Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 32676 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Sufrijal H. Folasimo
"Penelitian ini bertujuan untuk mengembangkan perancah dressing luka inovatif berbahan dasar kulit ikan king kobia melalui proses deselularisasi menggunakan larutan hipotonik dan hipertonik. Dressing luka ini diharapkan dapat menjadi alternatif yang efektif dan ramah lingkungan untuk merawat luka. Proses deselularisasi dilakukan dengan merendam kulit ikan dalam larutan khusus, diikuti oleh karakterisasi menggunakan Scanning Electron Microscope (SEM) dimana dilakukan perbesaran 600X dari ketiga sampel , Differential Scanning Calorimetry (DSC) dimana pengujian dilakukan mulai dari suhu 30-70, uji tensile strength, diperoleh spesimen 1 adalah Y= 0.0568x - 3.0227 MPa untuk spesimen 2 Y = 0.55x - 8.6058 MPa dan untuk spesimen 3 Y = 0.7183x - 11.31 MPa dan uji degradabilitas. Hasil karakterisasi dengan SEM menunjukkan perubahan struktur mikro dan morfologi kulit ikan setelah deselularisasi, sementara analisis DSC menggambarkan perubahan sifat termal bahan. Uji tensile strength digunakan untuk mengevaluasi kekuatan mekanik dressing, sementara uji degradabilitas memberikan informasi tentang kemampuan dressing untuk terurai secara alami dalam lingkungan tertentu. Proses inkubasi pada suhu 37°C juga penting karena mencerminkan suhu tubuh manusia, di mana perancah diharapkan dapat terurai dengan baikPengembangan dressing luka berbasis kulit ikan king kobia ini memiliki potensi besar sebagai produk yang ramah lingkungan dan memiliki sifat biokompatibel. Hasil penelitian ini dapat menjadi landasan untuk pengembangan lebih lanjut dalam bidang perawatan luka, dengan memanfaatkan sumber daya alam secara berkelanjutan.

This study aims to develop an innovative wound dressing scaffold made from king cobia fish skin through a decellularization process using hypotonic and hypertonic solutions. This wound dressing is expected to be an effective and environmentally friendly alternative for wound care. The decellularization process was carried out by soaking the fish skin in a special solution, followed by characterization using Scanning Electron Microscope (SEM) where 600X magnification of the three samples was carried out, Differential Scanning Calorimetry (DSC) where testing was carried out starting from temperatures 30-70, tensile strength test, obtained by specimen 1 is Y = 0. 0568x - 3.0227 Mpa for specimen 2 Y = 0.55x - 8.6058 Mpa and for specimen 3 Y = 0.7183x - 11.31Mpa and degradability test The incubation process at 37°C is also important because it reflects the temperature of the human body, where the scaffold is expected to decompose properly. Characterization results by SEM showed changes in the microstructure and morphology of fish skin after deselularization, while DSC analysis illustrated changes in the thermal properties of the material. The tensile strength test was used to evaluate the mechanical strength of the dressing, while the degradability test provided information on the ability of the dressing to biodegrade in a specific environment. The development of this king cobia skin-based wound dressing has great potential as an environmentally friendly and biocompatible product. The results of this research can be used to."
Depok: Fakultas Teknik Universitas Indonesia, 2024
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Rusyda Fajarani
"Kerusakan tulang adalah salah satu penyebab utama kecacatan manusia yang secara keseluruhan menyebabkan penurunan kualitas hidup. Teknologi rekayasa jaringan telah dikembangkan untuk solusi kerusakan tulang dengan menerapkan perancah berbasis biomaterial. Berbagai material polimer alami dan sintesis dapat digunakan sebagai material perancah tulang untuk membantu adhesi dan proliferasi sel. Material konduktif berbasis karbon juga dapat dikombinasikan dalam perancah tulang dan telah diteliti dapat meningkatkan kekuatan mekanis perancah serta membantu proses pertumbuhan sel. Pada penelitian ini, dilakukan pengembangan perancah tulang menggunakan material kolagen, hydroxypropyl methylcellulose (HPMC), dan poly(vinyl alcohol) (PVA), dengan penambahan material multiwalled carbon nanotube (MWCNT) dan reduced graphene oxide (rGO). Material kolagen diekstraksi secara mandiri menggunakan metode deep eutectic solvent dari sumber ikan king kobia. Kolagen hasil ekstraksi dikarakterisasi secara fisika kimia dengan SEM, FTIR, XRD, dan DSC, dengan hasil karakterisasi menunjukkan kolagen mengandung gugus amida dan memiliki struktur triple helix khas kolagen. Dengan demikian kolagen king kobia hasil ekstraksi cocok untuk dilanjutkan sebagai material perancah. Fabrikasi perancah dilakukan menggunakan freeze-drying, kemudian dikarakterisasi secara fisika kimia dengan mengamati morfologi melalui SEM, identifikasi gugus fungsi melalui FTIR, sifat mekanik tekan, porositas, wettability, swelling, dan laju degradasi. Hasilnya menunjukkan perancah berpori dan struktur saling terhubung dengan kekuatan mekanik sekitar 9 MPa yang telah sesuai dengan tulang trabekular, porositas tinggi mencapai 90%, swelling tinggi mencapai 300% tetapi dapat tetap mempertahankan integritas perancah, laju degradasi yang sesuai dengan kehilangan massa perancah yang kurang dari 20% dalam 28 hari, serta sifat hidrofilik dengan sudut kontak air kurang dari 90o. Hasil ini menunjukkan perancah yang difabrikasi dapat menjadi kandidat yang potensial dalam aplikasi rekayasa jaringan tulang. Selain itu, karakteristik konduktivitas perancah dievaluasi melalui pengukuran elektrokimia menggunakan cyclic voltammetry (CV), menghasilkan perancah konduktif yang ditandai dengan pembentukan puncak redoks.

Bone damage is one of the leading causes of human disability which leads to an overall decrease in quality of life. Tissue engineering technology has been developed for bone damage solutions by applying biomaterial-based scaffolds. Various natural and synthetic polymeric materials can be used as bone scaffold materials to facilitate cell adhesion and proliferation. Carbon-based conductive materials can also be combined in bone scaffolds and have been investigated to increase the mechanical strength of the scaffold and assist the cell growth process. In this research, bone scaffolds were developed using collagen, hydroxypropyl methylcellulose (HPMC), and poly(vinyl alcohol) (PVA), with the addition of multiwalled carbon nanotube (MWCNT) and reduced graphene oxide (rGO) materials. Collagen material was extracted independently using deep eutectic solvent method from king cobia fish source. The extracted collagen was characterized physically and chemically by SEM, FTIR, XRD, and DSC, with the characterization results showing that collagen contains amide groups and has a typical triple helix structure of collagen. Thus, the extracted king cobia collagen is suitable to be continued as a scaffold material. The scaffolds were fabricated using freeze-drying and characterized physically and chemically by observing morphology through SEM, functional group identification through FTIR, compressive mechanical properties, porosity, wettability, swelling, and degradation rate. The results showed porous scaffolds and interconnected structures with mechanical strength of about 9 MPa which is compatible with trabecular bone, high porosity of up to 90%, high swelling of up to 300% but still maintaining the integrity of the scaffold, suitable degradation rate with mass loss of less than 20% in 28 days, and hydrophilic properties with water contact angle of less than 90o. These results suggest the fabricated scaffold could be a potential candidate in bone tissue engineering applications. In addition, the conductivity characteristics of the scaffolds were evaluated through electrochemical measurements using cyclic voltammetry (CV), resulting in conductive scaffolds characterized by the formation of redox peaks."
Depok: Fakultas Teknik Universitas Indonesia, 2024
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Bima Satria Pinandita
"Luka bakar merupakan salah satu masalah kesehatan yang berdampak kepada kerusakan permanen pada korban. Masalah ini memiliki dampak lebih buruk terhadap negara negara berkembang yang padat penduduk layaknya indonesia. Dengan tingginya ketersediaan sumber daya alam, kolagen bisa menjadi salah satu solusi masalah luka bakar di Indonesia. Dalam penelitian ini kami melakukan sintesis biopolimer kolagen-alginat untuk digunakan sebagai pembalut luka bakar melalui proses kimiawi berdasarkan sifat kelarutan material. Kolagen berhasil disintesis dari kulit ikan salmon dengan rendemen kolagen sebanyak 4% dari berat awal kulit ikan salmon. Agar didapatkan pembalut luka bakar berbentuk lembaran, ekstrak kolagen selanjutnya di crosslink dengan alginat. Oleh karenanya, biopolimer kolagen-alginat yang terbentuk ditambahkan dengan anti-bakteri nanopartikel seng oksida (ZnO) dan perak nitrat (AgNO3) sebanyak 0,5% dengan tujuan meningkatkan sifat anti-bakteri dari pembalut luka yang dibuat. Karakterisasi kimiawi menggunakan Fourier Transform Infra Red (FTIR) menunjukan bahwa kolagen hasil ekstraksi kulit ikan salmon memiliki gugus yang serupa dengan kolagen komersil. Penambahan alginat serta nanopartikel ZnO dan AgNO3 tidak berpengaruh secara kimiawi pada kolagen, terlihat dari tidak adanya gugus baru yang muncul pada hasil FTIR. Penambahan antibakteri terbukti meningkatkan sifat antibakteri berdasarkan pengujian antibakteri yang dilakukan. Antibakteri nanopartikel ZnO dan AgNO3 juga terbukti mampu menghambat pertumbuhan bakteri gram-positif (S.aureus) maupun gram-negatif (E.coli).

Burn injury is one of the health problems that can cause permanent damage to the victim. This problem causes a worse impact in developing countries that are densely populated like Indonesia. With the high availability of natural resources, collagen can be another solution for a burn injuries in Indonesia. In this study, we synthesized a collagen-alginate biopolymer to be used as a burn wound dressing through a chemical process based on the solubility properties of the material. Collagen was successfully synthesized from salmon skin with a yield of 4% of the initial weight of salmon skin. The collagen extract was crosslinked with alginate to obtain a sheet-shaped Universitas Indonesia burn dressing. Then, the formed collagen-alginate biopolymer was added with 0.5% zinc oxide (ZnO) nanoparticles and silver nitrate (AgNO3) to increase the anti-bacterial properties of the wound dressings. The collagen extracted from salmon skin had similar chemical groups to commercial collagen, as confirmed through Fourier Transform Infrared spectroscopy (FTIR). The addition of alginate, as well as ZnO nanoparticles and AgNO3, had no chemical effect on the collagen, as seen from the absence of new chemical groups that appeared in the FTIR results. The addition of antibacterial was proven to increase the antibacterial properties based on the antibacterial testing carried out. Antibacterial nanoparticles ZnO and AgNO3 were also proven to be able to inhibit the growth of gram-positive (S. aureus) and gram-negative (E.coli) bacteria.
"
Depok: Fakultas Teknik Universitas Indonesia, 2022
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
"Tujuan Menguji secara in vitro kemampuan kasa steril hidrofobik Cutimed® Sorbact® untuk mengikat mikroorganisme multiresisten penyebab luka, methicillin-resistant Staphylococcus aureus (MRSA) dan Pseudomonas aeruginosa. Metode Desain penelitian ini adalah potong lintang. Penelitian dilakukan di Departemen Mikrobiologi, Fakultas Kedokteran, Universitas Indonesia pada bulan Januari 2009. Pengujian kasa steril hidrofobik untuk mengikat mikroorganisme secara in-vitro dilakukan dengan cara menghitung jumlah MRSA dan Pseudomonas aeruginosa yang terikat pada 1 cm persegi selapis kasa steril hidrofobik Cutimed® Sorbact®. Setiap pengujian dilakukan secara triplo pada waktu paparan 0,5, 1, 5, 10, dan 30 menit serta 1, 2, 3, dan 4 jam. Untuk melihat kemampuan daya ikat kasa steril hidrofobik terhadap mikroorganisme uji, sebagai pembanding dilakukan juga uji daya ikat secara in vitro dari kasa steril konvensional terhadap mikroorganisme uji, pada waktu paparan 0,5 menit dan 2 jam. Hasil Kasa steril hidrofobik Cutimed® Sorbact® mempunyai kemampuan untuk mengikat MRSA dan Pseudomonas aeruginosa mulai dari waktu paparan 0,5 menit dan mencapai maksimal pengikatan pada paparan selama 2 jam. Dibandingkan dengan kasa steril konvensional, kasa steril hidrofobik Cutimed® Sorbact® mempunyai kemampuan yang lebih kuat untuk mengikat MRSA dan Pseudomonas aeruginosa. Kesimpulan Kasa steril hidrofobik Cutimed® Sorbact® mempunyai kemampuan mengikat MRSA dan Pseudomonas aeruginosa yang lebih baik daripada kasa steril konvensional.

Abstract
Aim To do in vitro test to assess the efficacy of hydrophobic dressing Cutimed® Sorbact® to bind multiresistant bacteria that caused wound infection, the methicillin-resistant Staphylococcus aureus (MRSA) and Pseudomonas aeruginosa. Method This was a cross sectional study that was conducted in the Department of Microbiology, Faculty of Medicine, University of Indonesia, on January 2009. In-vitro testing of sterile hydrophobic dressing to bind microorganisms was conducted by counting MRSA and Pseudomonas aeruginosa that were bound to 1 square centimetre of single layer sterile hydrophobic dressing (Cutimed® Sorbact®). Every test was done in triplicate at 0.5, 1, 5, 10, 30 minutes, 1, 2, 3, and 4 hours. To compare the hydrophobic dressing capability to bind microorganisms, in vitro testing of sterile conventional dressing to bind microorganisms on 0.5 minutes and 2 hours was done. Result The binding capacity of sterile hydrophobic dressing began at 0.5 minutes and teached a maximum at 2 hours. Compared with conventional dressing, sterile hydrophobic dressing had more binding capability to MRSA and Pseudomonas aeruginosa. Conclusion Hydrophobic dressing (Cutimed® Sorbact®) had a higher capability to bind MRSA and Pseudomonas aeruginosa compared to conventional dressing. "
[Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia], 2009
pdf
Artikel Jurnal  Universitas Indonesia Library
cover
"Periodontal dressing dengan kandungan epigallocathechin gallate teh hijau meningkatkan sel fibroblas setelah perlukaan gingiva. Daun teh hijau (Camellia sinensis) merupakan salah satu tanaman herbal yang digunakan sebagai obat tradisional. Epigallocatechin gallate (EGCG) pada daun teh hijau adalah polifenol yang paling poten dan memiliki aktivitas biologis paling kuat. Kandungan EGCG berpotensi untuk mempercepat penyembuhan luka. Tujuan: Penelitian ini bertujuan untuk membuktikan pengaruh penambahan EGCG daun teh hijau pada periodontal dressing terhadap jumlah sel fibroblas pasca perlukaan gingiva. Metode: Penelitian ini menggunakan 24 ekor kelinci (Oryctolagus cuniculus) perlukaan pada gingiva rahang bawah menggunakan punch biopsy berdiameter 2mm. Hewan coba dibagi menjadi 2 kelompok, terdiri dari kelompok kontrol yang diaplikasikan periodontal dressing tanpa penambahan EGCG daun teh hijau dan kelompok perlakuan yang diaplikasikan periodontal dressing dengan penambahan EGCG daun teh hijau. Setiap kelompok dibagi menjadi 3 sub kelompok sesuai periode dekapitasi hewan coba yaitu hari ke-3, ke-5 dan hari ke-7 setelah perlukaan. Pengamatan histologis dilakukan dengan menghitung jumlah sel fibroblas. Hasil: Hasil uji statistik menunjukkan terdapat perbedaan bermakna jumlah sel fibroblas antara 3 sub kelompok (ANOVA, p<0,05). Simpulan: Penambahan EGCG daun teh hijau pada periodontal dressing dapat meningkatkan jumlah sel fibroblas pasca perlukaan gingiva.

Green tea leaf (Camellia sinensis) is one of herbal plants that is used for traditional medicine. Epigallocatechin gallate (EGCG) in green tea is the most potential polyphenol component and has the strongest biological activity. It is known that EGCG has potential effect on wound healing. Objective: This study aimed to determine the effect of adding green tea EGCG into periodontal dressing on the number of fibroblasts after gingival artificial wound in animal model. Methods: Gingival artifical wound model was performed using 2mm punch biopsy on 24 rabbits (Oryctolagus cuniculus). The animals were divided into two groups. Periodontal dressing with EGCG and without EGCG was applied to the experimental and control group, respectively. Decapitation period was scheduled at day 3, 5, and 7 after treatment. Histological analysis to count the number of fibroblasts was performed. Results: Number of fibroblasts was significantly increased in time over the experimental group treated with EGCG periodontal dressing compared to control (p<0.05). Conclusion: EGCG periodontal dressing could increase the number of fibroblast, therefore having role in wound healing after periodontal surgery in animal model."
Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Jendral Soedirman, 2013
pdf
Artikel Jurnal  Universitas Indonesia Library
cover
Imam Kurniawan Rizal
"ABSTRAK
Metode perawatan luka berkembang dari metode konvensional ke metode perawatan luka modern dressing. Perawatan luka dengan menggunakan modern dressing memiliki lebih banyak manfaat dibanding dengan menggunakan balutan konvensional. Modern dressing sangat baik digunakan untuk balutan luka kronik dikarenakan dapat mempercepat proses penyembuhan luka pasien. Namun, tidak semua perawat mengetahui modern dressing ini. Ada beberapa faktor yang mempengaruhi perawat dalam menggunakan modern dressing untuk perawatan luka, seperti faktor pengetahuan, pelatihan, kebijakan RS, SOP ruangan, akses, usia, tingkat pendidikan, dan rekomendasi dokter. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui faktor-faktor apa saja yang mempengaruhi perawat dalam menggunakan modern dressing untuk perawatan luka. Metode penelitian yang digunakan adalah simple random sampling. Data penelitian diuji menggunakan uji Chi-Square. Penelitian ini dilakukan di RSUP Persahabatan dengan jumlah sampel 82 orang. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa faktor pengetahuan, SOP ruangan, dan pelatihan mempengaruhi perawat dalam menggunakan modern dressing untuk perawatan luka. Hasil ini dapat memberikan manfaat bagi pelayanan keperawatan terkait penggunaan modern dressing sebagai balutan luka pasien.

ABSTRACT
Wound care methods progress from conventional methods to modern methods of wound care dressings. Using modern dressing has more benefits compared with using conventional dressings. Modern dressings very usefull for chronic wound because it can accelerate wound healing process of patients. However, not all nurses knowing about benefits of modern dressing. There are several factors that influence nurses in the use of modern dressing for wound care, as a factor of knowledge, training, hospital policies, SOP rooms, access, age, educational level, and the doctor's recommendation. The purpose of this study is to determine the factors that influence nurses in the use of modern dressings for wound care. The method of this study using simple random sampling. This study data was tested by Chi-Square test. This study was conducted in Persahabatan Hospital with total sample of 82 people. The results showed that knowledge, SOP room and training affect nurses in the use of modern dressing for wound care. This results can give benefits for nursing care about using modern dressing as wound dressing patients."
2016
S65123
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Yovan Stefanus
"

Madu dan propolis merupakan produk dari lebah yang memiliki banyak manfaat. Banyak penelitian telah membuktikan kedua produk ini memiliki kandungan anti-bakteri dan anti-inflamasi sehingga memiliki potensi untuk digunakan sebagai bahan aktif dalam pembalut luka. Setiap tahunnya sekitar 180.000 orang meninggal akibat luka. Kematian akibat luka biasanya disebabkan oleh infeksi dari bakteri dan tidak mendapatkan perlakuan yang tepat sehingga infeksi menjadi parah dan mengakibatkan kegagalan sistemik lainnya. Bakteri yang paling banyak ada di luka adalah Staphylococcus aureus. Bakteri ini menginisiasi infeksi pada luka terbuka. Saat ini Polyvinyl Alcohol (PVA) banyak digunakan sebagai polimer karena sifatnya yang transparan, mudah dibentuk, bio-inert, dan biokompatibel. PVA banyak digunakan dalam bentuk hidrogel sebagai pembalut luka. Hidrogel berbasis PVA memiliki performa yang baik sebagai pembalut luka, namun tidak memiliki sifat antibakteri, sehingga banyak penelitian melakukan penggabungan antara hidrogel dengan bahan aktif seperti gentamicin dan nanopartikel Ag. Penelitian ini menggabungkan PVA hidrogel dengan propolis pada beberapa komposisi (2,5%; 3,75%; 5%, 6,25%; 7,5%). Zona inhibisi terbaik adalah pada konsentrasi tertinggi, sementara untuk hasil uji sifat fisik, nilai kekuatan lipat adalah >300 untuk seluruh sampel, uji pembengkakan ada di rentang 7-12% untuk sampel dari Belitung, dan 4-6% pada sampel dari Sulawesi yang sudah memenuhi standar. Uji moisture content ada pada rentang 77-82%.


Honey and propolis are products of bees that have many benefits. Many studies have proven that these two products have anti-bacterial and anti-inflammatory properties, so they have the potential to be used as active ingredients in wound dressings. Every year about 180,000 people die from injuries. Death from wounds is usually caused by infection from bacteria and not getting proper treatment so that the infection becomes severe and results in other systemic failures. The most common bacteria in the wound is Staphylococcus aureus. These bacteria initiate infection in open wounds. Currently, Polyvinyl Alcohol (PVA) is widely used as a polymer because it is transparent, malleable, bio-inert, and biocompatible. PVA is widely used in hydrogel form as a wound dressing. PVA-based hydrogels have good performance as wound dressings, but do not have antibacterial properties, so many studies have carried out combining hydrogels with active ingredients such as gentamicin and Ag nanoparticles. This research combining PVA hydrogel with propolis in several compositions (2,5%; 3,75%; 5%; 6,25%; 7,5%). The best inhibition zone is at the highest concentration, while for the physical property test results, the folding strength value is >300 for all samples, the swelling test is in the range of 7-12% for samples from Belitung, and 4-6% for samples from Sulawesi which have been meet standards. Moisture content test is in the range of 77-82%.

 

"
Depok: Fakultas Teknik Universitas Indonesia, 2023
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Sylvia Lioner
"Hidrogel adalah pembalut luka modern yang dapat menangani eksudat luka sekaligus mempertahankan kelembaban yang optimal. Hidrogel yang hanya mengandung satu polimer memiliki kekuatan mekanik, elastisitas, dan stabilitas yang rendah. Oleh sebab itu, penggabungan dua jenis polimer dalam pembuatan hidrogel banyak diterapkan dalam aplikasi biomedik saat ini. Penelitian ini bertujuan untuk mengarakterisasi dan membandingkan hidrogel yang dibentuk dari polimer kitosan dan gelatin yang ditaut silang menggunakan glutaraldehid dan genipin untuk pembalut luka. Kedua hidrogel dibuat menggunakan metode yang sama yaitu menggunakan agen penaut silang kimia. Morfologi, identifikasi gugus fungsi, pola difraksi sinar-X, stabilitas termal, sifat mekanik, kemampuan mengembang, dan evaporasi air dari hidrogel diuji. Hasil karakterisasi dari kedua hidrogel serupa karena glutaraldehid dan genipin memiliki mekanisme taut silang yang serupa terhadap polimer kitosan dan gelatin. Kemampuan mengembang metode taut silang glutaraldehid (63,07%) lebih tinggi daripada genipin (58,25%). Hasil uji sifat mekanik metode taut silang glutaraldehid lebih rendah yaitu 0,0061 MPa (mengembang) dan 0,0517 MPa (kering) dibandingkan genipin yaitu 0,0087 MPa (mengembang) dan 0,1187 MPa (kering). Laju evaporasi air metode taut silang glutaraldehid lebih tinggi (27,21%) daripada genipin (24,85%). Berdasarkan hasil karakterisasi dan evaluasi, hidrogel yang ditaut silang dengan genipin dapat menggantikan hidrogel ditaut silang glutaraldehid sebagai pembalut luka.

Hydrogels are modern wound dressings which have the ability to absorb wound exudates while providing an optimum moist environment for the wound. Hydrogels made up of just one polymer have poor mechanical properties, low elasticity, and thermal instability. Therefore, two or more different types of polymers were usually used in the fabrication of hydrogels for applications in biomedical areas. The purpose of this study is to prepare chitosan/gelatin hydrogels crosslinked with glutaraldehyde and genipin as well as to characterize and study their properties as a wound dressing. Both hydrogels were fabricated by chemical crosslinking using a crosslinker. Morphology, FT-IR analysis, X-ray diffraction, thermal stability, mechanical properties, swelling capability, and water evaporation were tested. Characterization of both hydrogels showed similar results because they have similar crosslinking mechanisms when added to chitosan and gelatin. Glutaraldehyde-crosslinked hydrogel has higher swelling capability (63.07%) than genipin (58.25%). Glutaraldehyde-crosslinked hydrogel has lower tensile strength which are 0.0061 MPa (swelling) and 0.0517 MPa (dried) than genipin which are 0.0087 MPa (swelling) and 0.1187 MPa (dried). Glutaraldehyde- crosslinked hydrogel has higher water evaporation rate (27.21%) than genipin (24.85%). Based on overall characteristics and evaluation, genipin-crosslinked hydrogel can be used to replace glutaraldehyde-crosslinked hydrogel as a wound dressing."
Depok: Fakultas Farmasi Universitas Indonesia, 2022
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Michicho Citra Zhangrila
"Pembalut luka yang ideal tidak hanya menutupi dan melindungi area yang terdampak, tetapi juga dapat menciptakan lingkungan yang optimal di lokasi luka untuk memfasilitasi penyembuhan. Hidrogel merupakan kandidat pembalut luka yang ideal karena kemampuannya untuk menyerap air sehingga mampu menjaga lingkungan lembap di sekitar luka dan membantu menyerap eksudat dari permukaan luka. Pada penelitian ini, dibuat hidrogel menggunakan dua polimer alami, yaitu kitosan dan natrium alginat yang diketahui memiliki biokompatibilitas yang baik dan biodegradabilitas yang tinggi. Hidrogel kitosan/alginat dibuat menggunakan dua cara berbeda, yaitu dengan taut silang fisik menggunakan CaCl2 dan taut silang kimia menggunakan genipin. Untuk melihat perbedaan antara kedua hidrogel yang dibuat, dilakukan karakterisasi morfologi, struktural, pola difraksi sinar-X, dan stabilitas termal masing-masing menggunakan SEM, FTIR, XRD, dan DSC. Selain itu, juga dilakukan uji kemampuan mengembang, kecepatan evaporasi air, dan evaluasi sifat mekanis dari hidrogel. Hasil karakterisasi menunjukkan bahwa hidrogel kitosan/alginat berhasil ditaut silang dengan dua cara berbeda, serta menunjukkan kompatibilitas yang baik. Hasil evaluasi sifat mekanis menunjukkan kekuatan peregangan yang lebih rendah untuk hidrogel dengan taut silang fisik dibandingkan hidrogel dengan taut silang kimia. Nilai evaporasi air setelah 24 jam yaitu 12,12 ± 0,46% untuk hidrogel dengan taut silang fisik, dan 11,78 ± 1,33% untuk hidrogel dengan taut silang kimia. Sedangkan indeks mengembang maksimum berada pada nilai 105,71 ± 8,78% untuk hidrogel dengan taut silang fisik, dan 46,91 ± 8,49% untuk hidrogel dengan taut silang kimia. Meskipun terdapat perbedaan pada hasil karakterisasi dan evaluasi, baik hidrogel kitosan/alginat dengan taut silang fisik maupun kimia memiliki potensi sebagai pembalut luka yang baik.

An ideal wound dressing covers and protects the affected area and creates an optimal environment at the wound site to facilitate wound healing. Hydrogel is an ideal wound dressing candidate because of its ability to absorb water which can help maintain a moist environment around the wound and absorb exudate from the wound surface. In this study, hydrogels were made using two natural polymers, chitosan, and sodium alginate, which are known to have good biocompatibility and high biodegradability. Chitosan/alginate hydrogels were made using two different methods: physical crosslinking using CaCl2 and chemical crosslinking using genipin. To observe the differences between the two hydrogels, morphological, structural, X-ray diffraction patterns, and thermal stability characterization was conducted using SEM, FTIR, XRD, and DSC, respectively. In addition, the swelling ability test, water evaporation rate, and the evaluation of the mechanical properties of the hydrogel were also carried out. The characterization results showed that the chitosan/alginate hydrogel was crosslinked in two different ways and showed good compatibility. The evaluation of the mechanical properties showed that the tensile strength was lower for hydrogels with physical crosslinks compared to hydrogels with chemical crosslinks. The value of water evaporation after 24 hours was 12.12 ± 0.46% for hydrogels with physical crosslinks and 11.78 ± 1.33% for hydrogels with chemical crosslinks. Meanwhile, the maximum swelling index was 105.71 ± 8.78% for hydrogels with physical crosslinks and 46.91 ± 8.49% for chemical crosslinks. Although there are differences in the results of the characterization and evaluation that have been done, both chitosan/alginate hydrogels with physical and chemical crosslinks have potential as good wound dressings."
Depok: Fakultas Farmasi Universitas Indonesia, 2022
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
"[Pendahuluan:
Hydrofiber merupakan materi balutan luka yang memiliki kemampuan absorbsi dan memberikan suasana lembab yang baik, namun belum diketahui potensi kemampuannya sebagai hemostat. Penelitian ini bertujuan untuk melihat potensi kemampuan hemostasis hydrofiber.
Metode:
Studi eksperimental in-vitro dan in-vivo menggunakan kontrol dan randomisasi dilakukan pada 7 ekor tikus (in-vitro) dan 14 ekor tikus (in-vivo) Rattus novergicus strain Sprague-Dawley yang sehat dengan berat 200-300 gram. Pada penelitian in-vitro didapatkan 32 sampel darah 1mL. Pada 16 sampel kelompok perlakuan ditambahkan 5mg hydrofiber; 16 sisanya berfungsi sebagai kontrol. Waktu koagulasi dihitung dan dianalisis menggunakan independent t-test. Pada penelitian in-vivo subjek dikelompokkan menjadi 3 grup yang masing-masing terdiri dari 9 buah luka dan ditutup dengan hydrofiber, alginat atau kasa lembab salin. Selisih berat darah yang diserap tiap balutan dihitung dan dianalisis menggunakan uji Kolmogorv-Smirnov, sedangkan selisih luas area perdarahan dihitung dengan uji Anova (p<0.05)
Hasil:
Dari penelitian in-vitro didapatkan hasil tidak terdapat perbedaan antara waktu koagulasi sampel darah dengan hydrofiber dibandingkan dengan tanpa hydrofiber [p=0.119 (CI -7.47-62.28)]. Sedangkan pada penelitian kedua didapatkan hasil tidak terdapat perbedaan pada selisih berat [p=0.163 (CI 31.41-54.83)] dan selisih luas (p=0.788 (CI 2.83-3.28)] antara kelompok hydrofiber, alginate, dan kasa lembab salin.
Diskusi:
Hydrofiber tidak memiliki perbedaan dalam hal hemostasis bila dibandingkan dengan alginat dan kasa lembab salin yang sudah lama diketahui memiliki kemampuan hemostasis; dapat disimpulkan bahwa hydrofiber berpotensi memiliki kemampuan hemostasis.
, Background:
Hydrofiber is a highly absorbent dressing with its ability to promote wound healing. Because of its structure similarity with alginate, hemostatic property of hydrofiber is being questioned. This study was aimed to explore hemostatic property of hydrofiber.
Methods:
In-vitro and in-vivo experimental study was performed in healthy Sprague- Dawley rats weighing 200-300 gram. A number of 32 blood samples were collected from 7 animals for in-vitro study; 16 samples were added with hydrofiber, while the rest functioned as control. Coagulation time between hydrofiber and control were analyzed using independent t-test. The in-vivo study involved 27 deep dermal wounds that were divided into 3 groups where each group of wounds was covered with hydrofiber, alginate, and saline gauze dressing respectively. Amount of blood that was absorbed by each dressing were analyzed using Kolmogorv-Smirnov test, while bleeding surface area after dressing were analyzed with Anova test (p<0.05)
Results:
There is no significant difference in terms of coagulation time between hydrofiber and control [p 0.119 (CI -7.47-62.28)]. The amount of blood that was absorbed by each dressing [p 0.163 (CI 31.41-54.83)] and the bleeding surface area after dressing [p 0.788 (CI 2.83-3.28)] were also not significantly different between hydrofiber, alginate, and saline soaked gauze.
Conclusion:
Hydrofiber shows potential hemostasis property, as it has no difference in its profile of coagulation time and amount of absorbed blood with the profiles shown by alginate and saline soaked gauze.
]"
Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2014
SP-PDF
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>