Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 215781 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Putu Eka Pujanta Putra
"Pendahuluan: Pasien penyakit paru obstruktif kronik (PPOK) yang mengalami eksaserbasi akan meningkatan angka morbiditas dan mortalitas. Berdasarkan Global Initiative for Chronic Obstructive Pulmonary Disease (GOLD), PPOK derajat sedang dan berat dapat diberikan antibiotik sebagai tata laksananya. Salah satu cara menilai ketepatan pemberian antibiotik adalah dengan menggunakan alur Gyssens. Penelitian ini bertujuan melihat proporsi ketepatan pemberian antibiotik berdasarkan alur Gyssens dan hubungannya dengan mortalitas, perbaikan klinis, kebutuhan ventilasi mekanis invasif dan perawatan berulang dalam satu tahun. Metode: Penelitian ini merupakan studi observasional dengan menggunakan desain penelitian kohort restrospektif. Sebanyak 161 pasien PPOK derajat sedang dan berat yang dirawat di RS Persahabatan Pusat Respirasi Nasional pada Januari 2022 hingga Desember 2023 mendapatkan terapi antibiotik. Pasien yang mendapatkan antibiotik selama perawatan dinilai ketepatannya sesuai alur Gyssens. Hasil: Berdasarkan ketepatan pemberian antibiotik sesuai alur Gyssens, sebanyak 93 subjek (62,8%) laki-laki dan lima subjek (38,5%) perempuan dengan rerata usia 64,34 (±9,62) tahun. Sebagian besar memiliki status merokok indeks Brinkman berat dengan kelompok PPOK grup E dan derajat esksaserbasi sedang. Hipertensi merupakan komorbiditas yang paling sering ditemukan. Terdapat hubungan bermakna antara ketepatan pembrian antibiotik dengan rerata lama rawat (p=<0,001). Proporsi ketepatan pemberian antibiotik sesuai alur Gyssens sebesar 60,9%. Antibiotik yang paling seering digunakan adalah levofloxacin. Hasil analisis bivariat menunjukkan tidak terdapat hubungan yang bermakna antara ketepatan pemberian antibiotik berdasarkan alur Gyssens dengan mortalitas, lama perbaikan klinis, penggunaan ventilasi mekanis invasif dan perawatan berulang dalam satu tahun. Kesimpulan: Proporsi pemberian antibiotik sesuai alur Gyssens pada pasien PPOK eksaserbasi derajat sedang dan berat sebesar 60,9%. Tidak terdapat hubungan yang bermakna secara statistik antara ketepatan pemberian antibiotik sesuai alur Gyssens dengan mortalitas, lama perbaikan klinis, penggunaan ventilasi mekanis invasif dan perawatan berulang dalam satu tahun.

Introduction: Patients with chronic obstructive pulmonary disease (COPD) experiencing exacerbations will increase morbidity and mortality rates. According to the Global Initiative for Chronic Obstructive Pulmonary Disease (GOLD), moderate and severe COPD can be treated with antibiotics. One way to assess the appropriateness of antibiotic administration is by using the Gyssens flowchart. This study aims to examine the proportion of appropriateness of antibiotic administration based on the Gyssens flowchart and its relationship with mortality, clinical improvement, need for mechanical ventilation and readmission within one year. Method: This study is an observational study using a retrospective cohort design. A total of 161 moderate and severe COPD patients treated at Persahabatan Hospital National Respiratory Center from January 2022 to December 2023 received antibiotic therapy. The appropriateness of antibiotic administration during treatment was assessed according to the Gyssens flowchart.. Results: Based on the appropriateness of antibiotic administration according to the Gyssens flowchart, there were 93 male subjects (62.8%) and five female subjects (38.5%) with a mean age of 64.34 (±9.62) years. Most of them had a heavy Brinkman smoking index with COPD group E and moderate exacerbation. Hypertension was the most commonly found comorbidity. There is a significant relationship between the appropriateness of antibiotic administration and length of stay (p=<0.001). The proportion of appropriateness of antibiotic administration according to the Gyssens flowchart was 60.9%. Levofloxacin was the most frequently used antibiotic. Bivariate analysis results showed no significant relationship between the appropriateness of antibiotic administration based on the Gyssens flowchart with mortality, duration of clinical improvement, use of invasive mechanical ventilation and readmission within one year. Conclusion: The proportion of antibiotic administration according to the Gyssens flowchart in patients with moderate and severe exacerbations of COPD is 60.9%. There is no statistically significant relationship between the appropriateness of antibiotic administration according to the Gyssens flowchart and mortality, duration of clinical improvement, use of invasive mechanical ventilation and readmission within one year"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2024
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Christofan Lantu
"[ABSTRAK
Penyakit paru obstruktif kronik (PPOK) merupakan penyebab utama morbiditas dan mortalitas di dunia.Beberapa faktor risiko PPOK juga merupakan faktor risiko terjadinya tuberkulosis (TB).Beberapa penelitian di luar ditemukan prevalens TB paru pada pasien PPOK sekitar 2,6% - 10%.Indonesia khususnya di RSUP Persahabatan belum ada data proporsi TB paru pada pasien PPOK.Objektif: tujuan penelitian ini adalah mendapatkan angka proporsi TB paru pada pasien PPOK di RSUP Persahabatan Jakarta.Metode: desain penelitian ini adalah potong lintang. Pasien PPOK (belum diobati dengan obat anti tuberkulosis) yang berkunjung di poliklinik Asma/PPOK RSUP Persahabatan yang memenuhi kriteria inklusi dan eksklusi.Subjek diperiksa dahak BTA dan pemeriksaan Xpert MTB/RIF. Saat pasien berkunjung, dilakukan anamnesis gejala, eksaserbasi, riwayat merokok, penggunaan kortikosteroid (oral atau inhalasi), komorbid, skor CAT, penilaian status gizi, spirometri dan foto toraks. Semua data dilakukan analisis dengan uji chisquare.Hasil: subjek terbanyak adalah laki-laki (97,3%) dengan kelompok usia 60-79 tahun (74,3%), dengan komorbid terbanyak penyakit jantung (41,9%), gejala klinis terbanyak batuk berdahak (81,1%). Berdasarkan derajat PPOK terbanyak adalah GOLD 3 (44,6%) dan frekuensi eksaserbasi tersering 0-1 (78,4%) dengan menggunakan steroid sebanyak 59,5%. Pada penelitian ini didapatkan pemeriksaan dahak BTA positif 1,4% dan Xpert MTB/RIF positif 2,7%, artinya pemeriksaan Xpert MTB/RIF mempunyai angka kepositifan lebih tinggi dibanding dahak BTA. Dalam penelitian ini didapatkan proporsi TB paru pada pasien PPOK sebanyak 2,7%.Dalam Penelitian ini tidak terdapat hubungan bermakna secara statistik antara derajat PPOK, status gizi, penggunaan kortikosteroid, status merokok dengan prevalens TB paru pada pasien PPOK (p > 0,05).Pada penelitian ini didapatkan hubungan bermakna pada frekuensi eksaserbasi PPOK, hasil pemeriksaan dahak BTA dan hasil pemeriksaan Xpert MTB/RIF dengan proporsi TB paru (p < 0,05).Kesimpulan: proporsi TB pada pasien PPOK di RSUP Persahabatan Jakarta adalah 2,7%. Terdapat hubungan yang bermakna secara statistik antara frekuensi eksaserbasi PPOK dengan proporsi TB paru pada pasien PPOK (p = 0,0006). Terdapat hubungan yang bermakna secara statistik antara hasil pemeriksaan dahak BTA dan hasil pemeriksaan Xpert MTB/RIF dengan proporsi TB paru pada pasien PPOK dengan nilai p < 0,05 (p = 0,000).

ABSTRACT
Chronic obstructive pulmonary disease (COPD) is a major cause of morbidity and mortality in the world. Some of the risk factors for COPD are also risk factors for tuberculosis (TB). Some studies abroad have found the prevalence of pulmonary tuberculosis in COPD patients were 2.6 - 10%. There are no data on the prevalence of pulmonary tuberculosis patients with COPD in Indonesia, particularly in The Department of Pulmonology PersahabatanHospital, Jakarta. Objective: the purpose of this study is to obtain proportion of pulmonary TB in COPD patients in The Department of Pulmonology Persahabatan Hospital, Jakarta. Methods: this is a cross-sectional study. COPD patients (anti-tuberculosis drugs naive) who visit the Asthma/COPD clinic PersahabatanHospital which meet the inclusion and exclusion criteria. Subjects went through acid-fast bacilli sputum smear and Xpert MTB/RIF examination. On patients visit, symptoms, exacerbations history, history of smoking, use of corticosteroids (oral or inhaled), comorbidities, CAT scores, assessment of nutritional status, spirometry and chest X-ray data had been obtained. All data were analyzed with chi-square test. Results: most subjects were male (97.3%) in the age group 60-79 years (74.3%), with mostly found comorbid was heart disease (41.9%), and mostly found clinical symptoms was productive cough (81.1%). Based on classification of COPD is GOLD 3 (44.6%) and the most exacerbation frequency was 0-1 (78.4%) with 59.5% history of steroid usage. In this study, examination of AFB sputum smear positive 1.4% and the Xpert MTB/RIF positive 2.7%, It shows Xpert MTB/RIF examination has a higher positivity rate than AFB sputum smear. The proportion of pulmonary tuberculosis in patients with COPD was 2.7%. We also found no statistically significant relationship between classification of COPD, nutritional status, use of corticosteroids, smoking status with the proportion of pulmonary tuberculosis in COPD patients (p> 0.05) but we found a significant difference in the exacerbations frequency of COPD, the results of sputum smear examination and the results of Xpert MTB/RIF with proportion of pulmonary TB (p <0.05).Conclusion: the proportion of tuberculosis in patients with COPD in The Department of PulmonologyPersahabatan Hospital Jakarta is 2.7%. There is astatistically significant difference between the frequency of exacerbations of COPD with proportion of pulmonary TB in patients with COPD (p = 0.0006). An association is statistically significant different between the results of sputum smear examination and the results of Xpert MTB/RIF with the proportion of pulmonary tuberculosis in patients with COPD with a value of p <0.05 (p = 0.000)., Chronic obstructive pulmonary disease (COPD) is a major cause of morbidity and
mortality in the world. Some of the risk factors for COPD are also risk factors for
tuberculosis (TB). Some studies abroad have found the prevalence of pulmonary
tuberculosis in COPD patients were 2.6 - 10%. There are no data on the prevalence of
pulmonary tuberculosis patients with COPD in Indonesia, particularly in The Department
of Pulmonology Persahabatan Hospital, Jakarta. Objective: the purpose of this study is to
obtain proportion of pulmonary TB in COPD patients in The Department of Pulmonology
Persahabatan Hospital, Jakarta. Methods: this is a cross-sectional study. COPD patients
(anti-tuberculosis drugs naive) who visit the Asthma/COPD clinic Persahabatan Hospital
which meet the inclusion and exclusion criteria. Subjects went through acid-fast bacilli
sputum smear and Xpert MTB/RIF examination. On patients visit, symptoms,
exacerbations history, history of smoking, use of corticosteroids (oral or inhaled),
comorbidities, CAT scores, assessment of nutritional status, spirometry and chest X-ray
data had been obtained. All data were analyzed with chi-square test. Results: most
subjects were male (97.3%) in the age group 60-79 years (74.3%), with mostly found
comorbid was heart disease (41.9%), and mostly found clinical symptoms was productive
cough (81.1%). Based on classification of COPD is GOLD 3 (44.6%) and the most
exacerbation frequency was 0-1 (78.4%) with 59.5% history of steroid usage. In this
study, examination of AFB sputum smear positive 1.4% and the Xpert MTB/RIF positive
2.7%, It shows Xpert MTB/RIF examination has a higher positivity rate than AFB
sputum smear. The proportion of pulmonary tuberculosis in patients with COPD was
2.7%. We also found no statistically significant relationship between classification of
COPD, nutritional status, use of corticosteroids, smoking status with the proportion of
pulmonary tuberculosis in COPD patients (p> 0.05) but we found a significant difference
in the exacerbations frequency of COPD, the results of sputum smear examination and
the results of Xpert MTB/RIF with proportion of pulmonary TB (p <0.05). Conclusion:
the proportion of tuberculosis in patients with COPD in The Department of Pulmonology
Persahabatan Hospital Jakarta is 2.7%. There is a statistically significant difference
between the frequency of exacerbations of COPD with proportion of pulmonary TB in
patients with COPD (p = 0.0006). An association is statistically significant different
between the results of sputum smear examination and the results of Xpert MTB/RIF with the proportion of pulmonary tuberculosis in patients with COPD with a value of p <0.05 (p = 0.000).]"
Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2015
SP-PDF
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Erry Prasetyo
"Latar belakang: Inflamasi pada Penyakit Paru Obstruktif Kronik (PPOK) dominan disebabkan oleh neutrofil namun inflamasi dikarenakan eosinofil juga dapat terjadi pada PPOK. PPOK eosinofilik jika ditemukan eosinofil di sputum ≥3%. Peningkatan eosinofil dapat dideteksi di darah dan sputum.
Metode: penelitian ini menggunakan potong lintang dengan menggunakan data primer di poli asma dan PPOK RS Rujukan Respirasi Nasional dari Juni 2019 sampai September 2019. Pemilihan subjek dilakukkan secara consecutive sampling dan dilakukan wawancara, pemeriksaan uji faal paru, pemeriksaan sputum dan darah eosinofil.
Hasil: total 74 sampel yang datang ke poli asma dan PPOK RS Rujukan Respirasi Nasional Persahabatan terdapat 7 sampel sputum yang tidak terdapat leukosit dan hanya epitel sehingga didapatkan 67 sampel yang dianalisis (61 laki-laki dan 6 perempuan). Pasien dalam penelitian ini memiliki  rata-rata  usia 66,7±8,6 tahun. Pasien didominasi oleh pasien perokok dan bekas perokok sebesar 62 pasien (92,5%). Indeks Brinkman terbanyak adalah IB sedang dan berat sebanyak 48 pasien (71,6%). Derajat hambatan aliran jalan napas paling banyak pada GOLD III dan IV (68,7%). Median eosinofil darah pasien pada penelitian ini sebesar 280 sel/μL dengan rentang 0-1300 dan median eosinofil sputum 4% dengan rentang 0-47. Korelasi darah dan sputum pada penelitian ini sebesar 0,43
Kesimpulan: penelitian ini menggambarkan korelasi positif dengan kekuatan lemah antara eosinofil darah dan sputum pada pasien PPOK stabil

Background: Dominant Chronic Obstructive Pulmonary Disease (COPD) inflamation is neutrofil but eosinofilic inflammation for COPD can be occurred. Eosinopilic COPD is defined by increament of eosinophils in sputum ≥3%. Increament of eoshinophils can be shown in blood and sputum
Method: this study use cross sectional method from primary data at asma and PPOK clinic in National Referal Rspuratory Persahabatan Hospital. Subject were taken to participate in study in consecutive sampling basis and all patients were interviewed, lung function test and blood and sputum eoshinophils
Results: Total 74 patient have been recruited who came to asma and PPOK klinik in National Referal Respiratory Persahabatan Hospital. Seven sputum sample is not have the leukocyt but ephitel only. Total patients are 67 (61 male dan 6 female). The mean of age from this study is 66,7±8,6 years old. Most of pasien is smokers and former smoker about 62 patients (92,5%). Brinkman index from this study dominating moderate and severe about 48 patients (71,6%). Airflow limitations from this study are GOLD III and IV (68,7%). Median of blood eoshinophils of this study is 280 cells/μL (0-1300). Median of sputum eoshinophils in this study is 4% (0-47). Correlations of blood and sputum eoshinophils from this study is 0,43
Conclusion: this study shown positive correlations with weak power between blood and sputum eoshinophils.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2019
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Vidya Amelia
"Penyakit Paru Obstruktif Kronik PPOK merupakan masalah kesehatan yang mendunia. PPOK memiliki kecenderungan untuk terjadi eksaserbasi. Eksaserbasi adalah pemburukan gejala pernapasan akut yang mengakibatkan terapi tambahan. Eksaserbasi pada PPOK meningkatkan risiko terjadinya kematian. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk menentukan model prediksi eksaserbasi pada pasien PPOK berdasarkan faktor-faktor yang memengaruhi eksaserbasi pada pasien PPOK di RSCM. Data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data sekunder yang diperoleh dari rekam medis pasien PPOK di RSCM. Sampel dipilih menggunakan teknik purposive sampling. Sampel pada penelitian ini adalah pasien PPOK sebanyak 107 pasien. Metode yang digunakan adalah analisis regresi logistik biner.
Hasil dari penelitian ini menunjukkan bahwa faktor yang berpengaruh signifikan terhadap eksaserbasi PPOK adalah sesak napas, riwayat pemakaian ICS, dan riwayat pemakaian antibiotik. Model regresi logistik yang sesuai telah diperoleh. Hasilnya menunjukkan bahwa pasien PPOK yang memiliki keluhan sesak napas, memiliki riwayat pemakaian ICS, dan memiliki riwayat pemakaian antibiotik lebih berisiko mengalami eksaserbasi dibandingkan dengan yang tidak. Uji akurasi telah dilakukan dengan tabel klasifikasi pada cut point 0,5. Model prediksi yang dihasilkan memiliki tingkat akurasi sebesar 74,77.

Chronic Obstructive Pulmonary Disease COPD is a worldwide health problem. COPD has a tendency for exacerbations. Exacerbations are worsening of acute respiratory symptoms resulting in additional therapy. Exacerbations in COPD increase the risk of death. The objective of this study is to determine the prediction model of exacerbations in patients with COPD based on factors affecting exacerbations in patients with COPD at RSCM. The data used in this study is secondary data obtained from the medical records of patients with COPD in RSCM. The sample was chosen using purposive sampling technique. The samples in this study are 107 patients with COPD. The method used is binary logistic regression analysis.
The results of this study indicate that the factors that significantly influence the exacerbation of COPD are breathless, history of ICS use, and history of antibiotic use. Appropriate logistic regression model has been obtained. The result indicates that patients with COPD who have shortness of breath, have history of ICS use, and have history of antibiotic use are more at risk of exacerbations than those who don rsquo t. Accuracy test has been conducted with classification table at cut point 0,5. The prediction model has an accuracy rate of 74,77.
"
Depok: Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Indonesia, 2018
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Mohamed Ismail
"Latar belakang: Eksaserbasi PPOK berhubungan dengan dampak yang cukup besar pada kualitas hidup dan aktivitas sehari-hari. Mayoritas pasien mengalami setidaknya satu eksaserbasi per tahun dan eksaserbasi telah dikaitkan dengan penurunan progresif dalam VEP1 dan dengan laporan yang berbeda-bedaada ketidakpastian apakah eksaserbasi meningkatkan tingkat penurunan fungsi paru.
Metode: Penelitian ini penelitian deskriptif dengan metode potong lintang yang menganalisis hasil spirometri pada pasien PPOK dan membandingkan dengan data spirometri tahun sebelumnya dan melihat perubahan VEP1. Jumlah sampel keseluruhan penelitian ini adalah 100 pasien yang sudah terdiagnosis PPOK dan rutin kontrol ke poli asma/PPOK RS persahabatan dari tahun 2011sampai 2013.
Hasil: Sebanyak 100 subjek diambil untuk penilitian ini. Sebagian besar pasien adalah laki-laki , 96 % ( n = 96 ) . Usia rata-rata adalah 66,5 tahun ( SD ± 7 tahun dan 95 % CI ) BMI subjek adalah 22.88 ( SD ± 3,95 & 95% CI ). Status merokok adalah; bekasperokok ( 89 %, 95 % CI ), merokok 3 %, dan 8 % yang tidak pernah merokok. Keparahan penyakit berdasarkan GOLD adalah; Derajat ringan 7 %, Sedang 45 %, berat 41% dan sangat berat 7 %. Penurunan VEP1terlihat pada 73 % subjek ( n = 73 ) dan penurunan VEP1 rata-rata 117mL per tahun. Subjek dalam penelitian kami ditemukan eksaserbasi tingkat tahunan rata-rata 2,4 per tahun. Kami idak menemukan korelasi yang bermakna dengan jumlah eksaserbasi dengan jumlah eksesabasi( p = 0,005) dan terdapat korelasi yang bermakna dengan jumlah eksaserbasi dan tingkat keparahan penyakit (p = 0,005 ). Kami tidak menemukan korelasi penurunan VEP1 dengan BMI (p = 0,602 ), Indeks Brinkman (p = 0,462) atau komorbiditi.
Kesimpulan: Penilitian ini terdapat hubungan yang bermakna dengan penurunan VEP1 dan tingkat keparahan penyakit dengan frekuensi eksaserbasi. Kami tidak menemukan hubungan yang bermakna dengan jumlah eksesabasi dengan BMI, Brinkman Index atau komorbiditi.

Introduction: Exacerbations of COPD are associated with considerable impact on quality of life and daily activities. The rate at which exacerbations varies greatly between patients. Majority of patients experience at least one exacerbation per year and exacerbations have been linked to a progressive decline in FEV1and with varying reports there is uncertainty as to whether exacerbations increase the rate of decline in lung function.
Method: We conducted a descriptive, cross-sectional study on COPD patients who were on regular follow up at our hospital since 2011. Spirometry at enrollment was compared with previous year’s spirometry and event-based exacerbations were inquired from the patient and from inpatient and outpatient hospital medical records.
Result: A total of 100 patients were included in the study. Majority of patients were males, 96% (n= 96). The mean age was 66.5 years (SD ±7 years and 95% CI) The BMI of the subjects was 22.88 (SD± 3.95 & at 95% CI). Smoking status of the subjects were; past smokers (89%, 95% CI), current smokers, 3%, and 8% who never smoked. Disease severity per GOLD were; Mild disease 7%, Moderate 45%, Severe 41% and very Severe 7%. Decline in FEV1 was observed in 73% subjects (n=73) and a mean decline of 117mL/year. Subjects in our study reported 288 exacerbations during the study with a mean annual exacerbations rate of 2.4 per year. FEV1 decline hada significant correlation with number of exacerbations (p=.0005) and also there was significant relationship with disease severity (p=0.005). We did not find a correlation of decline in FEV1 with BMI (p=.602), Index Brinkman (p=.462) or comorbidities.
Conclusion: There was a significant correlation with decline in FEV1 and disease severity with the total number of exacerbations. We also found a significant correlation with disease severity as per GOLD stage,however, we did not find a significant correlation between BMI, Brinkman Index or the comorbidities of the subjects with number of exacerbations.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2013
T59124
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Yusuf Musafir Kolewora
"ABSTRAK
Latar belakang: Penyakit Paru Obstruksi Kronik (PPOK) merupakan penyebab utama angka kesakitan dan kematian di seluruh dunia termasuk di Indonesia. Hasil Riset Kesehatan Dasar (RISKESDAS) tahun 2013 menunjukkan bahwa prevalens PPOK di Indonesia sebanyak 3,7% dan menduduki peringkat ke-6 dari 10 penyebab kematian di Indonesia. Penelitian ini merupakan studi awal untuk mengetahui prevalens PPOK di RSUP Persahabatan.
Metode: Penelitian ini menggunakan desain studi potong lintang dengan metode consecutive sampling pada pasien PPOK yang berkunjung di RSUP Persahabatan Jakarta pada bulan April-September 2018. Diagnosis PPOK dilakukan dengan menggunakan COPD Diagnostic Questionnaire (CDQ) dan pemeriksaan spirometri.
Hasil: Subjek penelitian sebanyak 875 subjek. Sampel akan dilakukan penapisan awal menggunakan CDQ dengan skor nilai ≥19,5 sebanyak 332 subjek. Hasil pemeriksaan spirometri pada 332 subjek sebelum pemberian bronkodilator inhalasi menunjukkan bahwa sebanyak 83 subjek (25%) memiliki hasil VEP1/KVP <70% dan 249 subjek (75%) memiliki hasil VEP1/KVP ≥70%. Hasil pemeriksaan spirometri setelah pemberian bronkodilator inhalasi menunjukkan bahwa sebanyak 78 subjek (94%) memiliki hasil VEP1/KVP <70% yang berarti menderita PPOK dan 5 subjek (6%) memiliki hasil VEP1/KVP ≥70% yang berarti tidak menderita PPOK sehingga prevalens PPOK adalah 8,9% dari keseluruhan sampel. Gejala klinis pada pasien PPOK antara lain batuk (43,6%), terdapat dahak (50%), dan sesak (39,7%). Hasil uji statistik menunjukkan bahwa faktor yang berhubungan dengan PPOK dalam penelitian ini adalah umur (nilai-p = 0,040), lama merokok (nilai-p = 0,012), jumlah rokok yang dihisap per hari (nilai-p = 0,000) dan derajat berat merokok (nilai-p = 0,000) sedangkan faktor yang tidak berhubungan adalah jenis kelamin (nilai-p = 0,585) dan indeks massa tubuh (nilai- p = 0,953).
Kesimpulan: Prevalens PPOK di rumah sakit Persahabatan Jakarta adalah 8,9%. Gejala klinis pada pasien PPOK antara lain batuk, terdapat dahak dan sesak. Hasil uji statistik menunjukkan bahwa faktor yang berhubungan dengan PPOK dalam penelitian ini adalah umur, lama merokok, jumlah rokok yang dihisap per hari dan derajat berat merokok sedangkan faktor yang tidak berhubungan adalah jenis kelamin dan indeks massa tubuh.

ABSTRACT
Background: Chronic Obstructive Pulmonary Disease (COPD) is the main cause of morbidity and mortality rates in the world including in Indonesia. The result of Riset Kesehatan Dasar (RISKESDAS) in 2013 showed the prevalence of COPD in Indonesia was 3.7% and was ranked 6th from 10 causes of death in Indonesia. This study is the preliminary study to determine of prevalence of COPD in Persahabatan Hospital.
Method: This is a cross sectional study design with consecutive sampling method in COPD patient who visited to the Persahabatan Hospital Jakarta in April- September 2018. COPD diagnosed by using COPD Diagnostic Questionnare (CDQ) and spirometry examination.
Result: Study subject were 875 subject. The sample will be screened preliminary by using CDQ whom get score ≥ 19.5 only 332 subject. The results of spirometry tests on 332 subject before inhaled bronchodilators showed that 83 subject (25%) had results VEP1/KVP <70% which meant diagnose COPD and 249 subject (75%) had results VEP1/KVP ≥70% which means not diagnose COPD. The results of spirometry after inhaled bronchodilators showed that as many as 78 subject (94%) had results VEP1/KVP <70% which meant diagnose COPD and 5 subject (6%) had results VEP1/KVP ≥70%, which means not diagnose COPD so that the prevalence of COPD is 8.9% from all the sample. There were some of symptoms of COPD patients reported such as daily coughing (43,6%), coughing with phlegm (50%), and wheezing (39,7%). Statistical test results indicate that factors associated with COPD in this study are age, duration of smoking, number of cigarettes smoked per day and the degree of smoking-free while the unrelated factors are gender and Body Mass Index."
Depok: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2019
SP-Pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Anna Yusrika
"ABSTRAK
Latar belakang: Kapasitas difusi paru berdasarkan karbon ke sirkulasi pulmoner. Nilai DLCO prediksi pada asma cenderung normal atau sedikit monoksida (DLCO) didesain untuk mengukur laju perpindahan gas CO dari alveolus meningkat sedangkan pada PPOK kapasitas difusi cenderung menurun akibat emfisema. Sindrom tumpang-tindih asma-PPOK dinyatakan sebagai entitas yang unik dengan kombinasi karakteristik asma dan PPOK. Tujuan utama penelitian ini adalah mengetahui nilai DLCO pada pasien tumpang tindih asma- PPOK (TAP) di RSUP Persahabatan Jakarta.
Metode: Uji DLCO dengan metode napas tunggal dan beberapa pemeriksaan penunjang lainnya telah dilakukan pada 40 pasien yang terdiagnosis sebagai TAP. Diagnosis TAP pada subjek penelitian ditegakkan menggunakan kriteria pedoman GINA/GOLD 2017. Kriteria akseptabilitas dan reprodusibilitas DLCO napas tunggal dinilai menggunakan kriteria dari ATS/ERS 2017. Hasil uji DLCO disajikan dalam nilai mutlak dan nilai persen prediksi.
Hasil: Rerata nilai DLCO mutlak dan %DLCO prediksi yang didapatkan dalam penelitian ini adalah 17.98 ± 5.37 mL/menit/mmHg dan 84.16 ± 18.29%. Jika menggunakan persamaan penyesuaian DLCO berdasarkan kadar hemoglobin didapatkan nilai %DLCO prediksi sedikit meningkat dibanding sebelumnya, 85.17 ± 18.04%. Terdapat 10 subjek (25.0%) yang mengalami penurunan nilai DLCO. Enam diantaranya mengalami penurunan ringan dan empat lainnya mengalami penurunan sedang.
Kesimpulan : Rerata nilai DLCO pada subjek TAP di RSUP Persahabatan Jakarta dapat diinterpretasikan normal, lebih menyerupai asma dibandingkan PPOK. Hasil ini juga mengindikasikan kebanyakan pasien TAP dalam penelitian ini tidak mengalami penurunan luas permukaan alveolar yang mengganggu proses difusi.

ABSTRACT
Background: Diffusing capacity of the lung for carbon monoxide (DLCO) was designed to measure transfer rate of carbon monoxide from alveoli to pulmonary circulation. As we know, DLCO predicted value in asthma proved to be normal or slightly elevated. On contrary it decreased in COPD with emphysematous pattern. Asthma-chronic obstructive pulmonary disease overlap (ACO) declared as a unique entity with combined characteristics between asthma and COPD. The aim of the research is to find out DLCO value of ACO patient in Persahabatan Hospital, Jakarta.
Method: We have conducted single-breath DLCO and other required test to 40 patients diagnosed with ACO using GINA/GOLD 2017 guidelines. The acceptability and reproducibility of single-breath DLCO was done according to ATS/ERS 2017 criteria. The result then presented as absolute value and percent predicted value.
Results: The mean DLCO of our patient is 17.98 ± 5.37 mL/minute/mmHg with percent predicted value is 84.16 ± 18.29%. Using adjusted DLCO equation for hemoglobin, we found that the value is slightly increased, 85.17 ± 18.04%. However, we found 10 patient (25.0%) with DLCO decrease. Six of them have DLCO predicted value <75% (mild-decrease) and four of them have DLCO predicted value <60% (moderate-decrease).
Conclusion: The mean DLCO value of patient with ACO in our hospital can be interpreted as normal, similar with asthma, rather than COPD. It also indicate most of our patient did not have alveolar loss that altering diffusion process."
Depok: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2019
SP-Pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Astari Pranindya Sari
"Pendahuluan: Neutrofil merupakan sel inflamasi yang diyakini berperan pada patogenesis Penyakit Paru Obstruktif Kronik (PPOK). Telah terdapat bukti korelasi antara hambatan aliran udara pada pasien PPOK dengan kadar neutrofil sputum. Penelitian beberapa tahun terakhir membuktikan nilai rasio neutrofillimfosit (RNL) dan protein C-reaktif (CRP) dari darah perifer berpotensi menjadi petanda inflamasi sistemik, tidak terkecuali PPOK. Beberapa penelitian membuktikan nilai RNL dan CRP lebih tinggi pada pasien dengan PPOK dibanding orang normal. Begitu pula saat kondisi eksaserbasi, nilai RNL dan CRP lebih tinggi daripada kondisi stabil. Selain itu terdapat bukti korelasi antara hasil spirometri dengan nilai RNL dan CRP. Hasil beberapa penelitian yang telah dilakukan sejauh ini menunjukkan bahwa nilai RNL dan CRP dapat menjadi suatu penilaian yang layak diperhatikan dalam PPOK.
Tujuan: Memperoleh data mengenai nilai RNL dan CRP pada pasien PPOK eksaserbasi dan stabil di Rumah Sakit Umum Pusat Persahabatan.
Metode: Analisis observasional kohort prospektif di RS Persahabatan, Jakarta Indonesia sebanyak 31 sampel dari Juli 2018 hingga Desember 2018. Kami mengikutsertakan 31 pasien PPOK eksaserbasi untuk dilakukan pemeriksaan spirometri dan pemeriksaan darah dan membandingkan hasil pemeriksaan pasien yang sama pada kondisi stabil.
Hasil: Petanda inflamasi yang diperiksa pada penelitian ini RNL dan CRP keduanya menunjukkan penurunan kadar pada kondisi stabil, bertutut-turut dari 7,95 ± 6,8 menjadi 4,6 ± 5,5 dan 43,4 ± 71 menjadi 12,2 ± 18,5 dengan nilai p < 0,01. Didapatkan pula korelasi negatif yang bermakna antara RNL dan nilai VEP1/KVP pada kondisi eksaserbasi. Nilai CRP menunjukkan korelasi negatif hanya dengan VEP1 pada saat eksaserbasi. Di samping itu, terdapat pula subjek penelitian dengan nilai CRP yang sangat tinggi pada saat eksaserbasi, meninggal dunia dalam kurun waktu dua bulan setelah eksaserbasi.
Kesimpulan: Nilai RNL dan CRP pada subjek dengan PPOK lebih tinggi pada kondisi eksaserbasi dan mungkin dapat menggambarkan status eksaserbasi pada pasien PPOK.

Introductions: Although COPD has been believed to be characterized by respiratory disease, currently limited study conducted to evaluate inflammation markers and exacerbation rate in COPD by noninvasive method. We observed the COPD severity, future exacerbation by using peripheral blood test. We did a prospective cohort study to observe the alteration of Neutrophyl-Lymphocyte Ratio (NLR) and C-reactive protein (CRP) in COPD patients to find any possible correlation with COPD exacerbation status.
Aims: To study the value of NLR and CRP of COPD patients during exacerbation and stable in Persahabatan Hospital, Jakarta.
Methods: Starting from July to December 2019, a prospective cohort study was performed with blood and pulmonary function test in 31 COPD patients in two different conditions: during exacerbation and stable. The mean of both inflammation markers was compared and correlated them with pulmonary function test.
Results: Both inflammation markers NLR and CRP value decreased during stable condition (from 7,95 ± 6,8 to 4,6 ± 5,5 and 43,4 ± 71 to 12,2 ± 18,5) with p < 0,01 respectively. In addition, we also found a significant inverse correlation between NLR and FEV1/FVC during exacerbation but not during the stable condition, and CRP showed inverse correlation only with FEV1 during exacerbation. Another interesting finding was subject with very high CRP whose value remained above nomal limit during stable, died within 2 month after exacerbation.
Conclusions: NLR and CRP in COPD patients increased during exacerbation and may reflect lung function and exacerbation status in COPD patient.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2020
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Prima Belia Fathana
"Latar Belakang : Merokok masih merupakan masalah kesehatan utama di Indonesia. Merokok menjadi faktor risiko bagi penyakit kanker paru dan PPOK. Hubungan antara kanker paru dan PPOK masih terus dikaji. Komorbiditas PPOK pada kanker paru dapat mempengaruhi proses diagnostik, tatalaksana serta managemen akhir kehidupan pasien kanker paru.
Metode : Penelitian ini adalah studi potong lintang analitik yang dilakukan di poliklinik onkologi paru RSUP Persahabatan selama periode Agustus 2018 sampai dengan April 2019 terhadap pasien kanker paru kasus baru yang telah memenuhi kriteria inklusi dan eksklusi.
Hasil : terdapat 52 subjek yang diteliti dan didapatkan 76,9% adalah laki-laki dan perokok (71,2%), jenis kanker paru yang paling banyak ditemukan ialah kanker paru karsinoma bukan sel kecil (98,1%), sebagian besar stage 4 (88%) dan tampilan klinis 1 (50%). Prevalens PPOK berdasarkan pemeriksaan spirometri menurut kriteria PNEUMOMOBILE ialah 46,2% dan prevalens emfisema berdasarkan pemeriksaan CT-scan toraks ialah 30,8%.. Subjek kanker paru yang menderita PPOK 91,7% termasuk kedalam obstruksi derajat sedang (GOLD 2) serta memiliki kelainan faal paru campuran obstruksi dan restriksi ( 70,8%). Subjek yang menderita emfisema terbanyak menderita emfisema jenis sentrilobular (43,7%). Terdapat hubungan antara letak lesi sentral terhadap beratnya obstruksi yang diukur melalalui nilai VEP1 pada subjek PPOK dan emfisema.
Kesimpulan : PPOK pada kanker paru terutama ditemukan pada laki-laki, perokok serta jenis kanker yang paling banyak diderita ialah adenokarsinoma. Emfisema yang paling banyak diderita ialah jenis sentrilobular yang secara umum banyak didapatkan pada perokok.

Background: Smoking is one of risk factors in both of lung cancer and chronic obstructive pulmonary disease (COPD). Comorbidity of COPD among lung cancer patients generally influenced outcome of their quality of life, diagnostic procedures, treatments, and end of life managements.
Methods:This analytical cross-sectional study involved newly diagnosed lung cancer cases admitted to the oncology clinics of Persahabatan Hospital Jakarta, Indonesia between August 2018 and April 2019. Patients who met the study criteria were consecutively included. Spirometric evaluation of airway obstruction and COPD was based on PNEUMOBILE and GOLD criteria. Radiological evaluation of emphysema was based on thorax CT-scan.
Results:Subjects were 52 lung cancer patients and most of them were males (76.9%) and smokers (71.2%). Most of them were diagnosed as non-small cell lung cancer (NSCLC) (98.1%), were in end-stage of the disease (88.0%) and were in performance status of 1 (50.0%). The prevalence of COPD and emphysema was 46.2% and 30.8%, respectively. Most of the COPD subjects (91.7%) experienced moderate airway obstruction (GOLD 2), along with mixed obstruction-restriction spirometric results (70.8%). Centrilobular emphysema was common (43.7%) radiological finding in this study. Degree of obstruction by spirometry (VEP1)and detection of central tumor lesion by thorax CT-scan in COPD and emphysema subjects was found to be correlated.
Conclusion:COPD in lung cancer was found in males, smokers, and NSCLC patients. Centrilobular emphysema was commonly found in this study, particularly in smoker sub-group.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2019
T57647
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Harry Akza Putrawan
"Latar belakang dan tujuan: Penyakit kardiovaskular merupakan komorbid yang sering terjadi dan menjadi penyebab kematian pada pasien penyakit paru obstruktif kronik (PPOK). Penyakit kardiovaskular menjadi salah satu faktor prediksi tahan hidup pasien PPOK. Pemeriksaan echocardiography merupakan pemeriksaan yang akurat dan menyediakan informasi untuk evaluasi fungsi jantung.Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui fungsi jantung pasien PPOK berdasarkan temuan echocardiography di RSUP Persahabatan Jakarta.
Metode: Penelitian ini merupakan penelitian potong lintang terhadap pasien PPOK stabil yang berkunjung ke poli asma-PPOK di RSUP Persahabatan.Penelitian dilakukan dari Januari-Juni 2017. Subjek yang memenuhi kriteria akan dilakukan anamnesis, spirometri dan echocardiography.
Hasil: Sebanyak 70 pasien ikut serta dalam penelitian ini dan dilakukan echocardiography. Usia rerata subjek adalah 65,68 ± 7,65. Subjek terbanyak adalah laki-laki (95,7%). Pada penelitian ini ditemukan 5,7% subjek memiliki gagal jantung kiri, 11,4% memiliki gagal jantung kanan, 30% hipertensi pulmoner, 8,6% mengalami dilatasi ventrikel kanan dan 11,4% mengalami pembesaran ventrikel kiri. Analisis statistik menemukan hubungan bermakna antara tricuspid annular plane excursion(TAPSE) dengan eksaserbasi pada PPOK(p<0,05). Terdapat hubungan yang bermakna antara indeks massa tubuh (IMT) dengan kontraksi ventrikel kanan, hipertensi pulmoner dan dilatasi ventrikel kanan. Tidak ditemukan hubungan yang bermakna antara derajat keparahan PPOK dengan dimensi, tekanan dan kontraksi jantung.
Kesimpulan: Prevalens gangguan fungsi jantung tinggi pada pasien PPOK dan memiliki hubungan dengan eksaserbasi pada PPOK. Pasien dengan fungsi paru rendah memiliki kecenderungan untuk memilki gangguan di jantung.

Background/Aim: Cardiovascular disease is a frequent comorbidity and cause of death in chronic obstructive pulmonary disease (COPD). Cardiovascular disease is one of predictive of survival in COPD. Echocardiography provides accurate and rapid information to evaluate cardiac function. The aim of this study is to elucidate the cardiac function based on echocardiography findings in stable COPD patients in the Persahabatan Hospital Jakarta.
Methods: This study is a cross sectionalstudy among stable COPD patients who visit asthma-COPD clinics in Persahabatan Hospitals from January to June 2017. Interview, spirometry dan echocardiography perform to all subject who meet the ctiteria.
Results: A total 70 subject with COPD perform echocardiography with mean ages 65,68 ± 7,65. Most of subject were men (95,7%). In this study found 5,7% subjects with left ventricle failure, 11,4% with right ventricle failure, 30% with pulmonary hypertension, 8,6% with right ventricle dilatation and 11,4% left ventricle hypertrophy. Statistic analysis have found significant association between tricuspid annular plane systolic excursion (TAPSE) and exacerbation in COPD patient (p<0,05). In this study found significant relationship between body mass index (BMI) and right ventricle contraction, pulmonary hypertension and right ventricle dilatation. There were no significant relationship between COPD severity and cardiac dimension, pressure and contraction.
Conclusion: Prevalence of cardiac function abnormality were high in COPD patient and have relationship with exacerbation of COPD. Patient with lower lung function tender to have cardiac problem."
Depok: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2017
SP-Pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>