Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 105472 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Afiffa Mardhotillah
"Latar belakang: Enterokolitis nekrotikans merupakan salah satu komplikasi pada bayi prematur dengan angka mortalitas tinggi. Patogenesis terjadinya enterokolitis nekrotikans hingga kini belum dipahami namun bersifat multifaktorial. Berbagai penelitian mengaitkan enterokolitis nekrotikans dengan transfusi sel darah merah. Salah satu upaya untuk mencegahnya adalah dengan melakukan puasa saat transfusi, namun hingga kini masih bersifat kontroversial. Tujuan: Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui hubungan puasa saat menjalani transfusi sel darah merah dengan kejadian enterokolitis nekrotikans pada bayi prematur. Metode: Penelitian menggunakan desain studi kohort retrospektif dilakukan di Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo menggunakan data rekam medis. Bayi prematur yang dirawat di Unit Perinatologi RSCM dalam periode Januari 2019 hingga Desember 2023 dan menjalani transfusi sel darah merah, serta memenuhi kriteria inklusi dan eksklusi diikutsertakan dalam penelitian. Subyek kemudian dikelompokkan berdasarkan puasa atau tidak puasa saat menjalani transfusi sel darah merah. Diagnosis enterokolitis nekrotikan ditegakkan melalui hasil foto polos abdomen. Dilakukan pula pencatatan terhadap status maternal, usia gestasi, data antropometri saat lahir, skor APGAR usia 5 menit, jenis nutrisi enteral saat dilakukan transfusi sel darah merah. Hasil: Sebanyak 240 bayi prematur yang menjalani transfusi sel darah merah diikutsertakan dalam analisis. Seratus empat puluh empat bayi lelaki (60,0%), dengan rerata usia gestasi 31 (SD 2,69) minggu dan median berat lahir 1.256 (RIK 1.005-1.653) gram. Enterokolitis nekrotikans ditemukan pada 23,75% subyek dan EKN awitan dini lebih banyak ditemukan yaitu sebanyak 54,39% subyek. Proporsi bayi yang dipuasakan mengalami EKN lebih rendah dibandingkan yang tidak dipuasakan (22,09% dan 27,94%). Tidak ditemukan hubungan bermakna secara statistik antara kejadian EKN pada kelompok puasa dibandingkan kelompok tidak puasa saat menjalani transfusi sel darah merah (RR 1,081 (IK 95% 0,913-1,279). Kesimpulan: Puasa saat transfusi sel darah merah tidak memiliki hubungan bermakna secara statistik menurunkan kejadian enterokolitis nekrotikans.

Background: Complications due to prematurity are major problems for premature infants. Necrotizing enterocolitis has been one of the most considered complication with high mortality rate. Pathogenesis of necrotizing enterocolitis yet to be fully understood, however multiple factors were proven to be associated. Transfusion associated necrotizing enterocolitis has been studied in many researches. Withholding feeds during red blood cell transfusion were postulated to decrease the rate of necrotizing enterocolitis in premature infants, however controversy still found among the research published. Objective: This study aimed to evaluate the association between withholding feeds during red blood cell transfusion and incidence of necrotizing enterocolitis in premature infants. Method: We conducted a retrospective cohort study in Cipto Mangunkusumo Hospital. Premature infants admitted from January 2019 to December 2023 who received red blood cell transfusion were selected according to inclusion and exclusion criteria. Subjects were divided into two group by looking at withholding feeds status during transfusion or fed during transfusion. Necrotizing enterocolitis was diagnosed by radiologist using abdominal radiograph. Maternal status, gestational age, birth anthropometric measurement, 5-minutes APGAR score, and type of enteral nutrition (breast milk or formula) while receiving red blood cell transfusion were recorded. Results: Two hundred and forty subjects included in this study. Among all subjects, male infants 144 (60%), mean gestational age was 31 (SD 2,26) weeks, and median birthweight was 1.256 (IQR 1,005-1.653) grams. Necrotizing enterocolitis were slightly lower in withholding feeds during transfusion group compared to fed group (22,09% and 27,94%, respectively). No association was found between withholding feeds during red blood cell transfusion compared to fed during transfusion with incidence of necrotizing enterocolitis (RR 1,081 (95% CI 0,913-1,279). Conclusion: Withholding feeds during red blood cell transfusion did not significantly decrease the incident of necrotizing enterocolitis in this study."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2024
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Wardhana
"Latar belakang: Enterokolitis nekrotikans EKN merupakan inflamasi pada saluran cerna yang sering terjadi pada bayi prematur. Lactobacillus reuteri merupakan mikroorganisme hidup yang dilaporkan dapat mencegah kejadian EKN, intoleransi minum dan menurunkan angka mortalitas.
Tujuan: Mengidentifikasi kejadian EKN pada bayi prematur yang mendapat Lactobacillus reuteri DSM 17938 dan sekunder kejadian sepsis, intoleransi minum, waktu mencapai full feeding, lama hari perawatan, efek samping dan kematian.
Metode: Uji klinis acak tersamar ganda membandingkan pemberian Lactobacillus reuteri dengan plasebo pada neonatus usia gestasi 28-34 minggu dan berat lahir 1000-1800 gram di Rumah Sakit Dr. Cipto Mangunkusumo. Masing-masing kelompok terdiri dari 47 subjek.
Hasil: Kejadian EKN stadium 2 dan 3 didapatkan 3 subjek 6,4 pada kelompok plasebo dan tidak ada ada pada kelompok probiotik RR 1,07 IK 95 0,99-1,15, p=0,24 . Intoleransi minum berupa muntah, kembung, atau keduanya lebih rendah pada kelompok probiotik dibandingkan plasebo 8,5 vs. 25,5 , RR 0,33 IK 95 0,12-0,96, p=0,03 . Proven sepsis pada kelompok probiotik dan plasebo tidak berbeda bermakna 2,1 vs. 6,4 , p=0,62 . Waktu mencapai full feeding dan lama perawatan tidak didapatkan perbedaan bermakna antara kedua kelompok. Efek samping yang diobservasi berupa diare tidak berbeda bermakna antara kedua kelompok 2,1 vs. 4,3 , p=1,00 . Kematian tidak berbeda bermakna antara kedua kelompok 2,1 vs. 8,5 , p=0,36.
Simpulan: Kejadian EKN terjadi pada kelompok plasebo sebesar 6,4 dan tidak ada pada kelompok probiotik. Intoleransi minum secara bermakna lebih rendah pada kelompok probiotik dibandingkan plasebo. Luaran sekunder proven sepsis, waktu mencapai full feeding, lama perawatan, efek samping diare dan kematian tidak didapatkan perbedaan bermakna antara kedua kelompok.

Background: Necrotizing enterocolitis NEC is an inflammatory disorder of the gastrointestinal tract that often occurs in preterm infants. Lactobacillus reuteri is a living microorganism that has been reported to prevent NEC.
Objectives: Identify the NEC prevalence in preterm infants receiving Lactobacillus reuteri DSM 17938 with secondary outcomes including sepsis, feeding intolerance, time to reach full feeding, length of stay, adverse effects, and mortality.
Methods: Double blind randomized controlled trial of Lactobacillus reuteri DSM 17938 versus placebo in 28 34 weeks of gestational neonates and birth weight 1000 1800 grams at Dr. Cipto Mangunkusumo Hospital. Each group consisted of 47 subjects.
Results The prevalence of NEC stages 2 and 3 were found in three subjects 6,4 of the placebo whereas none occurred in the probiotic RR 1.07, 95 CI 0.99 1.15, p 0.24 . Feeding intolerance vomiting, distension, or both were found to be lower in the probiotic compared to the placebo 8.5 vs 25.5 RR 0.33 95 CI 0.12 0.96, p 0.03. No significant differences were found between both groups for the proven sepsis, time to reach full feeding, length of stay, and adverse effects of diarrhea. Mortality rates were 2.1 in the probiotic and 8.5 in the placebo, p 0.36.
Conclusion 6,4 of the placebo group experienced NEC whereas none occurred in the probiotic group. Feeding intolerance was found to be significantly lower in the group receiving probiotics compared to the placebo group. Secondary outcomes including proven sepsis, time to reach full feeding, length of stay, adverse effect diarrhea , and mortality were also not found to be significantly different between both trial groups.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2017
T57649
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Siregar, Charles
"Latar Belakang: Enterokolitis nekrotikans (EKN) adalah penyakit peradangan berat pada dinding usus menyebabkan cedera dan nekrosis usus. Foto polos abdomen (FPA) serial masih dianggap sebagai standar diagnosis dan evaluasi penyakit ini, namun pemeriksaan ini tidak akurat dan sering terlambat dalam pelaksanaannya serta mengakibatkan neonatus sangat prematur terpapar dengan radiasi. Karenanya diperlukan alat diagnostik yang lebih aman, non-invasif mudah pelaksanaannya dan akurat. Dua dekade terakhir pemeriksaan ultrasonografi abdomen (USGA) semakin berkembang dan memperlihatkan hasil yang baik dalam diagnosis EKN, akan tetapi penggunaan modalitas ini di Indonesia dan khususnya di RSCM masih belum banyak dilakukan.
Tujuan: Mendapatkan akurasi gambaran ultrasonografi abdomen (USGA) dibandingkan dengan foto polos abdomen (FPA) dalam menegakkan diagnosis EKN pada bayi sangat prematur tersangka EKN.
Metode: Penelitian uji diagnostik potong lintang ini dilakukan pada 40 neonatus sangat prematur berusia antara 28-32 minggu yang dirawat di RSCM Jakarta pada bulan November sampai Desember 2023. Pada Neonatus sangat prematur tersangka EKN yang memenuhi kriteria inklusi dan eksklusi dilakukan pemeriksaan USGA dan FPA. Kedua hasil pemeriksaan dibandingkan menggunakan tabel kontigensi 2x2. Didapatkan sensitivitas 83% dan spesifisitas 43%. Hasil nilai prediksi positif 38% dan nilai prediksi negatif 86%, dan rasio kemungkinan positif (LR+) 1,45 dan rasio kemungkinan negatif (LR-)  0,39.
Kesimpulan: Ultrasonografi abdomen lebih akurat untuk penapisan (screening) menengakkan diagnosis EKN pada Neonatus sangat prematur dibandingkan foto polos abdomen.

Background: Necrotizing enterocolitis (NEC) is a condition characterized by severe inflammation of the intestinal wall leading to intestinal injury and necrosis. Plain abdominal radiography has long served as the standard for the diagnosis and evaluation of NEC despite its low diagnostic accuracy, impracticality, and the risk this modality poses from exposing neonates to ionizing radiation. Therefore, a safer, non-invasive, easy-to-implement, and more accurate diagnostic tool is necessary for diagnosing NEC. Over the past two decades, knowledge about abdominal ultrasound has developed greatly and has been shown to be an excellent modality in diagnosing NEC. However, in Indonesia this modality is still not widely used for diagnosing NEC, especially at Cipto Mangunkusomo National Public Hospital (RSCM) Jakarta.
Objective: This study aimed to assess the accuracy of abdominal ultrasonography in diagnosing NEC compared to plain abdominal radiography in very premature neonates suspected of NEC.
Methods: A cross-sectional diagnostic test study was conducted on 40 very premature neonates aged between 28-32 weeks, who were treated at RSCM Jakarta from November to December 2023. Neonates suspected of NEC who met the inclusion and exclusion criteria underwent both abdominal ultrasound and plain abdominal radiography. The findings from these two examinations were compared using a 2x2 contingency table to establish the sensitivity and specificity. A sensitivity of 83% and a specificity of 43% were found for abdominal ultrasound. The study also found a positive predictive value (PPV) of 38%, a negative predictive value (NPV) of 86%, a positive likelihood ratio (LR+) of 1.45, and a negative likelihood ratio (LR-) of 0.39.
Conclusion: Abdominal ultrasonography was found to be a more accurate for screening  NEC in very premature neonates compared to plain abdominal radiography.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2024
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Rafindhra Adhitya Prihastama
"Latar belakang. Bayi kurang bulan merupakan masalah yang masih sering menghantui dunia kedokteran akibat komplikasi jangka pendek, jangka panjang, maupun kematian secara langsung. Salah satu komplikasi yang dapat muncul adalah enterokolitis nekrotikans, sebuah penyakit kegawatdaruratan gastrointestinal bersifat fatal. Enterokolitis nekrotikans sendiri dapat dicegah dengan pemberian ASI, salah satu metodenya adalah meneteskan ASI secara orofaringeal atau biasa disebut sebagai care.
Tujuan. Mengetahui perbandingan antara pemberian oral care dengan kejadian enterokolitis nekrotikans pada bayi kurang bulan, mengetahui sebaran karakteristik subjek penelitian (jenis kelamin, usia gestational, berat lahir, dan usia ibu, mengetahui angka kejadian enterokolitis nekrotikans pada bayi kurang bulan yang mendapat oral care, mengetahui angka kejadian enterokolitis nekrotikans pada bayi kurang bulan yang tidak mendapat oral care, dan mengetahui perbandingan angka kejadian enterokolitis nekrotikans antara bayi kurang bulan yang mendapat oral care dengan bayi yang tidak mendapat oral care.
Metode penelitian. Penelitian dilakukan dengan metode crosssectional komparatif pada bayi kurang bulan yang dirawat di NICU RSCM pada tahun 2016-2017 dengan jumlah total subjek sebanyak 144 orang dan dipilih secara random sampling. Sumber data merupakan rekam medis dan pengambilan data dilakukan selama 6 bulan dari Januari hingga Agustus 2018.
Hasil penelitian. Dari 144 pasien, didapatkan 72 bayi kurang bulan mendapat oral care dan 72 bayi kurang bulan tidak mendapat oral care. Dari kedua kelompok tersebut, ditemukan adanya perbedaan pada masa gestasi (p=0,006) dan berat lahir bayi (p=0.042). Pada 72 bayi kurang bulan yang mendapat oral care, terdapat 19 bayi kurang bulan yang mengalami enterokolitis nekrotikans dan pada 72 bayi kurang bulan lainnya yang tidak mendapatkan oral care, terdapat 9 bayi kurang bulan yang tidak mendapatkan oral care. Perbandingan kedua kejadian enterokolitis nekrotikans pada kedua kelompok tersebut adalah 26.4% banding 12.5%. Dengan menggunakan analisis kategorik, didapatkan hubungan antara oral care dengan kejadian enterokolitis nekrotikans (p=0.036).
Kesimpulan. Terdapat hubungan antara pemberian oral care dengan angka kejadian enterokolitis nekrotikans. Namun penelitian lebih lanjut dengan skala yang lebih besar harus untuk menentukan melihat hasil lebih spesifik dan lebih lanjut mengenai sebab-akibat.

Introduction. Premature infants still pose a big problem in the medicine due to its association with high morbidity and mortality. Necrotizing enterocolitis, or NEC, a gastrointestinal emergency case, is one of the complications that rises from prematurity. NEC can be prevented with breast milk, especially mothers own milk, through oropharyngeal administration, or in other words, oral care.
Objectives. To determine comparison between oral care administration with necrotizing enterocolitis incidence on preterm infants, to determine the distribution of subjects based on characteristic (gender, gestational age, birth weight, and mothers age), to determine the incidence of necrotizing enterocolitis on preterm infants with oral care administration, to determine the incidence of necrotizing enterocolitis on preterm infants without oral care, and to compare the incidence of necrotizing enterocolitis between preterm infant with and without oral care.
Methods. A cross-sectional study was conducted on preterm infants who were treated in Neonatal Intensive Care Unit of Cipto Mangunkusumo Hospital between 2016 and 2017. There were 144 subjects chosen by simple random sampling. Medical record from Perinatology Division was the source of data and data was taken from January until August 2018.
Result. From 144 Premature infant, there were 72 premature infants with oral care and 72 premature infants without oral care. In those two groups, two characteristics, gestational age (p=-0.006) and birth weight (p=0.042), were significantly different. There were 19 preterm infants with oral care and 9 preterm infants without oral care who suffered from necrotizing enterocolitis. The proportion of necrotizing enterocolitis in these two groups is 26.4%:12.5% The difference is significant (p=0.036).
Conclusion. There is a significant association between oral care and the incidence of necrotizing enterocolitis, though further larger studies must be conducted to obtain more detailed results.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2018
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Ria Syafitri Evi Gantini
"

Latar Belakang: Setiap individu memiliki antigen sel darah merah (SDM) yang unik pada membrannya. Terdapat lebih dari 300 antigen SDM yang dapat membagi darah ke dalam 36 sistem golongan. Adanya variasi pada antigen sel darah merah menyebabkan uji kecocokan darah antara pasien dengan donor wajib dilakukan guna mencegah terjadinya reaksi antara antigen donor dengan antibodi pasien. Pasien thalassemia memerlukan transfusi darah rutin yang dapat meningkatkan risiko terbentuknya aloantibodi, sehingga seringkali sulit untuk menemukan darah donor yang kompatibel. Unit Transfusi Darah (UTD), dalam rangka menjamin keselamatan pasien, harus mampu menyediakan darah donor tanpa antigen yang dapat menyebabkan reaksi transfusi. Pemeriksaan genotipe akan memberikan gambaran variasi antigen SDM donor, sehingga memudahkan pencarian donor yang sesuai untuk resipien.

Tujuan: Mengetahui adanya variasi genotipe antigen SDM pada donor sehingga dapat diupayakan penyerasian antigen darah donor untuk pasien transfusi berulang.

Metoda: Penelitian ini merupakan penelitian deskriptif observasional dengan desain potong lintang. Subyek pada penelitian ini adalah donor untuk pasien thalassemia. Sampel darah donor dikumpulkan untuk dilakukan pemeriksaan golongan darah ABO, Rhesus, ekstraksi DNA, dan genotipe antigen SDM.

Hasil dan Diskusi: Dari total 161 subyek penelitian, distribusi ABO/Rhesus donor adalah 68 subyek O+(42,24%), 43 subyek A+, 41 subyek B+, dan 9 subyek AB+. Setelah dilakukan pemeriksaan genotipe antigen SDM, didapatkan golongan darah dengan genotipe tersering untuk masing-masing golongan darah sebagai berikut Ce (98%) pada Rhesus, k/k (100%) pada Kell, Jka/Jkb (40,76%) pada Kidd, Fya/Fya (74,84%) pada Duffy, Dib/Dib (99,36%) pada Diego, Dob/Dob (80,89%) pada Dombrock, Coa/Coa (100%) pada Colton, Yta/Yta (98.09%) pada Cartwright, MN (47,37%), s (86,54%) pada MNS dan Lub/Lub (100%) pada Lutheran. Pada studi ini juga ditemukan beberapa antigen darah langka seperti cE (1,33%), cEe (2%), CEe (1,33%), Fyb (1,29%), DiaDib (0,64%), YtaYtb (1,91%), dan S (1,94%). Perlu diperhatikan antigen darah langka yang ditemukan pada donor/ populasi umum, bila ditransfusikan kepada pasien dengan antigen umum, dapat memicu timbulnya antibodi.

Kesimpulan: Pada penelitian ini ditemukan beberapa variasi genotipe antigen golongan darah pada donor, termasuk antigen langka. Perbedaan variasi antigen sel darah merah donor dan pasien dapat menyebabkan timbulnya aloantibodi, terutama pada pasien transfusi berulang. Oleh karena itu, pemeriksaan genotipe antigen SDM diharapkan dapat mengurangi reaksi transfusi dan meningkatkan keamanan pasien, terutama pasien yang membutuhkan transfusi berulang.

Kata kunci: antigen sel darah merah, genotipe, donor, aloantibodi


Background: Every individual has unique antigens on their red blood cells surface. There are more than 300 antigens of red blood cells that differentiate blood into 36 blood group systems. Due to the variation in antigen of red blood cell, it is a must to perform blood group matching between the patients and donors blood to prevent reactions between the donors antigen and patients antibody in the blood. Thalassemia patients require regular transfusions which resulting in the production of alloantibody, hence making it difficult to find compatible blood. Blood Transfusion Units (UTD) is required to provide blood without antigen that can trigger transfusion reaction to ensure patient safety. Red blood cell antigen genotyping from the donor can describe the variation of red blood cell antigen from the donor.

Aims: To identify the genotype variation of the donor red blood cells antigen, hence optimizing the donors antigen matching in patients with regular transfusion.

Methods: This was a descriptive observational study with cross sectional design. Subjects in this study were donor for thalassemia patients. Blood samples from donors underwent several examinations, such as the ABO blood type testing, Rhesus testing, DNA extraction, and red blood cell antigen genotyping.

Results and Discussions: From a total of 161 research subjects, the distribution of ABO/Rhesus blood grouping are 68 of O+(42,24%), 43 of A+, 41 of B+, and 9 of AB+. From the red blood cell antigen genotyping, variations of red cell antigens were found in several blood group systems as follows, Rhesus, Kidd, Kell, Duffy, MNS, Diego, Dombrock, Colton, Cartwright, and Lutheran. Our findings also shown several rare antigens such as cE (1,33%), cEe (2%), CEe(1,33%), Fyb (1,29%), DiaDib (0,64%), YtaYtb (1,91%), S (1,94%). It is important to note that rare blood antigens were found in donors/ general population, if blood is transfused to patients, it can trigger the alloantibody production.

Conclusion: Our study found there were genotype variations in the blood antigen of donor, some of them were rare types. The difference of red blood cell antigen between donors and patients may lead to the development of alloantibody, especially in patients who need multiple transfusion. Therefore, red blood cell antigen genotyping is expected to decrease the incidence of transfusion reactions and increase patient safety, especially in patients that required multiple transfusions.

Keywords: Red blood cells antigen, genotyping, donor, alloantibody

"
Depok: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2020
D-Pdf
UI - Disertasi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Dandan Marthadani
"Latar belakang. Enterokolitis nekrotikan (EKN) merupakan penyakit inflamasi akut pada saluran cerna neonatus, terutama neonatus kurang bulan (NKB). Penyebab terjadinya EKN hingga saat ini belum diketahui tetapi terdapat beberapa faktor risiko yang berhubungan dengan kelainan tersebut.
Tujuan. Mengetahui rerata usia dan faktor risiko terjadinya EKN pada NKB.
Metode. Penelitian ini merupakan penelitian kohort retrospektif berdasarkan data rekam medis NKB yang dirawat selama periode Januari 2017-Desember 2019 di Divisi Neonatologi Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo (RSCM). Analisis faktor risiko menggunakan analisis bivariat dan multivariat.
Hasil. Sampel yang didapatkan sebanyak 160 subyek. Rerata usia terjadinya EKN adalah 11,38 hari. Analisis bivariat didapatkan faktor risiko berat lahir <1500 gr (p=0,006, RR 2,623, IK 95% 1,302-5,282), usia gestasi <32 minggu (p=0,009, RR 2,531, IK 95% 1,246-5,141), dan pemberian antibiotik ≥5 hari (p=0,007, RR 4,831, IK 95% 1,391-16,780) meningkatkan risiko terjadinya EKN. Hasil analisis multivariat pada faktor risiko berat lahir, usia gestasi, pemberian antibiotik, dan jenis nutrisi enteral tehadap terjadinya EKN, tidak didapatkan hasil yang bermakna secara statistik. Faktor prenatal dan intrapartum tidak dapat diketahui karena keterbatasan data.
Kesimpulan. Rerata usia terjadinya EKN adalah usia 2 minggu pertama kehidupan neonatus. Faktor risiko terjadinya EKN bersifat multifaktorial dan terdapat kecenderungan dipengaruhi oleh berat lahir rendah, usia gestasi yang muda, serta pemberian antibiotik ≥5 hari.

Background. Necrotizing enterocolitis (NEC) is an acute inflammatory disease of gastrointestinal tract that commonly occurs in newborns, particularly with preterm birth. To date, the cause of NEC is not known, however several risk factors contribute to the occurrence of this disease.
Objective. To investigate mean age and risk factors of NEC in premature newborns.
Methods. A retrospective cohort study was conducted using secondary data from medical records of premature infants hospitalised since January 2017 until December 2019 in Neonatology Division, Cipto Mangunkusumo Hospital, Jakarta. Risk factors was analysed using bivariate and multivariate analysis.
Results. A total of 160 subjects were obtained and analysed. Mean age of NEC occurrance is 11,38 days. Bivariate analysis showed birth weight <1500 gram (p=0,006, RR 2,623, 95% CI 1,302-5,282), gestational age <32 weeks (p=0,009, RR 2,531, 95% CI 1,246-5,141), and antibiotics administration ≥5 days (p=0,007, RR 4,831, 95% CI 1,391-16,780) were associated with increased risk of NEC. However multivariate analysis revealed birth weight, gestational age, antibiotics administration, and enteral nutrition type showed no association with NEC occurrence. Prenatal and intrapartum factors were not studied due to lack of data.
Conclusion. Mean age of occurrence is within the first 2 weeks of life. Risk factors of NEC are multifactorial and tend to be related with smaller gestational age, low birth weight, and antibiotic use ≥5 days.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2020
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Nadia Ayu Mulansari
"Latar Belakang: Kondisi besi berlebih, dengan feritin dan saturasi transferin sebagai surrogate marker, akan menimbulkan oksigen radikal bebas (ROS) yang menyebabkan stress oksidatif. Malondialdehid (MDA) merupakan ROS yang terbentuk dari peroksidase lemak sedangkan (manganese)superoksid dismutase (MnSOD) sebagai enzim yang mengubah radikal bebas oksigen menjadi oksigen biasa. Transfusi darah sering digunakan untuk mengatasi anemia pada kanker, namun juga berpotensi meningkatkan beban besi pada tubuh. Penelitian ini melihat peran transfusi darah terhadap feritin serum dan saturasi transferin serta kaitannya dengan stres oksidatif pada pasien kanker nasofaring.
Tujuan: Mengetahui peranan transfusi sel darah merah (SDM) dalam kaitannya dengan perubahan kadar feritin serum dan saturasi transferin serta korelasinya dengan stress oksidatif pada pasien kanker nasofaring (KNF) yang menjalani kemoradiasi.
Metode: Studi kohort prospektif. Pengambilan data dilakukan di klinik Hematologi-Onkologi Medik IPD RSCM Jakarta secara consecutive sampling pada bulan November 2015-Februari 2016. Pasien KNF yang menjalani kemoradiasi diperiksakan kadar feritin serum, saturasi transferin, MDA, MnSOD pra dan pasca terapi. Dilakukan pencatatan jumlah transfusi sel darah merah yang diterima. Analisa data menggunakan T-test/Mann Whitney dan uji korelasi Spearman.
Hasil: Total 38 pasien yang menjalani kemoradiasi, usia rata-rata 47 tahun, laki-laki dan perempuan 4:1. Sebanyak 18 pasien (47,4%) menerima transfusi sel darah merah selama pengobatan. Didapatkan peningkatan rerata saturasi transferin sebesar 15,1% (p=0,016) dan MDA sebesar 1,368 (p=0,001) pada pasien yang mendapatkan transfusi SDM dibandingkan yang tidak mendapatkan transfusi. Tidak didapatkan perbedaan yang signifikan pada feritin serum (p= 0,35) dan MnSOD (p= 0,496) antara yang mendapatkan transfusi SDM dengan yang tidak. Didapatkan korelasi lemah antara feritin serum dengan MDA dan MnSOD (r=0,239 dan r= -0,374) dan tidak didapatkan korelasi antara saturasi transferin dengan MDA dan MnSOD (r=0,191 dan r=0,027).
Simpulan: Terdapat peningkatan rerata saturasi transferin dan MDA pada pasien yang mendapatkan transfusi SDM. Tidak terdapat peningkatan feritin serum ataupun penurunan MnSOD. Terdapat korelasi yang lemah antara peningkatan kadar feritin serum dengan MDA dan MnSOD pada pasien KNF pasca kemoradiasi dan transfusi sel darah merah. Tidak terdapat korelasi antara kadar saturasi transferin dengan MDA dan MnSOD pada pasien KNF yang mendapat transfusi sel darah merah.

Background: The presence of free iron in the circulation will induce the formation of reactive oxygen species (ROS) which result in cell injury. The free radical formed and cause lipid peroxidation which in result cause formation of malondialdehyde (MDA). (manganese)Superoxide Dismutase (MnSOD) as antioxidant enzyme have anti tumor activity and the level often found low in cancer patient. Ferritin and transferrin saturation are predictor of iron overload. Blood transfusion is the therapy often used to resolve anemia in cancer, but also increase iron burden in body. This study focus on the role of blood transfusion to serum ferritin and transferrin saturation and its correlation with oxidative stress in patients with nasopharyngeal cancer (NPC).
Objective: To know the role of red blood cell (RBC) transfusion and its relations to serum ferritin and transferin saturation level and their correlation with oxidative stress in nasopharyngeal cancer patients undergoing chemoradiation.
Methods: Prospective study. Sample obtained with consecutive sampling method collected in the Hematology-Medical Oncology Clinic in Cipto Mangunkusumo Hospital Jakarta November 2015 to February 2015. NPC patients undergoing chemoradiation, blood examination performed to measure ferritin, saturation transferrin, malondialdehyde, MnSOD before and after treatment. During treatment the amount of transfusion received is recorded. Data analysis done using T-test/Mann Whitney and Spearman correlation test.
Results: Total of 38 patients received chemoradiation, mean age 47,97 years old, proportion man compare woman is 4:1. During treatment 18 patients (47,4%) received red blood cell transfusion. Difference in mean found between transferrin saturation 15,1% (p=0,016) and MDA serum 1,358 nM (p=0,001) in patient receiving RBC transfusion compare to subject not receving transfusion. There are no significantly differences in serum ferritin and MnSOD level between both group. We found a weak correlation between raise of serum ferritin to the raise of MDA and the declining of MnSOD (r = 0,239 and r= -0,374). There are no correlation between transferin saturation with MDA nor MnSOD
Conclusions : Increase in transferin saturation and MDA level found in NPC receiving RBC transfusion after chemoradiation. There is a weak correlation found between serum ferritin with MDA and MnSOD in nasopharyngeal cancer undergoing chemotherapy radiation therapy receiving RBC transfusion and no correlation between transferin saturation with MDA and MnSOD changes.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2016
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Adhariana Hk
"Prematuritas merupakan penyebab mortalitas dan morbiditas neonatus tertinggi. Sebagian besar prematur mendapat transfusi PRC berulang selama perawatan. Sementara itu, transfusi PRC berulang dapat meningkatkan kadar zat besi. Namun, hingga saat ini belum ada konsensus mengenai suplementasi besi pada prematur yang telah mendapat transfusi PRC berulang. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui status besi pada bayi prematur usia gestasi 28-32 minggu yang telah mendapat transfusi PRC berulang dan membuat rekomendasi mengenai pemberian suplementasi besi. Penelitian ini adalah penelitian kohort prospektif terhadap 70 bayi prematur yang lahir di RSCM bulan Maret 2021 – Mei 2021. Profil besi diperiksa usia kronologis 1, 2 dan 3 bulan. Hasil penelitian menunjukkan profil besi bayi prematur yang mendapat transfusi PRC > 2 kali lebih tinggi secara signifikan dibandingkan ≤ 2 kali (p<0,05). Titik potong total volume transfusi PRC yang menyebabkan status besi berlebih adalah PRC ≥ 50 mL/kgBB. Median feritin serum pada usia kronologis 1 bulan adalah 498,11 µg/L (358-885,62 µg/L), dua bulan adalah 232,66 µg/L (60,85-538,44 µg/L), tiga bulan adalah 42 µg/L (40,1-168,63 µg/L). Faktor risiko yang memengaruhi status besi berlebih pada bayi prematur adalah riwayat sepsis (OR 5,918 (IK 95%: 2,027-17,277)). Dari hasil penelitian disimpulkan bahwa bayi prematur yang mendapat transfusi PRC >2 kali memiliki profil besi yang lebih tinggi dibandingkan ≤ 2 kali pada usia kronologis 1 bulan. Bayi premtur yang mendapat transfusi PRC ≥ 50 mL/kgBB memiliki status besi berlebih di usia kronologis 1 bulan sehingga suplementasi besi sebaiknya diberikan pada usia kronologis 2 bulan.

Prematurity is the most common cause of neonatal mortality and morbidity. Most of the preterm infants received multiple PRC transfusions during hospitalization. Meanwhile, multiple PRC transfusions can increase iron levels. However, to date there is no consensus regarding iron supplementation in preterm who have received multiple PRC transfusions. The objective of this study are to determine iron status in premature infants aged 28-32 weeks who have received multiple PRC transfusions and make recommendations regarding iron supplementation. This study is a prospective cohort study of 70 preterm infants born at the Cipto Mangunkusumo Hospital in March 2021 – May 2021. Iron profiles were examined chronologically age at 1, 2 and 3 months of age. The result are the iron profile of preterm infants who received PRC transfusion was > 2 times significantly higher than ≤ 2 times (p<0.05). The cut-off point for the total volume of PRC transfusion that causes iron overload status is ≥ 50 mL/kgBW. The median serum ferritin at 1 month of age was 498.11 g/L (358-885.62 g/L), two months was 232.66 g/L (60.85-538.44 g/L), three months is 42 g/L (40.1-168.63 g/L). The risk factor influencing iron overload status in preterm infants was a history of neonatal sepsis (OR 5.918 (95% CI: 2.027-17.277)). The conclusion of this study are preterm infants who received PRC transfusion >2 times had a higher iron profile than ≤ 2 times at 1 month chronological age. Preterm infants who received PRC transfusions ≥ 50 mL/kgBW had iron overload status at 1 month of chronological age and therefore iron supplementation should be given at 2 months of chronological age."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2021
SP-Pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Luyyina Mujahidah Atsaury
"Skripsi ini membahas tentang permintaan produk Packed Red Cell (PRC) di Unit Transfusi Darah Palang Merah Indonesia di DKI Jakarta yang diperkirakan akan membuat rencana produksi guna menurunkan tingkat keluarnya darah yang terjadi akibat jumlahnya. produksi yang melebihi jumlah penggunaan. Penelitian ini berbentuk studi kasus dengan tipe kuantitatif. Dalam peramalan, data time-series penggunaan PRC bulanan digunakan selama lima tahun terakhir yaitu 2014 hingga 2018 yang dihitung dengan menggunakan metode Autoregressive Integrated Moving Average (ARIMA) dan Holt-Winter Exponential Smoothing. Hasil perhitungan dengan menggunakan metode ARIMA memberikan hasil peramalan yang lebih baik sehingga dapat digunakan sebagai acuan dalam membuat perencanaan produksi produk RRT. Dari hasil perencanaan produksi tersebut disarankan agar PMI DKI Jakarta mengalihkan sebagian dari rencana kunjungannya dalam rangka pengambilan darah ke PMI lain di sekitar Jakarta dan juga dapat menyalurkan jumlah produksi darah berlebih ke Bank Darah Rumah Sakit ( BDRS) atau PMI lain yang masih kekurangan suplai darah.

This thesis discusses the demand for Packed Red Cell (PRC) products at the Indonesian Red Cross Blood Transfusion Unit in DKI Jakarta, which is expected to make a production plan to reduce the rate of blood loss that occurs due to the amount. production that exceeds the amount of use. This research is in the form of a case study with a quantitative type. In forecasting, time-series data on the use of monthly PRC are used for the last five years, namely 2014 to 2018, which is calculated using the Autoregressive Integrated Moving Average (ARIMA) and Holt-Winter Exponential Smoothing methods. The results of calculations using the ARIMA method provide better forecasting results so that they can be used as a reference in planning the production of Chinese products. From the results of the production planning, it is suggested that PMI DKI Jakarta divert part of its planned visit in the context of taking blood to other PMIs around Jakarta and also be able to distribute the amount of excess blood production to Hospital Blood Banks (BDRS) or other PMIs that still lack blood supply."
Depok: Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia, 2019
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Dian Eko Astarini
"Latar belakang: Transfusi komponen Packed Red Cell (PRC) dengan metode pengurangan sel darah putih (PRC leukodepleted) mulai banyak digunakan untuk terapi pasien karena mampu mengurangi kejadian pasca transfusi yang tidak diinginkan. Jumlah perokok aktif di Indonesia yang cukup tinggi sehingga berpotensi besar menjadi pendonor darah karena belum ada regulasi yang mengaturnya. PRC leukodepleted pada perokok aktif beresiko besar mengalami kerusakan membran sel darah merah dan hemolisis akibat stres oksidatif yang terjadi karena akumulasi radikal bebas pada perokok aktif.
Tujuan: Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh stres oksidatif terhadap ketahanan membran PRC leukodepleted donor perokok aktif selama penyimpanan.
Metode: PRC leukodepleted diproduksi dari pendonor yang dikelompokkan menjadi kelompok pendonor non perokok (NP), pendonor perokok ringan (PR) dan pendonor perokok sedang (PS). Sampel penelitian dibagi menjadi 6 aliquot untuk diperiksa kadar malondialdehid (MDA), aktivitas enzim superoksida dismutase (SOD), uji fragilitas osmotik (osmotic fragility test, OFT) dan hemolisis pada hari ke 0, 7, 14, 21, 28 dan 35.
Hasil: Berdasarkan uji Kruskal Wallis ketiga kelompok menunjukkan perbedaan bermakna antara H0, H7, H14, H21, H28 dan H35 pada parameter MDA, SOD, OFT dan hemolisis yaitu dengan p<0,05. Dalam larutan NaCl 0,54 % pada uji OFT, terjadi hemolisis kelompok NP sebesar 17,53+12,16% pada H35; kelompok PR sebesar 34,10+7,92% pada H28; dan kelompok PS sebesar 30,92+5,98% pada H0.
Kesimpulan: Penyimpanan PRC leukodepleted selama 35 hari meningkatkan stres oksidatif. Stres oksidatif paling tinggi terjadi pada kelompok perokok sedang. Terdapat korelasi antara stres oksidatif dengan ketahanan membran sel darah merah.

Background: Packed Red Cell (PRC) transfusion without the leukocyte (leukodepleted PRC) method has begun to be widely used for patient therapy because it can reduce unexpected post-transfusion effects. The number of active smokers in Indonesia is quite high so they have a great opportunity to become blood donors, since there is no regulation yet. Leukodepleted PRC in active smokers are at great risk for red blood cell membran damage and hemolysis due to oxidative stress that occurs caused by accumulation of free radicals in active smokers. Objective: This study aim to determine the effect of oxidative stress on red blood cells membrane resistance of leukodepleted PRC in active smokers donors during storage. Methods: Leukodepleted PRC was produced from donors who were grouped into non-smoker donors (NP), light smoker donors (PR) and moderate smoking donors (PS). The research sample was divided into 6 aliquots to be examined for the malondialdehyde (MDA) level, activity of superoxide dismutase (SOD) enzyme, osmotic fragility test (OFT) and hemolysis on 0, 7, 14, 21, 28 and 35 days of storage. Results: The three groups showed significant differences between D0, D7, D14, D21, D28 and D35 on the parameters of MDA, SOD, OFT and hemolysis (p<0.05, Kruskal-Wallis test). In 0.54% NaCl solution of OFT test, NP group hemolysis was 17.53+12.16% on D35; PR group was 34.10+7.92% on D28; and the PS group was 30.92+5.98% on D0. Conclusion: Storage for 35 days increased the oxidative stress of leukodepleted PRC. The highest oxidative stress occurred in the moderate smoker (PS) group. Oxidative stress has correlation with red blood cell membrane resistance."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2021
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>