Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 159591 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Qatrunnada Daysa Fitri
"Isu krisis pengungsi global telah menjadi masalah mendesak dan kompleks dalam beberapa dekade terakhir. Peningkatan jumlah pengungsi akibat konflik, bencana alam, dan ketidakstabilan politik menantang komunitas global dalam memberikan respons yang tepat. Banyak negara menolak pengungsi dengan alasan menjaga keamanan nasional, namun pengungsi juga membutuhkan perlindungan. Pandangan yang hanya berfokus pada keamanan nasional mendorong pengungsi hidup dalam kerentanan. Oleh karena itu, pendekatan yang lebih inklusif diperlukan, dengan mempertimbangkan konsep keamanan manusia agar pengungsi dianggap sebagai subjek keamanan. Pendekatan Indonesia sering didominasi oleh keamanan nasional, namun terdapat indikasi bahwa negara ini tetap menerima pengungsi melalui kebijakan, kolaborasi, dan partisipasi dalam forum internasional. Apabila dalam keterbukaan tersebut pengungsi tidak dilindungi aspek keamanannya maka Indonesia dapat meningkatkan bentuk ketidakamanan pada pengungsi. Oleh karena itu, penelitian ini akan melihat kemudian dari segi apa elemen keamanan manusia muncul dalam upaya pengelolaan pengungsi di Indonesia. Penelitian ini menggunakan metode kualitatif yang menerapkan analisis konten (content analysis) terhadap berbagai upaya, dokumen kebijakan resmi, hingga keterlibatan kolaborasi Indonesia dengan berbagai aktor. Dengan mengkomparasi pada konsep keamanan manusia dari UNDP 1994 dan CHS 2003, ditemukan bahwa elemen keamanan manusia pada upaya Indonesia muncul dari relasi tiga faktor pengaruh: Tekanan norma global HAM, inherent local values dan kolaborasi antar aktor lintas sektor. Tiga faktor ini mendorong Indonesia pada akhirnya untuk mempertimbangkan aspek keamanan pengungsi dengan dibentuknya kebijakan, kerjasama dengan organisasi internasional dan partisipasi Indonesia pada forum internasional Upaya Indonesia ini pada konsep keamanan manusia berada pada tataran ide, komponen dan strategi yang diterapkan oleh negara.

The global refugee crisis has become an urgent and complex issue in recent decades. The increasing number of refugees due to conflicts, natural disasters, and political instability challenges the global community to provide appropriate responses. Many countries refuse refugees citing national security concerns, but refugees also need protection. A perspective focused solely on national security pushes refugees into vulnerability. Therefore, a more inclusive approach is needed, considering the concept of human security to view refugees as security subjects. Indonesia's approach is often dominated by national security, but there are indications that the country still accepts refugees through policies, collaborations, and participation in international forums. If the security aspects of refugees are not protected in this openness, Indonesia may increase forms of insecurity for refugees. This research will examine how elements of human security emerge in refugee management efforts in Indonesia. This study uses a qualitative method, applying content analysis to various efforts, official policy documents, and Indonesia's collaborative involvement with various actors. By comparing the concept of human security from UNDP 1994 and CHS 2003, it is found that elements of human security in Indonesia's efforts emerge from the interrelation of three influencing factors: pressure from global human rights norms, inherent local values, and cross-sector actor collaboration. These three factors ultimately push Indonesia to consider the security aspects of refugees through the formulation of policies, cooperation with international organizations, and participation in international forums. Indonesia's efforts within the concept of human security are at the levels of ideas, components, and strategies implemented by the state."
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2024
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Yasmin Imanina
"Pada periode Januari 2015 hingga Desember 2016, terjadi peristiwa yang disebut sebagai “krisis pengungsi Eropa” atas kasus sekitar 2,5 juta yang mengajukan suaka di negara-negara Uni Eropa. Pemerintah Prancis melakukan pembongkaran kamp pengungsian di Calais dengan dalih keamanan negara. Pembongkaran ini dilakukan dengan tujuan untukmengurangi jumlah pengungsi yang hendak menyeberang ke Inggris. Penelitian ini membahas dampak dari pembongkaran kamp pengungsi Calais terhadap hubungan keamanan Prancis-Inggris. Metode sejarah digunakan dalam artikel ini dengan menggunakan metodologi analisis wacana kritis dari Norman Fairclough. Permasalah pengungsi di Calais, latar belakang partai pendukung penguasa di Prancis saat itu dan dalih pembongkaran kamp pengungsi di Calais menjadi perdebatan baik di dalam negeri Prancis maupun dengan pemerintah Inggris. Di antara ke tiga aspek tersebut, ternyata aspek latar belakang partai pendukung penguasa di Prancis saat itu yang paling dominan dibandingkan dengan dua aspek lainnya. Pengaruh tersebut memicu kedua pemerintahan untuk mengubah kebijakan yang ada dengan kebijakan yang baru untuk mengurangi krisis kemanusiaan yang ada di Calais walaupun kedua partai penguasa yang ada di Prancis dan Inggris berbeda.

From January 2015 to December 2016, the "European refugee crisis" saw around 2.5 million people apply for asylum in EU countries. The French government dismantled the refugee camp in Calais under the pretext of state security. This demolition was carried out with the aim of reducing the number of refugees who wanted to cross into the UK. This research discusses the impact of the dismantling of the Calais refugee camp on French-British security relations. The historical method is used in this article using Norman Fairclough's critical discourse analysis methodology. The refugee problem in Calais, the background of the ruling party in France at the time and the pretext for dismantling the refugee camp in Calais were debated both within France and with the British government. Among these three aspects, it turned out that the background aspect of the ruling party in France at that time was the most dominant compared to the other two aspects. This influence triggered the two governments to change the existing policy with a new policy to reduce the humanitarian crisis in Calais even though the two ruling parties in France and Britain were different."
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia, 2023
TA-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
cover
Bible Septian Rahardjo
"Energi adalah aspek vital dalam keberlangsungan kehidupan manusia yang dipengaruhi dan mempengaruhi banyak faktor sosial-politik. Pemutusan suplai gas alam Rusia terhadap Uni Eropa sejak pertengahan 2022 menyebabkan krisis energi, salah satunya bagi Belanda. Sebagai negara yang tidak dapat memenuhi kebutuhan energi primer melalui produksi domestik, Belanda harus mengimpor gas alam sebagai salah satu sumber energi terbesar. Artikel ini menganalisis fenomena krisis energi Belanda pasca pemutusan suplai gas alam Rusia dengan menggunakan neksus konsep keamanan manusia dan keamanan energi. Neksus keamanan energi dan keamanan manusia hadir dalam bentuk relasi di antara keduanya, yaitu aspek keamanan ekonomi dan keamanan kesehatan. Keberadaan neksus keamanan energi dan keamanan manusia dalam kebijakan-kebijakan energi Belanda dikaji menggunakan teori implementasi kebijakan (Grindle,1980). Teori implementasi kebijakan berfokus pada konten dan konteks kebijakan yang digunakan untuk menganalisis substansi kebijakan-kebijakan energi Belanda. Pengumpulan data dilakukan melalui tinjauan pustaka yang bersumber dari rilis resmi dokumen pemerintah, media massa, buku, dan artikel ilmiah relevan. Temuan menunjukkan bahwa Belanda merespon krisis dengan tetap mengacu kepada Rencana Energi dan Iklim (NECP) 2021-2030 sebagai haluan kebijakan energi nasional. Lima dimensi dalam NECP 2021-2030 yaitu dekarbonisasi, efisiensi, keamanan energi, integrasi pasar energi, dan riset & inovasi energi merefleksikan neksus keamanan manusia dan keamanan energi dalam kebijakan energi nasional.

Energy is vital in the continuity of human life, influencing many socio-political factors. The termination of Russia's natural gas supply to the European Union since mid-2022 has caused an energy crisis, one of which is for the Netherlands. As a country that cannot meet its primary energy needs through domestic production, the Netherlands must use natural gas as one of the largest energy sources. This article analyzes the phenomenon of the Dutch energy crisis after the cut-off of Russia's natural gas supply by using the concept of human security and energy security nexus. The nexus of energy security and human security exists in the form of a relationship between economic security and health security. The existence of a nexus of energy security and human security in Dutch energy policies is studied using policy implementation theory (Grindle, 1980). Policy implementation theory focuses on the content and policy context used to analyze the substance of Dutch energy policies. Data was collected through a literature review from official releases of government documents, mass media, books and relevant scientific articles. The findings show that the Netherlands responded to the crisis while referring to the Energy and Climate Plan (NECP) 2021-2030 as the national energy policy direction. The five dimensions of NECP 2021-2030 are decarbonization, efficiency, energy security, energy market integration, and energy research & innovation, and they reflect the nexus of human security and energy security in national energy policy."
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2023
TA-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Universitas Indonesia, 2002
S26051
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Masinambow, Arnold A E.
"Tulisan ini berusaha memetakan pengetahuan pengungsi dan pencari suaka di Indonesia yang relatif masih jarang mendapatkan sorotan dalam studi Hubungan Internasional. Pembacaan yang melihat serta memproblematisasi bias kolonial dalam rezim pengungsi internasional serta kategorisasi dari migrasi transit dan pengungsi-pencari suaka, akan menjadi titik berangkat tulisan ini. Melalui tinjauan taksonomis terhadap 22 literatur, tulisan ini kemudian berusaha mengkontekstualisasikan dinamika pengungsi di Indonesia dengan migrasi-pengungsi secara lebih luas lewat pembacaan genealogis yang menyentuh aspek legal, multisiplistas aktor, dan (re)konseptualisasi konsep transit yang kerap disematkan kepada konteks Indonesia, sembari berusaha mengedapankan pengetahuan yang dibawa oleh pengungsi di Indonesia itu tersendiri. Penulis menemukan bagaimana di Indonesia, diskursus pengungsi, yang baru masuk ke Indonesia di periode gelombang pengungsi Indochina pada dekade 1970-an, berkelindan erat dengan pola migrasi-pengungsi internasional, utamanya lewat fractioning dan kategorisasi transit-pengungsi-pencari suaka, dan terus direproduksi dalam kerangka pengamanan hingga sekarang. Secara tataran pengetahuan, penulis menilai bahwa produksi pengetahuan di ranah akademik tentang pengungsi di Indonesia kurang lebih berada di bawah satu payung ‘kritis’ yang sama dan berusaha mengarusutamakan pengetahuan dari pengungsi di Indonesia, namun masih banyak ceruk pengetahuan yang masih bisa diisi dan dinavigasi lebih lanjut.

This article seeks to map the knowledge of refugees and asylum seekers in Indonesia, which, relatively speaking, has not been thoroughly investigated by International Relations-adjacent scholarship. An outlook that problematizes colonial biases on international refugee regime, as well as the categorization of transit migration and refugee-asylum seeker, will be central to this reading. Departing from taxonomic appraisal of 22 accredited-literatures, this article aims to contextualize the dynamics of refugees in Indonesia within the broader scope of migration-refugee studies through a genealogical reading that encompasses legal aspects, multiplicity of actors, and the (re)conceptualization of the transit concept oft-attributed to the Indonesian context, whilst trying to posit decentralized knowledge coming from refugees themselves. This author postulates that in Indonesia, discourses (and the language) of refugees, which predominantly emerged during the influx of Indochinese refugees in the 1970s, were/are heavily intertwined with the patterns of international migration-refugees, primarily through fractioning and categorization-labelling of transit-refugees-asylum seekers, and continues to be reproduced under securitized framework and language to this day. Insofar knowledge production on academia level, this author remarks that knowledge production of refugees in Indonesia virtually falls under a similar 'critical' umbrella, which seeks to prioritize knowledge from refugees in Indonesia, whilst acknowledging a plethora of knowledge gaps that can be probed and inquired further."
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2023
TA-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Yogie Nugraha
"Metodologi dalam penelitian ini menggunakan Studi Literatur dan merupakan analisis kualitatif dan deskriptif. Studi ini akan berfokus pada tujuan peneliti untuk melakukan Analisis tentang kerja sama yang dilakukan oleh Uni Eropa dan Turki dalam menangani krisis pengungsi. Analisis akan didasarkan pada implementasi hasil Kesepakatan Bersama antara Uni Eropa dan Turki dalam Uni Eropa – Turkey Joint Action Plan dan Uni Eropa – Turkey Statement. Proses kerja sama internasional yang dilakukan Uni Eropa dan Turki dalam menangani krisis pengungsi menarik para peneliti untuk melakukan penelitian tentang kerja sama yang dilakukan. Kesepakatan akhir antara Uni Eropa dan Turki dalam pernyataan Uni Eropa-Turki dikatakan memiliki dampak yang lebih efektif pada penanganan krisis pengungsi Suriah daripada kerja sama sebelumnya, Uni Eropa – Turkey Joint Action Plan. Namun Uni Eropa – Turkey Joint Action Plan belum memenuhi dengan hasil dari Konvensi Jenewa 1951, kemudia hadirlah EU – Turkey Statement dalam menangani permasalahan krisis pengungsi Suriah dan Langkah yang diambil oleh EU – Turkey dalam mengatasi Pengungsi Suriah. Sehingga dalam hal ini, peneliti juga akan melakukan Analisa mengenai kebijakan yang dibuat antara Turkey dan Uni Eropa dalam mengatasi krisis pengungsi Suriah dan membahas ancaman Kawasan yang terjadi. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui bagaiman Uni Eropa dan Turki mengatasi Pengungsi Suriah, Langkah – Langkah yang diambil dalam mengatasi permasalahan pengungsi Suriah dan ancaman Kawasan yang terjadi.

The methodology in this research uses Literary Studies and is a qualitative and descriptive analysis. The study will focus on the researchers' goal of conducting an Analysis of cooperation conducted by the EU and Turkey in dealing with the refugee crisis. The analysis will be based on the implementation of the results of the Joint Agreement between the EU and Turkey within the European Union – Turkey Joint Action Plan and the European Union – Turkey Statement. The process of international cooperation by the European Union and Turkey in dealing with the refugee crisis attracted researchers to conduct research on the cooperation carried out. The final agreement between the EU and Turkey in the EU-Turkey statement is said to have a more effective impact on the handling of the Syrian refugee crisis than the previous cooperation, the EU – Turkey Joint Action Plan. But the European Union – Turkey Joint Action Plan has not complied with the results of the 1951 Geneva Conventions, then came the EU – Turkey Statement in addressing the issue of the Syrian refugee crisis and the Steps taken by the EU – Turkey in dealing with Syrian Refugees. In this case, the researchers will also conduct an analysis of the policies made between Turkey and the European Union in addressing the Syrian refugee crisis and discussing the regional threats that occur. The purpose of this study is to find out how the European Union and Turkey are coping with Syrian Refugees, the steps taken in addressing the Syrian refugee problem and the Regional threats that occur."
Depok: Sekolah Kajian Stratejik dan Global Universitas Indonesia, 2021
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Jakarta: Komisi Hak Asasi Manusia, 2008
323.4 KOM k
Buku Teks SO  Universitas Indonesia Library
cover
Keisha Marsha Tuffahati
"Tulisan ini akan mencoba memahami bagaimana istilah human security dipahami dalam konteks studi keamanan internasional dari 3 sudut pandang: human security sebagai Hak Asasi Manusia, human security sebagai freedom from fear, dan human security sebagai freedom from want. Human security sebagai Hak Asasi Manusia menekankan pada pentingnya diseminasi norma HAM yang diwujudkan dalam bentuk agenda human security serta peran berbagai aktor dalam upaya diseminasi norma tersebut. Human security sebagai freedom from fear menekankan perlindungan terhadap manusia dari situasi konflik serta justifikasi terhadap intervensi kemanusiaan. Sedangkan human security sebagai freedom from want menekankan perlindungan terhadap martabat dan pemberdayaan manusia melalui program pembangunan. Analisis juga meliputi bagaimana kontribusi human security bagi studi keamanan serta penjajaran perbedaan kedua konsep tersebut.
Tulisan ini berargumen bahwa human security memperkaya khasanah kajian keamanan internasional dengan memperluas agenda keamanan dan pengadopsian agenda normatif. Selain itu, tulisan ini menyimpulkan bahwa meskipun diklaim sebagai perusak koherensi intelektual kajian keamanan, konsep human security tetap relevan dalam studi keamanan internasional karena konsep tersebut berorientasi pada pembuatan kebijakan. Pada praktiknya, konsep human security digunakan sebagai jargon dalam mempromosikan agenda keamanan dan pembangunan oleh institusi internasional seperti PBB serta negara middle power seperti Kanada dan Jepang.

This paper aims to seek how human security is understood from 3 standpoints human security as human rights, human security as freedom from fear, and human security as freedom from want. Human security as human rights emphasizes dissemination of human rights norms manifested in the form of human security agenda and the role of various actors in the dissemination of the norms. Human Security as freedom from fear emphasizes protection of the people in conflict situations and justification towards humanitarian intervention agenda. Meanwhile, human security as freedom from want emphasizes the protection of human dignity and human empowerment through development program. It also highlights the contribution of human security to security studies as well as juxtaposition of the two concepts.
This paper argues that human security has enriched the repertoire of security studies by expanding the scope of security and adopting normative agenda. This paper concludes that although human security is claimed to be damaging to intellectual coherence of security studies, the concept itself remains relevant in international security studies due to its policy orientedness. In practice, human security is used as a jargon in promoting security and development agenda by international insitutions such as the United Nations as well as middle power countries such as Canada and Japan.
"
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2017
TA-Pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Modhy Mahardika Jufri
"Terjadinya konflik di berbagai negara di Asia berakibat pada meningkatnya jumlah pengungsi dan pencari suaka. Kebutuhan akan perlindungan dan kehidupan yang layak membuat para pencari suaka ini rela menempuh cara apapun untuk mendapat perlindungan di negara lain, termasuk dengan menjadi imigran gelap. Australia, sebagai salah satu negara tujuan pencari suaka, memberlakukan Operation Sovereign Borders dengan mencegat dan mengembalikan kapal pengangkut pencari suaka untuk melindungi perbatasan sekaligus mengurangi laju imigran gelap yang masuk ke negara tersebut. Pada praktiknya kebijakan ini melanggar berbagai ketentuan hukum internasional yakni prinsip non-refoulement, hukum hak asasi manusia, kewajiban SAR, penanganan terhadap penyelundupan imigran, dan pelanggaran kedaulatan Republik Indonesia.

Conflicts in several countries in Asia resulted in increasing number of refugees and asylum seekers. The need for protection and a decent life makes them willing to take any way to get protection in other countries, including by being illegal migrants. Australia, as a destination country for asylum seekers, imposed Operation Sovereign Borders by intercepting and returning ships carrying asylum seekers to protect the border while reducing the rate of illegal migrants coming into the country. In practice, this policy violates various provisions of international law, namely the principle of non-refoulement, human rights law, SAR obligation, the handling of migrant smuggling and violations of Indonesia sovereignty.
"
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2016
S65398
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>