Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 177533 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Afif Murfid Nur Aziz
"Dewasa awal memasuki masa transisi yang menimbulkan perasaan negatif terkait masa depan yang dikenal dengan quarter life crisis dan sebagai kelompok usia yang paling banyak menggunakan media sosial. Penggunaan media sosial dapat menyebabkan penggunanya mengalami perbandingan sosial yang berisiko meningkatkan terjadinya quarter life crisis. Self-compassion merupakan sikap positif yang dapat mengurangi dampak negatif dari situasi stres dan juga dibutuhkan saat quarter life crisis. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui hubungan intensitas penggunaan media sosial dan self-compassion dengan quarter life crisis pada dewasa awal. Desain penelitian menggunakan pendekatan cross sectional dan metode kuantitatif. Sampel penelitian berjumlah 473 dewasa awal di Jakarta Timur yang diambil dengan teknik purposive sampling. Instrumen penelitian menggunakan Social Media Use Integration Scale (SMUIS), Skala Welas Diri (SWD), dan Skala Quarter Life Crisis (SQLC). Analisis meggunakan Spearman’s Rho dengan hasil yang menunjukkan tidak terdapat hubungan (p>0,05) antara intensitas penggunaan media sosial dengan quarter life crisis dan terdapat hubungan (p<0,05) antara self-compassion dengan quarter life crisis. Berdasarkan hasil  penelitian ini, diharapkan dewasa awal dapat memanfaatkan self-compassion selama menghadapi quarter life crisis serta tetap bijak dalam menggunakan media sosial. Penelitian selanjutnya dapat meneliti terkait variabel lain yang berkaitan dengan quarter life crisis

Emerging adulthood are entering a transitional period that raises negative feelings about the future known as the quarter life crisis and as the age group that mostlu uses social media. The use of social media could cause users to experience social comparisons that increase the risk of a quarter life crisis.  Self-compassion is a positive attitude that could reduce the negative impact of stressful situations and also needed during quarter life crises. This study aims to determine the relationship between the intensity of social media use and self-compassion with quarter life crisis in emerging adulthood. The research design used a cross sectional approach and quantitative methods. The research sample consisted of 473 emerging adults in East Jakarta who were taken through purposive sampling technique. The research instruments used the Social Media Use Integration Scale (SMUIS), Self-Compassion Scale (SWD), and Quarter Life Crisis Scale (SQLC). Analysis using Spearman's Rho with results showing there is no relationship (p>0.05) between the intensity of social media use and quarter life crisis and there is a relationship (p<0.05) between self-compassion and quarter life crisis. Based on the results of this research, it is expected that emerging adults can utilize self-compassion when facing a quarter life crisis and must use social media wisely. Future research could examine other variables related to the quarter life crisis."
Depok: Fakultas Ilmu Keperawatan Universitas Indonesia, 2024
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Anisa Novianti
"Self-compassion merupakan salah satu cara adaptif untuk bersikap terhadap diri sendiri ketika sedang berada pada kondisi krisis terutama krisis pada masa dewasa awal atau emerging adult yang disebut quarter-life crisis (QLC). Periode emerging adult atau dewasa awal merupakan masa paling rentan untuk mengalami krisis yang tinggi disebabkan karakteristik- karakteristik dari mereka yang masih merasa belum menjadi dewasa sepenuhnya sehingga membutuhkan proses yang penuh lika-liku untuk memenuhi tugas perkembangan. Proses tersebut seringkali menyebabkan adanya perasaan negatif terhadap diri, putus asa, hingga kewalahan akan tujuan hidup sehingga akhirnya terjadi quarter-life crisis. Dengan itu, self-compassion dapat berperan sebagai penyangga terhadap emosi negatif, adanya penerimaan diri serta membuat seseorang lebih mungkin untuk mengambil tanggung jawab dalam situasi sulit tersebut (Leary dkk., 2007; Neff, 2007a). Penelitian ini bertujuan untuk melihat peran self-compassion terhadap quarter-life crisis pada usia dewasa awal yang berusia 18-29 tahun di Indonesia (N =109) menggunakan teknik analisis regresi linear sederhana. Hasil penelitian menunjukkan bahwa self-compassion memiliki peran yang signifikan terhadap quarter-life crisis (R2 = 0,468, F (1, 107) = 93,96, p < 0,001). Nilai R² sebesar 0,468 berarti bahwa variabel self-compassion berperan sebesar 46,8% dari quarter-life crisis dengan arah peran self-compassion terhadap quarter-life crisis adalah negatif, artinya semakin tinggi tingkat self-compassion, maka semakin rendah tingkat quarter-life crisis (β = - 0,684, p < 0,001).

Self-compassion is an adaptive response when people are in a crisis, particularly an adult identity crisis known as a quarter-life crisis (QLC). Emerging adulthood is the most vulnerable period for a high risk of experiencing such crisis due to the characteristics of those who still experiencing a difficult transition from late adolescence to adulthood, and do not feel fully grown yet, so they require a process full of ups and downs to accomplish developmental tasks. This process often causes negative feelings towards oneself and hopelessness, to the point of being overwhelmed with future life goals, which leads to a quarter-life crisis. With that, self-compassion can act as a buffer against negative emotions, and self-acceptance also makes it more likely to take responsibility in these difficult situations. The purpose of this study is to investigate the role of self-compassion on quarter-life crisis tendencies in emerging adulthood (aged 18-29 years) in Indonesia (N = 109) using a simple linear regression analysis technique. The findings suggest that self-compassion played a significant role in emerging adulthood quarter-life crisis (R2 = .468, F (1, 107) = 93.96, p < .001). The R² value of 0.468 indicates that the self-compassion variable explains 46.8% of quarter-life crisis, with the negative direction of the role of self-compassion toward quarter-life crisis. That is, the higher the level of self-compassion, the lower the level of a quarter-life crisis (β = -0.684, p <0.001)."
Depok: Fakultas Psikologi Universitas Indonesia, 2022
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Gemini Rosiana
"Kelompok umur yang berpeluang besar mengalami quarter-life crisis adalah individu pada masa dewasa awal, ini dikarenakan individu sedang mengalami masa transisi dalam membangun kehidupan, karir, dan hubungan interpersonal dengan individu lain secara mandiri. Akan tetapi, metode mindfulness diajukan dapat mengurangi quarter-life crisis. Penelitian dilakukan kepada 175 partisipan dengan proporsi perempuan 57,7% yang berada pada masa dewasa awal dengan rentang usia 18-25 tahun. Pengukuran dilakukan dengan cara self-report, variabel mindfulness diukur dengan MAAS (Mindfulness Attention & Awareness Scale) dan Quarter-life Crisis Scale yang sudah diadaptasi dalam Bahasa Indonesia. Hasil analisis menunjukkan bahwa mindfulness berkontribusi positif signifikan terhadap quarter-life crisis yang dialami dewasa awal (r(175) = 0,500, dengan p < 0,05) dan tidak ada perbedaan signifikan pada skor quarter-life crisis antara laki-laki dan perempuan. Implikasi penelitian adalah perlu adanya penelitian lebih lanjut mengenai mindfulness dan quarter-life crisis pada individu dewasa awal setelah pasca pandemi.

Individual in emerging adulthood period are the age group that most likely to experience quarterlife crisis; this mainly caused by individual that experiencing a transitional period whereas trying to build a life, career, and interpersonal relationships with other individuals. However, the mindfulness method is proposed to reduce quarter-life crises. The study was conducted on 175 participants, with a total proportion of 57.7% females who were in their early adulthood with an age range of 18–25 years. The measurement was carried out by utilizing a self-report questionnaire which has been adapted to Bahasa. While the mindfulness variable is measured by the MAAS (Mindfulness Attention and Awareness Scale), the quarter-life crisis variable is measured by a Quarter-life Crisis Scale. The results of the analysis showed that mindfulness made a significant positive contribution to the quarter-life crisis experienced by early adulthood (r(175) = 0.500, with a p<0.05) while there is no significant differences between man and woman for quarter-life crisis score. The results implied the urgency to conduct further research upon post-pandemic period on mindfulness and quarter-life crisis in emerging adulthood."
Depok: Fakultas Psikologi Universitas Indonesia, 2022
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Jasmine Devina Arviani Putri
"Gangguan depresi digolongkan oleh WHO sebagai kontributor tunggal terbesar untuk disabilitas global dengan tingkat prevalensi yang tinggi. Lebih spesifik, tahap transisional perkembangan dari remaja menuju dewasa, atau disebut sebagai emerging adulthood, merupakan kelompok usia tertinggi yang beresiko mengalami depresi sehingga diperlukan intervensi yang sesuai. Meskipun terdapat beberapa faktor yang dapat mencegah depresi, penelitian ini menjadikan faktor protektif self-compassion sebagai fokus utama. Penelitian ini bertujuan untuk menyelidiki hubungan antara self-compassion dan depresi melalui peran mediasi regulasi emosi adaptif dan maladaptif pada emerging adulthood. Populasi dalam penelitian ini merupakan emerging adulthood berusia 18-25 tahun yang berdomisili di Indonesia. Pengambilan data dilakukan dengan melakukan pendekatan kuantitatif yakni dengan menyebarkan kuesioner secara daring kepada 385 partisipan. Kuesioner yang digunakan antara lain SCS-SF untuk mengukur tingkat self-compassion, BDI untuk mengukur tingkat depresi, dan CERQ untuk melihat cara individu dalam mengatur emosinya setelah mengalami peristiwa negatif. Hasil analisis statistik korelasi menunjukkan bahwa terdapat hubungan negatif yang signifikan antara self-compassion dan depresi. Hasil analisis multiple mediation regression juga menunjukkan bahwa terdapat efek mediasi parsial dari regulasi emosi adaptif dan maladaptif yang signifikan pada hubungan antara self-compassion dan depresi tersebut. Disarankan perlunya pengembangan self-compassion dan strategi regulasi emosi adaptif untuk mengurangi tingkat depresi pada populasi emerging adulthood.

Depression is classified by WHO as the single largest contributor to global disability with a high prevalence rate. More specifically, the transitional stage of development from adolescence to adulthood, or known as emerging adulthood, is the highest age group at risk for depression, thus appropriate intervention is needed. Although there are several factors that can prevent depression, this study makes protective factor of self-compassion as the main focus. Therefore, this study aims to investigate the relationship between self-compassion and depression through the mediating role of adaptive and maladaptive emotional regulation in emerging adulthood. The population in this study are emerging adulthoods aged 18-25 years who live in Indonesia. Data was collected using a quantitative approach by distributing questionnaires online to 385 participants. The questionnaires used include SCS-SF to measure the level of self-compassion, BDI to measure the level of depression, and CERQ to see how individuals manage their emotions after experiencing negative events. The results of the correlation statistical analysis show that there is a significant negative relationship between self-compassion and depression. In addition, the results of multiple mediation regression analysis also show that there is a significant partial mediation effect of adaptive and maladaptive emotional regulation on the relationship between self-compassion and depression. Thus, it is suggested the need to develop self-compassion and adaptive emotional regulation strategies to reduce depression rates in emerging adulthood populations."
Depok: Fakultas Psikologi Universitas Indonesia, 2020
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Arianbia Menako Mangkunegara
"Berbagai studi telah dilakukan mengenai keterkaitan antara adverse childhood experiences (ACEs) dan self-compassion terhadap gejala depresi. Peran kedua variabel tersebut terhadap gejala depresi juga telah diteliti, akan tetapi penelitian yang membandingkan peran keduanya terhadap gejala depresi masih sangat terbatas, khususnya pada populasi emerging adulthood di Indonesia. Penelitian ini bertujuan untuk menguji peran pengalaman sulit di masa kecil dan self-compassion terhadap gejala depresi pada emerging adulthood. Partisipan penelitian adalah individu emerging adulthood (N=482), yang diberikan kuesioner BDI-II untuk mengukur depresi, ACEQ untuk mengukur pengalaman sulit di masa kecil, dan SCS-SF untuk mengukur self-compassion yang dilakukan secara daring. Hasil penelitian menggunakan analisis regresi linear berganda menunjukkan bahwa baik pengalaman sulit di masa kecil maupun self-compassion berperan secara signifikan terhadap gejala depresi. Dibandingkan pengalaman sulit di masa kecil, self-compassion merupakan prediktor yang lebih kuat terhadap gejala depresi. Berdasarkan hasil penelitian ini, kesadaran masyarakat tentang self-compassion perlu ditingkatkan karena dapat menjadi faktor pelindung potensial untuk gejala depresi.

Many studies have done research about the relationship between adverse childhood experiences and self-compassion as predictors to depression symptoms. The role of those two variables in depression symptoms has also been done, however studies that comparing role those two variable on depressive symptoms are still very limited, specifically, in the emerging adulthood population in Indonesia. This study aims to test the role of adverse childhood experiences and self-compassion in depression symptoms in emerging adulthood. Participants of this study were emerging adulthood individuals (N=482), who were given BDI-II questionnaire to measure depression, ACE-Q to measure adverse childhood experiences, and SCS-SF to measure self-compassion conducted online. The results of this study, using multiple linear regression, showed that both adverse childhood experiences and self-compassion have a significant role in depression. Compared to adverse childhood experiences, self-compassion is the stronger predictor in depression symptoms. According to the results of this study, public awareness of self-compassion needs to be raised as it can be a potential protective factor for depression symptoms."
Depok: Fakultas Psikologi Universitas Indonesia, 2021
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Rr. Salsabila Putri Herfina
"Nilai merupakan tujuan yang bervariasi dalam kepentingannya dan berfungsi sebagai pedoman dalam kehidupan manusia. Sosialisasi budaya pada kehidupan individu juga dapat memengaruhi pemilihan perilaku mereka, serta prioritas nilai yang mungkin terbentuk dalam hidup mereka. Salah satu bentuk orientasi budaya merupakan budaya kolektivisme, dimana individu mengidentifikasikan diri sebagai bagian dari kelompok dan mengutamakan tujuan kelompok. Penelitian ini bertujuan untuk melihat apakah terdapat hubungan antara nilai dan kolektivisme pada emerging adulthood. Instrumen yang digunakan dalam penelitian ini adalah Portrait Value Questionnaire (PVQ)-21 untuk pengukuran nilai dan The Individualism-Collectivism Interpersonal Assessment Inventory (ICIAI) untuk pengukuran kolektivisme. Hasil penelitian yang dilakukan terhadap 258 partisipan emerging adults menggunakan analisis korelasional menunjukkan terdapat hubungan yang signifikan antara 9 tipe nilai, yaitu stimulation, hedonism, achievement, power, security, conformity, tradition, benevolence, dan universalism dan empat jenis hubungan kolektivisme, yaitu keluarga, teman dekat, kolega, dan orang yang tidak dikenal, pada emerging adulthood. Adanya korelasi antara nilai dan kolektivisme diharapkan dapat menjadi sarana penanaman nilai yang positif dalam masyarakat untuk pencapaian tujuan bersama yang positif.

Values are goals that vary in importance and serve as guidelines in human life. Cultural socialization in an individual's life can also influence their choice of behavior, as well as the value priorities that may form in their lives. One form of cultural orientation is collectivism, where individuals identify themselves as part of a group and prioritize group goals. This study aims to see if there is a relationship between values and collectivism in emerging adulthood. The instruments used in this study are the Portrait Value Questionnaire (PVQ)-21 for measuring values and The Individualism-Collectivism Interpersonal Assessment Inventory (ICIAI) for measuring collectivism. The results of a study conducted on 258 emerging adults using correlational analysis showed that there is a significant relationship between 9 types of values, which are stimulation, hedonism, achievement, power, security, conformity, tradition, benevolence, and universalism and four types of collectivism relationships, which are family, close friends, colleagues, and strangers, in emerging adulthood. The correlation between value and collectivism is expected to be a means of instilling positive values in society for the achievement of positive common goals."
Depok: Fakultas Psikologi Universitas Indonesia, 2023
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Saniyya Sridarmi
"Quarter life crisis adalah kondisi yang menggambarkan krisis atas identitas yang dirasakan oleh seorang individu dari mereka remaja dan kemudian beranjak menjadi seorang individu dewasa dengan sumber krisis yang berpusat pada belum siapnya individu dalam proses transisi antar status tersebut. Secara umum, dampak yang dihasilkan pada saat seseorang mengalami situasi krisis ini adalah mereka akan merasakan penurunan tingkat percaya diri, menarik diri secara sosial, cemas hingga depresi. Dalam menghadapi situasi ini, individu diharapkan memiliki sumber penguatan dari dalam dirinya dan lingkungan sekitarnya. Penelitian ini memiliki tujuan untuk mengetahui hubungan antara dukungan sosial dengan tingkat quarter life crisis pada Individu dewasa awal. Penelitian ini menggunakan pendekatan penelitian kuantitatif dengan jenis survei. Sampel dalam penelitian ini diukur dengan menggunakan metode probability sampling dengan teknik stratified random sampling, sedangkan untuk instrumen penelitian yang digunakan adalah kuesioner. Alat ukur dukungan sosial disusun dengan mengacu kepada teori oleh House (1981) tentang 4 aspek mengenai dukungan sosial, sedangkan untuk alat ukur quarter life crisis, peneliti mengadaptasi kuesioner oleh Hassler (2009) tentang quarter life crisis. Responden dalam penelitian ini berjumlah 85 mahasiswa yang seluruhnya terhimpun sebagai mahasiswa tingkat akhir Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Indonesia angkatan 2019. Hasil penelitian menunjukkan adanya hubungan signifikan antara dukungan sosial dengan tingkat quarter life crisis dengan arah hubungan antara keduanya adalah negatif (r=-0,686**) di mana semakin rendah dukungan sosial maka semakin tinggi tingkat quarter life crisis yang dialami oleh seseorang, dan berlaku untuk sebaliknya.

Quarter life crisis is an identity crisis phenomenon that occurs to the unpreparedness in the transition process from a teenager and then turns into an adulthood. The impact that is produced when someone experiences this crisis situation is that they will feel a decrease in their level of self-confidence, anxiety and depression. To dealing with this situation, individuals are expected to have a source of reinforcement from within themselves and their surroundings. Therefore, this study aims to determine the relationship between social support and quarter life crisis in early adulthood. This study uses a quantitative research approach with a survei type. The sample in this study was measured using the probability sampling method with stratified random sampling technique, while the research instrument used was a questionnaire. The measuring instrument for social support was prepared with reference to the theory by House (1981) regarding 4 aspects of social support, while for the measuring instrument for quarter life crisis, researchers adapted the questionnaire by Hassler (2009) about quarter life crisis. Respondents in this study totaled 85 students, all of whom were final year students at the Faculty of Social and Political Sciences, University of Indonesia class of 2019. The results showed that there was relationship between social support and the level of quarter life crisis. The direction of the relationship between the two was negative ( r=-0.686**). The lower the social support score, the higher the level of quarter life crisis experienced by a person, and vice versa."
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2023
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Lullafayza Maharani
"Emerging adulthood merupakan periode transisi dari usia remaja ke usia dewasa, di mana individu berada di masa eksplorasi diri yang dipenuhi dengan berbagai perubahan, tantangan, dan ketidakpastian dalam banyak area di kehidupan. Demi keberlangsungan perkembangan individu di masa emerging adulthood, emerging adults membutuhkan nilai sebagai pedoman dalam berperilaku dan menjalankan peran. Nilai tersebut dapat dipelajari di lingkungan sosial terdekatnya, terutama keluarga yang memiliki fungsi sebagai agen sosialisasi utama individu. Penelitian ini bertujuan untuk melihat peran keberfungsian keluarga terhadap tipe nilai Schwartz pada emerging adults, dan melihat nilai apa yang diprediksi oleh keberfungsian keluarga. Tipe nilai Schwartz terdiri dari nilai self-direction, stimulation, hedonism, achievement, power, security, conformity, tradition, benevolence, dan universalism. Pengambilan data dilakukan menggunakan alat ukur Family Assessment Device (FAD) untuk mengukur variabel keberfungsian keluarga dan alat ukur Portrait Values Questionnaire (PVQ) untuk mengukur variabel tipe nilai Schwartz. Partisipan penelitian ini adalah 309 emerging adults berusia 18 s.d. 25 tahun (M = 21.68, SD = 1.856) dan merupakan warga negara Indonesia. Hasil analisis regresi multivariat menunjukkan bahwa keberfungsian keluarga (t(309) = 4.864) secara signifikan dapat memprediksi nilai tradition pada emerging adults (F = 23.660, p < 0.05, R² = 0.072, adjusted R² = 0.069). Penemuan ini menunjukkan bahwa semakin tinggi tingkat keberfungsian keluarga, maka akan semakin tinggi prioritas nilai tradition yang dimiliki individu. Oleh karena itu, keluarga dihimbau untuk menanamkan dan mempertahankan nilai tradition dalam keluarga sebagai bekal pedoman emerging adults dalam menjalankan perannya dan ketika memasuki usia dewasa nantinya.

.Emerging adulthood is a transitional period from adolescence to adulthood, where individuals are in a phase of self-exploration filled with various changes, challenges, and uncertainties in many areas of life. In order for individuals to develop successfully during emerging adulthood, emerging adults need values as guidelines for their behavior and role fulfillment. These values can be learned in their immediate social environment, especially within the family, which serves as the primary agent of socialization for individuals. This study was aimed to examine the role of family functioning in Schwartz's value types among emerging adults and identify which value types are predicted by family functioning. Schwartz’s value types include self-direction, stimulation, hedonism, achievement, power, security, conformity, tradition, benevolence, and universalism. Data was collected using the Family Assessment Device (FAD) to measure family functioning and the Portrait Values Questionnaire (PVQ) to measure Schwartz's value types. The participants of this study were 309 emerging adults aged 18 to 25 years (M = 21.68, SD = 1.856) and citizens of Indonesia. The result of the multivariate regression analysis showed that family functioning (t(309) = 4.864) significantly predicts the value of tradition in emerging adults (F = 23.660, p < 0.05, R² = 0.072, adjusted R² = 0.069). This finding suggests that the higher the level of family functioning, the higher the priority given to the value of tradition by individuals. Therefore, families are encouraged to instill and maintain the value of tradition within the family as a guide for emerging adults in fulfilling their roles and as they enter adulthood."
Depok: Fakultas Psikologi Universitas Indonesia, 2023
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Earlita Adelia
"Penelitian tentang kekerasan berpacaran siber masih terbatas walaupun hubungan romantis yang dijalin secara online sudah umum. Salah satu faktor risiko dari kekerasan dalam berpacaran adalah pengalaman buruk masa kecil. Selain itu, regulasi emosi diketahui berhubungan dengan meningkatnya perlakuan dan kemungkinan menjadi korban kekerasan dalam berpacaran. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh pengalaman buruk masa kecil terhadap kekerasan dalam berpacaran siber dan kemampuan regulasi emosi sebagai moderator hubungan di antara keduanya. Dalam penelitian ini kekerasan berpacaran siber diukur melalui kedua sisi yaitu sisi pelaku dan juga korban. Partisipan berjumlah 117 dewasa muda Indonesia (64.8% perempuan, M usia = 20,22, SD = 1,925). Ditemukan bahwa pengalaman buruk masa kecil memprediksi kekerasan berpacaran siber dari sisi pelaku (b = 0.252, t(117) = 4.060, p < 0.05) dan regulasi emosi bukan merupakan moderator yang signifikan (b = 0.001, t(117) = 0.381, p > 0.05). Pengalaman buruk masa kecil juga ditemukan memprediksi kekerasan berpacaran siber dari sisi korban (b = 0.341 , t(117) = 4.764, p < 0.05) dan regulasi emosi bukan merupakan moderator yang signifikan (b = -0.000, t(117) = ,0.042, p > 0.05). Hasil ini menekankan hubungan antara pengalaman buruk masa kecil dengan kekerasan dalam berpacaran dalam konteks siber.

Research related to cyber dating abuse is still limited even though online romantic relationships are common. One of the risk factors for dating violence is adverse childhood experiences. In addition, emotion regulation is known to be associated with increased perpetration and the likelihood of being a victim of dating violence. This study aims to determine the effect of adverse childhood experiences on cyber dating abuse and emotion regulation as a moderator. Cyber dating abuse is measured through perpetrator's side and also the victim's side. Participants totalled 117 emerging adults (64.8% female, M age = 20.22, SD = 1.925). It was found that adverse childhood experiences predict cyber dating abuse from the perpetrator's side (b = 0.252, t(117) = 4.060, p < 0.05) and emotion regulation is not a significant moderator (b = 0.001, t( 117) = 0.381, p > 0.05). Adverse childhood experiences were also found to predict cyber dating abuse from the victim side (b = 0.341 , t(117) = 4.764, p < 0.05) and emotion regulation was not a significant moderator (b = -0.000, t(117) = 0.042, p > 0.05). These results emphasize the relationship between adverse childhood experiences and dating violence in cyber context.
"
Depok: Fakultas Psikologi Universitas Indonesia, 2023
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Aisyah Qonita
"Religious coping pada penelitian sebelumnya menunjukkan efikasi dan peran yang berbeda-beda dalam hal signifikansi hubungannya dengan subjective well being. Penelitian ini bertujuan untuk menguji kembali hubungan religious coping dengan subjective well being pada populasi emerging adulthood, dengan metode korelasional. Instrumen yang digunakan Brief RCOPE dan The PERMA Profiler. Partisipan penelitian berjumlah 278 partisipan, yang berusia 18-25 tahun (M = 21.48, SD = 1.714) dan berkewarganegaraan Indonesia. Hasil penelitian menunjukan bahwa hipotesis peneliti diterima. Pertama, didapatkan bahwa penggunaan positive religious coping berasosiasi dengan subjective well being yang lebih tinggi pada emerging adulthood. Kedua, negative religious coping berasosiasi dengan subjective well being yang lebih rendah pada emerging adulthood. Hasil ini dapat menjadi bahan pertimbangan intervensi maupun prevensi untuk emerging adult yang menggunakan negative religious coping.

Religious coping in previous studies showed different efficacy and roles in terms of the significance of the relationship with subjective well being. This study aims to re-examine the relationship between religious coping and subjective well-being among emerging adults, using the correlational method. The instruments used were Brief RCOPE and The PERMA Profiler. There were 278 participants in the study, aged 18-25 years (M = 21.48, SD = 1.714) and Indonesian citizens. The results showed that the research hypothesis was accepted. First, it was found that the use of positive religious coping was associated with higher subjective well being in emerging adulthood. Second, negative religious coping is associated with lower subjective well being in emerging adulthood. These results can be used as material for consideration of interventions and prevention for emerging adults who use negative religious coping."
Depok: Fakultas Psikologi Universitas Indonesia, 2023
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>