Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 87510 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Anastasia Artantri Widyautami
"Kudeta militer Myanmar pada 1 Februari 2021 sebagai penggagalan hasil Pemilu 2020 Myanmar menjadi fenomena yang menggemparkan di Asia Tenggara hingga seluruh dunia. Berbagai aksi protes dan perlawanan dari masyarakat sipil, EAOs, dan PDF terhadap militer Myanmar (SAC) kian memperkeruh situasi keamanan dan kondisi kemanusiaan di Myanmar. ASEAN merespons krisis tersebut dengan menunjuk Utusan Khusus untuk Myanmar demi mengupayakan mediasi antara pihak-pihak berkonflik, sejalan dengan konsensus bersama yang tertuang dalam Five-Point Consensus (FPC). Akan tetapi, mediasi belum tercapai hingga akhir Keketuaan Indonesia di ASEAN pada tahun 2023. Menanggapi fenomena tersebut, skripsi ini mempertanyakan mengapa Utusan Khusus ASEAN untuk Myanmar belum berhasil memediasi pihak-pihak berkonflik dalam krisis Myanmar sejak 2021 setelah melewati tiga Keketuaan ASEAN. Dengan menggunakan kerangka analisis special envoy communication-based approach, penelitian ini menemukan bahwa faktor kemampuan Utusan Khusus ASEAN dalam menginisiasi diskusi dan negosiasi, serta struktur dan pendekatan trust-building ASEAN yang menentukan arah gerak dan capaian Utusan Khusus berpengaruh terhadap keberhasilan upaya memediasi pihak-pihak berkonflik di Myanmar. Lebih lanjut, disimpulkan bahwa mediasi tidak tercapai jika salah satu indikator saja dalam kerangka analisis tidak terpenuhi, seperti transparansi yang luput diperhatikan ketika menjelang Jakarta Informal Meeting November 2023.

The Myanmar military coup on February 1, 2021, following the 2020 Myanmar elections, was a shocking event in Southeast Asia and globally. Protests and resistance from civil society, EAOs, and PDF against the Myanmar military (SAC) have worsened the security situation and humanitarian conditions in Myanmar. In response to the crisis, ASEAN appointed a Special Envoy for Myanmar to mediate between the conflicting parties, as outlined in the Five-Point Consensus (FPC). Despite efforts spanning three ASEAN Chairmanships, including Indonesia's leadership until 2023, mediation efforts have not achieved the intended outcomes. This study aims to understand why the ASEAN Special Envoy for Myanmar has not been successful in mediating the Myanmar crisis after passing through three ASEAN Chairmanships. Using the special envoy communication-based approach as the analytical framework, this research found that the special envoy’s ability to initiate discussions and negotiations, as well as the influence of ASEAN's structure and trust-building approach, determines the success of efforts to mediate all parties concerned in Myanmar. Furthermore, this study concludes that successful mediation hinges on meeting each aspect of this framework; for instance, transparency, notably lacking when approaching the Jakarta Informal Meeting in November 2023."
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2024
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Nur Rifka Kholilah
"Kudeta Militer yang terjadi di Myanmar yang dimulai sejak bulan Februari 2021, menjadi perhatian berbagai negara internasional termasuk organisasi regional Asia tenggara yaitu ASEAN (The Association of Southeast Asian Nations). Kudeta militer ini terjadi karena tidak terimanya pihak militer atas kemenangan NLD (National League for Democracy) pada pemilu yang diadakan pada bulan November 2020. Adanya kudeta militer membuat masyarakat Myanmar tidak terima dan menginginkan kembalinya demokrasi. Masyarakat Myanmar melakukan aksi protes yang mana pihak militer melawannya dengan tindakan koersif hingga terjadi berbagai pelanggaran HAM (Hak Asasi Manusia) seperti penculikan, penembakan dan sebagainya. Pelanggaran HAM yang terjadi ini menimmbulkan banyak korban jiwa dan keadaan Myanmar yang semakin tidak kondusif sehingga menjadi sebuah krisis kemanusiaan yang semakin mengkhawatirkan. Oleh karena itu, ASEAN sebagai organisasi regional merasa prihatin dan mengambil peran untuk membantu Myanmar mencari solusi untuk mengatasi kudeta militer dan mengembalikan Myanmar ke arah demokrasi. Dalam menganalisis peran ASEAN, penulis menggunakan konsep flexible engangement atau constructive intervention dan responsibility to protect. Penelitian ini, penulis menggunakan metode kualitatif dengan menggunakan data yang diperoleh dari buku, jurnal, skripsi, artikel, berita, perjanjian atau piagam internasional dan situs – situs online. Pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah kelembagaan untuk melihat peran lembaga regional yaitu ASEAN dalam membantu Myanmar mengatasi konflik HAM pasca kudeta militer. ASEAN menjalankan perannya dengan mengutamakan keharmonisan melalui cara damai untuk menyelesaikan permasalahan kemanusiaan yang terjadi di Myanmar. Hal tersebut diimplementasikan dengan melakukan berbagai pertemuan formal dan informal hingga menghasilkan lima poin konsensus sebagai rekomendasi kepada Myanmar.

The military coup that took place in Myanmar, which began in February 2021, has attracted the attention of various international countries, including the Southeast Asian regional organization, namely ASEAN (The Association of Southeast Asian Nations). This military coup occurred because the military did not accept the victory of the NLD (National League for Democracy) in the elections held in November 2020. The military coup made the people of Myanmar not accept and want the return of democracy. The people of Myanmar staged a protest which the military fought with coercive measures that resulted in various human rights violations such as kidnappings, shootings and so on. The human rights violations that have occurred have caused many casualties and Myanmar's increasingly unfavorable situation has become an increasingly worrying humanitarian crisis. Therefore, ASEAN as a regional organization is concerned and takes a role to help Myanmar find a solution to overcome the military coup and return Myanmar to democracy. In analyzing the role of ASEAN, the author uses the concept of flexible engagement or constructive intervention and responsibility to protect. In this study, the authors used qualitative methods using data obtained from books, journals, theses, articles, news, international treaties or charters and online sites. The approach used in this research is institutional to see the role of regional institutions, namely ASEAN in helping Myanmar overcome human rights conflicts after the military coup. ASEAN carries out its role by prioritizing harmony through peaceful means to resolve humanitarian problems that occur in Myanmar. This was implemented by holding various formal and informal meetings to produce five consensus points as recommendations to Myanmar.
"
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2022
TA-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Maria Chitra Likita
"ABSTRAK
Berkembangnya hukum internasional telah merubah prinsip kedaulatan, ia tidak dapat dijadikan alasan bagi suatu pemerintah negara untuk tidak memberikan perlindungan hak asasi manusia kepada penduduknya. Doktrin intervensi humaniter yang ada, masih menimbulkan keresahan di kalangan komunitas masyarakat internasional. Berangkat dari hal tersebut timbulah gagasan doktrin Responsibiliy to Protect R2P untuk memberikan justifikasi baru terhadap intervensi kepada suatu negara yang telah nyata gagal untuk melindungi penduduknya dari 4 empat kejahatan, yakni: genosida, war crimes, crimes against humanity, dan ethnic cleansing. Penelitian ini lantas menganilis mengenai tindakan kejahatan berat yang terjadi pada etnis Rohingya di Myanmar serta kemungkinan ASEAN untuk menerapkan doktrin R2P tersebut. Metode yang digunakan dalam penelitian ini menggunakan metode penelitian normatif. Hasil yang diperoleh dari penelitian ini adalah dimungkinkannya ASEAN untuk menerapkan R2P kepada pemerintah Myanmar, sebab pemerintah Myanmar telah terbukti melakukan dan memenuhi unsur ndash; unsur dari tindakan kejahatan berat genosida dan crimes against humanity yang diatur pada hukum internasional yang merupakan syarat ndash; syarat untuk diadakannya R2P. Pemerintah Myanmar juga dinilai tidak mampu memenuhi tanggung jawabnya untuk melindungi dan menjadi pelaku kejahatan itu sendiri, maka tanggung jawab tersebut dapat berpindah kepada komunitas internasional dalam hal ini ialah ASEAN.ABSTRACT
As the international law develops, sovereignty now cannot be deemed as granting impunity for the government to not protect their citizen s human rights. Humanitarian intervention doctrine is still lacks of support from the international community. Departing from that, the Responsibiliy to Protect R2P comes to serve a new justification for a State who is failed to protect its citizen from 4 four violations, such as genocide, war crimes, crimes against humanity, and ethnic cleansing. This study thus seeks to analyse gross violation that happen to ethnic Rohingya in Myanmar along with possibility of implementing R2P by ASEAN. The method used in this study is normative method study. This study then found the possibility of ASEAN to implement R2P for Myanmar s government, due to its action and fulfilment of the elements of gross violation genocide and crimes against humanity that stipulated in international law as the requirements of R2P implementation. Myanmar s government might be judged for has no capability to comply its responsibility to protect and becomes the perpetrator itself. Subsequently, the responsibility may devolve to international community especially ASEAN for this case."
Depok: Universitas Indonesia, 2018
T50348
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Lukman Oesman
"Skripsi ini membahas tentang pengaruh dari penandatanganan Piagam ASEAN pada tahun 2007 terhadap dinamika politik di Myanmar. Penelitian ini menggunakan metode kualitatif dengan menjelaskan perilaku aktor-aktor politik pada proses penandatanganan dan berlakunya Piagam ASEAN dalam konteks dinamika politik di Myanmar. Piagam ASEAN yang ditandatangani pada tahun 2007 mencantumkan nilai-nilai demokrasi dan hak asasi manusia sebagai identitas dan tanggung jawab setiap negara anggota, sedangkan di sisi lain tidak keseluruhan negara anggota, terutama Myanmar, memiliki pandangan yang seragam mengenai kedua nilai tersebut. Penelitian ini berhasil menemukan bahwa Piagam ASEAN telah memberi ruang yang terbatas dalam mendesak pemerintahan junta militer Myanmar dalam melakukan liberalisasi politik. Lewat Piagam ASEAN, legitimasi internasional dan stabilitas dari proses liberalisasi politik di Myanmar dapat terlaksana secara terbatas.

This thesis discusses the influence of the ASEAN Charter signing in 2007, the political dynamics in Myanmar. This study used qualitative methods to explain the behavior of political actors in the process of signing and entry into force of the ASEAN Charter in the context of the political dynamics in Myanmar. ASEAN Charter signed in 2007 include the values of democracy and human rights as the identity and responsibility of each member state, while on the other hand not all member countries, particularly Myanmar, has a unified view of the two values. This study has found that the Charter has given the limited space in urging Myanmar's military junta government in conducting political liberalization. Through the ASEAN Charter, international legitimacy and stability of the process of political liberalization in Myanmar can be implemented on a limited basis."
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2013
S47394
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2001
S8140
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Rendra Sebastian Delano
"Dalam suatu organisasi regional yang turut mengintegrasikan perihal perekonomian seperti ASEAN, adanya penanggulangan disparitas adalah penting dalam mencapai tujuan dari berbagai kebijakan. Eksistensi disparitas dapat diestimasi melalui teori konvergensi yang beranjak dari Model Pertumbuhan Solow. Penelitian ini memaparkan bagaimana ASEAN secara perlahan mengalami tren penurunan disparitas antar negara anggota pasca pemekaran keanggotaan ASEAN hingga meliputi Indochina dalam dua dekade terakhir. Namun penelitian ini juga menyibak bahwa peranan perubahan struktural signifikan proses konvergensi di ASEAN. Perubahan struktural ini dipicu oleh Krisis Finansial Asia yang memberi guncangan pada berbagai variabel makroekonomi di Asia Tenggara.

In a regional organization which accommodates economic integration like ASEAN, reduction of disparities is important to achieve the target of policies. The existence of disparities can be estimated by convergence theory, of which based on Solow Growth Model. This paper explains how ASEAN slowly experienced the reduction of disparities among its member states after the expansion at Indochina in the last two decades. However, this paper also shows that the impact of structural break play a significant role in the process of convergence in ASEAN. This structural break was triggered by Asian Financial Crisis that affected various macroeconomic variables in Southeast Asia."
Depok: Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia, 2013
S45530
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Fatimatul Ula
"Tesis ini membahas strategi yang digunakan Cina dalam mempertahankan kepentingannya di Myanmar. Dan bagaimana strategi tersebut jika dibandingkan dengan strategi yang digunakan ASEAN. Dengan menggunakan soft power sebagai kerangka teorinya, tesis ini mencoba menjawab pertanyaan tersebut dilihat dari aspek ekonomi, politik, dan militer. Hasil penelitian menunjukkan bahwa semua strategi yang digunakan Cina lebih efektif bila dibandingkan dengan strategi yang digunakan ASEAN. Hal ini dikarenakan semua strategi yang digunakan Cina dapat memenuhi kebutuhan politik, militer, dan ekonomi Myanmar. Strategi yang digunakan Cina adalah strategi politik non-intervention, strategi ekonomi dengan kerjasama bilateral dan pemberian bantuan dan pinjaman, strategi militer dengan kerjasama persenjataan, dan juga strategi kontekstual HAM Cina.

This study is focuced on the strategy used by Cina in keeping his national interest in Myanmar. Moreover, this study also compares the strategy used by Cina and ASEAN. Soft power is used as the theory framework to get the answer of thi study. The result of this study shows that all the strategy that Cina used are more efective that the ASEAN's. It is because those strategy fulfill what Myanmar need. Those strategoes are non-intervention, bilateral cooperation, aids, and loans; arms trade cooperation, and also contextual Cina's human rights."
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2011
T28925
UI - Tesis Open  Universitas Indonesia Library
cover
"
"
Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2002
S8099
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2004
S8154
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Elvira Dianti
"Tesis ini berjudul Intervensi ASEAN terhadap Myanmar, Tahun 2003: Kasus Pelanggaran Hak Asasi Manusia. Topik ini menarik untuk diteliti karena ASEAN telah berani melakukan intervensi low coercion terhadap negara anggotanya yang dalam hal ini adalah Myazunar berkaitan dengan pelanggaran Hak Asasi Manusia dan proses demokrasi di negara itu. Mengingat sebelumnya ASEAN sangat kaku dengan prinsip non-intervensinya. Tetapi kasus pelanggaran HAM dan demokratisasi yang tidak mendapat perhatian dari junta militer Myanmar mendorong ASEAN untuk ikut mengkritik negara tersebut.
Tujuan ASEAN untuk ikut campur terhadap urusan dalam negeri Myanmar adalah untuk menegakkan HAM dan mewujudkan demokrasi di negara itu termasuk membebaskan Aung San Suu Kyi, yang merupakan tokoh demokrasi negara itu dari tahanan junta militer serta menciptakan stabilitas kawasan.
Penulis melakukan penelitian ini melalui pendekatan atau teori intervensi low coercion yang menurut Joseph S. Nye, Jr merupakan tingkatan intervensi yang paling rendah yaitu merupakan pernyataan untuk mempengaruhi politik domestik suatu negara. Berdasarkan teori tersebut, penulis menyimpulkan penelitian ini bahwa intervensi ASEAN terhadap Myanmar pada tahun 2003 telah membuat junta Myanmar melaksanakan Konvensi Nasional untuk membentuk UUD Myanmar sebagai dasar penyelenggaraan pemilu di negara itu."
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2005
T14093
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>