Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 75686 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Axel Rasyad
"Para penulis di Indonesia mengalami kesulitan dengan royalti yang dikenakan tarif pajak yang terlalu tinggi sebesar 15%. PER No. 1/2023 diterbitkan oleh pemerintah untuk menurunkan tarif pajak efektif royalti dari 15% menjadi 6%. Terbitnya PER No. 1/2023 bertujuan untuk mengeliminasi kondisi Lebih Bayar (LB) para penulis akibat jumlah kredit pajak PPh Pasal 23 terlalu besar. Tujuan penelitian ini adalah menganalisis pelaksanaan dari kebijakan penurunan tarif pajak royalti penulis ditinjau dari asas ease of administration. Pendekatan yang digunakan adalah post-positivist. Metode yang digunakan adalah kualitatif. Teknik pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini adalah studi kepustakaan dan wawancara mendalam. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa pelaksanaan kebijakan penurunan tarif pajak royalti penulis telah memenuhi asas ease of administration. Terpenuhinya asas ease of administration disebabkan oleh terpenuhinya empat dimensi, antara lain asas certainty, efficiency, convenience, dan simplicity. Asas certainty telah terpenuhi karena tidak terdapat ketidakjelasan dalam kebijakan penurunan tarif pajak royalti penulis. Asas efficiency telah terpenuhi karena minimnya biaya yang dikeluarkan oleh pihak DJP dan penulis. Asas convenience telah terpenuhi karena penulis mengalami pemotongan pajak ketika memperoleh penghasilannya. Asas simplicity telah terpenuhi karena sistem administrasi pajak untuk penulis sudah sederhana dan jelas. Penelitian ini merekomendasikan kepada pemerintah untuk melakukan sosialisasi yang masif sehingga meningkatkan pengetahuan para penulis mengenai kebijakan penurunan tarif pajak royalti penulis dalam PER No. 1/2023.

Authors in Indonesia are having difficulties with royalties being subject to an overly high tax rate of 15%. PER No. 1/2023 was issued by the government to lower the effective royalty tax rate from 15% to 6%. The issuance of PER No. 1/2023 aims to eliminate the Overpayment (LB) condition of the writers due to the amount of Income Tax Article 23 tax credit being too high. The purpose of this study is to analyze the implementation of the policy of reducing the royalty tax rate of writers in terms of the ease of administration principle. The approach used is post-positivist. The method used is qualitative. The data collection techniques used in this research are literature study and in-depth interviews. The results of this study indicate that the implementation of the policy to reduce the author's royalty tax rate has fulfilled the ease of administration principle. The fulfillment of the principle of ease of administration is due to the fulfillment of four dimensions, including the certainty, efficiency, convenience, and simplicity principles. The certainty principle has been fulfilled because there is no uncertainty in the policy of reducing the author's royalty tax rate. The efficiency principle has been fulfilled because of the minimal costs incurred by DGT and the author. The simplicity principle has been fulfilled because the tax administration system for writers is simple and clear. This study recommends the government to conduct massive socialization to increase the knowledge of writers regarding the policy of reducing royalty tax rates for writers in PER No. 1/2023."
Depok: Fakultas Ilmu Administrasi Universitas Indonesia, 2024
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Mikha Grinelda Ningrum
"Adanya transaksi jual dan beli membuat tiap perusahaan harus melakukan kewajiban perpajakan Pajak Pertambahan Nilainya, termasuk pula yang dilakukan PT X. Pelaporan perpajakan yang dilakukan PT X mengalami kesalahan yang sebetulnya dapat diatasi dengan Pemindahbukuan. Namun PT X tidak dapat menempuh alternatif tersebut sehingga PT X harus menanggung sanksi administrasi agar kesalahan tersebut dapat terselesaikan. Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis dasar pertimbangan dari Direktorat Jenderal Pajak dalam membuat aturan terkait kesalahan setor pada Jasa Kena Pajak dari luar daerah pabean tidak dapat dipindahbukukan dan menganalisis sanksi administrasi yang diterima PT X apakah sudah sesuai dengan mempertimbangkan asas ease of administration. Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif dengan teknik pengumpulan data melalui wawancara mendalam dan studi kepustakaan. Hasil penelitian ini menyimpulkan bahwa dasar pertimbangan Direktorat Jenderal Pajak membuat aturan mengenai kesalahan setor Jasa Kena Pajak Luar Daerah Pabean tidak dapat dipindahbukukan karena Barang Kena Pajak Tidak Berwujud dan Jasa Kena Pajak Luar Daerah Pabean masih rentan untuk dimanfaatkan oleh Wajib Pajak untuk menghindari pajak dan pengawasan yang dilakukan Pemerintah belum dapat diandalkan. Atas adanya ketentuan yang tidak memperbolehkan untuk melakukan Pemindahbukuan, maka cara yang ditempuh PT X untuk mengatasi kesalahan penyetoran pajak adalah Pengembalian Pajak yang Seharusnya Tidak Terutang, yang menimbulkan sanksi administrasi. Dengan adanya hal tersebut, sanksi administrasi yang terjadi akibat kesalahan setor pajak yang dilakukan PT X tidak memenuhi asas ease of administration.

The occurrence of selling and buying transactions cause every companies to do their VAT obligations, including PT X. Tax reported by PT X which appear to be wrong can be subdued by Overbooking. However PT X couldn’t go thrpugh the said alternative, therefore PT X had to bear administrative sanctions so those mistakes can be resolved. The purpose of this research is to analyze basic considerations from Directorate General of Taxes in making regulations regarding the faulty transfer of Taxable Services from outside the custom area which cannot be overbook and analyze whether the administrative sanctions given to PT X are appropriate, with Ease of Administration principle in deliberation. This research used a qualitative approach with in-depth interview and literature study for data collection. The result of this research concludes that the primary consideration Directorate General of Taxes made regulations concerning the incorrect transfer of Taxable Services from outside the custom area is because Intangible Taxable Goods and Taxable Services from outside the custom area are susceptible to being used by Taxpayers for the purpose of avoiding tax and the Government’s control are not fully reliable. Because the regulations do not allow overbooking, alternative ways taken by PT X to resolve the incorrect transfer of tax is Restitution, which causes administrative sanctions. With that being said, administrative sanctions that occur as a result of wrong transfer of tax do not fulfill the Ease of Administration principle."
Depok: Fakultas Ilmu Administrasi Universitas Indonesia, 2019
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Maharani Nur Zahra
"Kebijakan Tarif Efektif Rata-Rata (TER) untuk pemotongan Pajak Penghasilan (PPh) Pasal 21 sesuai PP 58/2023 dan PMK 168/2023 diharapkan dapat menciptakan administrasi perpajakan yang lebih mudah. Namun, kebijakan TER dan kebijakan lainnya justru berpotensi tidak sepenuhnya menciptakan kondisi yang memudahkan bagi Wajib Pajak. Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis kebijakan TER dalam pemotongan Pajak Penghasilan Pasal 21 ditinjau dari asas ease of administration, dengan analisis terkait latar belakang, urgensi, dan faktor pendukung maupun penghambat dari kebijakan ini. Pendekatan penelitian ini menggunakan metode post-positivist dengan teknik pengumpulan data berupa studi lapangan dan kepustakaan. Hasil penelitian menunjukkan bahwa kebijakan ini bertujuan meningkatkan kepatuhan pajak melalui regulasi yang sederhana, pengawasan oleh DJP, dan pengawasan bagi karyawan. Namun, dilihat dari asas ease of administration, kebijakan TER masih belum sepenuhnya memenuhi asas yang ada. Kebijakan ini telah menunjukkan kejelasan subjek pajak, objek pajak, dasar pengenaan pajak, tarif pajak, waktu pemberlakuan, dan mekanisme kompensasi atas Lebih Bayar, namun aspek prosedur teknis perhitungan, mekanisme pengembalian Lebih Bayar dari pemberi kerja ke karyawan, dan mekanisme pemeriksaan PPh Pasal 21 masih perlu diperhatikan. Kebijakan TER menyederhanakan proses perhitungan PPh Pasal 21 di Masa Pajak Januari-November, namun menimbulkan kesulitan di akhir tahun. Sistem pelaporan e-Bupot 21/26 yang digunakan juga belum sepenuhnya mendukung penerapan TER, terutama di masa transisi. Faktor pendukung kebijakan ini meliputi sistem pelaporan terbaru dan strategi komunikasi yang efektif. Faktor penghambat meliputi keterbatasan waktu pelaksanaan, gejolak internal antara pemberi kerja dan karyawan, serta ketidaksiapan sarana penunjang. Penelitian ini menyimpulkan bahwa kebijakan TER dalam pemotongan PPh Pasal 21 memerlukan penyempurnaan agar lebih konsisten dengan asas ease of administration. Rekomendasi yang diberikan meliputi evaluasi dan penyesuaian sistem secara masif, pengenalan mekanisme restitusi atau pemindahbukuan untuk Lebih Bayar PPh Pasal 21, dan pengembangan strategi manajemen keuangan oleh pemberi kerja.

The Average Effective Rate (TER) policy for withholding Income Tax (PPh) Article 21 as per PP 58/2023 and PMK 168/2023 is expected to simplify tax administration. However, the TER policy and other regulations may not entirely create favorable conditions for taxpayers. This study aims to analyze the TER policy in the context of withholding Income Tax Article 21, focusing on the ease of administration principle, including an analysis of the background, urgency, and supporting and inhibiting factors of this policy. The research employs a post-positivist approach, utilizing field studies and literature review techniques. The findings indicate that the TER policy aims to enhance tax compliance through simple regulations, supervision by the Directorate General of Taxes (DJP), and supervision for employees. However, from the perspective of ease of administration, the TER policy does not fully meet the existing principles. While the policy provides clarity on tax subjects, tax objects, tax bases, tax rates, implementation timing, and compensation for overpayments, aspects such as technical calculation procedures, mechanisms for returning overpayments from employers to employees, and the Income Tax Article 21 audit mechanism require further attention. The TER policy simplifies the calculation process for Income Tax Article 21 from January to November but creates difficulties at the year-end. The e-Bupot 21/26 reporting system also does not fully support the implementation of TER, especially during the transition period. Supporting factors for this policy include the latest reporting system and effective communication strategies. Inhibiting factors include the limited implementation time, internal conflicts between employers and employees, and unprepared supporting facilities. This study concludes that the TER policy for withholding Income Tax Article 21 needs refinement to align better with the ease of administration principle. Recommendations include massive evaluation and adjustment of the system, introduction of a restitution mechanism for overpayment of Income Tax Article 21, and the development of financial management strategies by employers."
Depok: Fakultas Ilmu Administrasi Universitas Indonesia, 2024
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Ahmad Faisal Maulana
"Layanan streaming digital merupakan sebuah layanan pemutaran musik, dimana musisi akan mendapatkan penghasilan dalam bentuk royalti dari setiap pemutaran yang dilakukan pada layanan tersebut. Dalam proses distribusi royalti pada layanan streaming digital menghadirkan pihak ketiga antara musisi dan layanan streaming digital, yaitu aggregator/distributor digital. Dengan hadirnya pihak ketiga dalam distribusi royalti dapat menyebabkan kerumitan terhadap implementasi pemotongan pajak penghasilan atas royalti tersebut. Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis pemenuhan kewajiban perpajakan wajib pajak pada implementasi pemotongan pajak penghasilan atas royalti musik pada layanan streaming digital serta analisis implementasi pemotongan pajak penghasilan atas royalti musik pada layanan streaming digital yang ditinjau dari asas ease of administration. Pendekatan yang digunakan pada penelitian ini adalah pendekatan kualitatif dengan wawancara mendalam dan studi pustaka sebagai teknik pengumpulan data. Hasil penelitian ini menunjukan bahwa masih belum adanya pemenuhan pemenuhan kewajiban perpajakan wajib pajak pada implementasi pemotongan pajak penghasilan atas royalti musik pada layanan streaming digital. Terdapat tiga aspek penghambat terjadinya pemenuhan kewajiban perpajakan dari proses bisnis layanan streaming digital, diantaranya merupakan sisi regulasi, edukasi dan kejelasan kontrak pada pihak pihak di proses bisnis layanan streaming digital, pemotongan pajak penghasilan atas royalti musik pada layanan streaming digital juga masih belum memenuhi asas ease of administration.

Digital streaming services are music playback services, where musicians will earn income in the form of royalties from every playback made on the service. In the process of distributing royalties on digital streaming services, a third party is present between musicians and digital streaming services, namely digital aggregators/distributors. The presence of a third party in the distribution of royalties can cause complications in the implementation of income tax deductions on these royalties. This study aims to analyze the fulfillment of taxpayers' tax obligations in the implementation of income tax deductions on music royalties on digital streaming services and an analysis of the implementation of income tax deductions on music royalties on digital streaming services reviewed from the principle of ease of administration. The approach used in this study is a qualitative approach with in-depth interviews and literature studies as data collection techniques. The results of this study indicate that there is still no fulfillment of taxpayers' tax obligations in the implementation of income tax deductions on music royalties on digital streaming services. There are three aspects that hinder the fulfillment of tax obligations from the digital streaming service business process, including the regulatory side, education and clarity of contracts for the parties in the digital streaming service business process, income tax deductions on music royalties on digital streaming services also still do not meet the principle of ease of administration."
Depok: Fakultas Ilmu Administrasi Universitas Indonesia, 2024
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Nanda Puja Rezky
"Salah satu usaha Badan Pendapatan Daerah (Bapenda) DKI Jakarta dalam rangka meningkatkan penerimaan adalah dengan mengembangkan sistem BPHTB secara elektronik atau disebut dengan e-BPHTB. Meskipun layanan e-BPHTB di DKI Jakarta sudah mulai diluncurkan pada akhir tahun 2019, ternyata belum mampu memenuhi target penerimaan yang ditetapkan. Menjelang akhir tahun tepatnya pada bulan Oktober 2020, realisasi BPHTB di DKI Jakarta baru mencapai Rp2,77 triliun atau sekitar 45,06% dari target penerimaan BPHTB. Pemerintah meminta Bapenda DKI Jakarta untuk segera melakukan penyederhanaan proses administratif kepengurusan BPHTB. Penelitian ini menggunakan paradigma post-positivist dengan metode pendekatan kualitatif dan jenis penelitian deskriptif. Teknik pengumpulan data dilakukan melalui studi kepustakaan dan wawancara mendalam terhadap narasumber terkait. Hasil penelitian ini menyimpulkan bahwa penerapan kebijakan sistem e-BPHTB sudah sesuai dengan asas kenyamanan pembayaran dan kemudahan regulasi. Akan tetapi belum sesuai dengan aspek efisiensi biaya. Hambatan yang muncul dari penerapan sistem e-BPHTB di DKI Jakarta yaitu adanya kendala pada jaringan dan jumlah Sumber Daya Manusia yang masih terbatas.

One of Badan Pendapatan Daerah (Bapenda) DKI Jakarta efforts in order to increase BPHTB revenue as well as a form of improving BPHTB Taxpayer services and compliance is to develop an electronic BPHTB system or called e-BPHTB. Although the e-BPHTB service in DKI Jakarta has started to be launched at the end of 2019, it has not been able to meet the set revenue target. Towards the end of the year, in October 2020, the realization of BPHTB in DKI Jakarta had only reached Rp.2.77 trillion or about 45.06% of the BPHTB revenue target. The government asked the DKI Jakarta Bapenda to immediately simplify the administrative process for BPHTB management. This study uses a post-positivist paradigm with a qualitative approach and type of descriptive research. Data collection techniques were carried out through literature studies and in-depth interviews with related sources The results of this study conclude that the implementation of the e-BPHTB system policy is in accordance with the principles of payment convenience and ease of regulation. However, it is not in accordance with the aspect of cost efficiency. The obstacles that arise from the implementation of the e-BPHTB system in DKI Jakarta are the network constraints and the limited number of Human Resources."
Depok: Fakultas Ilmu Administrasi Universitas Indonesia, 2021
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Farras Agung Wijaya
"Kebijakan pengenaan PPN atas penyerahan obat di Indonesia tentunya dapat menambah penerimaan negara. Namun, kebijakan tersebut sejatinya belum banyak memihak kepada masyarakat. Dikenakannya PPN atas penyerahan obat akan menambah beban biaya hidup dari masyarakat karena PPN menjadi salah satu faktor terbesar dalam menentukan harga obat. Tujuan penelitian ini untuk menentukan menganalisis kebijakan pengenaan PPN atas penyerahan obat ditinjau dari asas ease of administration dan menentukan alternatif kebijakan atas kebijakan ini. Pendekatan yang digunakan adalah post-positivist. Metode yang digunakan adalah kualitatif. Teknik pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini adalah wawancara mendalam dan studi kepustakaan. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa kebijakan ini belum sepenuhnya memenuhi asas ease of administration dalam pelaksanaannya. Hal ini dikarenakan beberapa indikator di dalamnya, seperti indikator efficiency, convenience, dan simplicity belum sepenuhnya memenuhi asas ease of administration Kemudian, alternatif yang dihasilkan dari penelitian ini adalah obat dikategorikan sebagai barang esensial yang tidak dikenakan PPN dan diterapkannya skema multi tarif PPN di Indonesia. Peneliti mendorong pemerintah untuk menyederhanakan mekanisme pelaksaan kewajiban perpajakan serta pemerintah harus memfokuskan kenyamanan para wajib pajak dalam melaksanakan kewajiban pengenaan PPN atas penyerahan obat ini. Tak hanya itu, kedua alternatif kebijakan tersebut juga dapat terlaksana di Indonesia dengan catatan bahwa pemerintah melakukan limitasi terhadap obat yang sangat dibutuhkan oleh masyarakat dan melakukan sosialisasi terhadap Wajib Pajak terkait dalam hal penurunan tarif PPN atas penyerahan obat di Indonesia. Lalu, untuk obat-obatan yang digunakan untuk perawatan tubuh dan kecantikan sebaiknya tetap menjadi penyerahan yang dikenakan PPN untuk meningkatkan penerimaan negara.

The policy of imposing VAT on drug delivery in Indonesia can certainly increase state revenue. However, the policy has not actually favored the community. The imposition of VAT on drug delivery will increase the burden of living costs from the community because VAT is one of the biggest factors in determining drug prices. The purpose of this study is to determine analyze the policy of imposing VAT on drug delivery in terms of the principle of ease of administration and determine policy alternatives to this policy. The approach used is post-positivist. The method used is qualitative. The data collection techniques used in this research are in-depth interviews and literature studies. The results of this study indicate that this policy has not fully met the principle of ease of administration in its implementation. This is because some of the indicators in it, such as efficiency, convenience, and simplicity indicators have not fully met the principle of ease of administration. Then, the alternatives resulting from this research are drugs categorized as essential goods that are not subject to VAT and the implementation of a multi-tariff VAT scheme in Indonesia. Researchers encourage the government to simplify the mechanism for implementing tax obligations and the government must focus on the convenience of taxpayers in carrying out the obligation to impose VAT on the delivery of this medicine. Not only that, the two alternative policies can also be implemented in Indonesia with a note that the government limits the drugs that are urgently needed by the community and conducts socialization to related taxpayers in terms of reducing VAT rates on drug delivery in Indonesia. Then, for drugs used for body care and beauty, it should remain as a delivery subject to VAT to increase state revenue."
Depok: Fakultas Ilmu Administrasi Universitas Indonesia, 2024
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Hafidh Nadhor Tsaqib
"Dalam rangka mencapai Tujuan 6 Sustainable Development Goals, diperlukan fokus untuk menyelesaikan permasalahan dalam Sistem Penyediaan Air Minum, salah satunya berkaitan dengan pungutan negara atas Perusahaan Daerah Air Minum (PDAM) sebagai penyedia air minum. Kesesuaian pungutan negara dengan asas ease of administration menjadi hal yang cukup penting agar kebijakan pajak dapat berjalan dengan baik. Tujuan dari penelitian ini untuk menganalisis penerapan kebijakan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) atas pengelolaan sumber daya air di Indonesia ditinjau dari asas ease of administration dengan fokus analisis terkait kebijakan PPN atas Biaya Jasa Pengelolaan Sumber Daya Air (BJPSDA) terhadap PDAM dan dikaitkan dengan Pajak Air Permukaan yang dipungut oleh Pemerintah Daerah. Penelitian ini menggunakan pendekatan post-positivist dan menggunakan teknik pengumpulan data berupa studi lapangan dan kepustakaan. Hasil dari penelitian menunjukkan bahwa kebijakan Pajak Pertambahan Nilai atas Biaya Jasa Pengelolaan Sumber Daya Air tidak sepenuhnya sesuai dengan asas ease of administration. Berdasarkan Dimensi Certainty, terdapat beberapa permasalahan yang terjadi dari sisi hukum pajak material dan formal, khususnya terkait kepastian pemungutan PPN atas BJPSDA pada setiap wilayah. Berdasarkan Dimensi Efficiency, terdapat beberapa permasalahan seperti adanya beban keuangan yang signifikan yang harus ditanggung penanggung jawab PPN dan adanya ketidaksesuaian dengan legal character PPN yaitu general dan on consumption. Berdasarkan Dimensi Convenience, mayoritas menunjukkan sejalan dengan dimensi ini, tetapi terdapat catatan berkaitan dengan berbagai pungutan yang berpotensi menurunkan voluntary compliance. Terakhir, berdasarkan Dimensi Simplicity, terdapat beberapa permasalahan di antaranya terkait perbedaan pemahaman antara Pemikul dan Penanggung Jawab Pajak.

In order to achieve Goal 6 of the Sustainable Development Goals, it is necessary to focus on solving problems in the Drinking Water Supply System, one of which is related to state levies on Regional Drinkingss Water Companies (PDAM) as drinking water providers. Conformity of state levies with the principle of ease of administration is important so tax policy can run well. The purpose of this study is to analyze the implementation of value added tax policy on water resources management in indonesia in terms of the ease of administration principle with an analysis focus on Value Added Tax (VAT) policies on Water Resources Management Service Fee (BJPSDA) contributions to PDAMs and associated with Surface Water Tax which collected by the Regional Government. This study uses a post-positivist approach and uses data collection techniques in the form of field studies and literature. The research results show that the VAT policy on BJPSDA needs to be fully in line with the principle of ease of administration. Based on the Certainty Dimension, several problems occur regarding material and formal tax law, mainly related to the certainty of VAT collection on BJPSDA in each region. Based on the Efficiency Dimension, there are several problems, such as the existence of a significant financial burden that must be borne by the person in charge of VAT and a discrepancy with the legal character of VAT, namely general and on consumption. Based on the Convenience Dimension, the majority show that they are in line with this dimension. However, there are notes relating to various levies that have the potential to reduce voluntary compliance. Finally, based on the Simplicity Dimension, there are several problems related to differences in understanding between the Tax Bearer and the Person in Charge of Taxes."
Depok: Fakultas Ilmu Administrasi Universitas Indonesia, 2023
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Cahya Inggrid Puspaningrum
"Perkembangan digital membuat aktivitas ekonomi masyarakat semakin mudah. Lalu lintas perdagangan barang dan jasa semakin cepat dan tak hanya berbentuk fisik, melainkan juga berupa produk digital. Indonesia berupaya memajaki barang dan/atau jasa digital luar negeri dengan menerbitkan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 48/PMK.03/2020. Sama halnya dengan Vietnam yang berupaya memajaki produk digital luar negeri dengan menerbitkan Decree No. 126/2020/ND-CP. Penelitian ini dilakukan untuk menganalisis implementasi kebijakan PPN Perdagangan Melalui Sistem Elektronik (PMSE) di Indonesia pasca diterbitkannya PMK No. 48 Tahun 2020 ditinjau dari asas ease of administration dan membandingkannya dengan kebijakan PPN digital luar negeri milik negara Vietnam. Penelitian dilakukan dengan pendekatan kuantitatif-post positivisme dengan operasionalisasi konsep dan teknik pengumpulan data melalui studi kepustakaan dan studi lapangan. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa kebijakan PPN PMSE atas barang dan/atau jasa digital luar negeri Indonesia telah memenuhi asas ease of administration dari sisi asas kepastian, asas efisensi, asas kemudahan dan kenyamanan, serta asas kesederhanaan walaupun masih banyak ketentuan mengenai sanksi dan penggalian potensi yang dapat diperbaiki. Bila dibandingkan dengan Vietnam, sistem pemungutan PPN PMSE atas barang dan/atau jasa digital luar negeri Indonesia memiliki kelebihan dan kekurangan tersendiri. Sistem pemungutan PPN PMSE Indonesia telah dirancang secara sederhana dan mudah bagi fiskus dan Pemungut PPN PMSE, sementara sistem pemungutan PPN digital luar negeri Vietnam lebih kompleks namun tegas dalam pelaksanaannya.

Digital developments make people's economic activities easier. The traffic of trade in goods and services is getting faster and not only in physical form but also in digital products. Indonesia seeks to tax foreign digital goods and services by issuing Minister of Finance Regulation Number 48/PMK.03/2020. Likewise, Vietnam taxes foreign digital products by issuing Decree No. 126/2020/ND-CP. This research was conducted to analyze the VAT policy on Trading Through Electronic Systems (PMSE) in Indonesia after the issuance of PMK No. 48 of 2020 is viewed from the ease of administration principle and compares it with Vietnam's foreign digital VAT policy. The research was conducted using a quantitative-post-positivism approach, operationalizing concepts and data collection techniques through library research and field studies. This study indicates that Indonesia's PMSE VAT policy on foreign digital goods and services has fulfilled the ease of administration principle in terms of certainty, efficiency, the convenience of payment, and simplicity. However, there are still many provisions regarding sanctions and potential exploration that can be improved. Compared to Vietnam, the PMSE VAT collection system for foreign digital goods and services in Indonesia has advantages and disadvantages. Indonesia's PMSE VAT collection system has been designed to be simple and easy for tax authorities and PMSE VAT Collectors. In contrast, Vietnam's foreign digital VAT collection system is more complex but firm in its implementation."
Depok: Fakultas Ilmu Administrasi Universitas Indonesia, 2021
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Hana Purnomo
"Penetapan subjek pajak badan atas Otoritas Jasa Keuangan (OJK) sebagai lembaga negara menimbulkan perdebatan. Kondisi tersebut diakibatkan pada status OJK yang sudah tidak lagi memenuhi syarat sebagai unit lembaga pemerintah yang dikecualikan sebagai subjek pajak badan sebagaimana diatur dalam Pasal 2 ayat (3) Undang-Undang No. 36 Tahun 2008 (UU PPh 2008) tentang Pajak Penghasilan. Di sisi lain, OJK menganggap bahwa penghasilan yang diperolehnya bukan merupakan objek pajak walaupun status subjek pajak OJK termasuk dalam ketentuan Pasal 2 ayat (3) UU PPh 2008. Hal ini berpotensi menimbulkan dispute dalam pemungutan pajak atas OJK khususnya terkait asas ease of administration. Tujuan penelitian ini adalah untuk menganalisis kebijakan Pajak Penghasilan (PPh) badan atas OJK ditinjau dari asas ease of administration yang terdiri dari kepastian hukum, efisiensi, dan kenyamanan pembayaran. Pembahasan pada penelitian ini terfokus pada penetapan subjek pajak badan dan objek pajak atas pungutan yang diterima oleh OJK. Pendekatan penelitian yang digunakan adalah pendekatan kualitatif dengan teknik analisis data kualitatif. Hasil penelitian ini yaitu saat OJK ditetapkan sebagai subjek pajak sudah sesuai dengan asas kepastian hukum, efisiensi, dan kenyamanan pembayaran dalam asas ease of administration. Dari sisi kepastian hukum, secara regulasi sudah pasti namun terdapat ketidaksesuaian definisi pajak yang merupakan pengalihan sumber daya dari sektor privat ke sektor publik pada pemungutan pajak atas OJK. Ditinjau dari asas efisiensi, pada awal proses penetapan subjek pajak badan OJK menimbulkan biaya yang tinggi baik dari sisi OJK maupun DJP. Di sisi lain, pemajakan atas penghasilan OJK dianggap tidak efisien mengingat OJK merupakan bagian dari pemerintah dan merupakan Unit Badan lainnya yang kekayaannya tidak terpisahkan dari kekayaan negara. Terkait dengan asas kenyamanan, adanya dua kewajiban setoran ke kas negara dapat menimbulkan ketidanyamanan.

Determination of the corporate tax subject of the Financial Services Authority (also known as “OJK” in Indonesian) as a state institution caused debate. This condition is caused by OJK status which is no longer qualified as a unit of a government institution that is excluded as a subject of corporate tax as mentioned in Article 2 paragraph (3) of Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2008 (UU PPh 2008) about Income Taxes. On the other hand, OJK considers that the income it receives is not a tax object even though the OJK tax subject status is included in the provisions of Article 2 paragraph (3) of the UU PPh 2008. This has the potential to cause a dispute in tax collection on OJK especially related to the principle of ease of administration. The purpose of this study is to analyze the Income Tax (PPh) policy of the OJK in terms of the ease of administration principle consisting of certainty, efficiency, and convenience of payment. The discussion in this study focuses on determining the subject of corporate tax and tax objects on levies received by the OJK. The research approach used is a qualitative approach with qualitative data analysis techniques. The results of this study are that when the OJK is introduced as a tax subject is by following the principles of certainty, efficiency, and convenience of payment in the principle of ease of administration. In terms of certainty, the regulation is certain but there is a mismatch in the definition of tax which is the transfer of resources from the private sector to the public sector. In terms of the principle of efficiency, at the beginning of the process of determining the OJK corporate tax subject, it raises high costs both in terms of OJK and DGT. On the other hand, taxation on OJK's income is considered inefficient considering that OJK is part of the government and is another entity unit whose wealth is inseparable from state assets. Related to the principle of convenience, the existence of two deposit obligations to the state treasury can create inconvenience"
Depok: Fakultas Ilmu Administrasi Universitas Indonesia, 2019
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Welby Naufal Arkaan
"Pengembangan Pembangkit Listrik Tenaga Sampah (PLTSa) membutuhkan penanaman modal investasi yang besar. Kebijakan fasilitas pajak seperti tax allowance dihadirkan sebagai distorsi untuk mendorong pengembangan investasi di Indonesia. Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis kebijakan tax allowance pada industri PLTSa yang ditinjau dari asas ease of administration dan memberikan upaya-upaya dalam mengoptimalkan kebijakan terkait permasalahan yang ditemukan pada kebijakan tax allowance. Paradigma penelitian yang digunakan adalah post positivism. Data yang digunakan diperoleh dengan cara melakukan wawancara mendalam dengan narasumber yang relevan berdasarkan permasalahan yang diangkat dan diperlengkap dengan studi literatur. Berdasarkan hasil penelitian, menunjukkan bahwa kebijakan tax allowance ini belum dapat memenuhi indikator-indikator terkait kemudahan administrasi yang tertera pada asas certainty, administrative cost, dan simplicity. Sementara itu, pada indikator-indikator yang tertera pada asas compliance cost dan convenience sudah menunjukkan kemudahan administrasi dalam perpajakan. Selanjutnya, dalam membenahi beberapa permasalahan yang ditemukan pada proses implementasi kebijakan tax allowance, terdapat usulan berupa upaya-upaya yang dapat diterapkan dalam mengoptimalkan implementasi kebijakan tax allowance, yaitu dilakukannya evaluasi kembali terhadap Peraturan Pemerintah No. 78 Tahun 2019, diperbaruinya Peraturan Kementerian Energi Sumber Daya Mineral No. 16 Tahun 2015 terkait peraturan turunan dari tax allowance, dan perlunya penguatan sosialisasi kepada wajib pajak serta sosialisasi pada tingkat top policies antar para penanggung jawab kebijakan tax allowance.

The development of a Waste to Energy (WtE) Power Plant requires a large investment capital. Tax facility policies such as tax allowances are presented as distortions to encourage investment development in Indonesia. This study aims to analyze the tax allowance policy in the WtE industry in terms of the ease administration principle and provide policy optimization efforts related to the problems found in the tax allowance policy. The research paradigm used is post positivism. The data used was obtained by conducting in-depth interviews with relevant sources based on the issues raised and complemented by literature studies. Based on the results of the research, it shows that this tax allowance policy has not been able to fulfill the indicators listed on the principle of certainty, administrative costs, and simplicity. Meanwhile, the indicators listed on the compliance cost and convenience principles have shown ease of administration in taxation. Furthermore, in fixing some of the problems found in the process of implementing the tax allowance policy, there are efforts that can be implemented in optimizing the implementation of the tax allowance policy, such as re-evaluating of Government Regulation No. 78 of 2019, renewal of the Ministry of Energy and Mineral Resources Regulation No. 16 of 2015 regarding derivative regulations from tax allowances, and the need to strengthen socialization to taxpayers and socialization at the level of policy makers."
Depok: Fakultas Ilmu Administrasi Universitas Indonesia, 2023
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>