Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 165815 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Wulanthari
"Latar belakang: Kehamilan remaja saat ini merupakan masalah di negara berkembang. Data WHO tahun 2014 menunjukkan kehamilan dan persalinan pada remaja usia 10-19 tahun berisiko lebih tinggi untuk terjadinya eklampsi, infeksi, persalinan preterm, bayi berat badan lahir rendah dan Iuaran neonatal yang buruk. Tujuan: Diketahuinya karakteristik, luaran maternal dan neonatal serta Iatar helakang kehamilan berencana pada remaja yang bersalin di Rumah Sakit dr. Cipto Mangunkusumo (RSCM). Metode: Penelitian dilakukan pada bulan Oktober - Desember 2018. Dilakukan teIaah rekam medis pada kasus remaja yang bersalin di RSCM antara tabun 2013- 2017 dan dilakukan juga telaah kualitatif pada remaja yang bersalin di RSCM tahun 2018. Basil: Dari total 9791 ibu yang bersalin di RSCM pada tabun 2013-2017, sebanyak 957 (9.7%) merupakan remaja. Terdapat 811 (84.7%) rekam medik yang masuk kedalam kriteria inklusi. Didapatkan rentang usia remaja 13-19 tabun dengan median 18 tabun dan rentang usia pasangannya 16-42 tahun dengan median 23 tahun. Sebanyak 15,8% berpendidikan SD, 47,5% SMP, 32,9% SMA dan 2% perguruan tinggi. Dari data anamnesis didapatkan 246 (30,3%) remaja hamil tidak menikah; 235 (29 %) menikah setelah hamil dan 330 (40.7%) hamil setelah menikah. Sebagian besar remaja (66.5%) melakukan pemeriksaan antenatal pada bidan dan 67,9% melakukan pemeriksaan antenatal kurang dari 4 kali. Anemia didapatkan pada 48,6% remaja. Dari luaran maternal didapatkan 65,9% persalinan preterm, 19,6% ketuban pecah dini, 12,6% preeklampsi/eklampsi, 9% persalinan per vaginam dengan alat bantu, 42,8% persalinan perabdominam. Pada luaran janin dan neonatal: 1,7% kematianjanin; 4,4% lahir mati; 18,3% skor APGAR 5 memt <7 dan 52,1% bayi BBLR. Pada telaah kualitatif didapatkan status pekerjaan, keinginan menikah muda, pacaran lama, ingin menghindari hal yang tidak baik seperti hubungan seks dan kebamilan di luar pernikahan, agama serta dukungan orang tua sebagai faktor yang melatarbelakangi pernikahan remaja. KesimpuIan : Kehamilan pada remaja yang bersalin di RSCM sebagian besar merupakan kehamilan yang tidak direncanakan dengan pemeriksaan antenatal yang tidak adekuat dengan luaran persalinan yang buruk. Studi kualitatif menunjukan status pekerjaan, keinginan menikah muda, pacaran lama, agama dan dukungan orang tua merupakan faktor yang melatarbelakangi teIjadinya pernikaban remaja.

Background: Adolescent pregnancy currently is a problem in developing countries. WHO 2014 report that pregnancy and childbirth in adolescents aged 10- 19 years had a higher risk for eclampsia, infection, preterm labor, low birth weight babies and poor neonatal outcomes. Objective: To determine the characteristics and outcomes of adolescents who deliver at dr. Cipto Mangunkusumo Hospital and factors that had influence of intended pregnancy in adolescents. Method: The study was conducted in October-December 2018. Data were collected from medical records of adolescents (10-19 yo) who deliver at dr. Cipto Mangunkusumo Hospital over period of five years 2013-2017. Qualitative studies were also conducted on adolescents who deliver at dr. Cipto Mangunkusumo Hospital in 2018. Results: There were a total of9791 deliveries during 2013-2017, which 957 (9.7%) were adolescents. We found 811 (84.7%) medical records that match inclusion criteriR. The age 0f adolescents ranged from 13-19 years with median was 18, and their partners age ranged 16-42 years with median age 23 years. In terms of education, 15.8% had elementary schooi, 47.5% junior high school, 32.9% senior high school and 2% in academy/university. There were 246 (30.3%) not married; 235 (29%) got married after pregnancy and 330 (40.7%) got pregnant after marriage. Most adolescents (66.5%) conduct antenatal care in midwives and 67.9% of adolescents did antenatal care less than 4 times. As many as 48.6% of adolescents had anemia. The outcomes were pretenn labor (65.9%), premature rupture of membranes (19.6%), and preeclampsia / eclampsia (12.6%) with 9% had vaginal delivery with aids and 42.8% had cesarean section. The fetal and neonatal outcome : 1.7% were Intrauterine Fetal Deaths; 4.4% stillbirth; 18.3% APGAR score 5 minutes <7 and 52.1 % were Low Birth Weight babies. From qualitative study, we found that job status, the desire to marry at young age, long dating, to avoid sex and pregnancy outside marriage, religiousity and parental support as factors that led to adolescents marriage which had an impact on adolescents pregnancy. Conclusion: Most pregnancies in adolescents who deliver at RSCM are unitended pregnancies with inadequate antenatal care. They have risk for poor pregnancy outcomes. Qualitative studies show the factors influence of adolescent marriage were job status, desire to marry at young age, long dating, to avoid sex and pregnancy outside marriage, religiousity and parental support."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2019
T58331
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Beta Andewi Resti Anggraheni
"Latar belakang:. Data tahun 2007 menunjukkan prevalensi perempuan dewasa dengan obesitas di Indonesia 13,9% dan terus mengalami peningkatan, yaitu 15,5% pada 2010 dan 32,9% pada 2013. The Royal College of Obstetricians and Gynaecologists (RCOG) mendefinisikan obesitas dalam kehamilan sebagai indeks massa tubuh (IMT) >30 kg/m2 pada kunjungan antenatal pertama. Risiko kehamilan terkait berat badan berlebih dan obesitas diantaranya adalah peningkatan risiko hipertensi dalam kehamilan (termasuk preeklampsia), tromboemboli, dan diabetes melitus gestasional. Peningkatan lama persalinan dan peningkatan risiko seksio sesaria juga diketahui terkait dengan berat badan berlebih dan obesitas. Obesitas dalam kehamilan juga meningkatan risiko janin makrosomi, kematian dalam kandungan, dan malformasi kongenital. Tujuan: a. Diketahuinya luaran maternal pada ibu hamil dengan berat badan berlebih dan obesitas yang bersalin di RSCM. b. Diketahuinya luaran perinatal pada ibu hamil dengan berat badan berlebih dan obesitas yang bersalin di RSCM. c. Diketahuinya kualitas Asuhan Antenatal pada ibu hamil dengan berat badan berlebih dan obesitas yang bersalin di RSCM. c. Diketahuinya pandangan tenaga kesehatan terhadap ibu hamil dengan berat badan berlebih dan obesitas, d. Diketahuinya pandangan ibu hamil , serta keluarga terhadap kehamilan dengan berat badan berlebih dan obesitas Metode: Dilakukan studi kuantitatif dan kualitatif pada kasus ibu hamil dengan berat badan berlebih dan obesitas yang bersalin RSCM tahun 2015-2019. Pengambilan data kuantitatif dilakukan dengan telaah rekam medis dan kelengkapan pengisian buku KIA secara umum, dimana akan dilihat untuk luaran maternal, perinatal serta edukasi ANC yang berhubungan dengan kehamilan dengan berat badan berlebih dan obesitas. Pengambilan data kualitatif dilakukan dengan wawancara mengenai pemahaman ibu hamil dengan berat badan berlebih dan obesitas yang bersalin di RSCM dan tenaga kesehatan pemberi pelayanan asuhan antenatal di fasyankes asal asuhan antenatal serta keluarga Hasil: Terdapat 509 kasus ibu hamil dengan obesitas dan berat badan berlebih yang bersalin di RSCM selama tahun 2015-2019, Dari 509 subjek, diketahui 189 subjek (37,1%) mengalami obesitas dan 320 subjek (62,9%) mengalami berat badan berlebih. Berdasarkan data tersebut, didapatkan insidensi obesitas dan berat badan berlebih persalinan di RSCM periode tahun 2015-2019 masing-masing sebesar 4,28% dan 2,53%.Luaran maternal ibu dengan obesitas dan berat badan berlebih yang bersalin di RSCM, ditemukan morbiditas persalinan prematur, ketuban pecah dini, dan preeklampsia, dengan jumlah masing-masing 249 (48.9%), 133 (26.1%), dan 121 (23.8%). Luaran Perinatal luaran perinatal patologis yang paling sering dijumpai adalah asfiksia, IUGR, dan IUFD, dengan jumlah masing-masing sebanyak 113 (22.2%), 46 (9.0%), 31 (6.1%). Luaran cara persalinan Mayoritas subjek melahirkan dengan cara seksio sesarea dan pervaginam, dengan jumlah masing-masing 345 (67.8%) dan 154 (30.2%) orang. Secara kualitatif, didapatkan pandangan ibu hamil dengan obesitas dan berat badan berlebih yang bersalin di RSCM dan tenaga kesehatan pemberi asuhan antenatal serta keluraga masih kurang tepat Kesimpulan: Secara kuantitatif dan kualitatif Terjadi kegagalan Identifikasi Kehamilan dengan berat badan berlebih dan obesitas pada kasus-kasus yang dirujuk ke RSCM pada saat dilakukan ANC di faskes primer
. Kata kunci: Luaran maternal dan perinatal. Pandangan Ibu hamil dengan berat badan berlebih dan obesitas, tenaga kesehatan, keluarga, Asuhan antenatal

Background: Data shows in 2007 the prevalence of obese adult women in Indonesia is 13.9% and continues to increase, namely 15.5% in 2010 and 32.9% in 2013. The Royal College of Obstetricians and Gynecologists (RCOG) defines obesity in pregnancy as body mass index (BMI) >30 kg/m2 at the first antenatal visit. Obesity-related pregnancy risks include an increased risk of hypertension in pregnancy (including preeclampsia), thromboembolism, and gestational diabetes mellitus. Increased length of labor and increased risk of cesarean section are also known to be associated with obesity. Obesity in pregnancy also increases the risk of fetal macrosomy, stillbirth, and congenital malformations Aim: (1) To determine the maternal outcomes in overweight and obese pregnant women who give birth in RSCM. b. To determine perinatal outcomes in overweight and obese pregnant women who give birth in RSCM. c. To know the quality of Antenatal Care in pregnant women with overweight and obesity who gave birth in RSCM. c. To determine the views of health workers on pregnant women with excess weight and obesity, d. To determine the views of pregnant women, as well as their families towards overweight and obesity pregnancies Method: A set of Quantitative and qualitative studies were conducted on cases of overweight and obese pregnant women who gave birth to RSCM in 2015-2019. Quantitative data retrieval was carried out by reviewing medical records and the completeness of filling out the ANC book in general which to see for maternal, perinatal and ANC education related to pregnancy with overweight and obesity. Qualitative data was collected by deep interviewing about the understanding of pregnant women with excess weight and obesity who gave birth at the RSCM and health workers who provide antenatal care services in health facilities from antenatal care and families. Result: There were 509 cases of pregnant women with obesity and overweight who gave birth at the RSCM during 2015-2019. From 509 subjects, 189 subjects (37.1%) were obese and 320 subjects (62.9%) were overweight. Based on these data, the incidence of overweight and obesity in labor at the RSCM for the 2015-2019 period was 4.28% and 2.53%, respectively. preterm, premature rupture of membranes, and preeclampsia, with a total of 249 (48.9%), 133 (26.1%), and 121 (23.8%). Perinatal Outcomes The most common pathological perinatal outcomes were asphyxia, IUGR, and IUFD, with a total of 113 (22.2%), 46 (9.0%), 31 (6.1%). Outcomes of mode of delivery The majority of subjects gave birth by caesarean section and vaginally, with a total of 345 (67.8%) and 154 (30.2%) people, respectively. Qualitatively, it was found that the views of pregnant women with obesity and overweight who gave birth at the RSCM and health workers who provided antenatal care and their families were still inaccurate. Conclusion : Quantitatively and qualitatively there was a failure to identify pregnancies with excess weight and obesity in cases referred to the RSCM at the time of ANC at primary health facilities. Keyword: Maternal and perinatal outcomes. Views of pregnant women with excess weight and obesity, health workers, families, antenatal care"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2021
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Farrah Lidyana
"Latar Belakang: Kehamilan remaja adalah beban kesehatan utama. Kehamilan remaja dapat menyebabkan berbagai komplikasi, termasuk anemia, prematuritas, dan bayi berat lahir rendah BBLR . Sampai saat ini, penelitian mengenai kehamilan remaja di Indonesia masih jarang. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui prevalensi kehamilan remaja serta luarannya. Metode: Untuk menganalisis prevalensi ibu remaja, kami menggunakan desain studi potong lintang dengan mengeavaluasi rekam medis dari seluruh ibu hamil yang berobat ke klinik obstetri RSUPN Cipto Mangunkusumo pada periode Januari 2014 sampai Desember 2016. Pada luaran ibu hamil, kami menggunakan desain studi retrospektif dengan menganalisis rekam medis ibu remaja yang bersalin di RSUPN Cipto Mangunkusumo pada periode yang sama. Luaran ibu remaja dibandingkan dengan ibu yang bersalin yang berusia 20-30 tahun. Luaran ibu yang kami ukur meliputi preeklampsia, metode persalinan, anemia, perdarahan pasca persalinan, sedangkan luaran perinatal yang kami ukur meliputi kelahiran prematur dan BBLR. Hasil: Dari seluruh 3.578 pasien di Poliklinik Obstetri RSUPN Dr. Cipto Mangunkusumo, diperoleh 503 subjek yang hamil, sebanyak 16 3.2 subjek adalah remaja. Dari seluruh 520 subjek yang bersalin, 78 15 subjek adalah remaja. Kehamilan remaja berhubungan signifikan dengan anemia p < 0.05, adjusted OR = 2.08 dam BBLR p < 0.05, adjusted OR = 1.83 . Kehamilan remaja tidak berhubungan signifikan dengan preeklampsia, metode persalinan, perdarahan pasca persalinan, dan kelahiran prematur. Kesimpulan: Prevalensi kehamilan remaja di RSUPN Dr. Cipto Mangunkusumo adalah 3.2 dan persalinan remaja di RSUPN Dr. Cipto Mangunkusumo adalah 15 . Ibu remaja berada pada peningkatan risiko anemia dan melahirkan bayi BBLR.

Background Teenage pregnancy is a major health burden, leading to many complications, including anemia, preterm birth, and low birthweight. To date, studies regarding teenage pregnancies in Indonesia are scarce. We aimed to evaluate the prevalence as well as maternal and perinatal outcome of teenage pregnancies. Methods For analyzing the prevalence of the teenage mothers, we used crosssectional study design by evaluating the medical records of all pregnant mothers who went to the obstetric clinic of Cipto Mangunkusumo Hospital, Jakarta, Indonesia, during January 2014 until December 2016. For the outcome of the teenage mothers, we used retrospective study design by analyzing medical records of teenage mothers who had delivery at the delivery ward of Cipto Mangunkusumo Hospital during January 2014 until December 2016. We compared their outcomes to outcomes of pregnant women aged 20 to 30 years old delivered at the same hospital in the same period. Maternal outcomes that were measured include preeclampsia, methods of delivery, anemia, and postpartum hemorrhage, as well as perinatal outcomes including preterm delivery, and low birthweight. Results Among 3.578 outpatients at Obstetric Clinic, RSUPN Cipto Mangunkusumo, we got 503 pregnant subjects, 16 3.2 were teenagers. Among 520 subjects who had delivery, 78 15 subjects were le 19 years old. Teenage pregnancy was significantly associated with anemia p 0.05, adjusted OR 2,08 and low birthweight p 0.05, adjusted OR 1.83 . Teenage pregnancy was not significantly associated with preeclampsia, methods of delivery, postpartum hemorrhage, and preterm delivery. Conclusion The prevalence of teenage pregnancy at Cipto Mangunkusumo Hospital is 3.2 and teenage mothers who had delivery is 15 . Teenage mothers are at increased risk of anemia and delivering low birth weight babies."
Depok: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2017
SP-Pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Husnul Verdian
"Latar Belakang: Osteosarkoma merupakan jenis tumor tulang ganas paling sering pada anak dan remaja. Sejumlah faktor prognostik telah diketahui mempengaruhi luaran pada osteosarkoma pediatrik, termasuk lokasi dan ukuran tumor primer, adanya metastasis, resektabilitas, keadaan remisi, serta respons kemoterapi yang diperiksa dengan derajat nekrosis tumor. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui luaran osteosarkoma pada anak dan faktor-faktor yang mempengaruhinya.
Metode: Penelitian ini merupakan studi observasional dengan desain cross sectional. Penelitian dilakukan di poliklinik Onkologi Orthopaedi Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo, Jakarta pada bulan Januari 2020-Juni 2021. Pengambilan subjek penelitian dilakukan berdasarkan metode consecutive sampling. Data klinis, radiologis dan laboratorium diambil dari rekam medis, sementara skor MSTS diukur melalui wawancara terhadap subjek baik secara langsung atau pun melalui telepon. Data pasien dimasukkan ke dalam CRF (Case Report Form) untuk osteosarkoma dari Departemen Orthopaedi dan Traumatologi. Seluruh data dianalisis dan ditabulasikan ke dalam tabel.
Hasil dan pembahasan: Pada penelitian ini, angka kesintasan keseluruhnan kasus osteosarkoma adalah 31,8%, dan rekurensi lokal terjadi pada 18,2% kasus pasien osteosarkoma anak. Metastasis terjadi pada 65,9% kasus dan sebagain besar metastasis ditemukan pada paru. Didapatkan jenis kelamin berhubungan dengan kesintasan pada pasien osteosarkoma (P<0,05). Hubungan kesintasan dengan usia sampel tidak bermakna, namun terdapat hubungan signifikan antara kesintasan dengan alkalin fosfatase, jenis biopsi, lokasi tumor, dan tipe HUVOS. Terdapat hubungan signifikan antara rekurensi lokal dengan nilai serum alkaline fosfatase, namun tidak terdapat hubungan signifikan antara rekurensi lokal jenis kelamin dan usia, jenis biopsi, tipe HUVOS, dan lokasi tumor. Rata-rata skor MSTS dari 14 subjek penelitian adalah 20,93 ± 3,63. Tidak terdapat perbedaan signifikan antara metastasis dengan jenis kelamin, usia, alkalin fosfatase, jenis biopsi, tipe HUVOS, dan lokasi tumor. Terdapat hubungan signifikan antara rekurensi lokal dan alkaline fosfatase (P < 0,05). Kesintasan dan metastasis memiliki perbedaan yang signifikan (P < 0,001).
Kesimpulan: Terdapat hubungan yang bermakna antara kadar alkaline fosfatase terhadap rekurensi lokal pada anak dengan osteosarkoma. Terdapat hubungan yang bermakna antara metastasis dengan kesintasan 5 tahun pada anak dengan osteosarkoma. Hal ini menandakan bahwa angka kesintasan tinggi pada pasien yang tidak mengalami metastasis.

Background: Osteosarcoma is the most frequent malignant bone tumor in children and adolescents. A number of prognostic factors have been known to affect the outcomes of pediatric osteosarcoma, including the location and size of the primary tumor, the presence of metastasis, resectability, remissions, and the chemotherapy response examined by the degree of tumor necrosis. This study aims to determine the outcomes of osteosaroma in children and the factors that influence it.
Methods: This was an observational analytic study with a retrospective cross sectional design. The study was conducted at the Orthopedic Oncology Polyclinic Cipto Mangunkusumo Hospital, Jakarta in January 2020 – June 2021. The research sampling was carried out based on the consecutive random sampling method. Clinical, radiological and laboratory data were documented from medical records, while the MSTS score was measured through interviews on the subject both directly or by telephone. Patient data was inserted into the CRF (Case Report Form) for osteosarcoma from the orthopedic and traumatology department. All data were analysed and tabulated into the table.
Results and Discussion: In this study, the overall 5 years survival rate of osteosarcoma was 31.8%, and the local recurrence is 18.2% of pediatric osteosarcoma patients. Metastases occurred in 65.9% of cases and most of the metastases were found in the lung. It was found that gender was significanced with survival in osteosarcoma patients (P<0.05). The relationship between survival and age was not significant, but there was a significant relationship between survival and alkaline phosphatase, type of biopsy, tumor location, and type of HUVOS. There was a significant relationship between local recurrence and serum alkaline phosphatase, but there was no significant relationship between local recurrence, gender and age, type of biopsy, HUVOS type, and tumor location. The mean of MSTS score of the 14 study subjects was 20.93 ± 3.63. There was no significant difference between metastases by sex, age, alkaline phosphatase, type of biopsy, type of HUVOS, and tumor location. There was a significant relationship between local recurrence and alkaline phosphatase (P < 0.05). There was a significant difference between survival and metastasis (P < 0.001).
Conclusion: There was a significant relationship between alkaline phosphatase level and local recurrence in children with osteosarcoma. There was a significant association between metastasis and a 5-year mortality in children with osteosarcoma
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2021
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Muhammad Dedy Alkarni
"Pendahuluan: Osteosarkoma adalah tumor tulang ganas primer pada anak-anak dan remaja. Penelitian ini bertujuan untuk membandingkan hasil dan kelangsungan hidup pada pasien osteosarkoma pasca operasi di RSCM Jakarta dari tahun 2010 hingga 2022 dan faktor-faktor yang mempengaruhinya.
Metode: Penelitian ini merupakan penelitian kohort retrospektif dilakukan di Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo (RSCM). Subjek adalah pasien osteosarkoma femoralis distal yang menjalani disartikulasi pinggul atau amputasi transfemoral pada 2010-2020. Data yang dikumpulkan dan dianalisis meliputi karakteristik pasien, kelangsungan hidup, metastasis dan skor MSTS.
Hasil: Jumlah subjek penelitian adalah 42. Subjek amputasi transfemoral lebih tua dibandingkan disartikulasi pinggul (p=0,048). Insiden metastasis lebih banyak pada amputasi dibandingkan dengan disartikulasi pinggul (p=0,001). Subjek disartikulasi pinggul memiliki diameter tumor yang jauh lebih besar daripada subjek amputasi transfemoral (p=0,031).
Pembahasan: Hubungan yang signifikan antara diameter tumor dan kelangsungan hidup terjadi karena diameter tumor terkait dengan kejadian metastasis  dan kejadian metastasis terkait dengan kelangsungan hidup. Tidak ada perbedaan yang signifikan antara skor MSTS dan jenis amputasi karena kedua kelompok subjek menggunakan kruk, faktor sosial ekonomi untuk membuat prostesis, dan kesulitan dalam mencapai ukuran tunggul yang ideal dalam kasus tumor.
Kesimpulan: Ada hubungan yang signifikan antara diameter tumor dan metastasis dengan kelangsungan hidup dan diameter tumor dengan metastasis.

Pendahuluan: Osteosarkoma adalah tumor tulang ganas primer pada anak-anak dan remaja. Penelitian ini bertujuan untuk membandingkan hasil dan kelangsungan hidup pada pasien osteosarkoma pasca operasi di RSCM Jakarta dari tahun 2010 hingga 2022 dan faktor-faktor yang mempengaruhinya.
Metode: Penelitian ini merupakan penelitian kohort retrospektif dilakukan di Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo (RSCM). Subjek adalah pasien osteosarkoma femoralis distal yang menjalani disartikulasi pinggul atau amputasi transfemoral pada 2010-2020. Data yang dikumpulkan dan dianalisis meliputi karakteristik pasien, kelangsungan hidup, metastasis dan skor MSTS.
Hasil: Jumlah subjek penelitian adalah 42. Subjek amputasi transfemoral lebih tua dibandingkan disartikulasi pinggul (p=0,048). Insiden metastasis lebih banyak pada amputasi dibandingkan dengan disartikulasi pinggul (p=0,001). Subjek disartikulasi pinggul memiliki diameter tumor yang jauh lebih besar daripada subjek amputasi transfemoral (p=0,031).
Pembahasan: Hubungan yang signifikan antara diameter tumor dan kelangsungan hidup terjadi karena diameter tumor terkait dengan kejadian metastasis dan kejadian metastasis terkait dengan kelangsungan hidup. Tidak ada perbedaan yang signifikan antara skor MSTS dan jenis amputasi karena kedua kelompok subjek menggunakan kruk, faktor sosial ekonomi untuk membuat prostesis, dan kesulitan dalam mencapai ukuran tunggul yang ideal dalam kasus tumor.
Kesimpulan: Ada hubungan yang signifikan antara diameter tumor dan metastasis dengan kelangsungan hidup dan diameter tumor dengan metastasis.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2022
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Henrico Marindian
"Pendahuluan: Infeksi Tuberkulosis (TB) merupakan masalah kesehatan penting di dunia. Salah satu manifestasi infeksi TB ekstrapulmoner adalah TB tulang dengan spondilitis TB merupakan kasus terbanyak, hampir 50 % dari jumlah kasus TB tulang. Indonesia merupakan negara dengan jumlah kasus TB terbanyak keenam di dunia dengan insiden 395 per 100.000 penduduk. Penelitian spondilitis TB anak di Indonesia belum banyak dan studi kualitas hidup belum pernah dilakukan.
Metode: Studi merupakan studi potong lintang. Data diperoleh dari rekam medis pasien spondilitis tahun 2012-2016 yang berumur 0-18 tahun, melalui wawancara, pemeriksaan di poliklinik orthoapedi RSCM dan rumah pasien. Kualitas hidup pasien diukur dengan kuesioner PedsQL.
Hasil: Terdapat 46 subyek penelitian yang sesuai kriteria inklusi dan eksklusi. Mayoritas pasien masuk dalam kategori remaja (11-18 tahun) 69,6%. Subyek dengan deformitas vertebra sebesar 84,8 % sedangkan 32,6% memiliki defisit neurologis. Bagian vertebra yang paling banyak terinfeksi adalah regio torakal (58,7%). Kualitas hidup subyek penelitian menunjukkan bahwa 43,5% memiliki kategori suboptimal dan yang paling terpengaruh adalah faktor sosial dan sekolah. Secara statistik, tidak ada hubungan bermakna antara aspek klinis dan kualitas hidup subyek penelitian, namun tenaga kesehatan yang pertama kali didatangi berperan penting mempengaruhi kualitas hidup aspek sosial subyek (p 0,046).
Diskusi: Kualitas hidup pasien spondilitis TB anak di RSCM sebagian besar telah optimal meskipun ada beberapa aspek seperti aspek fisik dan sekolah yang sebagian besar belum optimal. Hal tersebut disebabkan karena adanya pajanan penyakit kronis dan deformitas residual yang membuat pasien meninggalkan sekolah dan memiliki keterbatasan fisik.

Background: Tuberculosis (TB) infection is important health problem in the world. Most common manifestations of extrapulmonary TB infection is musculoskeletal TB, with spinal TB nearly 50% of musculoskeletal TB. Indonesia is 6th largest contributors of TB cases in the world, with estimated incidence 395 per 100.000 population. Research on child spinal TB in Indonesia is not widely found, and no study has evaluated the quality of life.
Methods: This study was a cross-sectional study. Data was taken from medical records 2012-2016 for children spinal TB patient (0-18 years old), direct interview in orthopaedic outpatient clinic and patient's home. Quality of life was measured using PedsQL questionnaire.
Results: There were 46 subjects that matched inclusion and exclusion criterias. Majority of subjects age group of adolescents (11-18) were 69.6%. Subjects present with vertebral deformity were 84.8% and neurologic deficits in 32.6% subjects. Most commonly affected spine is thoracic region (58.7%). Quality of life evaluation shown 43.5% subjects had suboptimal quality of life, with physical and school aspects most affected. No significant relation between clinical aspects and quality of life but the first visited health workers had significant relation with social aspect quality of life (p 0,046).
Discussions: Quality of life of children with TB spondylitis in RSCM mostly achieves optimal result, although physical and school aspect are suboptimal. It maybe due to chronic disease factors that cause patients frequently leave school for treatment and also residual deformities that cause patients have physical limitations.
"
Depok: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2017
SP-Pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Henrico Marindian
"Pendahuluan: Infeksi Tuberkulosis TB merupakan masalah kesehatan penting di dunia. Salah satu manifestasi infeksi TB ekstrapulmoner adalah TB tulang dengan spondilitis TB merupakan kasus terbanyak, hampir 50 dari jumlah kasus TB tulang. Indonesia merupakan negara dengan jumlah kasus TB terbanyak keenam di dunia dengan insiden 395 per 100.000 penduduk. Penelitian spondilitis TB anak di Indonesia belum banyak dan studi kualitas hidup belum pernah dilakukan.
Metode: Studi merupakan studi potong lintang. Data diperoleh dari rekam medis pasien spondilitis tahun 2012-2016 yang berumur 0-18 tahun, melalui wawancara, pemeriksaan di poliklinik orthoapedi RSCM dan rumah pasien. Kualitas hidup pasien diukur dengan kuesioner PedsQL.
Hasil: Terdapat 46 subyek penelitian yang sesuai kriteria inklusi dan eksklusi. Mayoritas pasien masuk dalam kategori remaja 11-18 tahun 69,6. Subyek dengan deformitas vertebra sebesar 84,8 sedangkan 32,6 memiliki defisit neurologis. Bagian vertebra yang paling banyak terinfeksi adalah regio torakal 58,7. Kualitas hidup subyek penelitian menunjukkan bahwa 43,5 memiliki kategori suboptimal dan yang paling terpengaruh adalah faktor sosial dan sekolah. Secara statistik, tidak ada hubungan bermakna antara aspek klinis dan kualitas hidup subyek penelitian, namun tenaga kesehatan yang pertama kali didatangi berperan penting mempengaruhi kualitas hidup aspek sosial subyek. 0,046.
Diskusi: Kualitas hidup pasien spondilitis TB anak di RSCM sebagian besar telah optimal meskipun ada beberapa aspek seperti aspek fisik dan sekolah yang sebagian besar belum optimal. Hal tersebut disebabkan karena adanya pajanan penyakit kronis dan deformitas residual yang membuat pasien meninggalkan sekolah dan memiliki keterbatasan fisik.

Background: Tuberculosis TB infection is important health problem in the world. Most common manifestations of extrapulmonary TB infection is musculoskeletal TB, with spinal TB nearly 50 of musculoskeletal TB. Indonesia is 6th largest contributors of TB cases in the world, with estimated incidence 395 per 100.000 population. Research on child spinal TB in Indonesia is not widely found, and no study has evaluated the quality of life.
Methods: This study was. cross sectional study. Data was taken from medical records 2012 2016 for children spinal TB patient. 18 years old. direct interview in orthopaedic outpatient clinic and patient rsquo. home. Quality of life was measured using PedsQL questionnaire.
Results: There were 46 subjects that matched inclusion and exclusion criterias. Majority of subjects age group of adolescents 11 18 were 69.6. Subjects present with vertebral deformity were 84.8 and neurologic deficits in 32.6 subjects. Most commonly affected spine is thoracic region 58.7. Quality of life evaluation shown 43.5 subjects had suboptimal quality of life, with physical and school aspects most affected. No significant relation between clinical aspects and quality of life but the first visited health workers had significant relation with social aspect quality of life. 0,046.
Discussions: Quality of life of children with TB spondylitis in RSCM mostly achieves optimal result, although physical and school aspect are suboptimal. It maybe due to chronic disease factors that cause patients frequently leave school for treatment and also residual deformities that cause patients have physical limitations.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2017
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Made Satria Murti
"Latar belakang. Indonesia merupakan salah satu dari 11 negara di dunia yang memiliki angka kelahiran prematur terbanyak. Salah satu morbiditas bayi prematur yang umum dijumpai adalah anemia. Hal ini menyebabkan mereka sering mendapatkan transfusi darah di minggu-minggu pertama kehidupannya. Mencegah beratnya anemia akan mengurangi kemungkinan tranfusi dan risiko komplikasinya.
Tujuan. Mengetahui karakteristik bayi prematur yang mengalami anemia sebelum usia kronologis 4 minggu di unit Perinatologi Departemen Ilmu Kesehatan Anak RSCM Jakarta.
Metode. Studi deskriptif retrospektif terhadap rekam medis semua bayi baru lahir prematur yang menjalani perawatan di unit perinatologi RSCM periode 1 Januari 2012 sampai dengan 31 Desember 2013. Pemilihan subyek penelitian secara simple random sampling. Penilaian karakteristik bayi prematur meliputi kadar Hb, berat lahir, usia gestasi, riwayat tranfusi PRC, status sepsis, lama rawat dan status keluar.
Hasil. Sebanyak 393 subjek memenuhi kriteria penelitian, terdapat 94 (23,9%) subjek yang mengalami anemia dan 123 (31,3%) subjek yang mendapatkan transfusi PRC minimal satu kali. Frekuensi tersering anemia adalah 4 kali sedangkan frekuensi tersering pemberian PRC adalah 7 kali. Usia pertama kali anemia paling banyak ditemukan pada usia ≤7 hari (66%) serupa halnya dengan usia pertama kali mendapatkan transfusi PRC (51,2%). Perbedaan proporsi karakteristik antara bayi prematur yang mengalami anemia dengan yang tidak mengalami anemia menunjukkan hasil yang bermakna secara statistik pada variabel jenis kelamin, usia gestasi, berat lahir, transfusi PRC, status sepsis, lama rawat, dan status keluar. Hampir sama dengan hal tersebut, perbedaan proporsi karakteristik bayi prematur yang mendapatkan transfusi PRC dengan yang tidak mendapatkan transfusi PRC menunjukkan hasil yang bermakna secara statistik pada variabel usia gestasi, berat lahir, status sepsis, lama rawat, dan status keluar.
Simpulan. Insidens bayi prematur yang mengalami anemia adalah 23,9% sedangkan insidens transfusi PRC adalah 31,3%. Kejadian anemia dan transfusi PRC paling banyak dialami pada satu minggu pertama kehidupan. Perbedaan proporsi antar variabel untuk kejadian anemia dan kejadian transfusi PRC secara statistik bermakna ditemukan pada variabel yang sama yaitu usia gestasi, berat lahir, status sepsis, lama rawat, dan status keluar.

Background. Indonesia is one of 11 countries with high number of premature birth rate. One of the morbidity commonly seen ini premature infants is anemia This cause frequent blood transfusion on their first weeks of life. Anemia prevention will reduce transfusion and its complication.
Objectives. To study characteristics of premature infants with anemia before 4 weeks chronological age in Perinatology Unit Cipto Mangunkusumo Hospital, Jakarta.
Methods. A retrospective descriptive study from medical records of premature infants who had hospitalized from January 1st 2012 until Desember 31st 2013 in Perinatology Unit Cipto Mangunkusumo Hospital, Jakarta. Subjects was selected by simple random sampling. Characteristics evaluation include Hb concentration, birth body weight, gestational age, length of stay, history of PRC transfusion, septic status, and discharge status.
Results. There were 393 subjects fulfilled research criteria. Incidence of anemia was 23,9%, while PRC transfusion was done in 31,3% subjects. The most frequent anemia episode is 4 times and PRC transfusion is 7 times. First episode anemia is mostly found at age ≤7 days (66%) as well as PRC transfusion (51,2%). Proportion difference of characteristic between premature infants with anemia and not anemia revealed statistically significant in gestational age, birth weight, PRC transfusion, septic status, length of stay, and discharge status. Proportion difference of premature infants with PRC transfusioan also statistically significant in gestational age, birth weight, PRC transfusion, septic status, length of stay, and discharge status.
Conclusions. Incidence of anemia in premature infants 23,9% while incidence of PRC transfusion is 31,3%. Anemia and PRC transfusion most frequently happened at first week of life. Characteristic proportion difference with significant result between premature infants who had anemia and got PRC transfusion was similar in gestational age, birth weight, PRC transfusion, septic status, length of stay, and discharge status.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2014
SP-Pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
David
"Latar Belakang. Sejak laporan pertama ensefalitis antireseptor N-methyl-D-aspartate (NMDA) pada 2007, prevalensi ensefalitis autoimun (EA) serupa dengan ensefalitis infeksi (EI). Sayangnya, heterogenitas klinis EA, serupanya klinis dengan EI, penyakit autoimun seperti neuropsikiatrik lupus eritematosus sistemik, atau penyakit psikiatrik menjadi tantangan deteksi awal dan tatalaksana EA. Keterlambatan berhubungan dengan perburukan luaran, sedangkan kekurang-tepatan menerapi EI sebagai EA dapat mengeksaserbasi infeksi. Studi ini bertujuan mengenali karakteristik EA, khususnya ensefalitis antireseptor NMDA definit sebagai EA tersering, di era keterbatasan ketersediaan penunjang definitif di Indonesia.
Metode. Studi kohort retrospektif dengan rekam medis di RSUPN dr. Cipto Mangunkusumo dilakukan pada curiga EA yang menjalani pemeriksaan antireseptor NMDA cairan otak sejak Januari 2015-November 2022. Karakteristik klinis dan penunjang EA, EA seropositif NMDA, dan luarannya dinilai. Analisis univariat dan bivariat dilakukan sesuai kebutuhan.
Hasil. Dari 102 subjek yang melalui kriteria inklusi dan eksklusi, terdapat 14 EA seropositif dan 32 seronegatif NMDA. Temuan klinis EA terbanyak adalah gangguan psikiatri dan tidur (85,7%), gangguan kesadaran (78,3%), prodromal (76,1%), dan bangkitan (70,6%). Karakteristik penunjang EA adalah inflamasi sistemik (75,0%), inflamasi cairan otak (69,2%), abnormalitas MRI (57,9%) dominan inflamasi (42,2%), dan abnormalitas EEG (89,5%). Karakteristik klinis EA seropositif NMDA adalah psikosis (76,9% vs 24,1%, p=0,002), delirium (71,4% vs 40,6%, p=0,06), bangkitan (71,4% vs 46,7%, p=0,12), takikardia (55,6% vs 17,6%, p=0,08), dan gangguan otonom lainnya (55,6% vs 23,5%, p=0,19), sedangkan klinis EA seronegatif NMDA adalah somnolen (34,4% vs 7,1%, p=0,07) dan defisit neurologis fokal (31,3% vs 7,1%, p=0,13). Leukositosis dan pleositosis cairan otak dengan dominasi mononuklear secara signifikan lebih ditemukan pada EA seropositif NMDA. Sebanyak 10,9% subjek meninggal.
Kesimpulan. Karakteristik klinis EA adalah gangguan psikiatri dan tidur, gangguan kesadaran, prodromal, dan bangkitan. Psikosis, delirium, bangkitan, dan disfungsi otonom cenderung lebih ditemukan pada EA seropositif NMDA. Inflamasi sistemik, cairan otak, MRI, dan abnormalitas EEG sering ditemukan pada EA, terutama seropositif NMDA. 

Background. Since the first report of N-methyl-D-aspartate receptor (NMDAR) encephalitis in 2007, the prevalence of autoimmune encephalitis (AE) was similar to infectious encephalitis (IE). Unfortunately, heterogenities of EA as well as similarities in the manifestation to IE, other autoimmune diseases including neuropsychiatric systemic lupus erythematosus, or psychiatric diseases compromised the early detection and management of EA. This delay correlated with worse outcome whereas the inaccuracy in treting IE as AE may exacerbate infection. This study aimed to describe the characteristics of EA, particularly definitive NMDAR encephalitis as the most common, in the era of limited availability of definitive ancillary test in Indonesia.
Methods. Retrospective study using medical records at Dr. Cipto Mangunkusumo National Center General Hospital was conducted for suspected EA cases tested for cerebrospinal fluid NMDAR autoantibody test from January 2015 to November 2022. Clinical, ancillary characteristics, and concordance between clinical diagnosis and diagnostic criteria were assessed. Univariate, bivariate, and multivariate analysis were perfomed as needed.
Result. Of 102 subjects following inclusion and exclusion criteria, there were 14 seropositive and 32 seronegative NMDA subject. Clinical characterstics of AE were psychiatric and sleep disorder (85,7%), altered consciousness (78.3%), prodromal (76.1%), and seizure (70.6%). Ancillary characteristics of AE were systemic inflammation (75.0%), cerebrospinal fluid inflammation (69.2%), MRI abnormalities (57.9%) with inflammatory predominance (42.2%), and EEG abnormalities (89.5%). Seropositive NMDA characteristics were psychosis (76.9% vs 24.1%, p=0.002), delirium (71.4% vs 40.6%, p=0.06), seizure (71.4% vs 46.7%, p=0.12), tachycardia 955.6% vs 17.6%, p=-0.08), and other autonomic disorder (55.6% vs 23.5% p=0.19) whereas seronegative NMDA characteristics were somnolence (34.4% vs 7.1%, p=0.07) and focal neurologic deficit (31.3% vs 7.1%, p=0.13). Leukocytosis and cerebrospinal fluid pleocytosis with mononuclear predominance were significantly found in seropositive NMDA AE. The mortality rate was 10.9%.
Conclusion. Clinical characteristics of AE were psychiatric and sleep disorder, altered consciousness, prodromal, and seizure. Psychosis, delirium, seizure, and autonomic dysfunction tended to be found in seropositive NMDA AE. Inflammation in systemic, cerebrospinal fluid, and MRI findings as well as EEG abnormalities commonly occurred in AE, especially seropositive NMDA.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2022
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Eka Arya Limianto
"Latar belakang: Mortalitas pascaoperasi dan komplikasi respiratorik berat telah didokumentasikan pada pasien COVID-19 pada berbagai studi. Namun, belum terdapat penelitian yang secara khusus mengevaluasi luaran dari laparatomi gawat darurat dengan perforasi gastrointestinal selama pandemi COVID-19 tahun 2020.
Metode: Studi dilakukan dengan desain observasional retrospektif sejak bulan Desember 2020-Februari 2021. Pasien perforasi gastrointestinal berusia lebih dari 15 tahun yang menjalani laparotomi gawat darurat diinklusi dalam penelitian. Luaran yang dievaluasi adalah mortalitas dan morbiditas, yang meliputi sindrom distres pernapasan akut (ARDS), reoperasi, durasi perawatan di rumah sakit, sepsis, admisi ke ruang perawatan intensif (ICU), dan infeksi daerah operasi (IDO).
Hasil: Terdapat 117 pasien pascalaparotomi yang direkrut dalam penelitian ini, dengan 95 (81,2%) pasien tidak terinfeksi SARS-CoV-2. Median usia untuk kelompok non-COVID dan kelompok COVID secara berturut-turut sebesar 41 (14¬92) tahun dan 39 (15¬77) tahun. Mortalitas umum tercatat pada angka 23,9%. Pasien perforasi COVID-19 yang menjalani tindakan laparotomi memiliki risiko yang lebih tinggi untuk mengalami kematian, ARDS, dan sepsis, serta mendapatkan tindakan reoperasi dibandingkan pasien non-COVID, dengan risiko odds masing-masing sebesar 2,769 (95% IK; 1,032–7,434), 8,50 (95% IK; 2,939–24,583), 3,36 (95% IK; 1,292–8,735), dan 3,69 (95% IK; 1,049–13,030). Tidak terdapat perbedaan antara pasien perforasi gastrointestinal yang terkonfirmasi COVID-19 dan pasien non-COVID dalam hal risiko IDO, lama durasi perawatan, dan admisi ke ICU. Usia, sepsis, dan ARDS merupakan faktor prognostik bermakna untuk mortalitas COVID-19.
Simpulan: Pasien perforasi gastrointestinal pascalaparotomi yang terkonfirmasi COVID-19 memiliki risiko mortalitas, ARDS, sepsis, dan menjalani tindakan reoperasi yang lebih tinggi dibandingkan pasien non-COVID.

Background: Postoperative mortality and severe respiratory complications have been documented in COVID-19 patients in various studies. However, no studies specifically evaluate the outcome of emergency laparotomy with gastrointestinal perforation during the 2020 COVID-19 pandemic.
Methods: The study was conducted with a retrospective observational design from December 2020-February 2021. Patients with gastrointestinal perforations aged more than 15 years who underwent emergency laparotomy were included in the study. The outcomes evaluated were mortality and morbidity, which included acute respiratory distress syndrome (ARDS), reoperation, duration of hospital stay, sepsis, admission to the intensive care room (ICU), and surgical site infections (SSI).
Results: There were 117 post-laparotomy patients recruited, with 95 (81.2%) COVID-19 negative patients. The median ages for the non-COVID group and the COVID group were 41 (14¬92) years and 39 (15¬77) years. General mortality was recorded at 23.9%. Patients with perforated COVID-19 who underwent laparotomy had a higher risk of dying, ARDS, and sepsis, as well as receiving re-surgery than non-COVID-19 patients, with an odds risk of 2.769 each (95% CI; 1,032–7,434), 8,50 (95% CI; 2,939–24,583), 3.36 (95% CI; 1,292–8,735), and 3.69 (95% CI; 1,049¬ – 13,030). There was no difference between gastrointestinal perforated patients with confirmed COVID-19 and non-COVID-19 patients in terms of risk of SSI, length of stay, and admission to the ICU. Age, sepsis, and ARDS are significant prognostic factors for COVID-19 mortality.
Conclusion: Post-laparotomy confirmed gastrointestinal perforation patients with COVID-19 have a higher risk of mortality, ARDS, sepsis, and undergoing reoperation than non-COVID-19 patients."
Depok: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2021
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>