Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 165181 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Nisrina Nurfaiza Anasih
"Limbah medis masih menjadi ancaman bagi manusia dan lingkungan, salah satunya adalah zat antibiotik tetrasiklin. Saat ini, penelitian terkait produksi hidrogen mulai meningkat di seluruh dunia. Namun, hidrogen yang ada di dunia diperoleh dari bahan baku gas alam yang menghasilkan emisi karbon yang tinggi. Untuk mengatasi masalah tersebut, digunakan kombinasi teknologi fotokatalisis dan elektrokoagulasi. Fotokatalis yang digunakan pada penelitian ini adalah g-C3N4/WO3 dengan variasi pengujian berupa metode sintesis fotokatalis, rasio komposisi massa fotokatalis, dan jenis proses untuk memperoleh persentase degradasi tetrasiklin dan akumulasi hidrogen. Pengujian performa fotokatalis dilakukan dalam sebuah reaktor terintegrasi untuk elektrokoagulasi-fotokatalisis dengan sumber foton berupa lampu merkuri 250 W dan anoda aluminium (Al) dan katoda stainless steel (SS-316) dengan tegangan 5 V digunakan pada proses elektrokoagulasi. Metode sintesis yang optimal adalah kalsinasi langsung (DC), yang menghasilkan persentase degradasi sebesar 49,57% dan produksi hidrogen sebesar 2,54  mmol/g, dibandingkan dengan sonikasi langsung (UA) dan sonikasi prekursor (UB). Rasio massa fotokatalis optimal ditemukan pada g-C3N4/WO3 dengan perbandingan 3:1, yang mampu mendegradasi tetrasiklin sebesar 57% dan menghasilkan hidrogen sebesar 2,64  mmol/g, dibandingkan dengan rasio 1:1 dan 1:3. Hasil karakterisasi SEM/EDX menunjukkan bahwa morfologi g-C3N4 berupa lembaran dan WO3 berbentuk agregat. Fasa kristal g-C3N4 adalah heksagonal, sedangkan fasa kristal WO3 didominasi oleh monoklinik dengan ukuran kristal fotokatalis berkisar antara 0,3 - 36 nm. Karakterisasi UV-Vis DRS menunjukkan nilai energi band gap setiap katalis dalam rentang 2,64 - 2,86 eV, yang memungkinkan absorbansi sinar tampak. Fotokatalis g-C3N4/WO3 dengan rasio 3:1 yang disintesis terbukti memiliki laju rekombinasi yang lebih rendah dibandingkan dengan g-C3N4, dengan dugaan mekanisme transfer muatan berupa Z-scheme heterojunction berdasarkan karakterisasi photoluminescence. Selain itu, proses kombinasi elektrokoagulasi-fotokatalisis memberikan persentase degradasi tetrasiklin sebesar 62,02% dan akumulasi hidrogen sebanyak 49.982,20  mmol/g.

Medical waste continues to pose a threat to humans and the environment, with one of the concerns being the antibiotic tetracycline. Currently, research on hydrogen production is increasing worldwide. However, existing hydrogen is predominantly derived from natural gas, which results in high carbon emissions. To address this issue, a combination of photocatalysis and electrocoagulation technologies is utilized. The photocatalyst used in this study is g-C3N4/WO3, with variations in the synthesis methods of the photocatalyst, the mass composition ratio of the photocatalyst, and the types of processes employed to achieve the degradation percentage of tetracycline and hydrogen accumulation. The photocatalyst performance tests were conducted in an integrated reactor for electrocoagulation-photocatalysis, with a 250 W mercury lamp as the photon source, an aluminum (Al) anode, and a stainless steel (SS-316) cathode used at a voltage of 5 V during the electrocoagulation process. The optimal synthesis method was direct calcination (DC), yielding a degradation percentage of 49.57% and hydrogen production of 2.54 mmol/g, compared to direct sonication (UA) and precursor sonication (UB). The optimal photocatalyst mass ratio was found to be g g-C3N4/WO3 at 3:1, which degraded tetracycline by 57% and produced 2.64 mmol/g of hydrogen, compared to the ratios of 1:1 and 1:3. SEM/EDX characterization showed that the morphology of g-C3N4 was nanosheets, while WO3 formed aggregates. The crystal phase of g-C3N4 was hexagonal, whereas the crystal phase of WO3 was predominantly monoclinic, with photocatalyst crystal sizes ranging from 0.3 to 36 nm. UV-Vis DRS characterization indicated that the band gap energy of each synthesized catalyst ranged from 2.64 to 2.86 eV, enabling visible light absorption. The synthesized g-C3N4/WO3 photocatalyst with a 3:1 ratio demonstrated a lower recombination rate compared to g-C3N4, with a proposed charge transfer mechanism involving a Z-scheme heterojunction based on photoluminescence characterization. Additionally, the electrocoagulation-photocatalysis combination process resulted in a tetracycline degradation percentage of 62.02% and hydrogen accumulation of 49,982.20 mmol/g."
Depok: Fakultas Teknik Universitas Indonesia, 2024
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Laily Fitri Pelawi
"Dalam penelitian ini dilakukan kombinasi proses elektrokoagulasi dan fotokatalisis dan melihat efek dopan CuO dalam TiO2 nanotubes untuk mendokolorisasi limbah pewarna dan sekaligus menghasilkan H2. Dekolorisasi dan produksi hidrogen secara simultan dilakukan dalam reaktor yang terbuat dari akrilik yang dilengkapi dengan power supply dan lampu UV. H2 dihasilkan dari reduksi ion H+ dalam larutan pada katoda stainless steel dan watersplitting oleh fotokatalisis secara bersamaan. Dekolorisasi tartrazin diperoleh dari kombinasi adsorpsi dengan elektrokoagulasi dan degradasi dengan fotokatalisis. TiO2 nanotubes disintesis dengan metode anodisasi, kemudian dimodifikasi dengan memberi dopan CuO dengan metode SILAR (Successive Ionic Layer Adsorption and Reaction). Hasil SEM dengan adanya dopan CuO 0,04 M; 0,05 M; dan 0,06 M mengkonfirmasi bahwa struktur nanotubes masih terbentuk dengan baik dengan diameter rata-rata berturut-turut 149 nm, 158 nm, dan 166 nm dan ketebalan tabung rata-rata berturut-turut 44 nm, 50 nm, dan 52 nm. Kehadiran Cu terdeteksi oleh analisis dengan EDX, yang berjumlah 0,4% wt, 1,09% wt dan 1,68% wt berturut-turut untuk dopan CuO 0,04 M; 0,05 M; dan 0,06 M pada TiO2 nanotubes. Hasil XRD menunjukkan bahwa TiO2 nanotubes berada dalam fase anatase dengan ukuran kristal 27,8 nm; 27 nm; dan 26,9 nm. Energi band gap dihitung menggunakan persamaan Kubelka-Munk dari hasil karakterisasi UV-Vis DRS. Hasil perhitungan menunjukkan bahwa, energi band gap dari CuO-TiO2 nanotubes berkurang dari band gap TiO2 nanotubes murni. Konversi dekolorisasi tartrazin berturut-turut pada sistem elektrokoagulasi, fotokatalisis dan elektrokoagulasi-fotokatalisis dalam waktu 4 jam reaksi adalah 87,6%; 32,3% dan 99,3%. Baku mutu pada sistem tunggal elektrokoagulasi 50 V dapat dicapai sekitar 1,3 jam reaksi dan jika dikombinasikan dengan sistem fotokatalisis CuO-TiO2 nanotubes hanya dibutuhkan waktu kurang dari 1 jam. Akumulasi produk H2 yang dihasilkan berturut-turut pada sistem elektrokoagulasi, fotokatalisis, dan kombinasinya yaitu sebesar 0,997 mmol, 0,008 mmol, dan 1,841 mmol. Hal ini menunjukkan dengan mengkombinasikan sistem fotokatalisis pada elektrokoagulasi dapat meningkatkan kemampuan dalam mendekolorisasi sebanyak 21,7% sehingga dapat mempercepat waktu dalam mencapai baku mutu dan produksi H2 sebanyak 83%. Kinetika dekolorisasi tartrazin pada sistem fotokatalisis dan elektrokoagulasi 50 V mengikuti persamaan laju reaksi orde dua, dengan konstanta laju reaksi berturut-turut 0,006 L/mg.jam dan 0,080 L/mg.jam sedangkan sistem kombinasi mengikuti persamaan laju reaksi adsorpsi Langmuir dengan konstanta laju reaksi sebesar 1,202 jam-1. Dari data kinetika dapat disimpulkan sistem kombinasi elektrokoagulasi-fotokatalisis dengan CuO-TiO2 nanotubes merupakan sistem yang paling efektif dari sistem tunggal elektrokoagulasi dan fotokatalisis.

In this study a combination of electrocoagulation and photocatalysis processes was carried out and observed at the effect of CuO dopant in TiO2 nanotubes to decolorize the dye waste and simultaneously produce H2. The simultaneous decolorization and production of hydrogen is carried out in an acrylic reactor equipped with a power supply and UV lamps. H2 is produced from the combination of the reduction of H+ ions in solution at a stainless steel cathode and watersplitting by photocatalysis. Tartrazine decolorization is obtained from the combination of adsorption by electrocoagulation and degradation by photocatalysis. TiO2 nanotubes were synthesized by anodizing method, then modified by giving CuO dopant by SILAR (Successive Ionic Layer Adsorption and Reaction) method. SEM results in the presence of 0.04 M CuO dopants; 0.05 M; and 0.06 M confirmed that the nanotubes structure was still well formed with an average diameter of 149 nm, 158 nm, and 166 nm and an average tube thickness of 44 nm, 50 nm and 52 nm, respectively. The presence of Cu was detected by analysis with EDX, which amounted to 0.4% wt, 1.09% wt and 1.68% wt respectively for 0.04 M CuO dopants; 0.05 M; and 0.06 M on TiO2 nanotubes. The XRD results showed that TiO2 nanotubes were in the anatase phase with a crystal size of 27.8 nm; 27 nm; and 26.9 nm. Band gap energy is calculated using the Kubelka-Munk equation from the results of UV-Vis DRS characterization. The calculation results show that, the band gap energy of CuO-TiO2 nanotubes is reduced from pure TiO2 nanotubes band gap. Conversion of tartrazine decolorization respectively for the electrocoagulation, photocatalysis and electrocoagulation-photocatalysis systems within 4 hours of reaction was 87.6%; 32.3% and 99.3%. The quality standard in a single 50 V electrocoagulation system can be achieved in about 1.3 hours of reaction and when combined with a photocatalysis system CuO-TiO2 nanotubes only takes less than 1 hour. The accumulation of H2 products produced in the electrocoagulation, photocatalysis, and combination system is 0.997 mmol, 0.008 mmol and 1.841 mmol. This shows that by combining the photocatalysis system in electrocoagulation can increase the ability to decolorize by 21.7% so it will accelerate the time in achieving quality standards and H2 production by 83%. The reaction kinetics in the 50 V photocatalysis and electrocoagulation system follows the second order reaction rate equation, with reaction rate constants of 0.006 L/mg.hour and 0.080 L/mg.hour while the combination system follows the Langmuir adsorption reaction rate equation with reaction rate constants 1,202 hour-1. From the kinetics data it can be concluded that the combination of electrocoagulation-photocatalysis systems with CuO-TiO2 nanotubes is the most effective system than a single system of electrocoagulation and photocatalysis."
Depok: Fakultas Teknik Universitas Indonesia, 2020
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Rahayu Lestari Sugihartini
"Siprofloksasin (CIP) sebagai antibiotik yang banyak digunakan di rumah sakit ditemukan di berbagai perairan dengan konsentrasi yang beragam. Saat didegradasi, CIP berpotensi sebagai hole scavenger yang mampu meningkatkan kinerja fotokatalis dalam menghasilkan gas hidrogen sebagai sumber energi alternatif. Metode elektrokoagulasi dan fotokatalisis yang telah dikembangkan untuk pengolahan limbah siprofloksasin belum memiliki efektivitas yang optimal. Kombinasi kedua metode tersebut berpotensi menghasilkan efektivitas yang lebih baik dalam mendegradasi siprofloksasin dan menghasilkan gas hidrogen secara simultan. Pada penelitian ini dilakukan sintesis komposit CdS/TiO2 nanotube arrays (CdS/TiNTAs) dengan metode anodisasi dan metode SILAR (Successive Ionic Layer Adsorption Reaction) dengan memvariasikan komposisi CdS pada komposit (0,05M; 0,1M; 0,2M). Kinerja fotokatalis terbaik dihasilkan oleh 0,1M CdS/TiNTAs dengan kemampuan degradasi siprofloksasin mencapai 20,43% dan produksi hidrogen sebesar 23,5µmol/m2. Karakterisasi UV-Vis DRS menunjukkan bahwa pembentukan komposit CdS/TiNTAs menurunkan energi celah pita dari 3,16 eV menjadi 2,92 eV. Pengujian XRD membuktikan komposit CdS/TiNTAs yang disintesis berada dalam fasa anatase. FESEM-EDS menunjukkan fotokatalis memiliki morfologi nanoturbular dan mengkonfirmasi adanya unsur Cd dan S pada fotokatalis. Proses kombinasi elektrokoagulasi dan fotokatalisis dilakukan dengan menggunakan fotokatalis CdS/TiO2, anoda Aluminium, dan katoda stainless steel 316 pada tegangan 20 V selama 240 menit dengan efisiensi mencapai 87% dan produksi hidrogen mencapai 2,6 mol/m2.

Ciprofloxacin (CIP) as the most widely used antibiotics in hospitals is found in various waters with varying concentrations. When degraded, CIP has the potential to act hole scavengers that can improve photocatalyst performance in producing hydrogen gas as an alternative energy source. The electrocoagulation and photocatalysis methods that have been developed for the treatment of ciprofloxacin waste have not yet had optimal effectiveness. The combination of the two methods has the potential to produce better effectiveness in degrading ciprofloxacin and producing hydrogen gas simultaneously. In this study, the synthesis of composite CdS / TiO2 nanotube arrays (CdS / TiNTAs) is done by anodization and SILAR (Successive Ionic Layer Adsorption Reaction) method was carried out by varying the composition of CdS on composites (0.05M; 0.1M; 0.2M). The best photocatalyst performance is achieved by 0.1M CdS/TiNTAs with CIP degradation efficiency of 20.43% and hydrogen production of 23.5μmol/m2. The UV-Vis characterization of the DRS shows that CdS/TiNTAs decreased the band gap energy from 3.16 eV to 2.92 eV. XRD proved that the synthesized CdS/TiNTAs were in anatase phase. FESEM-EDS shows photocatalysts have a nanoturbular morphology and confirms the presence of Cd and S elements. The combined process of electrocoagulation and photocatalysis was carried out using CdS/TiO2 photocatalysts, Aluminum anodes, and stainless steel-316 cathode at 20 V for 240 minutes with an efficiency of 87% and hydrogen accumulation of 2.6 mol/m2."
Depok: Fakultas Teknik Universitas Indonesia, 2022
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Peter Surjo
"Keberadaan limbah antibiotik pada perairan berbahaya bagi lingkungan dan makhluk hidup, salah satu antibiotik yang umum ditemui dan dalam kadar yang cukup besar adalah siprofloksasin (CIP). Selain itu, belakangan ini hidrogen (H2) sebagai bahan bakar bersih gencar diteliti untuk penerapannya dalam kehidupan sehari-hari, namun produksi H2 saat ini masih sangat bergantung dengan bahan bakar fosil. Untuk memenuhi kedua kebutuhan tersebut secara simultan digunakan teknologi fotokatalisis dan elektrokoagulasi yang dikombinasi. Fotokatalis yang digunakan pada penelitian ini adalah titanium nanotubes array (TiNTA) menggunakan dopan CuO dengan metode SILAR (Successive Ionic Layer Adsorption and Reaction). Pembentukan nanokomposit CuO-TiNTA dikonfirmasi dengan karakterisasi FESEM/EDX (Field Emission Scanning Electron Microscopy/Energy-Dispersive X-Ray), XRD (X-Ray Diffraction), dan UV-Vis DRS (Ultraviolet-Visible Diffuse Reflectance Spectroscopy). Pengujian fotokatalisis dilakukan dengan menggunakan lampu merkuri 250 W dua buah sebagai sumber foton fotokatalis, sementara pengujian elektrokoagulasi menggunakan anoda aluminium (Al) dan katoda stainless steel (SS-316) dengan tegangan 20 V, serta pada kombinasi menggunakan gabungan dari keduanya. Degradasi dan produksi H2 dari fotokatalis diperoleh sangat kecil dengan fotokatalis optimal TiNTA 5-CuO mencapai degradasi CIP sebesar 8,7% dan memproduksi 10,12 μmol/m2 H2. Eliminasi CIP dan produksi H2 secara elektrokoagulasi diperoleh sebesar 66,33% dan 1.137 mmol/m2, sementara pada kombinasi fotokatalisis-elektrokoagulasi terjadi peningkatan sebesar 36% dan 114% dari elektrokoagulasi, menghasilkan eliminasi CIP 85% dan 2.431 mmol/m2 H2 dan lebih besar daripada gabungan proses tunggal.

Presence of antibiotic in water is harmful towards environment, one of the commonly used antibiotics and usually present in large concentration is ciprofloxacin (CIP). Meanwhile, recently hydrogen (H2) has been extensively researched for application in daily lives, but commercial H2 production still depends on usage of fossil fuel. To fullfil both requirements simultaneously, photocatalysisis, electrocoagulation, and combination of both is used. Photocatalyst used in this study is titanium nanotubes array (TiNTA) doped with CuO using SILAR (Successive Ionic Layer Adsorption and Reaction) method. Presence of CuO-TiNTA nanocomposite is analysed by FESEM/EDX (Field Emission Scanning Electron Microscopy/Energy-Dispersive X-Ray), XRD (X-Ray Diffraction), and UV-Vis DRS (Ultraviolet-Visible Diffuse Reflectance Spectroscopy) characterisations. Photocatalysis experiment uses two 250 W mercury lamps as source of photon, meanwhile electrocoagulation experiment uses aluminium (Al) anode and stainless steel (SS-316) cathode with 20 V voltage, and combination uses both methods. Photocatalytic CIP degradation and H2 evolution give a small result with TiNTA 5-CuO as optimal photocatalyst with 8.7% CIP degradation and 10.12 μmol/m2 H2. CIP elimination and H2 production from electrocoagulation resulted in 66.33% CIP elimination and 1,137 mmol/m2 H2, while in photocatalysis-electrocoagultion significant increase of 36% elimination and 114% H2 production is observed compared to electrocoagulation, resulting 85% CIP elimination and 2,431 mmol/m2 H2 produced, higher result compared to sum of single processes."
Depok: Fakultas Teknik Universitas Indonesia, 2022
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Rossalina Kurniawan
"Degradasi zat warna tartrazine dan produksi hidrogen secara simultan dengan kombinasi fotokatalisis dan elektrokoagulasi telah diteliti. Proses fotokatalisis dilakukan dengan menggunakan katalis TiO2 nanotube yang telah disintesis dengan metode anodisasi. Pada proses elektrokoagulasi digunakan elektroda Al-SS 316 dengan variasi tegangan 5V; 10V; 15V. Struktur katalis TiO2 bermorfologi nanotube dikarakterisasi dengan SEM-Mapping, FTIR, XRD, dan UV-Vis DRS. Kondisi optimum yang didapatkan dari proses elektrokoagulasi yaitu pada tegangan 15V dengan waktu uji selama 4 jam.
Dari hasil fotokatalisis dengan TiO2 nanotube didapatkan konversi degradasi zat warna tartrazine sebesar 48,86 dan konsentrasi H2 3,46. Penggunaan plat aluminium sebagai anoda dan plat stainless steel 316 sebagai katoda pada proses elektrokoagulasi juga telah berhasil mendegradasi zat warna tartrazine sebesar 82,45 dan konsentrasi H2 12,14.
Hasil kombinasi proses fotokatalisis dan elektrokoagulasi didapatkan konversi degradasi zat warna tartrazine sebesar 90,68 dengan konsentrasi zat warna menjadi 1,93 ppm dan konsentrasi H2 nya sebesar 12,14. Konsentrasi akhir limbah zat warna tartrazine dari proses kombinasi fotokatalisis-elektrokoagulasi sudah aman jika dibuang ke lingkungan karena sudah memenuhi baku mutu. Selain itu, gas H2 yang dihasilkan berpotensi sebagai sumber energi terbarukan.

Degradation of tartrazine dye and the production of hydrogen simultaneously with a combination of photocatalysis and electrocoagulation has been investigated. The photocatalytic process was performed by using a catalyst of TiO2 nanotubes that had been synthesized by anodizing method In electrocoagulation process used Al SS 316 electrode with variation of 5V voltage 10V 15V. The structure of TiO2 catalysts with nanotube morphology is characterized by SEM Mapping, FTIR, XRD, and UV Vis DRS. The optimum condition obtained from the electrocoagulation process is at a voltage of 15V with a test time of 4 hours.
From the results of photocatalysis with TiO2 nanotube obtained degradation of tartrazine dye equal to 48,86 and concentration of H2 3,46. The use of aluminum plate as anode and 316 stainless steel plate as cathode in electrocoagulation process has also succeeded degrading tartrazine dye by 82,45 and concentration of H2 12,14.
The result of the combination of photocatalysis and electrocoagulation process obtained degradation conversion of tartrazine dye by 90.68 with dye concentration to 1.93 ppm and H2 concentration of 12.14. The final concentration of tartrazine dye waste from combination of photocatalysis electrocoagulation process is safe if disposed to the environment because it meets the quality standard. In addition, the production of H2 has potential as a renewable energy source.
"
Depok: Fakultas Teknik Universitas Indonesia, 2018
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Ade Pretty Ariantika Sabidi
"ABSTRAK
Sebagai Air Asam Tambang (AAT) diakui sebagai salah satu masalah lingkungan yang serius di industri pertambangan. Dampak lingkungan, bagaimanapun, dapat diminimalkan pada tiga tingkatan dasar: melalui pencegahan primer dari proses asam-pembangkit; kontrol sekunder, yang melibatkan penyebaran langkah-langkah pencegahan migrasi drainase asam; dan kontrol tersier, atau pengumpulan dan pengolahan limbah. Di masa kini, pengolahan AAT sering membutuhkan lebih dari satu bahan kimia atau sistem dalam rangka untuk menemukan metode biaya yang paling efektif, dan juga untuk memenuhi batas limbah lebih ketat. Untuk mengatasi itu, elektrokoagulasi (EC) dapat menjadi jawaban potensi masalah lingkungan yang berhubungan dengan AAT.
Skripsi ini meneliti hubungan antara parameter operasi, seperti pH, konsentrasi awal, durasi pengobatan, rapat arus, dan konduktivitas pada drainase tambang asam sintetis dalam proses batch elektrokoagulasi. EC reaktor dioperasikan pada berbagai tegangan (38, 25 dan 15 V) dan 3 mm jarak antar elektrode. Untuk solusi dengan 1000 mg / L sulfat, penghapusan polutan yang tinggi (99,5% selama 30 detik waktu kontak dan 99.8% untuk 60 detik waktu kontak) tercapai. pH awal adalah 2,6 dengan pH akhir 3,6, dan konduktivitas berkisar 928-1174 mikro semen.
Selama proses EC kondisi ini, studi tentang pemisahan logam berat seperti besi (Fe) dan aluminium (Al) dilakukan dengan konsentrasi awal yang berbeda di kisaran 250, 500 dan 1000 mg / L konsentrasi sulfat dan 200 mg / L untuk konsentrasi aluminium. Dari kondisi operasi itu ditemukan bahwa tingkat penghapusan berkisar antara 57% sampai 99%. Itu juga menemukan bahwa pH adalah parameter kunci dalam mekanisme koagulasi dalam elektrokoagulasi.

ABSTRACT
As Acid mine drainage (AMD) is recognised as one of the more serious environmental problems in the mining industry. Its environmental impact, however, can be minimised at three basic levels: through primary prevention of the acid-generating process; secondary control, which involves deployment of acid drainage migration prevention measures; and tertiart control, or the collection and treatment of effluent. Today‟s AMD treatment situations often require more than one chemical or system in order to find the most cost effective method, and also to satisfy more stringent effluent limits. To overcome that, electrocoagulation (EC) may be a potential answer to these environmental problems dealing with AMD.
This thesis investigates the relation of the operating parameters, such as pH, initial concentration, duration of treatment, current density, and conductivity on a synthetic acid mine drainage in the batch electrocoagulation process. The EC reactor was operated at various voltages (38, 25 and 15 V) and 3 mm interelectrode distance. For solutions with 1000 mg/L sulphate, high pollutant removal (99.5% for 30 second contact time and 99.8% for 60 second contact time) were achieved. Initial pH was 2.6 with the final pH of 3.6, and conductivity ranged from 928 to 1174 μS.
During the EC process under these conditions, the study of the heavy metal separation such as iron (Fe) and aluminium (Al) were conducted with different initial concentrations in the range of 250, 500 and 1000 mg/L for sulphate concentration and 200 mg/L for aluminium concentration. From these operating conditions it is found that the removal rate ranges from 57% to 99%. It was also found that pH is a key parameter in coagulation mechanism in electrocoagulation."
Fakultas Teknik Universitas Indonesia, 2014
S57829
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Muhammad Rizky Erdimas
"Praktik penanganan limbah medis B3 yang dilakukan tenaga kesehatan dapat didukung oleh beberapa faktor agar berjalan dengan baik dan terbebas dari bahaya atau cidera yang dapat mengancam tenaga kesehatan. Tujuan penelitian ini adalah Ingin mengetahui praktik tenaga kesehatan dalam penanganan limbah B3 oleh tenaga kesehatan di Rumah Sakit X. Penelitian ini menggunakan metode kuantitatif dengan desain studi Cross sectional dengan sampel sebanyak 142 orang tenaga kesehatan di rumah sakit x. Variabel dependen penelitian ini adalah praktik penanganan limbah medis B3 oleh tenaga kesehatan di rumah sakit x Jakarta, kemudia variabel independennya adalah pengetahuan seorang tenaga kesehatan dalam penanganan limbah medis B3, tingkat pendidikan tenaga kesehatan, lama bekerja tenaga kesehatan, sikap tenaga kesehatan dalam melakukan penanganan limbah medis B3, ketersediaan fasilitas dan APD yang ada di rumah sakit, peraturan atau SOP yang mengatur penanganan limbah medis B3, serta kategori pekerjaan seorang tenaga kesehatan tersebut. Faktor yang berhubungan di penelitian ini adalah ketersediaan fasilitas dan kategori pekerjaan.

The practice of handling B3 medical waste by health workers can be supported by several factors so that it runs well and is free from danger or injury that could threaten health workers. The purpose of this study was to find out the practice of health workers in handling B3 waste by health workers at X Hospital. This research used a quantitative method with a cross-sectional study design with a sample of 142 health workers at X Hospital. The dependent variable of this study is the practice of handling B3 medical waste by health workers at the x Jakarta hospital, then the independent variable is the knowledge of a health worker in handling B3 medical waste, the education level of the health worker, the length of time the health worker has worked, the attitude of the health worker in handling waste medical B3, availability of facilities and PPE in the hospital, regulations or SOPs governing the handling of B3 medical waste, as well as the job category of the health worker. Related factors in this study are the availability of facilities and job categories."
Depok: Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia, 2023
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Antonius Ritchi
"Pengelolaan Limbah Medik: Identifikasi, Castilant Limbah Medik yang dihasilkan oleh kegiatan operasional dokter praktek umum dapat mengakibatkan bahaya dan pencemaran terhadap lingkungan. Limbah medik seperti yang dihasilkan oleh kegiatan operasional rumah sakit, pengelolaannya sudah diatur dalam Peraturan Pemerintah Republik Indonesia No. 85 tahun 1999 tentang Perubahan atas Peraturan Pemerintah No. 18 tahun 1999 tentang Pengelolaan Limbah Bahan Berbahaya dan Beracun. Mengapa limbah praktek dokter umum yang juga termasuk Iimbah medik tidak tercantum dalam Peraturan Pemerintah? Padahal sama-sama mengandung risiko sebagai limbah bahan berbahaya dan beracun (B3).
Penelitian pengelolaan limbah medik identifikasi, karakterisasi dan evaluasi limbah praktek dokter umum di Jakarta bertujuan membuklikan, bahwa limbah yang dihasilkan oleh praktek dokter umum lama bahayanya dengan limbah rumah sakit, dengan melakukan perbandingan antara jenis limbah yang dihasilkan oleh dokter praktek umum dan RS tipe D (Puskesmas Kecamatan, menemukan adanya risiko infeksius melalui pemeriksaan adanya kandungan darah dalam limbah praktek dokter umum, serta melihat salah satu solusinya dengan melihat adanya hubungan antara Pengetahuan, Sikap dan Perilaku di kalangan dokter praktek umum dalam pengelolaan limbah praktek. Dengan harapan agar dapat menjadi titik tolak bagi pihak yang berwenang dalam mengangani pengelolaan limbah praktek dokter umum.
Penelitian dilakukan dengan melakukan studi cross sectional untuk mendapatkan: Identitas limbah praktek dokter umum, dengan cara melakukan pencacahan terhadap jenis-jenis limbah yang dikandungnya, serta membandingkan dengan jenis-jenis limbah yang terkandung dalam limbah yang dihasilkan oleh Puskesmas Kecamatan.
Karakter limbah praktek dokter umum, dengan melakukan pemeriksaan adanya kandungan darah, menggunakan test Peroksidase (Hematest®). Adanya hubungan antara Pengetahuan, Sikap dan Perilaku dokter praktek umum tentang pengelolaan limbah praktek.
Hasil penelitian menunjukkan: terdapat persamaan antara identitas limbah yang dihasilkan oleh dokter praktek umum dengan Puskesmas Kecamatan. Sebagian besar (59,4% responden) dokter praktek umum menghasilkan limbah yang mengandung darah. Terdapat hubungan yang positif antara Pengetahuan dengan Sikap dan Perilaku dokter praktek umum dalam pengelolaan Iimbahnya. Berdasarkan temuan-temuan di atas, maka peneliti menyarankan untuk:
1. Dikeluarkannya addendum dalam Peraturan Pemerintah No. 85/1999 , tanggal 7 Oktober 1999, yang mencantumkan Kegiatan Dokter Praktek Umum sebagal salah satu penghasil limbah klinis yang tergolong sebagai limbah B3.
2. Memberlakukan peraturan wilayah mengenai penggunaan insinerator rumah sakit di daerah oleh dokter praktek umum yang berpraktek di wilayah berdekatan.
3. Mengupayakan pembentukan badan usaha yang dapat melakukan pengangkutan, pengumpulan dan pengeloaan limbah yang dihasilkan oleh dokter praktek umum.
4. Melakukan pengenalan tenting pengelolaan limbah medik pada taraf sedini mungkin pada masyarakat kedokteran di Indonesia, disertai dengan teladan yang baik di kalangan petinggi kedokteran yang menjadi panutan bagi masyarakat kedokteran Indonesia.
5. Memberikan penghargaan seperti sertifikasi "Green Doctor" bagi pelaksanaan pengelolaan limbah yang baik, dan konsekuensi hukum maupun administratif bagi pelanggaran terhadap peraturan yang sudah ditetapkan.

Medical Waste Management: Identification, Characterization and Evaluation of wastes produced by General PractitionersMedical waste or wastes produced by General Practitioners without good management could be harmful or endanger the environment. As a matter of fact, The Government Regulation No. 85/1999, about the management of toxic and dangerous waste, has ruled Medical wastes produced by hospitals. The problem is, why wastes produced by General Practitioners have not been managed by any particular government regulation, since they have the same risk as toxic and dangerous waste?
This Research, Medical Waste Management, was aimed to prove that wastes produced by General Practitioners are as dangerous as wastes produced by hospitals, by comparing the identity and character of the wastes and finding out the solution through the relationship between Knowledge, Attitude and the way the General Practitioners managed their clinical wastes.
This study was a cross sectional with a reference standard, to find: the identity of the wastes produced by General Practitioners; by using manual identification of every item contained in those wastes, and comparing them to the items produced by the hospitals.
The character of the wastes produced by General Practitioners, by finding the blood containment in those wastes, using Peroksidase test (Hematest®). One of the solutions of those problems through finding out the relationship between Knowledge, Attitude and The way General Practitioners managing wastes produced in their clinics.
The results were: There were similarity between items of wastes produced by General Practitioners and Hospitals. Most of wastes produced by General Practitioners (59,4% sample) were contaminated by blood. There were positive relationship between Knowledge, Attitude and The way General Practitioners managing wastes produced in their clinics.Based on those results above, writer would recommend to:
1. Revise The Government Regulation No. 85/1999, dated on 7 October 1999, by adding the activity of General Practitioner as one of the producers of medical waste or toxic and dangerous waste.
2. Create local regulation, concerning the utilization of local hospital incinerators by General Practitioners in their vicinity.
3. Create specific institution, which would transporting, collect and manage all the wastes produced by General Practitioners.
4. Introduce Medical Waste Management or Procedure as soon as possible in the early medical community.
5. Provide Rewards, such as certification of "Green Doctor" for those who comply with the regulations, and enforcement of legal or administration sanction for those who disobey the regulations."
Depok: Program Pascasarjana Universitas Indonesia, 2003
T10830
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Rahmat
"Kedokteran gigi secara luas diketahui menggunakan bahan kimia, dan logam berat, dalam memberikan pelayanan kesehatan gigi kepada masyarakat, namun secara akurat karakteristik bahan, dan limbah tindakan kedokteran gigi merupakan bahan berbahaya dan beracun (B3), belum diketahui oleh masyarakat.
Mercury, logam inlay, fluor, arsen, kerangka logam gigi tiruan akrilik adalah bahan berbahaya dan beracun yang digunakan dokter gigi. Pada proses pengecoran tekniker gigi (laboratory technician) sekali-sekali atau rutin terpajan secara berlebihan Beryllium konsentrasi tinggi, uap Beryllium terlepas selama peleburan alloy Ni-Cr-Be, khususnya pada sistem filtrasi dan exhaust yang tidak memadai. Bahan ini harus dikelola secara khusus baik masih sebagai bahan maupun sudah menjadi limbah sesuai dengan Peraturan Pemerintah Republik Indonesia No. 85 Tahun 1999 Jo Peraturan Pemerintah No. 18 Tahun 1999 tentang Pengelolaan Limbah Bahan Berbahaya dan Beracun.
Mengingat besarnya resiko yang akan ditimbulkan limbah bahan berbahaya dan beracun yang digunakan oleh dokter gigi, maka perlu dilakukan penelitian untuk mengidentifikasi karakteristik bahan dan limbah kedokteran gigi sehingga memberikan manfaat ganda, yaitu produk yang diperlukan untuk membantu pasien dapat dibuat, dan limbah yang dihasilkannya dapat dikendalikan, Penelitian ini diharapkan menjadi pertimbangan dalam memanfaatkan bahan baku secara optimal yang berdampak pada penghematan penggunaan sumberdaya alam dan menghilangkan atau mengurangi resiko limbah bahan berbahaya dan beracun.
Permasalahan yang timbul adalah dokter gigi menggunakan bahan berbahaya dan beracun, menghasilkan limbah bahan berbahaya dan beracun dibuang ke sungai atau dibuang bersama-sama dengan limbah domestik akan mengakibatkan pencemaran air dan tanah. Belum ada upaya-upaya pengelolaan limbah yang dihasilkan, dan peraturan perundangan yang mengatur masalah limbah yang dihasilkan tindakan kedokteran gigi atau disebut limbah klinis kedokteran gigi.
Penelitian dilakukan secara cross sectional untuk mendapatkan:
1. Identifikasi bahan yang digunakan dan limbah yang dihasilkan tindakan kedokteran gigi di klinik kedokteran gigi.
2. Identifikasi bahan yang digunakan dan limbah yang dihasilkan tindakan kedokteran gigi di laboratorium.
3. Mengetahui perbandingan massa limbah dengan kerangka logam dalam pembuatan gigi tiruan kerangka logam.
4. Mengetahui hubungan antara jumlah bahan baku logam dengan kerangka logam gigi tiruan dan limbah logam yang dihasilkan dalam pembuatan gigi tiruan akrilik kerangka logam.
Hipotesis penelitian adalah:
1. Massa limbah sisa pembuatan kerangka logam gigi tiruan lebih besar dibandingkan produknya.
2. Terdapat hubungan antara masa bahan baku dengan masa limbah yang dihasilkan dan kerangka logam gigi tiruan, semakin besar massa produk yang diinginkan semakin besar limbah yang dihasilkan.
Penelitian dilaksanakan pada bulan Juni 2003, bertempat di Laboratorium Steel, Laboratorium Akrilik, dan Lab oratorium Porselen Klinik Prosthodonsia Lembaga Kedokteran Gigi TNI Angkatan Laut RE. Martadinata Jakarta.
Analisis data dilakukan dengan cara analisis tabel untuk mengetahui karakteristik bahan dan limbah tindakan kedokteran gigi di klinik kedokteran gigi, analisis tabel dan pengukuran beberapa parameter bahan dan limbah proses pembuatan satu jenis pesawat prostodontik, analisis regresi berganda dengan program SPSS 11,4 for windows untuk mengetahui hubungan antara bahan baku dengan limbah logam dan kerangka logam yang dihasilkan pembuatan kerangka logam gigi tiruan. Variabel bebas adalah limbah (X1), kerangka logam (X2) dan variabel terikatnya adalah bahan baku logam (Y).
Hasil penelitian menunjukkan bahwa limbah klinis tindakan dokter gigi di klinik kedokteran gigi merupakan limbah bahan berbahaya dan beracun, yang dapat dikelompokkan menjadi: limbah benda tajam, limbah infeksius, limbah jaringan tubuh, limbah farmasi, limbah toksik, serta limbah karsinogenik.
Limbah klinis yang dihasilkan dokter gigi di laboratorium steel, laboratorium akrilik, dan laboratorium porselen tergolong bahan berbahaya dan beracun karena dapat dikategorikan sesuai dengan klasifikasi LaGrega sebagai berikut: limbah organik, limbah anorganik dan limbah minyak.
Kesimpulan penelitian ini adalah massa limbah pembuatan kerangka logam gigi tiruan lebih berat dibandingkan dengan massa kerangka logam sebagai produk. Terdapat hubungan positif dan sangat signifikan antara bahan baku dengan limbah yang dihasilkan dalam proses pembuatan kerangka logam gigi tiruan akrilik dan kerangka logam yang dihasilkan.

Dentistry is known widely use chemical and heavy metal to give dental public service. However, the characteristic of material and waste of dentistry as a toxic and dangerous material is not familiar accurately yet by the public.
Mercury, Fluoride, Arsenic, inlay metal, acrylic denture metal frame are hazardous materials that usually used part of material by dentist. Laboratory technicians may be exposed occasionally or routinely to excessively high concentrations of beryllium vapor. The risk of beryllium vapor exposure is greatest for dental technicians during alloy melting, especially in the absence of an adequate exhaust and filtration system. Either material or waste has to be managed particularly appropriate to the Rule of Indonesian Government No. 85 in 1999 about the changed of Rule of Government No. 18 in 1999 about Waste Management of Hazardous Material.
Considering of high risk that occurred by toxic and dangerous material, which used by dentist, the research of characteristic identification of material and dentistry waste should be carried out. It is proposed to give multiple benefit such as the product that needed for helping medical patient can be made, the waste that emerged can be controlled, and the research is expected as a consideration in optimizing of standard material, so that natural resources used economically and the risk of hazardous material could be reduced even be removed.
The problems that appear are the dentists still use hazardous material, produce hazardous waste that need management, the efforts of waste management is not done yet, and the rule to regulate dentistry clinical waste is not arranged yet.
The research was done cross sectional to obtain:
1. Used materials and waste identification that emerged by dentistry execution in dentistry clinic.
2. Used materials and waste identification that emerged by dentistry execution in laboratory.
3. The compare of waste of metal frames when the producing of denture metal frames.
4. The review of relation between accounts of standard metal material with metal waste and denture metal frame that cause in production metal frame acrylic denture.
Hypothesis of this research was the frame denture casting waste mass is heavier than the mass of frame denture as a product, and there was positive and significant relation between standard material with waste that resulted and metal frame that produced in acrylic denture metal frame production.
The research had been executed in June 2003, in Steel laboratory, Acrylic laboratory, Porcelain laboratory and Prosthodonsia clinic, Dentistry Institution TNI Angkatan Laut RE. Martadinata, Jakarta.
Data analysis was done with table analysis to know the characteristic of material and dentistry execution waste in dental clinic, table analysis and measurement of several material parameters and waste of making one kind of prosihodontic apparatus. Multiple regression analysis was applied to calculate correlation between standard materials with metal waste that resulted in metal frame production and metal frame that produced. The dependent variable was metal waste (X1), metal frame (X2), and independent variable was raw material (Y).
Characteristic of Dentistry clinical waste in dental clinic can be classified into sharp waste, infectious waste, histological waste, pharmaceutical waste, chemical waste and heavy metal waste, including to hazardous waste.
Characteristic of Clinical wastes that resulted by dentist in Steel laboratory, Acrylic laboratory and Porcelain laboratory were to belong to hazardous waste because of could be classified that suitable with La Grega classification, that are organic waste, inorganic waste and oil waste.
Conclusion of this research the frame denture casting waste mass is heavier than the mass of frame denture as a product. There was positive and significant relation between standard material with waste that resulted and metal frame that produced in acrylic denture metal frame production.
"
Jakarta: Program Pascasarjana Universitas Indonesia, 2003
T11857
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Prayitno
"REDUKSI AKTIVITAS URANIUM DALAM LIMBAH RADIOAKTIF CAIR MENGGUNAKAN PROSES ELEKTROKOAGULASI. Limbah yang dihasilkan dari proses pengembangan bahan industri bersifat radioaktif yang mengandung uranium yang dapat menimbulkan dampak negatif pada manusia dan lingkungan. Pengolahan limbah radioaktif pada saat ini masih banyak menggunakan bahan-bahan kimia.Penambahanbahan kimiauntuk mereduksi bahan pencemar dinilai kurang efisien karena kurang ramah lingkungan, memerlukan waktu yang lama, dan biaya yang mahal. Untuk itu akan diterapkan metode proses elektrokoagulasi untuk menurunkan aktivitas uranium dari larutan limbah cair. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui efisiensi penurunan aktivitas uranium dalam limbah radioaktif cair yang dihasilkan pada proses elektrokoagulasi dengan variasi tegangan, waktu tinggal, jarak elektroda dan pH inlet limbah. Limbah simulasi yang digunakan memiliki kadar kontaminan uranium sebesar 500 mg/L. Percobaan ini dilakukan dengan metode batch dengan elektroda aluminium. Hasil penelitian diperoleh parameter optimal pada tegangan 12,50 V, jarak 1 cm, pH 7, dan waktu proses selama 60 menit diperoleh efisiensi penurunan limbah uranium sebesar 97,20 %.
REDUCTION OF URANIUM ACTIVITIES IN LIQUID WASTE RADIOACTIVE BY USING OF ELCTROCOAGULATION PROCESS. Waste generated from the process of the industrial material development one of which waste containing uranium radioactive, can have negative impact on humans and the environment. In the present time, chemicals are still mostly use in radioactive waste treatment. To reduce pollutants with the use of chemicals is less efficient, because less environmentally friendly, take long time and costly. Therefore, a system of electrocoagulation process will be applied to decrease the activity of uranium from waste solution. The purpose of this study is to determine the efficiency of uranium activity decrease in waste water which is produced in the electrolysis process is conducted with voltage variations, the dwelling time, electrode spacing, and the waste inlet pH. The waste that will be treated has uranium contaminant levels of 500 mg/L. The experiment was conducted by a batch system with aluminum electrodes. Parameters affecting electrocoagulation process, such as voltage, time, distance electrode, and the pH have been studied and the best voltage optimization condition has been obtained of 12.50 V, a distance of 1 cm, pH 7, and in the processing time of 60 minutes efficiency of 97.20 % was obtained."
Pusat Sains Teknologi Akselerator BATAN, 2016
621 URANIA 22:3 (2016)
Artikel Jurnal  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>