Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 100139 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Nur Fauzi Ramadhan
"Sejak sekitar 20 tahun pendiriannya, Mahkamah Konstitusi (MK) tercatat sudah beberapa kali mengubah pendiriannya ketika menilai kedudukan hukum pembayar pajak (tax- payer). Hal tersebut disebabkan karena beberapa alasan, salah satunya ialah tidak adanya indikator yang tegas ketika menilai dalil tax-payer. Kondisi tersebut ditambah dengan berubahnya komposisi majelis hakim yang berpengaruh pula terhadap konfigurasi penilaian MK. Selain itu, ketika menilai suatu perkara sering kali terjadi campur baur penalaran antara kedudukan hukum dan pokok perkara. Untuk menilai hal tersebut, tidak dapat terlepas dari latar belakang dan nuansa kebatinan ketika MK mengadili suatu perkara. Di awal berdirinya MK, kecenderungan yang terjadi ialah MK membuka seluas mungkin kedudukan hukum tanpa terkecuali tax-payer untuk mengajukan perkara baik pengujian formil maupun pengujian materil. Alasan yang melatarbelakangi hal tersebut ialah adanya motif untuk memperluas kewenangan yang dimiliki oleh MK dalam melakukan pengujian undang-undang. Dalam periode selanjutnya, MK cenderung membatasi pemberian kedudukan hukum tax-payer dengan cara memperketat persyaratan yakni hanya dapat diberlakukan pada undang-undang yang berkaitan langsung dengan keuangan negara, perpajakan, ataupun APBN. Bahkan, di rentang 2019-2022 MK cenderung tidak menilai dalil tax-payer selama terdapat dalil lain yang dapat dijadikan sebagai pintu masuk pemberian kedudukan hukum. Bangun argumentasi MK ialah dalil tax payer yang terlalu general sehingga tidak terdapat kerugian spesifik yang diderita oleh pemohon. Penelitian ini akan menguraikan pola dan latar belakang kasus per kasus terhadap penilaian dalil tax-payer oleh MK. Pendekatan yang digunakan ialah doktrinal, dengan menganalisis sekitar 50 putusan MK yang terdapat dalil tax-payer dalam pertimbangan hukum pada putusan MK sejak 2003-2023. Kemudian, penulis mencari keterkaitannya dan dianalisis dengan menggunakan perspektif hak konstitusional sebagaimana yang telah menjadi pendirian MK dalam menilai pemberian kedudukan hukum. Penelitian ini menawarkan konstruksi baru penilaian terhadap dalil tax payer dengan adanya tiga syarat yang harus dibuktikan yakni undang-undang yang diujikan apakah berkaitan dengan statusnya sebagai tax-payer, adanya kerugian yang diderita dengan statusnya sebaagai tax-payer dengan keberlakuan undang-undang tersebut, dan apakah dalil tax-payer merupakan dalil satu-satunya untuk memulihkan kerugian yang ditempuh melalui jalan yudisial.

Since its establishment about 20 years ago, the Constitutional Court (MK) has changed its stance several times when assessing the legal standing of tax-payers. This is due to several reasons, one of which is the absence of strict indicators when assessing tax-payer arguments. This condition is coupled with the changing composition of the panel of judges which also affects the configuration of the Court's judgment. In addition, when assessing a case, there is often a mix-up of reasoning between the legal standing and the subject matter. To assess this, it cannot be separated from the background and nuances when the Constitutional Court hears a case. At the beginning of the establishment of the Constitutional Court, the tendency that occurred was that the Constitutional Court opened the widest possible legal standing without exception for tax-payers to file cases both formal and material testing. The reason behind this is the motive to expand the authority possessed by the Constitutional Court in examining laws. In the next period, the Constitutional Court tended to limit the granting of tax-payer legal standing by tightening the requirements, which could only be applied to laws directly related to state finances, taxation, or the state budget. In fact, in 2019-2022, the Court tends not to assess the tax- payer's argument as long as there are other arguments that can be used as an entry point for granting legal standing. The Constitutional Court's argument is that the tax-payer argument is too general so that there is no specific loss suffered by the applicant. This research will describe the pattern and background of case-by-case assessment of the tax- payer argument by the Constitutional Court. The approach used is doctrinal, by analyzing around 50 Constitutional Court decisions that contain tax-payer arguments in legal considerations in Constitutional Court decisions from 2003-2023. Then, the author looks for the connection and analyzes it using the perspective of constitutional rights as has become the Constitutional Court's stance in assessing the granting of legal standing. This research offers a new construction of the assessment of the tax payer's argument with the existence of three conditions that must be proven, namely the law being tested whether it is related to his status as a tax-payer, the existence of losses suffered by his status as a tax-payer with the enactment of the law, and whether the tax-payer's argument is the only argument to recover losses through judicial channels."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2024
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Jimly Asshiddiqie, 1956-
Jakarta: Konstitusi Press, 2006
340 JIM h
Buku Teks  Universitas Indonesia Library
cover
Jimly Asshiddiqie, 1956-
Jakarta: Sinar Grafika, 2012
340 JIM h
Buku Teks  Universitas Indonesia Library
cover
Simanjuntak, Dumaria
"ABSTRAK
Penelitian dalam Tesis ini mengkaji pengisian jabatan Anggota BPK dalam artian luas. Di Indonesia pengaturan tentang pengisian Anggota BPK ini tercantum dalam Ketentuan Pasal 23F UUD NRI 1945 dan UU No. 15 Tahun 2006 Tentang Badan Pemeriksa Keuangan. Tesis ini menganalisis 3 permasalahan utama yakni menganalisis perkembangan pengaturan pengisian jabatan anggota BPK, menganalisis dan mengkaji pengisian jabatan lembaga audit di negara-negara anggota ASEANSAI dan terakhir menemukan implikasi putusan MK No. 13/PUU-XII/2013 terhadap pengisian jabatan anggota BPK.
Penelitian dalam Tesis ini diklasifikasikan sebagai penelitian dengan tipe decriptive explanatory. Tesis ini menganalisis 9 (sembilan) negara yang merupakan negara anggota ASEANSAI.
Setelah melakukan analisis maka dapat disimpulkan bahwa pengisian jabatan anggota BPK dari masa kemasa mengalami perkembangan yang sangat pesat baik dalam hal mekanisme dan masa.

ABSTRACT
There are three main problems to be analysed in this thesis. That are analysis of the amendement of regulation of the position fulfillment of BPK?s Member, analysis and review of the positions fulfillment of the Auditor General in ASEANSAI?s members, and ultimately analysis of The implication of the Constitutional Court Decision 13/PUU-XII/2013 in Judicial Review of the BPK?s Law Related to Term of Office.
This research is classified as the descriptive explanatory, which is collecting and concluding the information about the observed problems. This approach is a qualitative research. As the matter of comparison, this thesis analysed nine countries as the country ASEANSAI member organization.
The analysis results conclusion that the charging of office of the BPK over time, has developed very rapidly both in terms of mechanisms and future. After conducting the analysis, it can be concluded that positions fulfillment of BPK?s members from time to time undergoes a rapid development."
Jakarta: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2014
T42372
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Meyrin
"Putusan Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Nomor 46/PUU/VII/2010 tentang anak yang lahir di luar perkawinan merupakan putusan yang bersejarah bagi hukum perkawinan Indonesia. Putusan ini membuka peluang kepada anak yang lahir di luar perkawinan untuk mempunyai hubungan keperdataan dengan ayahnya dan keluarga ayahnya. Tesis ini membahas mengenai apakah latar belakang terbitnya putusan tersebut juga bagaimanakah dampak berlakunya putusan terhadap akta pengakuan anak dan surat keterangan hak waris. Sebagai perbandingan, tesis ini juga memaparkan gambaran umum mengenai anak luar kawin di negeri Belanda. Penyusunan tesis ini dilakukan dengan metode penelitian normatif. "
Jakarta: Program Pascasarjana Universitas Indonesia, 2012
T30371
UI - Tesis Open  Universitas Indonesia Library
cover
Nurudin Hadi
Jakarta: Prestasi Pustaka, 2007
342.06 NUR w
Buku Teks  Universitas Indonesia Library
cover
cover
cover
Lumbanraja, Hasan Tua
"ABSTRAK
Kewenangan pengujian konstitusionalitas Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia bersumber dari atribusi Pasal 24C ayat (1) UUD NRI Tahun 1945. Pengaturan dalam Konstitusi tersebut hanya menyebutkan Mahkamah Konstitusi berwenang mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final untuk menguji undang-undang terhadap Undang-undang Dasar. Menurut teori hukum administrasi negara, penerima atribusi dapat menciptakan wewenang baru atau memperluas wewenang yang sudah ada. Pada praktiknya Mahkamah Konstitusi menafsirkan sendiri jangkauan kewenangannya dalam pengujian konstitusionalitas melalui setiap Putusannya. Selain kewenangan sebagai negative legislator, Mahkamah Konstitusi juga berwenang sebagai positive legislator, bahkan memperluas obyek pengujiannya. Pengaturan dalam Undang-undang Mahkamah Konstitusi sebagai peraturan pelaksana dari Pasal 24 C ayat (1) UUD NRI Tahun 1945 yang membatasi kewenangan Mahkamah Konstitusi sebatas negative legislator dan membatasi obyek pengujian konstitusionalitas menjadi tidak serta merta mengikat bagi Mahkamah Konstitusi. Dalam praktik pengujian konstitusionalitas dewasa ini, perluasan kewenangan peradilan konstitusi dari sebatas negative legislator menjadi positive legislator dan perluasan obyek pengujian menjadi kecenderungan yang umum terjadi diberbagai negara. Perluasan kewenangan peradilan konstitusi memiliki kecenderungan dapat mengambil alih fungsi legislatif dari pembentuk undang-undang. Keadaan ini disebut pathology pengujian konstitusional. Oleh karena itu dilakukan penelitian secara yuridis normatif untuk mengetahui bagaimanakah pengujian konstitusionalitas yang masih menjadi kewenangan peradilan konstitusi. Hasil penelitian berupa konsep pengujian konstitusional yang masih menjadi kewenangan peradilan konstitusi, akan digunakan untuk menganalisa praktik pengujian konstitusional yang dilakukan oleh Mahkamah Konstitusi di Indonesia. Pengujian konstitusionalitas yang dilaksanakan oleh Peradilan konstitusi dinyatakan masih dalam lingkup kewenangannya apabila memenuhi empat kriteria yaitu: 1).Melalui Proses Peradilan; 2).Secara Umum Berperan Sebagai Negative Legislator; 3).Dalam Keadaan Tertentu dan Batasan Materi Tertentu Sebagai Positive Legislator; dan 4). Materi muatan norma yang termasuk dalam kategori doktrin political question bukan Obyek Pengujian Konstitusionalitas. Praktik pengujian konstitusionalitas yang dilakukan Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia ada yang memenuhi empat kriteria tersebut sehingga masih berada dalam lingkup kewenangan peradilan konstitusi. Namun ada pula putusan Mahkamah Konstitusi yang tidak memenuhi empat kriteria kewenangan pengujian konstitusionalitas peradilan konstitusi. Putusan yang demikian memposisikan Mahkamah Konstitusi melampaui kewenangan peradilan konstitusi, sehingga memiliki kecenderungan untuk menjadi pathology karena mengambil alih fungsi legislatif dari pembentuk undang-undang.

ABSTRACT
The jurisdiction of the constitutional judicial review of the Constitutional Court of the Republic of Indonesia came from the attribution of Article 24C paragraph (1) NRI Constitution of 1945. The setting in the Constitution mentions only Constitutional Court jurisdiction to hear at the first and last decision is final, the laws against the Constitution. According to the theory of administrative law, the beneficiary attribution can create new or expand existing jurisdiction. In practice the Constitutional Court to interpret its own range of jurisdiction over the constitutionality through each Decision. In addition to the jurisdiction as negative legislator, the Constitutional Court also authorized as a positive legislator, even extending the test object. The settings in the Law of the Constitutional Court as the implementing regulations of Article 24 C of paragraph (1) NRI Constitution of 1945 which limits the jurisdiction of the Constitutional Court and limiting the extent of negative legislator constitutionality object becomes not necessarily binding on the Constitutional Court. In the practice of the constitutional judicial review of today, the expansion of the jurisdiction of the constitutional court be limited from a negative legislator to be a positive legislator and expansion of test objects become a trend that is common in many countries. The expansion of the jurisdiction of a constitutional court may have a tendency to take over the legislative functions of the legislators. This condition is called constitutional pathology testing. Therefore normative juridical research to determine how the constitutional judicial review of which is still under the jurisdiction of a constitutional court. The results of research in the form of concept constitutional judicial review is still the constitutional jurisdiction of the constitutional court, will be used to analyze the practice of constitutional judicial review carried out by the Constitutional Court in Indonesia. Judicial review carried out by the Constitution Court declared still within the scope of its jurisdiction if it meets four criteria: 1) Through the Judicial Proceedings; 2) .In General Role In Negative Legislator; 3) .In Specific Circumstances and Limitation of Certain Material For Positive Legislators; and 4). The substance of the norms included in the category of the political question doctrine is not Object Testing Constitutionality. Practice constitutional judicial review conducted Indonesian Constitutional Court there that meet these four criteria so that they are within the scope of jurisdiction of the constitutional court. But there is also a Constitutional Court ruling does not satisfy the four criteria of the jurisdiction of the constitutionality of the constitutional court. The verdict thus positioning the Constitutional Court exceeded the jurisdiction of the constitutional court, so it has a tendency to be a pathology due to take over the legislative functions of the legislators.
"
Depok: Universitas Indonesia, 2016
T45983
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Ardili Nuryadi
"Bureaucracy, business sector, and people are three main pillars in carrying out good governance system. The implementation of governmental functions, such as public services, basically have already been supported by bureaucracy. Bureaucracy, which is reliable and able to perform well, has been a wish/an expectation of all Indonesian people. The expectation, which was also one of things demanded in a bureaucratic reformation movement in 1998, in order to make bureaucracy more responsive inexpensive, indiscriminative, and more transparent in its service. Besides bureaucracy, law enforcement and justice are also the reformation movement mandates that people expect to come to pass. Reformation in judiciary institutions with notorious reputation and considered fail in fulfilling people`s sense of justice has been the central demand / the main point in the reformation era. However, until more than a decade after the reformation movement begun in 1998, that/such expectation have not yet come to reality. Bureaucracy and judiciary institutions in Indonesia are still considered lacking of the betterment spirit and considered not standing up for people. Until recently, not many bureaucratic institutions have been considered to provide optimum services for the people and, at the same time, implement the good governance principles successfully. One of the few institutions manages to implement both service excellence and good governance, is The Constitutional Court of Republic of Indonesia. This research is aimed at examining a clear picture of the organization of The Constitutional Court in its effort to become a modern and credible judiciary institution as well as to provide fast, simple, and inexpensive services to justice seekers. The analysis of Constitutional Court`s organization in this research is conducted by using McKinsey`s 7-S model framework in organization, which are System, Strategy, Structure, Style, Staff, Skill, and Shared Values. This research also using positivist approach (Neuman, 1991) with mix method in gathering the research data, they are in depth interview and survey. The interview was made with several officer who are responsible in organizational policies, while survey`s respondents are employees those already work in the Constitutional Court for two years or more. The type of this research is applied-descriptive.
The result of this research showed that the organization of Constitutional Court is indeed designed to become an open organization by setting out its slogan: Filing a petition at Constitutional Court is free of charge. The Constitutional Court was also a pioneer by developing an information and communication technology (ICT) network system for bringing up fast, inexpensive, simple, and transparent judiciary system. Judiciary services were conducted in one-stop-service system through The Constitutional Court`s official website in the internet. Meanwhile, The Constitutional Court`s fundamental strategy in developing its organization is by being consistent with its vision and mission and by positioning the organization as a clean, modern, and credible judiciary institution. The Court is also designed its bureaucracy organization with slim-but-abounds-with-functions structure; consequently, the span of control could be much shorter. In human resources development area, every staff is demanded to possess multi-tasking ability. For this intention, the organization has facilitated the staff to continually increase their capabilities through many training programs, as well as providing opportunity to study in local or overseas universities. Meanwhile, the organization shared values that could increase the level of productivity and services are togetherness and kinship among the staff. Nevertheless, contrary to the perception of those outside the organization, the leadership in The Constitutional Court has not been successful in assuring all its employees about the idea of creating a bureaucratic institution which fully adopts and implements the good governance principles.

Birokrasi, dunia usaha, dan masyarakat merupakan tiga pilar utama dalam upaya mewujudkan pelaksanaan kepemerintahan yang baik (good Governance). Pelaksanaan fungsi-fungsi pemerintahan seperti pelayanan publik, pada dasarnya telah ditopang oleh birokrasi. Birokrasi yang handal dan mampu bekerja dengan baik, merupakan harapan bagi seluruh bangsa Indonesia. Harapan tersebut, merupakan salah satu tuntunan gerakan reformasi birokrasi 1998, agar birokrasi menjadi tempat layanan masyarakat yang cepat, murah, tidak diskriminatif dan transparan. Selain birokrasi, penegakan hukum dan keadilan juga merupakan amanat reformasi yang menjadi harapan setiap masyarakat agar dapat terlaksana. Reformasi terhadap lembaga peradilan yang dianggap belum mampu memenuhi rasa keadilan masyarakat telah menjadi satu tuntutan sentral dalam era reformasi. Namun, hingga lebih dari satu dekade reformasi berlalu, harapan tersebut belum sepenuhnya terealisasi. Birokrasi dan lembaga peradilan di Indonesia masih dianggap belum memiliki semangat perbaikan dan keberpihakan kepada masyarakat. Belum banyak instansi birokrasi dan lembaga penegakan hukum yang dianggap mampu memberikan pelayanan yang optimal kepada masyarakt sekaligus juga berhasil dalam pelaksanaan nilai-nilai good governance. Salah satu organisasi birokrasi sekaligus lemabag penegak hukum dan peradilan yang dianggap mampu mewujudkaan kedua hal tersebut adalah Mahkamah Konstitusi. Penelitian ini berusaha mengkaji upaya Mahkamah Konstitusi dalam membangun organisasinya menjadi lembaga peradilan yang kredibel, modern, terpercaya, sekaligus mampu memberikan pelayanan yang cepat, mudah, dan murah kepada masyarakat. Analisis organisasi Mahkamah Konstitusi pada penelitian ini menggunakan teori model 7-S McKinsey yang terdiri atas System, Strategy, Structure, Style, Staff, Skill, dan Shared Values. Pendekatan penelitian yang digunakan dengan menggunakan pendekatan positivist (Neuman, 1991) dengan metode campuran (mix method) untuk pengumpulan datanya, yakni wawancara dan survey. Wawancara dilakukan terhadap para pejabat pengambil kebijakan di Mahkamah Konstitusi sedangkan survey dilakukan terhadap para pegawai yang telah bekerja di Mahkamah Konstitusi selama 2 (dua) tahun atau lebih. Tipe penelitian ini adalah deskriptif terapan.
Temuan penelitian menunjukkan, sistem organisasi Mahkamah Konstitusi didesain menjadi sebuah organsiasi yang terbuka dengan mengedepankan slogan `Berperkara di Mahkamah Konstitusi Tidak Dipungut Biaya`. Mahkamah Konstitusi juga membangun sistem jaringan teknologi informasi dan komunikasi untuk memelopori sistem peradilan yang cepat, murah, sederhana atau mudah, dan transparan. Pelayanan peradilan dilakukan dengan sistem one stop services melalui laman atau website Mahkamah Konstitusi. Sementara, strategi utama Mahkamah Konstitusi dalam mengembangkan organisasi adalah konsisten dengan visi dan misi serta positioning institusi sebagai lembaga peradilan yang bersih, modern dan terpercaya. Mahkamah Konstitusi juga mendesain organisasi birokrasinya menjadi organisasi yang ramping namun kaya akan fungsi kerja sehingga rentang kendali (span of control) organisasi menjadi lebih pendek. Pada bidang pengembangan SDM, setiap pegawai juga dituntut memiliki kemampuan kerja dengan ragam kecakapan (multi tasking). Organisasi juga memfasilitasi setiap pegawai dalam peningkatan kemampuan (capability) melalui berbagai program diklat serta magang dan tugas belajar di luar negeri. Sementara nilai bersama (shared values) organisasi yang mampu meningkatkan kinerja dan pelayanan adalah kebersamaan dan kekeluargaan di antara sesama pegawai. Namun berbeda dengan persepsi ekstrenal organisasi, kepemimpinan di Mahkamah Konstitusi belum mampu memberi keyakinan kepada seluruh pegawai dalam mewujudkan institusi birokrasi yang secara penuh melaksanakan prinsip-prinsip good governance."
Depok: Fakultas Eknonomi dan Bisnis Universitas Indonesia, 2009
T26360
UI - Tesis Open  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>