Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 77497 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Arif Lutfi
"Ketidakhadiran orang-orang terdekat seperti teman dan keluarga menjadi alasan seseorang melakukan relasi dengan orang asing. Hal ini karena kehadiran orang lain sebagai pendengar yang baik dapat meningkatkan kesejahteraan dalam diri seseorang, seperti pada fenomena Quarter Life Crisis dimana kehadiran orang lain menjadi sangat berarti. Namun, relasi seperti ini justru menunjukan egoisme eksistensialis subjek dilihat dari adanya sifat diri yang mengabaikan hakikat dari orang lain sebagai yang Liyan. Melalui metode studi pustaka pemikiran Emmanuel Levinas, tulisan ini menunjukan bahwa relasi dengan orang asing dapat menghadirkan relasi etis (the Ethical) melalui ‘Aku’ yang memberi tanggapan terhadap ‘wajah’ orang lain dan bertanggung jawab dengan menjadi pendengar (Being for the Others). Metode etik fenomenologi juga digunakan sebagai upaya pendekatan berbasis lived experience yaitu studi tentang makna akan realitas kehidupan yang dialami oleh subjek dengan berfokus pada orang lain sebagai yang Liyan (the Others).

The absence of friends and family is the reason why someone has relationships with strangers. This is because the presence of other people as good listeners can improve a person's well-being, such as in the Quarter Life Crisis phenomenon where the presence of other becomes very meaningful. However, a relationship like this shows existentialist egoism seen from the nature of the self which ignores the essence of other people as the Other. Using the literature study method of Emmanuel Levinas's thoughts, this article shows that relationships with strangers can present the Ethical relationship through the 'I' which responds to the 'face' of other people and takes responsibility by being a listener (Being for the Others). The phenomenological ethical method is also used as an approach based on lived experience, as the study of the meaning of the reality of life experienced by the subject by focusing on other people as the Others."
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia, 2024
TA-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Nabil Karim
"Meningkatnya angka harapan hidup menyebabkan kebutuhan perawatan jangka panjang orang lanjut usia, yang mayoritas diberikan oleh family caregivers. Family caregiver seringkali mengalami burden, terutama jika penyakit yang dimiliki anggota keluarga sulit untuk dirawat seperti demensia. Family caregiver orang dengan demensia seringkali mengalami penurunan dalam well-being. Salah satu hal yang dapat meningkatkan well-being adalah mindfulness. Penelitian ini bertujuan untuk melihat apakah terdapat hubungan yang positif dan signifikan antara mindfulness dengan well-being pada family caregiver orang dengan demensia. Penelitian ini juga bertujuan untuk melihat apakah terdapat hubungan yang positif dan signifikan antara mindfulness dengan setiap dimensi well-being (spirituality, positive social relations, basic needs, dan acceptance) pada family caregiver orang dengan demensia. Penelitian ini melibatkan sebanyak 38 family caregiver orang dengan demensia. Hasil penelitian menemukan bahwa tidak terdapat hubungan yang positif dan signifikan antara mindfulness dengan well-being pada family caregiver orang dengan demensia. Hasil penelitian juga menemukan bahwa dimensi spirituality, positive social relations, dan basic needs dari well-being tidak memiliki hubungan yang positif dan signifikan dengan mindfulness. Sementara itu dimensi acceptance dari well-being ditemukan memiliki hubungan yang positif dan signifikan dengan mindfulness. Penelitian ini diharapkan dapat menambah pengetahuan mengenai penggunaan mindfulness untuk meningkatkan well-being dari family caregiver orang dengan demensia.

The increase in life expectancy has increased the amount of long term care needed for the elderly, which is mostly given by family caregivers. Family caregivers are prone to experience burden, especially if they’re caring for people with harder-to-treat diseases like dementia. Family caregivers of people with dementia frequently experience decreased well-being. One of the things that can increase well-being is mindfulness. This study aimed to see if there was a positive and significant relationship between mindfulness and well-being in family caregivers of people with dementia. The study also aimed to see if there were positive and significant relationships between mindfulness and the dimensions of well-being (spirituality, positive social relations, basic needs, and acceptance) in family caregivers of people with dementia. The study involved 38 family caregivers of people with dementia. Analysis found no positive and significant relationship between mindfulness and well-being in family caregivers of people with dementia. Analysis also found that the well-being dimensions spirituality, positive social relations, and basic needs did not have a positive and significant relationship with mindfulness. The well-being dimension acceptance was found to have a positive and significant relationship with mindfulness. This study adds knowledge to what we know about using mindfulness to increase well-being in family caregivers of people with dementia."
Depok: Fakultas Psikologi Universitas Indonesia, 2023
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Akhmad Ramdhanu
"Penelitian ini ditujukan untuk melihat hubungan antara penggunaan Internet dengan psychological well-being pada mahasiswa Universitas Indonesia. Partisipan penelitian ini adalah mahasiswa program Sarjana Strata Satu dan Diploma Tiga Universitas Indonesia sebanyak 66 orang. Penggunaan Internet diukur dengan alat ukur Internet Attitude Scale yang dibuat oleh Eric B. Weiser pada tahun 2001.
Psychological well-being diukur dengan PWB Scale yang dikembangkan oleh Carol D. Ryff pada tahun 1995, dan telah diadaptasi ke dalam bahasa Indonesia oleh kelompok payung penelitian psychological well-being Fakultas Psikologi Universitas Indonesia pada tahun 2011 (Larasati, 2012). Berdasarkan hasil penghitungan korelasi Pearson Product Moment, diperoleh koefisien korelasi sebesar 0.362 dengan nilai signifikansi sebesar 0.003 (p<0.01). Ini menunjukkan bahwa terdapat hubungan yang signifikan antara penggunaan Internet dengan psychological well-being pada Mahasiswa Universitas Indonesia.

The objective of this study was to see the correlation between Internet use and psychological well-being among Universitas Indonesia students. Participants of this research were 66 students among undergraduate and vocational program of Universitas Indonesia. Internet use was measured using Internet Attitude Scale, constructed by Eric B. Weiser in 2001.
Psychological well-being was measured using PWB Scale constructed by Carol D. Ryff in 1995, and had been adapted by psychological well-being research group of Fakultas Psikologi Universitas Indonesia in 2011 (Larasati, 2012). The coefficient of Pearson Product Moment reported was 0.362, with 0.003 significance value (p<0.01). Those numbers indicated that there was significant correlation between Internet use and psychological well-being among Universitas Indonesia Students.
"
Depok: Fakultas Psikologi Universitas Indonesia, 2013
S45839
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Noori Lukman Pradipto
"Selama masa pandemi Covid-19, tantangan yang dihadapi oleh guru semakin berat
dengan strategi mengajar yang baru. Hal tersebut membuat guru kesulitan untuk
mempertahankan kesejahteraan psikologis mereka terutama guru perempuan yang mengajar di tingkat SD. Stres yang dirasakan oleh guru perempuan semakin bertambah dengan beban sebaga seorang ibu yang mengurus anak. Komunikasi antara anggota keluarga diasumsikandapat membantu guru untuk melewati masa sulit selama pandemi Covid-19. Penelitian inidilakukan untuk melihat peran pola komunikasi keluarga, baik dimensi conversation ataupun conformity, sebagai mediator dalam hubungan antara perceived social support dengan psychological well-being. Penelitian ini merupakan penelitian non-eksperimental dengan teknik pengambilan sampel convenient sampling dari guru perempuan. Hasil penelitian menunjukkan bahwa terdapat hubungan yang signifikan antara perceived social support
dengan psychological well-being baik secara langsung (β = 0.57, t(117) = 7.91, p = 0.000), maupun tidak langsung melalui pola komunikasi keluarga dimensi conversation (coefficient = 0.42, SE = 0.07, CI = 0.27 - 0.56). Di sisi lain, pola komunikasi keluarga yang mementingkan konformitas dalam berpendapat tidak berperan sebagai mediator karena tidak menunjukkan hubungan yang signifikan dengan psychological well-being (coefficient = -0.11, SE = 0.10, CI = -0.32 - 0.10, p = 0.300). Salah satu limitasi penelitian ini adalah penelitian
ini hanya dapat dilakukan masa pandemi akan tetapi hasil yang didapatkan mengimplikasikan bahwa dukungan sosial dari berbagai pihak sangat dibutuhkan oleh guru dalam menghadapi masa pandemi agar dapat menjadi bahagia, terlepas dari pola komunikasi di rumah. Meskipun demikian, pola komunikasi yang mementingkan kehangatan dalam berpendapat dan keterbukaan dapat menjadi salah satu bentuk dukungan sosial yang menunjang psychological well-being guru di situasi pandemi.

During the Covid-19 pandemic, teachers are facing more challenges such as new teaching strategies. Thus, makes it difficult for teachers to maintain their psychological well-being especially female teachers who teach elementary students. Some of those female teachers have responsibilities as mothers at home. The burden of caring for children in home increasing the stress felt by these teachers. It is assumed that communication between family members can help teachers through difficult times during the Covid-19 pandemic. This
research was conducted to see whether conversation or conformity dimension within family communication pattern can act as mediator in the relationship between perceived social support and psychological well-being. This research is non-experimental study with convenient sampling technique given to female teachers. The result indicates that there is significant relationship between perceived social support and family communication pattern, either directly (β = 0.57, t(117) = 7.91, p = 0.000) or indirectly through the conversation
dimension within family communication family patterns (coefficient = 0.42, SE = 0.07, CI = 0.27 - 0.56). On the other hand, family with high conformity dimension do not act as mediator in relationship between perceived social support and psychological well-being (coefficient = -0.11, SE = 0.10, CI = -0.32 - 0.10, p = 0.300). One of the limitation of this study is this study can only be conducted in pandemic Covid-19 situation but the results obtained shows that social support from various sources is needed by teachers in order to be mentally healthy and happy regardless of communication patterns at home. However, communication patterns that emphasize warmth and openness can be one of the social
support that teachers needed in this pandemic situation.
"
Depok: Fakultas Psikologi Universitas Indonesia, 2021
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Nova Wijayanti Christawan
"Studi ini menganalisis pengaruh basic psychological needs terhadap subjective well-being dari pekerja transportasi yang berpartisipasi dalam Gig-Economy (transport gig-worker) dan organizational identification, dengan menggunakan motivasi intrinsik dan ekstrinsik sebagai variabel mediasi. Dengan menggunakan self-determination theory, peneliti mencoba membuktikan bahwa on-demand work yang memenuhi basic psychological needs dari para gig-worker akan membentuk motivasi yang kemudian membentuk organizational identification dengan gig-economy company dimana gig-worker tersebut bekerjasama sebagai mitra, serta meningkatkan subjective well-being daripada transport gig-worker di Indonesia. Studi ini menganalisis 280 data survei yang dikumpulkan dari pekerja transportasi yang berpartisipasi dalam gig-economy di Indonesia. Hasil dari penelitian ini menunjukkan bahwa motivasi ekstrinsik sepenuhnya memediasi pengaruh positif dari basic psychological needs terhadap subjective well-being transport gig-worker di Indonesia, sedangkan motivasi intrinsik memediasi sebagian pengaruh positif basic psychological needs terhadap organizational identification di antara gig-worker. Studi ini diharapkan dapat membantu manajemen gig-economy company yang beroperasi di sektor transportasi untuk mengelola mitra atau gig-worker untuk meningkatkan subjective well-being dan mengembangkan organizational identification terhadap gig-economy company, mengingat organizational Identification dan subjective well-being adalah prediktor untuk melihat job satisfaction dari pekerja yang juga memengaruhi higher productivity dari pekerja gig-worker yang berkontribusi terhadap kesuksesan jangka panjang perusahaan.

This study analyzes the effect of basic psychological needs on transportation workers participating in the gig-economy (transport gig-workers) subjective well-being and organizational identification, by using Intrinsic and Extrinsic Motivations as mediating variables. By using self-determination theory, we argue that on-demand work that fulfills basic psychological needs of individual gig-workers will develop motivations, which further leads to organizational identification with the gig-economy firm and an enhanced subjective well-being. This study analyzes 280 survey data gathered from transportation workers participating in the gig-economy in Indonesia. samples were obtained using purposive sampling. empirical evidence from this study shows that extrinsic motivation fully mediated the positive influence of basic psychological needs to subjective well-being among transport gig-workers in Indonesia, whereas intrinsic motivation partially mediated the positive influence of basic psychological needs to organizational identification among gig-worker. This study is expected to help the management of gig-economy company operating in the transportation sector to manage its partners or gig-workers to achieve greater subjective well-being and develop organizational identification towards the gig-economy company, considering subjective well-being and organizational identification are predictors to see job satisfaction, and work performance that contributes to the firms long-term success."
Depok: Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia, 2020
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Ike Rachmawati Sugianto
"Pada umumnya, semua orang setelah dewasa akan menikah. Namun ada orang-orang yang belum menikah meskipun telah berusia lebih dari usia yang dianggap lazim untuk menikah, yang disebut orang lajang. Dengan mempertimbangkan definisi orang lajang dari Cargan dan Melko, teori perkembangan dari Havighurst dan usia rata-rata pernikahan di Indonesia, maka dalam penelitian ini yang dimaksud dengan orang lajang adalah orang-orang berusia 30 tahun atau lebih yang belum pemah menikah.
Kehidupan sebagai orang Iajang seperti memiliki dua sisi. Di satu pihak orang lajang memperoleh keuntungan-keuntungan dari kesendiriannya, tetapi di lain pihak ia juga harus menghadapi berbagai masalah dan stereotipe dari masyarakat yang sebagian besar bersifat negatif.
Dalam dua dekade terakhir ini jumlah orang lajang terus bertambah, termasuk di wilayah DKI Jakarta. Para ahli manca negara pun mcrasa tertarik untuk meneliti orang lajang, khususnya yang berkaitan dengan psychological well-being. Hasilnya ternyata kontroversial. Ada para ahli yang menemukan bahwa status Iajang berhubungan dengan psychological well-being dan ada pula yang tidak menemukan hubungan antara keduanya.
Selain hasil yang kontroversial, peneiitian-penelitian tersebut juga dilakukan di luar Indonesia dan pada tahun 80-an. Hal ini menimbulkan pertanyaan apakah hasil-hasil penelitian tersebut dapat diterapkan di Indonesia dan masih relevan dengan kehidupan masyarakat saat ini. Di samping itu, kehidupan orang lajang dengan segala keunntungan dan masalah yang diperoleh dari kesendiriannya menimbulkan pertanyaan, yaitu bagaimanakah psychological well-being mereka. Apakah ada hubungan yang signifikan antara status lajang dengan psychological well-being.
Selanjutnya karena adanya perbedaan kondisi antara pria lajang dengan wanita lajang, maka akan diteliti juga apakah ada perbedaan nilai rata-rata psychological well-being antara pria lajang dengan pria menikah; antara wanita lajang dengan wanita menikah, antara pria lajang dengan wanita lajang dan antara pria menikah dengan wanita menikah. Mengingat psychological well-being juga berkaitan dengan tingkat pendidikan diri tingkat penghasilan, maka juga diteliti apakah ada perbedaan psychological well-being pada subyek dengan tingkat pendidikan dan tingkat penghasilan yang berbeda.
Teori yang digunakan dalam penelitian ini adalah teori psychological well-being dari Ryff serta berbagai teori yang menggambarkan kehidupan orang lajang Penelitian ini merupakan penelitian kuantitatif dengan menggunakan kuesioner sebagai alat pengumpul data. Subyek yang digunakan dalam penelitian ini diambil dengan teknik incidental sampling dengan karakteristik pria atau wanita, belum pernah menikah atau yang sudah menikah, berusia 30-40 tahun, bekerja, tamat SLTA dan berdomisili di Jakarta Pengolahan data dilakukan dengan menggunakan perhitungan persentase, korelasi point-biserial dan ANOVA. Uji validitas dilakul-can dengan menggunakan teknik korelasi Pearson dan uji reliabilitas dilakukan dengan teknik alpha Cronbach.
Berdasarkan hasil penelitian, ditemukan tidak adanya hubungan yang signifikan antara status lajang dengan psychological well-being. Juga tidak ditemukan adanya perbedaan nilai rata-rata psychological well-being yang signifikan antara pria lajang dengan pria menikah; antara wanita lajang dengan wanita menikah; antara pria menikah dengan wanita menikah; antara pria lajang dengan wanita lajang; antara subyek dengan tingkat pendidikan berbeda dan antara subyek dengan tingkat penghasilan berbeda.
Hasil penelitian ini kemungkinan disebabkan karena alat yang tidak mengukur, presentase subyek yang kurang berimbang atau karena sebenarnya hubungan antara status Iajang dengan psychological well-being Iebih terkait dengan kualitas hidup melajang itu sendiri.
Saran yang disampaikan penulis bagi penelitian selanjutnya adalah penyempurnaan alat ukur, menggali lebih dalam mengenai kualitas hidup subyek serta melengkapi pengukuran kuantitatif dengan wawancara mendalam. Sedangkan saran-saran praktisnya adalah agar orang-orang lajang tidak perlu merasa rendah diri, dan kepada masyarakat agar dapat lebih menerima orang lajang sebagai bagian dari mereka, serta yang terakhir kiranya para konselor yang terkait dengan permasalahan orang lajang dapat menggunakan hasil ini untuk membantu orang lajang lebih memahami dirinya."
Depok: Fakultas Psikologi Universitas Indonesia, 1997
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Ghina Syukriya Maharani
"Penelitian ini bertujuan melihat kontribusi relasi parasosial terhadap tingkat well-being remaja penggemar idola K-Pop di Indonesia. Hipotesis yang diajukan adalah terdapat kontribusi yang signifikan dari relasi parasosial terhadap well-being. Penelitian dilakukan menggunakan metode korelasional regresi dengan teknik analisis simple regression pada 566 partisipan WNI berusia 15–19 tahun yang merupakan penggemar K-Pop. Alat ukur yang digunakan adalah Parasocial Interaction Scale Short Version untuk relasi parasosial dan EPOCH (Engagement, Perseverance, Optimism, Connectedness, dan Happiness) untuk well-being. Penyebaran kuesioner dilakukan secara daring menggunakan Google Form. Hasil penelitian menunjukkan bahwa relasi parasosial (M =2.90, SD = 0.39) berkontribusi secara positif dan signifikan sebesar 3.4% terhadap well-being (M = 3.04, SD = 0.47), F(1, 566) = 20.09, p < 0.001, R2 = 0.034. Kesimpulannya, hasil penelitian mendukung hipotesis, yaitu relasi parasosial berkontribusi terhadap tingkat well-being remaja penggemar idola K-Pop di Indonesia. Implikasi penelitian ini adalah penambahan pengetahuan terkait kontribusi yang dapat diberikan oleh relasi parasosial terhadap well-being.

This study aims to examine the contribution of parasocial relationship to Indonesian adolescence K-Pop idol fans’ well-being. The hypothesis stated that there is a significant contribution of parasocial relationship to well-being. This study was conducted using correlational regression method on 566 Indonesia citizens aged 15–19 years old who are K-Pop fans. The measuring instrument used is Parasocial Interaction Scale Short Version for parasocial relationship and EPOCH (Engagement, Perseverance, Optimism, Connectedness, and Happiness) for well-being. The questionnaire was distributed online using Google Form. Result showed that parasocial relationship (M = 2.90, SD = 0.39) positively contributed as significant as 3.4% to one’s well-being (M = 3.04, SD = 0.47), F(1, 566) = 20.09, p < 0.001, R2 = 0.034. In conclusion, the result of this study supports the hypothesis that parasocial relationship contributed to Indonesian adolescence K-Pop idol fans’ well-being. The implication of this study is to gain more knowledge related to the contribution of parasocial relationship to well-being."
Depok: Fakultas Psikologi Universitas Indonesia, 2022
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Tampubolon, Irene Natalia
"Penelitian ini bertujuan untuk mempcroleh gambaran kesejahteraan psikologis (psychological well-being) dari wanita Iajang yang berkarir. Metode penelitian yang digunakan adalah metode kuantitatif. Karakteristik subjck dalam penelitian ini adalah wanita berstatus lajang, berkarir yang herusia 28-40 tahun. Basil penyelidikan menunjukkan bahwa wanita lajang yang berkarir memiliki kesejahteraan psikologis yang tcrgolong cukup baik. Aninya, wzmita lajang dalam pcnclitian ini dapat mcnerima kekuatan dan kelemahan did apa adanya, memiliki hubungan positif dengan orang lain, mampu mengcmbangkan potensi cliri secara berkclanjulan, mampu untuk mcngarahkan tingkah laku scndiri, mampu mengalur Iingkungan, dan mcmiliki tujuan dalam hidup. Adapun dimensi pertumbuhan diri (personal growth) menunjukkan hasil yang paling tinge
The objective of this research is to capture a description of psychological well-being among single career women. The method applied in this research is quantitative. Characteristic of subject in this research is single women, with age ranging iiom 28 to 40 years old. Research result indicates that single career women have psychological well being that can be categorized as good). It can be interpreted that single women in this research accept both their strength and weakness as they are, maintain positive relationship with other individuals, capable of continuously developing their potential, of directing her own attitude/behavior, of putting order into their environment and have a sense of direction and purpose in life. Among others, 'personal growth' dimension yields the highest score."
Depok: Fakultas Psikologi Universitas Indonesia, 2008
T-pdf
UI - Tesis Open  Universitas Indonesia Library
cover
Raisya Nilam Sari
"Subjective Well-Being (SWB) remaja relatif menurun selama pandemi dan salah satu faktor yang dapat menjadi buffer adalah strength dan virtue dalam diri seseorang. Salah satu virtue tersebut adalah Intellectual Humility (IH) yang relatif memiliki hubungan positif dengan SWB secara umum. Penelitian ini meneliti hubungan IH dengan SWB sekolah (SWBS) yang merupakan salah satu domain khusus dari SWB pada remaja. Partisipan penelitian berjumlah 166 remaja awal umur 12-15 tahun yang merupakan siswa/i SMP Negeri. Alat ukur yang digunakan adalah CIHS (Krumrei-Mancuso & Rouse, 2016) dan BASWBSS (Tian et al., 2014) untuk mengukur kedua variabel. Hasil penelitian menunjukkan tidak ada hubungan yang signifikan antara variabel IH dengan SWBS, tetapi ada hubungan antara beberapa dimensi dalam IH (Openness to Revise One's Viewpoint dan Lack of Intellectual Overconfidenc) dengan SWBS beserta komponen kognitif di dalamnya. Saran untuk penelitian selanjutnya adalah perbaikan dalam metodologi dan prosedur pegambilan data, serta saran praktis bagaimana menanamkan IH pada siswa/i di sekolah sebagai upaya dalam meningkatkan kesejahteraan mereka yang telah melalui pembelajaran akademik di era pandemi.

Subjective Well-Being (SWB) of adolescence has relatively decreased during the pandemic and one of the factors that can be a buffer towards it is the strength and virtues possessed by individuals. One of these virtues is Intellectual Humility (IH) which relatively has a positive relationship with SWB in general. This study examines the relationship between IH and SWB in school (SWBS) which is a special domain for adolescents’ well-being. The participants of this study were 166 teenagers aged 12-15 years old who were students of a Public Junior High School. The CIHS (Krumrei-Mancuso & Rouse, 2016) and BASWBSS (Tian et al., 2014) were used as measuring tools in this study. The result of this study showed that there was no significant relationship between IH and SWBS, but there was a relationship between several dimensions in IH (Openness to Revise One's Viewpoint and Lack of Intellectual Overconfidence) with SWBS and its cognitive component. Suggestions for future research are improvements in methodology and data collection procedures, as well as practical suggestions on how to instill IH in students at school as an effort to improve the welfare of students who had gone through academic learning in the pandemic era."
Depok: Fakultas Psikologi Universitas Indonesia, 2023
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Phoebe Nathania
"Pandemi COVID-19 berdampak negatif pada tingkat wellbeing mahasiswa kedokteran. Perubahan gaya hidup dengan pembatasan aktivitas secara masif berpotensi berhubungan dengan tingkat wellbeing mahasiswa. Penelitian kohort retrospektif ini bertujuan untuk mengevaluasi hubungan aktivitas fisik dengan wellbeing pada mahasiswa kedokteran pada masa pandemi COVID-19. Penelitian menggunakan data sekunder melalui kuesioner PERMA (Positive Emotion, Engagement, Relationships, Meaning, and Accomplishment) dan logbook wellbeing. Penelitian ini dilaksanakan pada Januari hingga September 2023. Kuesioner PERMA digunakan untuk mengevaluasi wellbeing mahasiswa, sedangkan logbook wellbeing untuk mengevaluasi aktivitas fisik yang dijalani. Kuesioner PERMA dalam versi bahasa Indonesia telah divalidasi dan dipublikasi pada populasi mahasiswa kedokteran di Indonesia oleh Mustika dkk. Uji korelasi Spearman dilakukan untuk mengetahui signifikansi data dan mengevaluasi hubungan antara aktivitas fisik dengan wellbeing mahasiswa kedokteran. Penelitian ini memperlihatkan kecenderungan peningkatan risiko wellbeing yang buruk pada responden yang tidak berolahraga. Uji korelasi menunjukkan hubungan yang signifikan antara tingkat aktivitas fisik dan wellbeing, dengan korelasi positif dan tingkat korelasi yang rendah (r = 0.365; p <0.05). Jika seseorang melakukan aktivitas fisik, maka wellbeing akan terjaga dan cenderung mengalami tingkat wellbeing yang baik, meskipun terdapat faktor-faktor lain yang mempengaruhi tingkat wellbeing. Oleh sebab itu, tingkat aktivitas fisik berkorelasi positif dengan tingkat wellbeing mahasiswa kedokteran, dengan tingkat korelasi rendah.

COVID-19 pandemic has been found to negatively affect the wellbeing of medical students. Lifestyle changes with massive physical activity restrictions have the potential to be related to the wellbeing of medical students. This retrospective cohort study aims to evaluate the correlation between physical activity and wellbeing of medical students during the pandemic. This study was performed with secondary data through the PERMA questionnaire (Positive Emotion, Engagement, Relationships, Meaning, and Accomplishment) and the wellbeing logbook. The study was conducted from January to September 2023. The PERMA questionnaire was used to evaluate students’ wellbeing, while the logbook was used to evaluate physical activity. The Indonesian version of PERMA questionnaire was validated and published in a population of medical students in Indonesia by Mustika et al. Spearman's correlation test was conducted to determine the significance of the data and evaluate the relationship between physical activity and wellbeing. This study reported a tendency of increased risk of low wellbeing in respondents with no exercise. The correlation test shows a significant relationship between physical activity levels and wellbeing, with a weak positive correlation (r = 0.365; p <0.05). If someone does physical activity, their wellbeing will be maintained and they tend to experience a good level of wellbeing, even though there are other factors that influence the level of wellbeing. Thus, physical activity levels were positively associated with medical students’ wellbeing, with a weak correlation."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2023
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>