Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 220972 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Putri Noer Haliza
"Pekerja pada unit produksi minyak dan gas bumi berisiko terpajan berbagai bahaya kimia. Salah satu komponen bahan kimia dari minyak bumi adalah volatile organic compounds (VOC), dengan contoh bahan yang terkenal akan toksisitasnya adalah benzene, toluene dan xylene. Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis risiko kesehatan terkait pajanan benzene, toluene dan xylene pekerja kilang minyak san gas di PT. X. Penelitian ini menganalisis data sekunder pajanan personal BTX melalui rute inhalasi menggunakan active sampler. Dengan menggunakan metode Chemical Health Risk Assessment (CHRA) dari Department of Safety and Health, Malaysia ditemukan bahwa risiko pajanan benzene pada SEG CDU (crude distillation unit) terkategori risiko sangat tinggi. Untuk pajanan toluene dan xylene berada pada tingkat risiko kesehatan rendah pada hampir seluruh SEG. Berdasarkan hasil penelitian, diperlukan pengendalian yang tepat untuk mengatasi pajanan benzene, toluene dan xylene. Salah satu pengendalian yang direkomendasikan adalah meningkatkan konsistensi penggunaan alat pelindung diri, monitoring pajanan secara kontinu, melaksanakan biomonitoring dan pemeriksaan sel darah tepi.

Workers in oil and gas production units are at risk of exposure to various chemical hazards. One of the chemical components of petroleum is volatile organic compounds (VOC), with examples of materials known for their toxicity being benzene, toluene and xylene. This study aims to analyze health risks related to exposure to benzene, toluene and xylene of oil and gas refinery workers at PT. X. This study analyzes secondary data on personal exposure to BTX via the inhalation route using an active sampler. Using the Chemical Health Risk Assessment (CHRA) method from the Department of Safety and Health, Malaysia, it was found that the risk of benzene exposure in the SEG CDU (crude distillation unit) was categorized as very high risk. Exposure to toluene and xylene is at a low health risk level in almost all SEGs. Based on the research results, appropriate control is needed to overcome exposure to benzene, toluene and xylene. One of the recommended controls is increasing the consistent use of personal protective equipment, continuous monitoring of exposure, carrying out biomonitoring and examining peripheral blood cells."
Depok: Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia, 2024
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Haikal Muhammad Ariq Andrianto
"Laboratorium Migas merupakan tempat kerja untuk melakukan pengujian, penelitian, dan pengembangan minyak mentah, produk sampingan, hingga produk jadi menggunakan peralatan dan bahan yang ada. Laboratorium memiliki banyak bahaya di dalamnya, tak terkecuali dengan bahaya kimia seperti benzene, toluene dan xylene (BTX). Oleh karena itu, diperlukan kajian risiko kesehatan di Laboratorium Migas untuk mengetahui seberapa besar tingkat risiko BTX terhadap pekerja laboratorium. Kajian risiko kesehatan ini akan mengacu pada CHRA DOSH Malaysia (2018) dimana data yang didapatkan dianalisis menggunakan IHSTAT. Kajian risiko kesehatan dilakukan menyesuaikan dengan SEG yang sudah ditentukan, yaitu unit Crude & Product Classification, unit Facility & Quality, unit Fuel, unit Analytical & Gas, serta unit Petrochemical. Hasil dari penelitian menunjukan bahwa terdapat tingkat risiko yang tinggi pada pajanan benzene melalui rute inhalasi serta rute dermal terhadap unit Fuel. Sementara itu, pajanan xylene dan toluene berada pada tingkat risiko yang rendah untuk rute pajanan inhalasi serta berada pada tingkat pajanan moderat pada rute pajanan dermal. Dari hasil penelitian terkait tingkat risiko keseharan pada pajanan benzene, toluene, dan xylene, diperlukan peningkatan kesadaran pekerja untuk menggunakan APD tambahan serta peningkatan sistem ventilasi di tempat kerja.

The Oil and Gas Laboratory is a workplace for conducting testing, research and development on crude oil, by-products and finished products using existing equipment and materials. Laboratories have many dangers in them, including chemical hazards such as benzene, toluene and xylene (BTX). Therefore, it is necessary to study health risks in oil and gas laboratories to find out how big the risk level of BTX is to laboratory workers. This health risk study will refer to CHRA DOSH Malaysia (2018) where the data obtained was analyzed using IHSTAT. Health risk studies are carried out in accordance with the SEGs that have been determined, namely the Crude & Product Classification unit, Facility & Quality unit, Fuel unit, Analytical & Gas unit, and Petrochemical unit. The results of the study show that there is a high level of risk of exposure to benzene via the inhalation route and the dermal route on Fuel units. Meanwhile, exposure to xylene and toluene is at a low risk level for the inhalation exposure route and at a moderate exposure level for the dermal exposure route. From the results of research regarding the level of health risk from exposure to benzene, toluene and xylene, it is necessary to increase worker awareness to use additional PPE and improve the ventilation system in the workplace."
Depok: Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia, 2024
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
D. Wardhana Hasanuddin Suraadiningrat
"Penelitian ini memusatkan perhatian pada segi perencanaan sistem pengelolaan kedaruratan bahan beracun dan berbahaya (SPKB3). Bahan beracun dan berbahaya (B3) yang dimaksud dalam penelitian ini meliputi bahan yang mempunyai golongan tabiat corrosive, flammable, infectious, radioactive, reactive (termasuk explosive), dan toxic. SPKB3 adalah bagian dari pengelolaan B3, sekaligus juga bagian dari sistem pengelolaan lingkungan dan keselamatan, kesehatan kerja (K3). Ia juga unsur pelengkap serangkaian upaya pencegahan pencemaran lingkungan sehari-hari. Suatu kedaruratan B3 dapat terjadi baik akibat suatu kecelakaan, peperangan, maupun akibat terorisme yang melibatkan B3. Suatu kedaruratan B3 dapat meningkat menjadi suatu bencana. Karena itu ia dianggap suatu ancaman baik terhadap K3, lingkungan, maupun keamanan negara.
Berbagai peristiwa kedaruratan B3 telah mengakibatkan kerugian jiwa dan jasmani yang sangat besar baik pada manusia maupun hewan dan unsur lingkungan lainnya.
Pada dasarnya kerugian yang lebih besar terhadap lingkungan yang dapat terjadi akibat kecelakaan atau terorisme dapat dicegah apabila ditanggulangi dengan cepat dan sangkil (effective). Hal ini dapat tercapai apabila pihak pengelola lingkungan, baik pemerintah, masyarakat industri maupun masyarakat luas di sekitar suatu tempat kejadian perkara (TKP) sudah memiliki kesiagaan dan kemampuan penanggulangan yang memadai. Serangkaian upaya kesiagaan dan penanggulangan kedaruratan B3 ini dapat menjadi lebih sangkil dan mangkus (efficient) apabila dikelola dengan pendekatan sistemik yaitu dalam suatu SPKB3. Dalam rangka mendukung kebijakan mengenai pengelolaan lingkungan di bidang pencegahan dan perusakan lingkungan, berbagai negara maju seperti Amerika Serikat, Kanada, dan negara-negara yang tergabung dalam Masyarakat Eropa telah menunjukkan kesungguhan upaya meningkatkan kinerja SPK83-nya. Salah satu kunci penting sistem ini adalah penyusunan dan pelaksanaan rencana pengelolaan kedaruratan B3 (RPKB3) baik pada taraf antarabangsa (international), nasional (national) maupun taraf yang lebih rendah. Untuk memastikan kesangkilan sistemnya, mereka juga menetapkan dan memberlakukan berbagai peraturan, bakuan (standard) SPKB3, termasuk bakuan perencanaannya, dan berbagai pedoman pendukungnya. Berbagai peraturan, bakuan, dan pedoman itu berlaku sebagai perangkat kebijakan mengenai pengelolaan lingkungan untuk diterapkan oleh pemerintah, masyarakat industri dan masyarakat luas.
Di Indonesia, kewajiban atas pengadaan suatu SPKB3 bagi tiap pengelola kegiatan yang melibatkan B3 dilandasi berbagai peraturan perundang-undangan seperti PP No. 18 Tahun 1999 dan PP No. 74 Tahun 2001. Namun, peraturan perundang-undangan itu tidak menetapkan persyaratan atas unsur-unsur suatu SPKB3 dan RPKB3 sehingga tidak memastikan tersedianya landasan yang kuat bagi suatu SPKB3 yang sangkil. Selain itu, sampai saat berita ini diturunkan, tidak terdapat bukti bahwa Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) telah mempunyai suatu RPKB3 baik yang bertaraf provinsial mau pun nasional. Ketiadaan suatu RPKB3 tidak memastikan kejelasan susunan dan wacana operasi suatu SPKB3, termasuk segi penyertaan peran masyarakat. Karena itu, hal ini juga tidak memastikan kesiagaan NKRI untuk menghadapi berbagai kemungkinan ancaman dari berbagai sumber yang melibatkan B3 terhadap lingkungan dan pertahanan negara.
Bertolak dari keadaan tersebut di atas, dan sebagai pelaksanaan hak dan kewajiban masyarakat untuk berperanserta dalam pengelolaan lingkungan, peneliti memilih permasalahan pengelolaan kedaruratan B3 nasional sebagai bahan penelitiannya. Penelitian ini secara umum bertujuan mendukung penyempurnaan SPKB3 nasional, dan secara menjenis (specific) bertujuan: (1) memperoleh pendapat para pakar lingkungan mengenai beberapa segi penting SPKB3 nasional; (2) menetapkan pokok-pokok penting suatu RPKB3 yang layak dan sangkil berdasarkan pengalaman negara-negara maju dan pedoman/konvensi antarabangsa, dan (3) menetapkan taraf penting tiap pokok RPKB3 berdasarkan perannya dalam mencapai kesangkilan operasinya dengan mempertimbangkan rona lingkungan umum NKRI dan keadaan sumberdaya pendukungnya dewasa ini. Hasil penelitian diharapkan dapat bermanfaat sebagai: (1 ) gambaran mengenai perencanaan sistem tanggap darurat B3 nasional di Indonesia pada masa penelitian; (2) gambaran.mengenai perencanaan sistem tanggap darurat B3 nasional di beberapa wilayah hukum lain yang dikenal lebih maju pada masa penelitian; (3) bahan masukan bagi pembuat kebijakan mengenai beberapa segi penting yang patut dipertimbangkan dalam penyusunan atau penyempurnaan rencana SPKB3; (4) bahan dasar suatu bakuan RPKB3 yang selayak-layaknya, baik untuk digunakan langsung mau pun untuk disempurnakan lebih lanjut; dan (5) maklumat (information) tambahan dalam kaidah ilmu pengetahuan.
Metode utama yang digunakan dalam penelitian ini terdiri atas metode kajian dokumen (desktop/documentation review) dan pendapat pakar (expert opinion). Perinciannya: (1) metode sigi (survey) untuk memperoleh pendapat pakar atas beberapa segi penting SPKB3 dengan perangkat berupa senarai pertanyaan (questionnaire): (2) metode kajian dokumen untuk menetapkan pokok-pokok penting RPKB3 dengan perangkat telaah wacana (conceptual analysis), serta analogi dan pendapat pakar dalam penyusunan strukturnya; (3) metode pendapat pakar untuk penetapan taraf penting pokok-pokok RPKB3 nasional dengan perangkat senarai pertanyaan dan prosedur Analytic Hierarchy Process (AHP). Data yang diperoleh diolah dengan operasi statistikal sederhana. Ada pun data yang diperoleh dengan prosedur AHP diolah dengan perangkat lunak (software) khusus.
Responden atau pakar lingkungan dan K3 yang dipilih untuk berperanserta dalam penelitian ini berasal dari: (1) berbagai lembaga pemerintah yang dianggap terkait dengan SPKB3 pada taraf nasional, provinsial dan lokal; (2) kalangan praktisi dari berbagai jenis industri; (3) kalangan pakar (konsultan dan pengajar perguruan tinggi). Jumlah responden yang direncanakan sebanyak 99 orang - digolongkan sebagai kelompok umum - untuk penelitian mengenai beberapa segi penting SPKB3, 23 orang di antaranya - digolongkan sebagai kelompok khusus - dipilih sebagai responden penelitian mengenai taraf penting pokok-pokok RPKB3. Selain itu, pakar lingkungan yang menjadi narasumber dalam menentukan struktur atau susunan pokok RPKB3 bakuan, dipilih sebanyak 3 orang- digolongkan sebagai tim kecil - yang diketahui peneliti masing-masing mempunyai pengalaman praktikal yang memadai baik dalam sistem pengelolaan lingkungan, sistem pengelolaan K3, mau pun pengelolaan kedaruratan B3. Ketiga anggota tim kecil itu masing-masing berasal dari lembaga negara (regulator), lembaga konsultansi (consultant), dan lembaga industrial swasta (practician).
Senarai pertanyaan diujicobakan lebih dahulu sebelum disebarkan secara resmi kepada seluruh responden yang telah ditentukan. Dari 99 responden kelompok umum, 82 di antaranya mengembalikan senarai pertanyaan. Ke-23 orang responden kelompok khusus mengembalikan senarai pertanyaan khusus. Namun, hanya 15 responden yang memenuhi batas inconsistency rate yang ditetapkan bagi jawaban responden dalam penelitian ini, yaitu 0, 15. Prosedur AHP memberikan pedoman batas inconsistency rate ≤ 0,1 . Toleransi batas maksimum inconsistency rate pada penelitian ini didasarkan pada kelangkaan pakar, keterbatasan dana, ketersediaan waktu sangkil, dan segi-segi operasional penelitian.
Hasil penelitian atas beberapa segi penting mengenai sistem pengelolaan kedaruratan B3 nasional, di antaranya, menunjukkan bahwa:
1. suatu sistem pengelolaan kedaruratan B3 mempunyai kedudukan sangat tinggi dalam kaidah sistem pengelolaan lingkungan;
2. unsur perencanaan dalam suatu sistem pengelolaan kedaruratan B3 mempunyai peran sangat tinggi dalam menentukan kesangkilan operasinya apabila dilaksanakan;
3. suatu bakuan (standard) nasional bagi sistem dan perencanaan sistem pengelolaan kedaruratan B3 yang berlaku secara nasional sudah sangat dibutuhkan pada saat ini;
4. suatu pusat operasi pengelolaan kedaruratan B3 bertaraf nasional sangat dibutuhkan di Indonesia saat ini;
5. sungguh pun telah ada lembaga nasional yang berperan sebagai suatu pusat operasi bencana, yaitu BaKorNas PBP, ternyata taraf popularitasnya sangat rendah;
6. suatu bakuan kecakapan sumberdaya manusia dan kurikulum pelatihannya yang berlaku secara nasional sangat diperlukan untuk menjamin peran serta tiap orang yang ditugaskan dalam suatu sistem pengelolaan kedaruratan B3 secara sangkil dan sesuai dengan peran dan tugasnya;
7. penyertaan peran masyarakat dalam sistem pengelolaan kedaruratan B3 mempunyai landasan hukum yang kuat di Indonesia dan sangat dianjurkan pelaksanaannya sebagaimana dicontohkan di berbagai negara maju seperti negara-negara anggota Komisi Eropa, Amerika Serikat dan Kanada.
Hasil penelitian ini mengenai penetapan pokok penting suatu RKB3 yang layak menyimpukan bahwa suatu rencana sistem pengelolaan kedaruratan B3 pada umumnya mempunyai unsur berupa pokok-pokok ketentuan mengenai perencanaan pra-kedaruratan, organisasi dan pengelolaan sumberdaya, pengelolaan operasi kedaruratan lapangan, pengelolaan pasca-kedaruratan, serta perbaikan dan penyempurnaan sistem. Ada pun pokok perencanaan yang paling penting sehingga ketentuan-ketentuannya perlu ditetapkan secara seksama dan terperinci dalam rencana pengelolaan kedaruratan B3 nasional di Indonesia, menurut hasil penelitian ini, adalah pokok mengenai pengelolaan operasi kedaruratan lapangan. Hal ini berbeda dengan rencana nasional di wilayah hukum rujukan penelitian ini yang lebih memperinci ketentuan-ketentuan mengenai struktur organisasional dan pengelolaan sumberdayanya.

National Hazardous Materials Emergency Management System (A Study on System Planning Criteria)This research focuses on the planning aspect of a hazardous materials emergency management system. In the context of this research, a hazardous material is defined as a material or substance possessing one or more of the following characteristics: corrosive, flammable, infectious, radioactive, reactive (including explosive), and toxic. A hazardous materials emergency management system is part of hazardous materials management and environmental, health & safety management systems as well. It is also a supplement to the normal measures for pollution prevention. A hazardous materials emergency may be resulted from an accident, warfare, or terrorism involving hazardous materials. It may lead to a disaster. Therefore, it is considered a sort of threat to occupational safety & health, the environment, and national security.
Various hazardous material emergency events have resulted in significant impacts, both psychologically and physically, on either human or animals and materials emergency management. The absence of such a plan does not ensure the clarity of the operational concept and arrangements of a system, including the community involvement arrangement. Therefore, this also does not ensure the country's preparedness to respond to any possible threats involving hazardous materials from any sources to the country's environment and security.
Based on the abovementioned situation, and in order to meet the community right and obligation to participate in environmental management, the author has taken the national hazardous materials emergency management issue as the object of this research. The overall objective of this research is supporting the national hazardous materials emergency management system improvement and specifically: (1) gaining the environmental experts' opinion on some critical aspects of the national hazardous materials emergency management system; (2) identifying the essential components of an appropriate and effective hazardous materials emergency management plan based on the experience of some of the developed countries and international conventions / guidelines; and (3) assessing the relative importance of each essential component of the plan based on its role in determining the effectiveness of its implementation by taking into accounts the common environmental setting and the currently available resources in Indonesia.
It is hoped that the results of the research will be useful as: (1) a source of basic information on the current national hazardous materials emergency management planning status in Indonesia; (2) a description on national plans in the other jurisdictions known to be proved more effective; (3) inputs to policy makers in developing and or improving hazardous materials emergency management plans; (4) a basis for developing an appropriate standard for hazardous materials emergency management plan by either adoption or adaptation; and (5) additional information in the context of science.
The principal methods used in this research comprised desktop/documentation review and survey. Here are the details (1) survey method was used to collect expert opinions on some important aspects of the current national hazardous materials emergency management system through questionnaire instrument; (2) documentation review method was used to identify the essential elements of a hazardous materials emergency management plan or planning criteria through conceptual analysis, continued with expert opinion on establishing the structure of the plan; (3) survey method was used again to obtain professional judgment on the relative importance of the principal elements of a national plan through questionnaire instrument under the procedure of Analytic Hierarchy Process (AHP). The collected data were processed with simple statistical operations A special software was used to process the data obtained under the AHP procedure.
The respondents in this research were selected to represent groups of (I) various government institutions related to hazardous materials emergency management system at national, provincial and local levels; (2) practiclans from various types of industry; (3) experts in environmental, health & safety management from consulting firms and universities. The number of designated respondents was 99 - categorized as the general group - in the survey for some critical aspects of hazardous materials emergency management system, 23 of which were - categorized as the specialized group - selected to participate in the assessment of the relative importance of the system elements. In addition to the research advisor, 3 respondents - known by the author to possess practical experience in either environmental, health & safety, or hazardous materials management systems - selected to participate in developing the structure of the system planning criteria. Each of the small team members consecutively represented a government institution (regulator), a consulting firm (consultant), and a private industrial company (practicion).
The last draft of the questionnaires was first tried out by a selected respondent prior to the final release to the designated respondents. 82 out of the 99 respondents in the general group returned the responded questionnaires. The entire 23 respondents in the special group returned the responded questionnaires completely. However, only 15 respondents have their judgment met the inconsistency rate standard set out in this research, which is 0. l5. The standard maximum limits under AHP procedure is normally 0. 1. The author set out a higher tolerance to the inconsistency rate limit in this research by considering the scarcity of the hazardous materials emergency management experts in the country, available fund, available effective time, and operational aspect of the research.
The results of the research on some critical aspects of the national hazardous materials emergency management system indicate that:
1. The existence of a hazardous materials emergency management system ranked extremely high in the context of environmental management system;
2. The planning component in a national hazardous materials emergency management system is extremely important in determining the effectiveness of an emergency operation when implemented properly;
3. The current need for a national standard for hazardous materials emergency management system and its planning is extremely high;
4. An operational center (focal point) for hazardous materials emergency management is extremely required within a national system;
5. Although there is a government institution already established to serve as a focal point for disaster response at the national level, namely BaKorNas PBP, its popularity is extremely low;
6. A nation-wide standard for personnel qualifications and training curricula is extremely needed to ensure that each personnel assigned to a hazardous materials emergency management system is competent and able to participate effectively in accordance to his/her designated roles;
7. The involvement of the communities' roles in hazardous materials emergency management systems has a strong legal basis in Indonesia as it does in European Union's countries, the US, and Canada, but, the mechanisms or procedures for its implementation are still to be established and promoted.
According to this research, a hazardous materials emergency management system typically consists of provisions for pre-emergency planning organization and resources management, field emergency operations management procedures, post-emergency management, and system correction and/or improvement In addition, the field operations management procedures is judged to have the highest relative importance so that the provisions of the element should be specified more intensively than the other elements within the national plan in Indonesia. On the contrary, the most intensively detailed element within a national plan in the reference jurisdictions is the organizational structure and resources management."
2003
T11163
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Eko Handoyo
"Sumber utama pencemaran perkotaan adalah transportasi. BTX (Benzene, Toluene dan Xylene) adalah merupakan agen pencemar polutan udara kegiatan transportasi yang berbahaya bagi kesehatan. Petugas pintu tol merupakan kelompok berisiko tinggi terpajan BTX.
Penelitian ini menggunakan desain cross-sectional dengan pendekatan Analisis Risiko Kesehatan Lingkungan (ARKL) bertujuan untuk mengetahui besarnya risiko kesehatan akibat pajanan BTX pada petugas pintu tol kebun jeruk Jakarta barat.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa pada bagian gardu pintu tol rata-rata konsentrasi (mean+SD) benzena sebesar 0,00167+0,000056 mg/m3, Toluena sebesar 0,00124+0.000049 mg/m3 dan Xylena sebesar 0,00147+0,000063 mg/m3 sedangkan pada kantor administrasi konsentrasi tidak terdeteksi oleh alat (Method Detection Limit). Rata-rata RQ benzene 0,007, toluene 0,00003 dan xylene 0,002 pada petugas tol lebih tinggi dibandingkan dengan rata-rata RQ benzene 0,002, toluene 0,00001 dan xylene 0,007 petugas administrasi.
Kesimpulan bahwa risiko nonkarsinogenik BTX semua pekerja memiliki RQ≤1. Risiko kesehatan nonkarsinogenik dan karsinogenik untuk seluruh pekerja di gerbang pintu tol kebun jeruk pada saat ini belum menunjukkan adanya risiko. Namun demikian, tindakan pencegahan tetap perlu dilakukan dalam rangka pengendalian risk agent tersebut di masa yang akan datang.

The main sources of urban pollution is transportation. BTX (Benzene, Toluene and Xylene) is an air pollutant pollutant agent transport activities that are harmful to health. Worker in toll gate is high risk groups exposed to BTX.
Design of this study is cross-sectional with Environmental Health Risk Analysis approach to determine the magnitude of health risks due to exposure to benzene, toluene and xylene in the Kebun Jeruk toll gate, west Jakarta.
The results showed that at the toll collectors average concentration (mean+SD) was : benzene 0.00167+0.000056 mg/m3, toluene 0.00124+0.000049 mg/m3 and xylene 0.00147+0,000063 mg/m3. while at the administrative office was not detected (Minimum Detection Limit). The average RQ collector workers of benzene was 0.007, toluene was 0.00004, xylene was 0.002, & At administrative officer RQ of benzene was 0.002, toluene was 0.00001, xylene was 0.0006 lower than the average of worker toll gate.
In conclusion, the risk of all workers have the RQ ≤ 1. Noncarcinogenic and carcinogenic health risks to all workers at the kebun jeruk toll gate at this point have not shown any risk yet. Nevertheless, protections is needed in order to control the risk of the agent in the future.
"
Depok: Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia, 2014
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Simanjuntak, Erica Celiawaty
"Benzene bersifat toksik dan karsinogenik yang ditemukan dalam proses operasional Kilang Paraxylene di PT. X. Dalam proses kerjanya, pekerja terpajan benzene sehingga dilakukan analisa pajanan benzene terhadap pekerja. Desain penelitian adalah analisa kuantitatif dengan metode potong lintang dari data sekunder perusahaan. Variabel penelitian meliputi konsentrasi personal benzene, kadar SpMA, usia, masa kerja, status gizi, kebiasaan merokok, konsumsi alkohol, shift kerja, durasi pajanan per hari dan penggunaan APP dari 64 pekerja. Konsentrasi personal benzene diukur pada breathing zone pekerja berkisar antara 0,02 sd 0,44 ppm. Sebanyak 28 pekerja (43,75%) memiliki kadar SpMA melebihi IPB ACGIH 2021 (25 µg/g kreatinin), UCL 1,95% di semua SEG melebihi IPB, berarti ada ketidakyakinan sebesar 95% bahwa kadar SpMA pekerja Kilang Paraxylene tidak melebihi IPB. Uji korelasi pearson menunjukkan tidak terdapat hubungan yang signifikan antara konsentrasi personal benzene dengan kadar SpMA, p=0,195. Hasil uji statistic menemukan adanya hubungan signifikan antara kadar SpMA dengan masa kerja, p=0,04. Kadar SpMA hanya menggambarkan metabolit di tubuh namun tidak dapat memberikan rute pajanan. Penelitian lanjutan diperlukan untuk menganalisa dampak pajanan benzene pada pekerja yang melebihi durasi aman pajanan benzene pada PT. X.

Benzene is presence in routine operational activities of Paraxylene Refinery Unit in PT. X. The process exposed the worker to benzene. Hence, the need to analyze its exposure to the workers. The study design was quantitative analysis with cross sectional design by analyzing secondary data. The variables studied were personal benzene, SpMA level, age, length of work, BMI, smoking habit, alcohol consumption, shift/non shift, length of exposure per day, and use of PPE from the sampel of 64 workers. The result showed personal benzene concentrations measured in the breathing zone are below the recommended exposure limit (NAB Permenaker No 5/2018: 0,5 ppm), 28 respondents (43,75%) had SpMA level above the value of BEI ACGIH 2021 (25 µg/g kreatinin ), UCL 1,95% of all SEG is higher than BEI meaning there is 95% inconfident that benzene concentrations in the breathing zones are below the standard. There is no correlation between personal benzene concentrations and SpMA p=0,195. There is a significant correlation between length of work with SpMA level, p=0,04. SpMA is useful in determining benzene exposure even in low level exposure however it does not recognize where benzene is coming from. Implementation of work rotation and benzene awareness need to be improved. Further study should be conducted to analyze risk of cancer to worker who has been exposed to benzene longer than the safe duration of exposure in PT. X."
Depok: Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia, 2022
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Yudia Oemar
"Penggunaan bahan kimia telah berkembang luas pada berbagai sektor industri baik formal maupun non-formal, termasuk industri mebel. Produk dengan bahan kimia dipakai untuk membantu meningkatkan kualitas dan keindahan produk mebel. Cat, thiner, dan pelitur adalah produk berbahan kimia yang biasa dipakai dalam pembuatan mebel. Toluene adalah komponen atau campuran bahan kimia utama yang terdapat dalam cat, thinner, dan pelitur.
Penelitian ini bertujuan untuk Menganalisis tingkat risiko pajanan Toluene pada karyawan bengkel mebel X di Jatinegara. Untuk menentukan tingkat resiko, Sample toluene di udara diambil mengunakan Coconut Shell Charcoal lalu dianalisis dengan Gas Chromatography untuk mendapatkan nilai konsentrasi toluene. Konsentrasi toluene tertinggi berada di titik 5 yaitu area cat kursi sebesar 22.975 mg/m³.
Berdasarkan perhitungan RQ pada 33 pekerja di bengkel mebel, didapatkan bahwa untuk pajanan realtime sebanyak 61% pekerja memiliki risiko kesehatan non karsinogenik karena nilai RQ > 1. Sedangkan menururt perhitungan RQ lifetime, didapatkan bahwa 88% dari 33 pekerja memiliki risiko kesehatan non karsinogenik karena nilai RQ > 1.

Use of chemical has grown wider at various sectors in formal and non-formal including furniture industry. Those chemicals were used to improve the quality and beauty of furniture products. Paint, thiner, and varnish are the chemical product that commonly used in the furniture. Toluene is the major chemical contained in paint, thinner, and varnish.
This study attempts to analyze the risk levels of risk exposure on employees of furniture workshop ?X? in Jatinegara. To determine the risk levels, coconut shell charcoals were used in air sampling, and then were analyzed with gas chromatography to get toluene concentration. Highest toluene concentration was at painting area, 22.975 mg/m³.
Based on RQ realtime calculation, there were 61% of workers having non carcinogenic health risk because the value of RQ > 1. Acording to RQ lifetime calculation, got that 88% of 33 workers having non carcinogenic health risk because the value of RQ > 1.
"
Depok: Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia, 2016
S65394
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Muhamad Dhiwa Hidayat
"Pajanan agen kimia yang digunakan dalam proses produksi berpotensi menyebabkan gangguan kesehatan bagi para pekerja yang berinteraksi dengan agen-agen kimia yang salah satunya adalah cat. Berdasarkan data hasil penelitian di Padang, Sumatera Barat diketahui terdapat cemaran logam berat Kadmium (Cd) di udara bengkel yang melakukan proses pengecatan. Sementara itu, hasil penelitian Analisis Risiko Kesehatan Lingkungan lain di Semarang dan Palembang, diketahui terdapat Sebagian populasi pekerja bengkel yang melakukan proses pengecatan dikategorikan berisiko (RQ>1) terhadap pajanan logam berat. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui tingkat risiko kesehatan non-karsinogenik dan karsinogenik pada populasi pekerja bengkel produksi perusahaan X dari proses pengecatan yang dilakukan di bengkel produksi perusahaan tersebut. Desain studi yang digunakan pada penelitian ini adalah Analisis Risiko Kesehatan Lingkungan dengan pendekatan desktop study. Nilai konsentrasi yang digunakan dalam analisis risiko kesehatan lingkungan ini didasarkan pada hasil penelitian di bengkel yang melakukan proses pengecatan di Padang, Sumatera Barat. Hasil Analisis Risiko Kesehatan Lingkungan yang dilakukan kepada 25 responden pekerja bengkel produksi perusahaan X menunjukkan tidak terdapat adanya risiko kesehatan baik secara non-karsinognik (RQ<1) maupun karsinogenik (ECR<0,0001), juga secara berkelompok maupun secara individu masing-masing pekerja bengkel produksi. Meskipun tidak ditemukan adanya tingkat risiko kesehatan yang berisiko, pekerja tetap dianjurkan untuk tetap menggunakan APD untuk mencegah risiko lain yang tidak dihitung dalam penelitian ARKL ini.

Exposure to chemical hazard used in production activity has posed some health risks to workers working with chemical such as paint. previous study conducted in painting workshop in Padang has found that contamination of Cadmium heavy metal are present  on the workshop air. Environmental health risk assessment study conducted in Painting workshops in Semarang and Palembang shows that some of the workers of the painting workshop were categorized at risks of health problems posed by the exposure of Cadmium from painting process (RQ>1). This research aims to assess both non-carcinogenic and carcinogenic environmental health risk levels of the workers of X Company from Cadmium exposure from painting processes of production activity. This research was done with Environmental Health Risk Assessment method with desktop study approach. Concentration value used in this research was based on previous findings of Cadmium pollution in painting workshop air in Padang. The result shows that health risks of both non-carcinogenic and carcinogenic were categorized as “not at risk” for the workers of production workshop of X Company (RQ<1, ECR<0,0001). Even though the workers of X company with certain anthropometric and activity value were not at risk of health problem from the exposure of cadmium at the levels used in this research, workers still needs to use PPE to protect themselves from another hazard that was not included in this research."
Depok: Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia, 2023
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Sukardi
"ABSTRAK
Tesis ini membahas Pajanan Penanganan Bahan Kimia Berbahaya Beracun (B3)
Benzene dan xylene pada Divisi Industrial Chemical Specialties PT Clariant
Indonesia. Tujuan Penelitian ini adalah untuk mengetahui pajanan Benzene dan
xylene serta untuk mengetahui upaya pengendalian yang sudah dilakukan.
Penelitian ini adalah penelitian kualitatif dengan desain deskriptif. Data
dikumpulkan dengan membagikan kuesioner terbuka dan melakukan pengukuran
langsung dengan metode personal active sampling untuk mengetahui kadar
Benzene dan xylene di tempat kerja . Hasil penelitian menyarankan bahwa
karyawan perlu meningkatkan kesadaran dalam menggunakan alat pelindung diri
pada saat bersinggungan dengan bahan kimia B3. Perusahaan perlu melakukan
review terhadap PPE management khususnya respirator. Perusahaan juga perlu
meningkatkan program preventive maintenance terhadap sarana dan prasarana
yang terkait dengan penanganan bahan kimia Benzene dan xylene.

ABSTRACT
The focus of this study is the exposure assessment of handling Dangerous Goods
benzene and xylene in Industrial Chemical Specialties Department at PT
ABCIndonesia. The purpose of this study is to analyze the exposure of benzene
and xylene also to evaluate the control programs of dangerous chemical exposure.
This study is a qualitative research with descriptive interpretive. The data were
collected by open questionnaires and environment monitoring by personal
sampling method to ensure the level of air quality. From the results, the
researcher suggests that workers need to increase awareness regarding personal
protective equipment used especially when handling dangerous goods chemicals.
Company also has to improve management of personal protective equipment
which involved all workers who contact with dangerous chemicals. Company also
has to improve preventive maintenance programs to equipments related with
handling benzene and xylene"
2016
T46248
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Dana Hidayat
"Indonesia telah mengadopsi GHS sejak tahun 2010 yang mengacu pada Buku Ungu GHS UN edisi ke-4 mengenai klasifikasi bahaya, label dan penyusunan Lembar Data Keselamatan (SDS) kimiawi. Peraturan Menteri Perindustrian Republik Indonesia Nomor 23 / M-IND / PER / 4/2013 dan Peraturan Direktur Jenderal Basis Industri Manufaktur Nomor 04 / BIM / PER / 1/2014 dirancang untuk mengatur penerapan GHS di Indonesia. Namun belum ada evaluasi terkait penerapan GHS di Indonesia, terutama terkait kelengkapan dan keakuratan informasi yang terdapat dalam SDS. Penelitian ini bertujuan untuk mengevaluasi kelengkapan dan keakuratan informasi 42 bahan kimia LDK yang telah dilaporkan ke Kementerian Perindustrian Republik Indonesia dengan menggunakan checklist yang dikembangkan dari penelitian yang dilakukan oleh Hodson et al. (2013), meliputi (1) pengujian kelengkapan informasi mengacu pada Peraturan Menteri Perindustrian Republik Indonesia Nomor 23 / M-IND / PER / 4/2013 dan Peraturan Direktur Jenderal Basis Industri Manufaktur Nomor Pangkal. 04 / BIM / PER / 1/2014, dan (2) menguji keakuratan informasi yang mengacu pada klasifikasi bahaya yang terdaftar oleh European Chemicals Agency (ECHA). Evaluasi terkait uji ketuntasan informasi pada SDS menunjukkan bahwa seluruh SDS (100%) termasuk dalam kategori tidak tuntas. Subelemen yang berkaitan dengan jalur pemaparan dan gejala yang berkaitan dengan sifat fisik, kimia dan toksikologi bahan kimia memiliki nilai total terendah yaitu 0. Sedangkan evaluasi mengenai keakuratan informasi pada SDS menunjukkan proporsi yang sama yaitu 21 SDS (50%) termasuk kategori. akurat dan 21 SDS (50%) termasuk dalam kategori tidak akurat. Sehubungan dengan pengujian kelengkapan dan keakuratan informasi yang telah dilakukan, maka semua SDS yang dievaluasi termasuk dalam kategori tidak dapat diandalkan. Oleh karena itu, perlu adanya pembenahan agar SDS dapat dijadikan acuan mengenai penanganan bahan kimia yang aman di tempat kerja.

Indonesia has adopted GHS since 2010 which refers to the 4th edition of the Purple GHS UN Book regarding hazard classification, labels and preparation of chemical Safety Data Sheets (SDS). Regulation of the Minister of Industry of the Republic of Indonesia Number 23 / M-IND / PER / 4/2013 and Regulation of the Director General of Manufacturing Industry Base Number 04 / BIM / PER / 1/2014 are designed to regulate the implementation of GHS in Indonesia. However, there has been no evaluation regarding the implementation of GHS in Indonesia, especially regarding the completeness and accuracy of the information contained in the SDS. This study aims to evaluate the completeness and accuracy of information on 42 LDK chemicals that have been reported to the Ministry of Industry of the Republic of Indonesia using a checklist developed from research conducted by Hodson et al. (2013), including (1) testing the completeness of information referring to the Regulation of the Minister of Industry of the Republic of Indonesia Number 23 / M-IND / PER / 4/2013 and Regulation of the Director General of Manufacturing Industry Base Number. 04 / BIM / PER / 1/2014, and (2) testing the accuracy of the information referring to the hazard classifications listed by the European Chemicals Agency (ECHA). The evaluation related to the due diligence of information on SDS shows that all SDS (100%) are in the incomplete category. The sub-elements relating to the pathway of exposure and symptoms related to the physical, chemical and toxicological properties of chemicals had the lowest total value of 0. While the evaluation of the accuracy of information on the SDS showed the same proportion, namely 21 SDS (50%) including categories. accurate and 21 SDS (50%) were in the inaccurate category. In connection with the testing for the completeness and accuracy of the information that has been carried out, all SDS evaluated are in the unreliable category. Therefore, it is necessary to make improvements so that SDS can be used as a reference for safe handling of chemicals in the workplace."
Depok: Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia, 2019
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Yana Irawati
"Uji petik udara lingkungan kerja di Bengkel Sepatu 'X' menunjukkan konsentrasi xylene melampaui dosis referensi menurut IRIS (0,1 mg/m3). Pekerja bengkel menjadi kelompok rentan yang beresiko mendapatkan efek merugikan akibat pajanan xylene dari udara lingkungan kerja. Tujuan penelitian untuk mengetahui tingkat risiko pajanan xylene pada pekerja Bengkel Sepatu 'X' di Kawasan PIK Pulogadung Jakarta Timur 2010. Studi ini menggunakan pendekatan analisis risiko kesehatan yang meliputi 4 langkah penting: identifikasi bahaya, analisis dosis-respon, analisis pajanan dan karakterisasi risiko. Jumlah sampel sama dengan jumlah populasi yaitu 26 orang. Data penelitian diperoleh melalui wawancara dan pengukuran langsung, tingkat risiko dihitung dengan cara membagi asupan dengan dosis referensi xylene. Rata-rata konsentrasi xylene di udara lingkungan kerja 0,05 mg/m3 dengan konsentrasi tertinggi di bagian upper/mukaan (0,18 mg/m3).
Data antropometri menunjukkan rata-rata berat badan pekerja 57 kg. Pola aktivitas pekerja meliputi ratarata 14,58 jam/hari waktu pajanan, 301,08 hari/tahun frekuensi pajanan dan rata-rata lama tinggal di lokasi studi 3,48 tahun. Tingkat risiko pekerja, baik individu maupun populasi berada di bawah dosis referensi IRIS. Proyeksi pajanan 20 tahun ke depan menunjukkan risiko individu pekerja terpajan xylene sebesar 19% yang meningkat 35% pada lima tahun berikutnya. Peningkatan risiko pada pekerja bagian upper/mukaan ditandai dengan nilai RQ hampir mendekati 1 pada proyeksi pajanan 30 tahun. Masukan batas aman konsentrasi xylene untuk 8 jam kerja adalah 0,36 mg/m3. NAB xylene sebesar 434 mg/m3 menurut SNI perlu dikoreksi karena hasil simulasi menggunakan konsentrasi tersebut mendapatkan nilai RQ di atas satu. Konsentrasi xylene di udara lingkungan kerja Bengkel Sepatu 'X' belum menimbulkan risiko efek kesehatan akibat pajanan xylene.

Pre-eliminary study of xylene exposure in the occupational air of Workshop 'X' had found the exceed xylene's concentration compared to the International Risk Information System reference dose (0,1 mg/m3). The footware workers had a risk to exposed by xylene. The aim of this study is to determine the risk quotient (RQ) of xylene exposure on footware's workers using health risk assessment approach with its four important steps: hazard identification, dose-response assessment, exposure assessment and risk characterization. Sample is 26 equal to number of population. Data is collected by interview and direct measurement. Risk assessment calculated by deviding intake with the reference dose of xylene. The mean concentration of xylene in the occupational air of Workshop 'X' is 0,05 mg/m3 with the higest concentration in the upper section (0,18 mg/m3).
Anthropometric data showed 57 kilogram as the weight average of footware's workers. Activity pattern including the average of 14,58 hours a day as time exposure, 301,08 days a year as a frequency of exposure and 3,48 years as time living in the workshop. Risk Quotient for both individual and the population is still below the reference dose of IRIS. Prediction of individual risk quotient for 20 years ahead showed that 19 % workers will be exposed to xylene and became increased to 35% in the next five years. The workers who work at upper section supposed to get adverse effect of xylene exposure with the indicator value of risk quotient almost close to 1 based on 30 years prediction. Suggestion for safe concentration of xylene during 8 hours exposure is 0,36 mg/m3. Using xylene concentration which establlished in SNI give RQ>1. Xylene concentration in the occupational air of Workshop 'X' is still below the IRIS reference dose.
"
Depok: Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia, 2010
T28454
UI - Tesis Open  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>