokines, both of which are influential in increasing the risk of acute stroke events. Studies that discuss the correlation between these two factors are still inconsistent.  A cross-sectional study was conducted on subjects aged >18 years with acute stroke who underwent treatment at Dr. Cipto Mangunkusumo Hospital and University of Indonesia Hospital. Measurement of visceral fat levels using bioelectrical impedance analysis bedridden multifrequency. Assessment of serum vitamin D (25(OH)D) levels using chemiluminescent immunoassay method.  In a total of 73 subjects, 55 (75.3%) subjects had vitamin D insufficiency and 15 (20,5%) subject had deficiency, with mean values at 17.08±7.85 ng/mL. A total of 78.1% of subjects had high visceral fat levels. There was a significant (p<0.021) negative correlation (r= -0.271) between visceral fat and serum vitamin D levels in acute stroke. In a further multivariate analysis, visceral fat content and type of clothing (concealing clothing) was found to be the most significant factor in assessing serum vitamin D levels. There is a significant correlation between visceral fat levels and 25 (OH) vitamin D levels in acute stroke patients."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2024
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Nita Nurul Rachman
"Latar Belakang: Vitamin D memiliki efek non-skeletal dalam mempertahankan fungsi endovaskular dan mengatur aktivitas inflamasi dalam dinding pembuluh darah. Lemak viseral, disebutkan sebagai prediktor risiko yang baik untuk penyakit vaskular karena berperan aktif secara metabolik serta bersifat meningkatkan pengeluaran sitokin proinflamasi Kedua hal ini berpengaruh dalam peningkatan risiko kejadian stroke akut. Sampai saat ini penelitian yang membahas korelasi antara kedua faktor tersebut masih inkosisten. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui korelasi antara kadar lemak viseral dan kadar vitamin D serum pada pasien stroke akut.
Metode: Studi potong lintang dilakukan pada subyek berusia >18 tahun dengan stroke akut yang menjalani perawatan di RSUPN Dr. Cipto Mangunkusumo dan RS Universitas Indonesia selama bulan November -Desember 2023. Pengukuran kadar lemak viseral menggunakan bioelectrical impedance analysis (BIA) bedridden multifrekuensi. Penilaian kadar serum vitamin D (25 (OH)D) menggunakan metode chemiluminescent immunoassay (CMIA). Analisis bivariat dan multivariat digunakan untuk menilai korelasi dan hubungan antara variable bebas dan terikat, serta mengidentifikasi faktor perancu lain yang berhubungan dengan kadar vitamin D serum.
Hasil: Terdapat total 73 subyek penelitian, sebanyak 55 subyek (75,3%) dengan insufisiensi dan 15 subyek (20,5%) mengalami defisiensi vitamin D, dengan nilai rerata di 17,08±7,85 ng/mL. Sejumlah 78,1% subyek memiliki kadar lemak viseral yang tinggi. Terdapat korelasi negatif (r= -0,271) yang signifikan (p <0,021) antara kadar lemak viseral dan kadar vitamin D serum pada stroke akut. Dilakukan analisis multivariat lanjutan dengan regresi linear untuk faktor perancu lain, hanya didapatkan kadar lemak viseral dan jenis pakaian (pakaian tertutup) yang menjadi faktor paling signifikan dalam menilai kadar vitamin D serum.
Kesimpulan: Terdapat korelasi yang signifikan antara kadar lemak viseral dengan kadar vitamin D 25 (OH) pada pasien stroke akut.

Background: Vitamin D has non-skeletal effects in maintaining endovascular function and regulating inflammatory activity in the vascular wall. Visceral fat is said to be a good risk predictor for vascular disease because it plays a metabolically active role and increases the release of pro-inflammatory cytokines, both of which are influential in increasing the risk of acute stroke events. Until now, studies that discuss the correlation between these two factors are still inconsistent. This study aims to determine the correlation between visceral fat levels and serum vitamin D levels in acute stroke patients.
Methods: A cross-sectional study was conducted on subjects aged >18 years with acute stroke who underwent treatment at Dr. Cipto Mangunkusumo Hospital and University of Indonesia Hospital during November - December 2023. Measurement of visceral fat levels using bioelectrical impedance analysis (BIA) bedridden multifrequency. Assessment of serum vitamin D (25(OH)D) levels using chemiluminescent immunoassay (CMIA) method. Bivariate and multivariate analyses were used to assess the correlation and relationship between independent and dependent variables, as well as identify other confounding factors associated with serum vitamin D levels.
Results: In a total of 73 subjects, 55 (75.3%) subjects had vitamin D insufficiency and 15 (20,5%) subject had deficiency, with mean values at 17.08±7.85 ng/mL. A total of 78.1% of subjects had high visceral fat levels. There was a significant (p<0.021) negative correlation (r= -0.271) between visceral fat and serum vitamin D levels in acute stroke. In a further multivariate analysis with linear regression for other confounding factors, only visceral fat content and type of clothing (concealing clothing) was found to be the most significant factor in assessing serum vitamin D levels.
Conclusion: There is a significant correlation between visceral fat levels and 25 (OH) vitamin D levels in acute stroke patients.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2024
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Mirza Fajar Wicaksono
"Latar belakang dan Tujuan Indonesia saat ini masih mcnggunakan bensin bertimbal dengan tingkat pencemaran timbal di udara tinggi. Jakarta Barat merupakso wilayab di DKI Jakarta yang paling padat dilalul kendaraan bermotor.
Tujuan penelitian ini adalah diketahuinya hubungan kadar timbal di dalam darah terbadap terjadinya hipertensi pada polisi yang bekerja di jalan dan faktor-faktor lain, seperti obesitas, riwayat keluarga hipertensi, kebiasaan merokok. konsmnsi kopi, perilaku memakai masker dan olahraga dengan terjadinya hipertensi.
Metode penelitian Penelitian ini dilakukan di wilayab kerja polsek Jakarta Barat. Populasi penelitian adalah polisi yang bekerja di jalan. Disain penelitian adalah studi Cross Sectional, dengan analisis kasus konlrol, 30 kasus dan 60 konlrol dillrutsertakan ) da1am penelitian ini. Kastt; diperoleh dengan cam consecuiive sampling. Pengumpulan data dilakukan dengan cara wawancara, pengukuran berat badan, pengukuran tinggi badan, pengukuran tekanan darab dan analisis kadar timbal dalam darah.
Hasil penelitian Rerata kadar timbal di dalam darah adalab 19.83 , dengan nilai median 18.80. Terdapat hubungan yang signifikan antarn faktor obesitas (OR = 5,1) riwayat keluarga hipcrtensi (OR=l7,68) dan kadar Pb dalam darab (OR=4,5) dengan kejadian hipertensi.
Kesimpulan dan Saran
Ada pengarah kadar timbal di dalam darah, dengan kejadian hipertensi. Saran yang diajukan adalah melakukan pemeriksaan kadar timbal dalam darah minimal sekali setahun, termasuk melakukan upaya penurunan pajanan timbal, dan menurunkan berat badan polisi yang bekerja di jalan.

Tile Background and Tbe Objectives
Most of the cities in Indonesia are still using head gases which causes high lead level pollution. West Jakarta is one of the .areas that high burden of motor vehicles and is among the worst polluted area in Jakarta city. The aim of this study is to identify the relation of blood lead levels and hypertension among traffic police and other related factors such as obesity ,family history of hypertension, smoking,. consumption of coffee, use of mask as protection and physical exercise.
The Research Method
This research was carried out in the work territory Sector Police West Jakarta. The research population was traffic police assigned on the road. A cross sectional study design was used with case control analysis. Sixty cases and 30 controls Were recruited for this study Cases were recruited consecutively. Data was'collected by interviews, physical examination and measuring blood lead level.
The Conclusion and the Reccomendation
A significant relationship was'found between blood lead level and hypertension incident. Police with the blood lead level ?: 18,80 JWdL had a risk almost of 6,5 times higher to get hypertension. It is recommended that blood lead level should be measured at least once a year and reduce police weight that worked in the road."
Depok: Universitas Indonesia, 2009
T21022
UI - Tesis Open  Universitas Indonesia Library
cover
Raihanah Suzan
"Tujuan: Tujuan penelitian ini adalah mengetahui korelasi antara asupan vitamin D dengan kadar 25(OH)D serum pada pasien lupus eritematosus sistemik perempuan usia dewasa.
Metode: Peneltian ini merupakan penelitian potong lintang pada 36 pasien SLE perempuan dewasa dari Poliklinik Reumatologi di RS Dr. Cipto Mangunkusumo. Pengambilan data subyek meliputi usia, klasifikasi penyakit SLE, obat-obatan yang digunakan, tipe kulit, penggunaan tabir surya, bagian tubuh yang tertutup pakaian, lama terpajan sinar matahari, indeks massa tubuh (IMT), asupan vitamin D, dan kadar 25(OH)D serum.
Hasil: Sebagian besar (41,7%) subyek berusia antara 36–45 tahun, tergolong klasifikasi SLE ringan (52,8%), selalu menggunakan tabir surya (63,9%), tipe kulit IV (69,4%), dan memakai pakaian yang menutupi seluruh/sebagian besar tubuh (69,4%), serta tidak terpajan dan terpajan sinar matahari <30 menit (77,8%). Semua subyek menggunakan kortikosteroid. Separuh subyek memiliki berat badan normal berdasarkan IMT, sebagian besar (55,6%) subyek mempunyai asupan vitamin D cukup berdasarkan AKG 2012, dan 28 subyek (77,8%) menderita defisiensi vitamin D ( kadar 25(OH)D serum <50 nmol/L). Didapatkan korelasi positif yang sedang antara asupan vitamin D dengan kadar 25(OH)D serum pada subyek penelitian (r = 0,52; P <0,01).
Kesimpulan: Terdapat korelasi positif yang sedang antara asupan vitamin D dengan kadar 25(OH)D serum pada pasien SLE perempuan dewasa (r = 0,52; P <0,01).

Objective: the aim of the study is to investigate the correlation between vitamin D intake and serum 25(OH)D concentration of adult woman SLE patients.
Methods: A cross-sectional study was conducted in 36 adult woman patients with SLE from Rheumatology Clinic of the Departemen of Internal Medicine Dr. Cipto Mangunkusumo hospital. Data collection included age, SLE classification, drugs, skin type, use of sunscreen, part of the body covered by clothes, length of sun exposure, body mass index (BMI), vitamin D intake, and serum 25(OH)D concentration.
Results: Most of the subjects (41.7%) aged 36–45 years old, classified as mild SLE (52.8%), always used sunscreen (63.9%), skin type IV (69.4%), wearing clothes that covered all or almost of the body (69.4%), and not exposed or had sun exposure less than 30 minute (77.8%). All subjects used corticosteroid. Based on BMI half of the subjects had normal body weight, Based on AKG 2012 most (55.6%) had adequate vitamin D intakes, and 28 subjects (77.8%) were in vitamin D-deficient (serum 25(OH)D concentration <50 nmol/L). There were moderate positive correlation between vitamin D intake and serum 25(OH)D concentration in subjects (r = 0.52; P <0.01).
Conclusion: There were moderate positive correlation between vitamin D intake and serum 25(OH)D concentration of adult woman SLE patients (r = 0.52, P <0.01).
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2014
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Winda Kusumadewi
"Latar Belakang. Defisiensi vitamin-D dapat terjadi pada sklerosis multipel MS dan neuromielitis optik (NMO), dan dapat berpengaruh terhadap proses imunologi. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui kadar serum vitamin-D-25 (OH) pada orang dengan penyakit demielinisasi sistem saraf pusat dibandingkan dengan kontrol sehat.
Metode. Penelitian potong lintang ini dilakukan di Rumah Sakit Umum Pusat Nasional Cipto Mangunkusumo Jakarta pada November 2016 sampai Mei 2017. Pada sampel dikumpulkan data kebiasaan makan, suplementasi vitamin-D, paparan sinar matahari, terapi medikamentosa, jumlah relaps per tahun, dan expanded disability status scale (EDSS). Kadar serum vitamin-D-25(OH) diukur menggunakan metode direct competitive chemiluminescence immunoassay (CLIA).
Hasil. Tiga puluh dua pasien (18 MS dan 14 NMO) dan 33 kontrol diikutsertakan dalam penelitian ini. Jumlah laki-laki pada kelompok studi dan kontol adalah 12,5% dan 15,2%. Insufisiensi dan defisiensi vitamin-D-25(OH) (<30ng/mL) didapatkan pada 90,6% pasien di kelompok studi. Tidak didapatkan perbedaan kadar vitamin-D-25(OH) yang bermakna antara kelompok studi dan kontrol dengan median rentang adalah 17(5.2-71.6)ng/ml dan 15.7(5.5-34.4)ng/ml. Hasil tersebut tidak diduga, karena 50 pasien mendapatkan suplementasi vitamin D lebih dari 400IU. Terapi kortikosteroid juga ditemukan berpengaruh terhadap kadar vitamin-D-25(OH). Kadar vitamin-D-25(OH) tidak berhubungan dengan EDSS.
Kesimpulan. Insufisiensi dan defisiensi vitamin-D didapatkan pada orang dengan MS dan NMO di Jakarta, namun kadarnya tidak berhubungan dengan EDSS. Tenaga kesehatan juga perlu mewaspadai rendahnya kadar vitamin-D pada pasien yang menggunakan kortikosteroid. Kontrol normal juga memiliki kadar vitamin-D yang rendah walaupun tinggal di negara dengan paparan sinar matahari yang cukup. Temuan ini menunjukkan risiko kekurangan vitamin-D pada masyarakat yang tinggal di Jakarta.

Introduction. Vitamin-D-25(OH) deficiency is common in Multiple Sclerosis (MS) and Neuromyelitis Optic (NMO) patients and can affect the immunological process. We performed study to evaluate serum vitamin-D-25(OH) levels in MS and NMO patients compared to healthy control.
Methods. This is a cross sectional study done in Cipto Mangunkusumo Hospital Jakarta from November 2016 May 2017. We reviewed dietary recall, vitamin-D supplementation, sun exposure, medication, annual relapse rate and expanded disability status scale (EDSS). Vitamin-D-25(OH) level was measured using direct competitive chemiluminescence immunoassay (CLIA).
Results. Thirty two patients (18 MS and 14 NMO) and 33 controls were enrolled. Male patients and controls were 12,5% and 15,2%, respectively. Vitamin-D insufficiency and deficiency (<30ng mL) among patients reached 90,6% and not associated with EDSS. It was not significantly different between patients and control, with median (range) 17(5.2-71.6)ng/ml and 15.7(5.5-34.4)ng/ml respectively. The result was unexpected because 50 patients received vitamin-D supplementation. Corticosteroid used also influenced the vitamin-D levels.
Conclusion. Vitamin-D insufficiency and deficiency was common in MS and NMO patients in Jakarta but not associated with EDSS. Practitioners need to be alert to vitamin-D low level particularly in patients using corticosteroid. Healthy control also had low vitamin-D concentrations though they lived in a sufficient sun exposure country. This finding suggests a risk of vitamin-D deficiency among community living in Jakarta.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2017
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Andang Tjahjandi
"Penggunaan BBM di Indonesia masih didominasi oleh penggunaan bensin bertimbal, sehingga makin besar konsumsi energi BBM dari bensin bertimbal, maka makin tinggi tingkat pencemaran timbal (Pb) di udara ambien. Efek Pb terhadap sistem haemapoietic menyebabkan berkurangnya synthesis haemoglobin dan rnenyebabkan anemia. Di Kota Sukabumi saat ini penggunaan bahan bakar minyak (BBM) masih didominasi oleh penggunaan bensin bertimbal. Salah satu pekerja yang memiliki resiko tinggi terpapar Pb adalah pegawai UPTD Terminal Dinas Perhubungan Kota Sukabumi. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui Pb di udara ambien dan hubungannya dengan Pb dalam darah serta kejadian anemia pada pegawai UPTD Terminal Dinas Perhubungan Kota Sukabumi Tahun 2007.
Desain penelitian yang digunakan adalah cross sectional. Populasi dan sampel adalah pegawai UPTD Terminal, dengan besar sampel sebanyak 44 pegawai yang diambil secara total sampling. Data yang diperoleh selanjutnya diolah secara statistik menggunakan teknik analisis distribusi frekuensi dan uji chi square.
Dari hasil penelitian diperoleh bahwa : ada hubungan yang signifikan antara kadar Pb di udara ambien pada lingkungan kerja dengan kadar Pb dalam darah pada pegawai, ada hubungan yang signifikan antara kadar Pb dalam darah dengan kadar Hb darah pada pegawai, dan ada hubungan yang signiiikan antara umur dengan kadar Pb dalam darah pada pegawai UPTD Terminal. Selanjutnya, didapat bahwa tidak ada hubungan yang signifikan antara; kebiasaan merokok, memakai masker, dengan kadar Pb dalam darah pada pegawai UPTD Temainal.
Hasil penelitian ini semakin memperjelas betapa pentingnya pengendalian pencemaran udara khususnya pencemaran Pb di udara Upaya penghapusan bensin bertimbal sudah tidak dapat ditunda lagi untuk mencegah dampak kesehatan dan kerugian biaya yang ditanggung oleh masyarakat.

BBM usage in Indonesia still dominated by lead gasoline, so that consumption of BBM energy from lead gasoline increasing, then lead (Pb) pollution level in ambient air is more and more increasing. Pb effect toward haemopoietic system caused the decreasing of hemoglobin synthesis and causing anemia. At Sukabumi recently, BBM usage still dominated by lead gasoline usage. One of the workers that has high risk of exposed to Pb is Terminal UPTD employee of Sukaburni City Transportation Department. The purpose of the study is to find out the relation between Pb in the ambient air and Pb in blood and anemia cases of transportation department a employees of UPTD terminal at Sukabumi 2007.
Research design used is cross sectional. Population and sample are Tenninal UPTD employee, with total samples of 44 employees that gathered by total sampling. Further obtained data processed statistically using analysis technique of frequency distribution and chi square test.
From research result, obtained that: there is significant relation between Pb level in ambient air of working environment with Pb level in employees blood, there is significant relation between Pb level in blood and blood Hb in employees, and there is significant relation between age and Pb level in employees blood of Terminal UPTD. Accumulation of Pb level could not define in those employees blood because exposed to Pb in ambient air of work environment Furthermore, obtained that there are no signiiicant relations between smoking behaviors along as well as using mask with Pb level in employees? blood of Terminal UPTD.
The result of this research clarifies the importance of controlling air pollution especially from Pb contamination. The effort for elimination of gasoline containing Pb can not be delay to prevent the impact to health and the loss of expense that burden by the people."
Depok: Universitas Indonesia, 2007
T23770
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Yohanes Handoko
"Tujuan: Penelitian ini membandingkan kadar 25- OH -vitamin D3 pada serum maternal, darah tali pusat dan jaringan plasenta pada ibu hamil normal dan preeklamsia. Metode: Penelitian ini merupakan studi potong lintang dengan jumlah sampel 86 pasien yang melakukan persalinan di RS Cipto Mangunkusumo dan RSUD Tangerang. Setelah itu data disajikan dalam tabel dan dianalisis dengan uji parametrik, yaitu uji-t berpasangan bila sebaran data normal atau uji non parametrik, yaitu uji Mann-Whitney bila sebaran data tidak normal Hasil: Didapatkan kadar 25- OH -vitamin D3 serum maternal kelompok preeklamsia sebesar 16.30 6.20-49.00 ng/mL sedangkan pada sampel kelompok tidak preeklamsia, sebesar 13.50 4.80 ndash; 29.20 ng/mL di mana didapatkan nilai p = 0,459, dengan tidak ada perbedaan bermakna secara statistik. Didapatkan kadar 25- OH -vitamin D3 tali pusat kelompok preeklamsia sebesar 11.80 3.50 ndash; 38.60 ng/mL sedangkan kelompok tidak preeklamsia sebesar 11.70 1.00 ndash; 28.80 ng/m, di mana didapatkan nilai p = 0.964, dengan tidak ada perbedaan bermakna secara statistik. Didapatkan kadar 25- OH -vitamin D3 jaringan plasenta kelompok preeklamsia sebesar 49.00 22.00 ndash; 411.00 ng/mL. sedangkan kelompok tidak preeklamsia, sebesar 43.40 11.80 ndash; 153.00 ng/mL, di mana didapatkan nilai p 0.354 dengan tidak ada perbedaan bermakna secara statistik Didapatkan hasil kadar 25- OH -vitamin D3 serum kelompok preeklamsia awitan dini sebesar 10.80 6.20 ndash; 41.90 ng/mL sedangkan kelompok preeklamsia awitan lanjut sebesar 18.00 7.00 ndash; 49.00 ng/mL dengan nilai p = 0,133, di mana tidak didapatkan perbedaan bermakna secara statistik. Didapatkan hasil kadar 25- OH -vitamin D3 tali pusat kelompok preeklamsia awitan dini sebesar 10.65 3.50 ndash; 38.60 ng/mL. sedangkan pada kelompok preeklamsia awitan lanjut, sebesar 12.65 6.40 ndash; 33.20 ng/mL. di mana didapatkan nilai p = 0.377 dengan tidak didapatkan perbedaan bermakna secara statistik. Didapatkan kadar 25- OH -vitamin D3 pada jaringan plasenta kelompok preeklamsia sebesar 79.00 36.00 ndash; 411.00 ng/g. sedangkan pada kelompok tidak preeklamsia sebesar 40.00 22.00 ndash; 171.00 ng/g. di mana didapatkan nilai p 0.006, dengan didapatkan perbedaan bermakna secara statistik pada rerata kadar 25- OH -vitamin D3 jaringan plasenta Kesimpulan: Tidak terdapat perbedaan bermakna secara statistik pada rerata kadar 25- OH -vitamin D3 pada darah serum, tali pusat dan jaringan maternal pada wanita preeklamsia dan tidak preeklamsia. Tidak terdapat perbedaan bermakna secara statistik pada rerata kadar 25- OH -vitamin D3 pada darah serum dan tali pusat pada wanita preeklamsia dan tidak preeklamsia Terdapat perbedaan bermakna secara statistik pada rerata kadar 25- OH -vitamin D3 pada plasenta wanita preeklamsia dan tidak preeklamsiaKata kunci: 25- OH -vitamin D3, preeklamsia, serum, tali pusat, jaringan plasenta

Abstract Objective: This study is designed for comparing 25- OH -vitamin D3 levels in maternal serum, cord blood and placental tissue in non preeclampsia and preeclampsia pregnant women.Methods: This study is a cross sectional study with the number of samples of 86 patients who deliver in Cipto Mangunkusumo Hospital and Tangerang District Hospital. After that the data is presented in the table and analyzed by parametric test, ie paired t-test when the distribution of normal data or non parametric test, ie Mann-Whitney test when the data distribution is not normal..Results: The serum maternal 25- OH -vitamin D3 levels of preeclampsia group were 16.30 6.20-49.00 ng / mL while in the non-preeclamptic sample group, 13.50 4.80 - 29.20 ng / mL were obtained p = 0.459, with no statistically significant difference . The umbilical cord 25- OH -vitamin D3 levels of preeclampsia group were 11.80 3.50 - 38.60 ng / mL while the preeclampsia group was 11.70 1.00 - 28.80 ng / m, where p = 0.964 was obtained, with no statistically significant difference. Obtained 25- OH -vitamin D3 levels of placental tissue in the preeclampsia group by 49.00 22.00 - 411.00 ng / mL. while the group did not preeclampsia, amounting to 43.40 11.80 - 153.00 ng / mL, where p value of 0.354 was obtained with no statistically significant difference Earning serum 25- OH -vitamin D3 serum pre-eclampsia group onset was 10.80 6.20 - 41.90 ng / mL whereas the onset of pre-eclampsia group was 18.00 7.00 - 49.00 ng / mL with p value = 0.133, where no statistically significant difference was obtained. The results of the umbilical cord 25- OH -vitamin D3 levels of early onset preeclampsia group were 10.65 3.50 - 38.60 ng / mL. whereas in the onset of pre-eclampsia group, it was 12.65 6.40 - 33.20 ng / mL. where obtained p value = 0.377 with no statistically significant difference. Obtained 25- OH -vitamin D3 levels in placental tissue preeclampsia group of 79.00 36.00 - 411.00 ng / g. while in the pre-eclampsia group was 40.00 22.00 - 171.00 ng / g. where obtained p value of 0.006, with statistically significant difference in mean 25- OH -vitamin D3 levels of placental tissueConclusion: There was no statistically significant difference in mean serum 25- OH -vitamin D3 levels in serum, cord blood and maternal tissue in women with preeclampsia and not preeclampsia. There was no statistically significant difference in mean 25- OH -vitamin D3 levels in serum and umbilical blood in pre-eclampsia and non-preeclampsia women. There were statistically significant differences in mean 25- OH -vitamin D3 levels in female placenta preeclampsia and not preeclampsia Keywords: 25- OH -vitamin D3, preeclampsia, serum, umbilical cord, placental tissue "
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2018
T57669
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>