Ditemukan 58437 dokumen yang sesuai dengan query
Deddy Sunanda
"Pelaku tindak pidana yang disebut sebagai Pemilik manfaat/penerima manfaat menggunakan korporasi sebagai sarana/kendaraan (corporate vehicle) untuk menyembunyikan/menyamarkan hasil tindak pidana dapat dipertanggungjawabkan secara pidana. Terkait pelaku tindak pidana tersebut belum ada pengaturan khususnya dalam tindak pidana korupsi terkait korporasi sebagai penerima/pemilik manfaat sehingga terjadi kekosongan hukum. Sehingga untuk mengambil hasil tindak pidana yang telah dialihkan atau dinikmati atau dimiliki oleh penerima manfaat tersebut hanya dapat dilakukan melalui gugatan perdata atau memprosesnya dengan Pasal 5 Undang-undang Nomor 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang. Namun, apabila digunakan instrumen-instrumen tersebut maka akan melalui proses yang panjang dan dikhawatirkan hasil tindak pidana akan dialihkan atau dinikmati oleh pelaku tindak pidana sebelum kedua proses tersebut selesai. Berdasarkan hal tersebut disertasi ini melakukan telahaan mengenai konsep pemilik manfaat dalam rezim hukum di Indonesia, alasan pemilik manfaat dapat dipertanggungjawabkan secara pidana dan praktek pertanggungjawaban pidana pemilik manfaat dalam tindak pidana korupsi berdasarkan putusan pengadilan di Indonesia. Metode penelitian ini kualitatif mengkaji secara sistematis mengenai aturan hukum, perbandingan, konsep, doktrin, putusan kasus, dan dokumen-dokumen yang didukung dengan wawancara kepada akademisi dan praktisi. Dari hasil penelitian yang dilakukan dapat disimpulkan bahwa Korporasi dapat menjadi pemilik manfaat selain orang perorangan karena Indonesia mengakui korporasi sebagai subjek hukum pidana, dan kebutuhan dalam praktik hukum untuk merampas hasil tindak pidana menjadikan korporasi sebagai pemilik manfaat; berdasarkan kasus-kasus di Indonesia antara lain tindak pidana korupsi, pemilik manfaat/penerima manfaat atau penikmat manfaat dari hasil tindak pidana menggunakan modus operandi baru antara lain pelaku tindak pidana berada diluar struktur korporasi, tetapi dapat mempengaruhi kebijakan korporasi untuk menghindari pertanggungjawaban pidana oleh karena itu perlu dibuat aturan yang lebih jelas dalam Undang-undang Tindak Pidana Korupsi; dalam praktik hukum belum ada korporasi yang disangkakan korupsi karena menerima manfaat dan dalam hal terjadi peralihan harta kekayaan kepada penerima manfaat sementara itu harta kekayaan tersebut merupakan hasil tindak pidana. Dalam hal Ultimate Beneficial Owner atau Beneficial Owner statusnya melarikan diri atau meninggal dunia untuk perampasan hasil tindak pidana tersebut dapat menggunakan Peraturan Mahkamah Agung (Perma) Nomor 1 Tahun 2013 tentang Tata Cara Penyelesaian Permohonan Penanganan Harta Kekayaan Dalam Tindak Pidana Pencucian Uang Atau Tindak Pidana Lain. Penelitian ini merekomendasikan agar dilakukan reformulasi KUHP, UU Tipikor dan Perma No.1 Tahun 2013 terkait dengan pertanggungjawaban pidana pemilik manfaat (Beneficial Owner) dalam kasus tindak pidana korupsi di Indonesia.
The perpetrator of a criminal act is referred to as the beneficial owner/beneficiary to hide/disguise the proceeds of criminal acts can be held criminally liable. Regarding the perpetrators of these criminal acts, there are no regulations, especially for criminal acts of corruption related to corporations as recipients/beneficial owners, resulting in a legal vacuum. So, retrieving the proceeds of criminal acts that have been transferred or enjoyed or owned by the beneficiary can only be done through a civil lawsuit or processed in accordance with Article 5 of Law Number 8 of 2010 concerning Prevention and Eradication of the Crime of Money Laundering. However, if these instruments are used, it will go through a long process and it is feared that the proceeds of the crime will be transferred or enjoyed by the perpetrator of the crime before both processes are completed. Based on this, this dissertation examines the concept of beneficial owners in the legal regime in Indonesia, the reasons why beneficial owners can be held criminally liability and the practice of criminal liability for beneficial owners in criminal acts of corruption based on court decisions in Indonesia. This qualitative research method systematically examines legal rules, comparisons, concepts, doctrine, case decisions, and documents supported by interviews with academics and practitioners. From the results of the research conducted it can be concluded that corporations can be beneficial owners other than individuals because Indonesia recognizes corporations as subjects of criminal law, and the need in legal practice to confiscate the proceeds of criminal acts makes corporations as the beneficial owners; based on cases in Indonesia, including criminal acts of corruption, the beneficial owners/beneficiaries or beneficiaries of the proceeds of criminal acts using new modus operandi, among others, the perpetrators of criminal acts are outside the corporate structure but can influence corporate policy to avoid criminal liability, therefore it is necessary clearer regulations are made in the Corruption Crime Law; In legal practice, no corporation has been suspected of corruption because it received benefits and in the event of a transfer of assets to the beneficiary, the assets were the proceeds of a criminal act. In the case that the Ultimate Beneficial Owner or Beneficial Owner has the status of running away or dies, to confiscate the proceeds of the crime, you can use Supreme Court Regulation (Perma) Number 1 of 2013 concerning Procedures for Settlement of Applications for Handling Assets in the Crime of Money Laundering or Other Crimes. This research recommends that reformulation of the Criminal Code, the Corruption Law and Perma No.1 of 2013 be carried out regarding the criminal liability of beneficial owners in cases of criminal acts of corruption in Indonesia."
Jakarta: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2024
D-pdf
UI - Disertasi Membership Universitas Indonesia Library
Dimas Marasoma Sumarsono
"Korupsi merupakan faktor penghalang pembangunan ekonomi, sosial, politik dan budaya bangsa. Oleh sebab itu korupsi diklasifikasikan sebagai kejahatan luar biasa (extra ordinary crimes). Korupsi juga melibatkan pihak swasta dan korporasi, bahkan pihak swasta termasuk yang paling banyak berurusan dengan KPK sejak 2004 s.d. 2021. Seiring dengan perkembangan teknologi dan transaksi keuangan yang canggih dan lintas batas, pelaku kejahatan yanag sebenarnya mengontrol, memiliki dana menerima manfaat dari kejahatan (beneficial ownership) melakukan serangkaian skema untuk menyamarkan keberadaannya. Tesis ini membahas bagaimana penerapan prinsip mengenal pemilik manfaat dalam penanganan perkara tindak pidana korupsi dan bagaimana aturan dan basis data beneficial owner dapat mendukung pemberantasan korupsi. Metode yang dipergunakan dalam tesis ini adalah yuridis normatif. Hasil dari penelitian ini adalah aparat penegak hukum di Indonesia telah mengungkap beberapa kasus korupsi yang melibatkan beneficial owner, diantaranya adalah kasus Muhammad Nazarudin (kasus korupsi wisma atlet), Muhammad Yahya Fuad (kasus korupsi Kabupaten Kebumen), dan Eddy Sindhoro (kasus suap panitera). Dari perkara tersebut kita bisa melihat bahwa prinsip mengenal pemilik manfaat telah dikenal dalam rezim undang-undang tindak pidana korupsi, pemidanaan korporasi, dan tindak pidana pencucian uang. Perpres 13 tahun 2018 juga telah mengatur secara spesifik mengenai definisi, kriteria, dan pelaporan pemilik manfaat sebenarnya. Namun, dalam pelaksanaan aturan tersebut masih memiliki beberapa kendala, salah satunya adalah, pencatatan informasi badan hukum (legal person) yang menyebar di berbagai peraturan, belum ada mekanisme check and balances yang memadai, kurangnya sinergi antar lembaga, dan penggunaan basis data beneficial owner yang belum optimal.
Corruption hinders the nation's economic, social, political, and cultural development. Therefore, corruption is classified as an extraordinary crime. Corruption also involves the private sector and corporations. The private sector has had the most dealings with the Corruption Eradication Commision (KPK) Indonesia since 2004 until 2021. Along with the development of technology and sophisticated and cross-border financial transactions, criminals who control and have funds receiving benefits from crime (beneficial owner) carry out a series of schemes to disguise their existence. This thesis discusses how the implementation of beneficial ownership principle by law enforcement officials in handling cases of corruption and how the beneficial ownership rules and database can support the eradication of corruption. The method used in this thesis is normative juridical. The results of this study are that law enforcement officials in Indonesia have uncovered several corruption cases involving beneficial owner, among them is Muhammad Nazarudin (wisma atlet corruption case), Muhammad Yahya Fuad (Kabupaten Kebumen corruption case), and Eddy Sindhoro (Secretary supreme court bribery case). From this case, we can see that the beneficial owner principle has been recognized in corruption laws, corporate punishment, and money laundering crimes. Presidential Decree 13 of 2018 has also specifically regulated the definition, criteria, and reporting of beneficial owner. However, the implementation of these regulations still has several obstacles; one of them is the recording of personal legal information that is spread across various regulations, the absence of an adequate check and balances mechanism, the lack of synergy between institutions, and the use of Beneficial owner databases that have not yet been implemented optimally."
Jakarta: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2022
T-pdf
UI - Tesis Membership Universitas Indonesia Library
Naomi Rehulina Barus
"Skripsi ini membahas pertanggungjawaban pidana pemilik manfaat dalam skema tindak pidana pencucian uang yang melibatkan Perseroan Terbatas secara umum dan secara khusus implikasinya pada Putusan Pengadilan Tindak Pidana Korupsi pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat Nomor: 159/Pid.Sus/TPK/2015/PN.Jkt.Pst. Meskipun telah diatur di dalam Peraturan Presiden Nomor 13 Tahun 2018, pemilik manfaat korporasi (terkhususnya Perseroan Terbatas) dalam praktiknya masih sulit untuk diidentifikasi. UU PT yang berlaku di Indonesia pun tidak mengakui keberadaan pemilik manfaat. Padahal hal ini akan sangat berpengaruh dalam menentukan bentuk pertanggungjawaban dari pemilik manfaat dan perseroan. Korporasi selaku subjek hukum juga baru diatur melalui peraturan di luar KUHP, salah satunya Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang (UU TPPU). Penulis hendak menganalisis pihak-pihak yang dapat dikualifikasikan sebagai pemilik manfaat, berikut dengan konstruksi pertanggungjawaban pidana yang diemban. Metode penelitian yang digunakan adalah penelitian yuridis normatif. Penelitian ini menuai hasil yang cukup positif di mana hakim telah mencoba melakukan terobosan hukum, melalui ekstensifikasi yang diterapkan pada pemaknaan personel pengendali yang diatur dalam UU TPPU. Sehingga, pada kasus TPPU yang dilakukan oleh Muhammad Nazaruddin, majelis hakim sebenarnya dapat memintakan pertanggungjawaban pidana kepada Permai Group sebagai korporasi yang ikut terlibat.
This thesis discusses the criminal responsibility of beneficial owner(s) in money laundering crime schemes involving Limited Liability Companies and its implications generally, and specifically for the Corruption Court Decision in Central Jakarta District Court Number: 159/Pid.Sus/TPK/2015/PN.Jkt.Pst. Even though it has been regulated in Presidential Regulation Number 13 of 2018, in practice, the beneficial owner(s) in corporations (especially Limited Liability Companies) are still challenging to identify. The company law enforced in Indonesia also still does not recognize the existence of a beneficial owner, even though this matter will be very influential in determining the form of responsibility of the beneficial owner and the company. Corporations as legal subjects have also only been regulated through regulations other than the Criminal Code, one of which is Law Number 8 of 2010 concerning the Prevention and Eradication of the Crime of Money Laundering. Therefore, the author wants to analyze the parties who can be qualified as beneficial owner(s) and the construction of criminal liability carried out. The research method used is normative juridical research. This research reaped positive results where judges have tried to make legal breakthroughs through the extensification applied to the meaning of controlling personnel as regulated in the Money Laundering Law. Hence, in the money laundering case committed by Muhammad Nazaruddin, the panel of judges can actually ask Permai Group for criminal responsibility as thecorporation involved."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2021
S-pdf
UI - Skripsi Membership Universitas Indonesia Library
Adnan Fawwaz Hadju
"Badan hukum sebagai beneficial owner merupakan topik yang relevan dan penting dalam konteks sistem hukum di Amerika Serikat, Inggris, dan Indonesia. Dalam ketiga negara ini, regulasi dan definisi mengenai beneficial owner memiliki perbedaan, baik dalam aspek hukum maupun implementasinya. Sebagai negara-negara dengan sistem hukum yang berbeda, Amerika Serikat, Inggris, dan Indonesia memiliki pendekatan yang unik terhadap identifikasi dan perlindungan hak beneficial owner dalam konteks badan hukum. Secara umum, dapat dikatakan bahwa Amerika Serikat dan Inggris memiliki regulasi yang lebih maju dan tegas dalam hal mengidentifikasi dan melaporkan beneficial owner dibandingkan dengan Indonesia. Di Amerika Serikat, peraturan lebih terfragmentasi dengan regulasi yang bervariasi di tingkat negara bagian. Sedangkan di Inggris, peraturan berfokus pada perusahaan yang mencatat dan mengungkapkan beneficial owner mereka. Di Indonesia, meskipun telah ada upaya untuk meningkatkan transparansi dan mengidentifikasi beneficial owner, masih ada tantangan yang perlu diatasi untuk menerapkan regulasi ini secara efektif. Konsep Badan Hukum sebagai pemilik manfaat memiliki peran penting dalam hukum perusahaan di Indonesia. Identifikasi pemilik manfaat sebenarnya sangat penting untuk mencegah penipuan dan pencucian uang yang menggunakan badan hukum.
The legal entity as beneficial owner is a relevant and important topic in the context of the legal systems in the United States, United Kingdom and Indonesia. In these three countries, the regulations and definitions of beneficial owners are different, both in legal aspects and implementation. As countries with different legal systems, the United States, United Kingdom and Indonesia have unique approaches to the identification and protection of beneficial owner rights in the context of legal entities. In general, it can be said that the United States and the United Kingdom have more advanced and strict regulations in terms of identifying and reporting beneficial owners compared to Indonesia. In the United States, regulations are more fragmented with regulations varying at the state level. Whereas in the UK, regulations focus on companies recording and disclosing their beneficial owners. In Indonesia, while there have been efforts to increase transparency and identify beneficial owners, there are still challenges that need to be overcome to effectively implement these regulations. The concept of a legal entity as a beneficial owner plays an important role in Indonesian corporate law. The identification of beneficial owners is actually very important to prevent fraud and money laundering using legal entities."
Jakarta: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2023
T-pdf
UI - Tesis Membership Universitas Indonesia Library
Ketaren, Alexander Edward
"Dewasa ini, tindak pidana dapat dilakukan oleh Yayasan. Yayasan yang pada dasarnya bertujuan di bidang sosial, keagamaan, dan kemanusiaan, dijadikan alat untuk melakukan tindak pidana. Namun demikian, dalam penelusuran yang Penulis lakukan, tidak terdapat Yayasan yang dibebankan pertanggungjawaban atas tindak pidana yang dilakukannya. Dua kasus tindak pidana yang melibatkan Yayasan dalam melakukan tindak pidana adalah kasus Ketua Yayasan Berkarya Dalam Pujian dan Yayasan Cakradonya. Skripsi ini mencoba menjawab pertanyaan mengenai konsep pertanggungjawaban pidana Yayasan serta penerapannya dalam kasus Ketua Yayasan Berkarya Dalam Pujian dan Ketua Yayasan Cakradonya. Berdasarkan teori-teori pertanggungjawaban pidana korporasi dan Yayasan. Skripsi ini akan menganalisis mengenai pertanggungjawaban pidana dalam hal tindak pidana dilakukan oleh suatu Yayasan. Dari hasil analisis tersebut, diketahui bahwa Yayasan termasuk dalam definisi korporasi dalam beberapa undang-undang pidana khusus Indonesia, seperti Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang dan Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, Yayasan dapat dibebankan pertanggungjawaban dalam hal tindak pidana dilakukan oleh orang yang berwenang mewakili dan mengatasnamakan Yayasan, untuk menguntungkan Yayasan, oleh orang yang memiliki hubungan kerja atau hubungan lain, dan dalam lingkungan Yayasan baik secara sendiri maupun bersama-sama. Dalam kasus Ketua Yayasan Berkarya Dalam Pujian, tindak pidana perdagangan orang yang dilakukan dapat diatribusikan sebagai perbuatan Yayasan Berkarya Dalam Pujian, sedangkan dalam kasus Ketua Yayasan Cakradonya, tindak pidana korupsi yang dilakukan tidak dapat diatribusikan sebagai perbuatan Yayasan Cakradonya karena tidak dilakukan untuk menguntungkan Yayasan Cakradonya.
Today, criminal offenses can be committed by the Foundation. Foundations that are basically aimed at social, religious, and humanitarian fields, are used as instruments for committing criminal acts. However, in the searches that the Author did, there was no foundation charged with liability for the offenses he committed. Two criminal cases involving the Foundation in committing a crime are the case of the Chairman of Berkarya Dalam Puji Foundation and Cakradonya Foundation. This thesis tries to answer questions about the concept of criminal responsibility of the Foundation and its application in the case of the Chairman of Berkarya Dalam Pujian Foundation and the Chairman of Cakradonya Foundation. Based on theories of corporate criminal liability and foundation, this thesis will analyze the criminal liability in the case of criminal acts committed by a Foundation. From the results of the analysis, it is known that the Foundation is included in the definition of corporations in several special criminal laws of Indonesia, such as the Law on the Eradication of Criminal Trafficking in Persons and the Corruption Eradication Act. The foundation may be liable in the event of a criminal act committed by a person authorized to represent and on behalf of the Foundation, to benefit the Foundation, by a person who has a working relationship or other relationship, and within the Foundation environment either individually or collectively. In the case of the Chairman of Berkarya Dalam Pujian Foundation, the trafficking of persons trafficked can be attributed as the act of Berkarya Dalam Pujian Foundation, while in the case of the Chairman of Cakradonya Foundation, the criminal act of corruption committed cannot be attributed to Cakradonya Foundation because it is not commited to benefit the Cakradonya Foundation. "
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2018
S-Pdf
UI - Skripsi Membership Universitas Indonesia Library
Elstonsius Banjo
"Sudah banyak orang diputus besalah dan dipidana sebagai tindak pidana korupsi Pasal 2 dan Pasal 3 UU PTPK. Namun, apakah pengadilan Tipikor telah mempertimbangan unsur kesalahan secara komprehensif pada pertanggungjawaban pidana. Penelitian ini mengkaji tiga permasalahan hukum, yaitu (1) Bagaimana pengadilan Tindak Pidana Korupsi mempertimbangkan unsur kesalahan pada Pasal 2 dan Pasal 3 UU PTPK dalam putusan-putusannya; (2) Bagaimana perkembangan penafsiran unsur kesalahan dalam rumusan tindak pidana korupsi Pasal 2 dan Pasal 3 UU PTPK; dan (3) Bagaimana parameter untuk menilai unsur kesalahan sebagai dasar pertanggung-jawaban pidana pada Pasal 2 dan Pasal 3 UU PTPK. Metode yang digunakan adalah “Yuridis Normatif” untuk menggali norma hukum dan keputusan pengadilan berdasar ‘library based-study”, dan dilakukan melalui “analytical and critical approach”. Penilaian dan pengujian berdasarkan asas dan teori kesalahan, dan dilakukan melalui model penalaran moralitas “Natural Law”. Hasil penelitian menunjukan, bahwa pengadilan Tipikor cenderung memidana terdakwa tanpa pertimbangan secara komprehensif unsur kesalahan. Lebih kepada keadaan objektif daripada keadaan objektif dan subjektif, yaitu suatu perbuatan yang tidak mengikuti standar dan prosedur administrasi yang dipersyaratkan, dan belum menyentuh pada suatu perbuatan yang bersifat melawan hukum (wederrecchtelijkheid) dan “dengan sengaja” untuk menguntungkan atau memperkaya diri sendiri, orang lain atau suatu korporasi, sehingga negara dirugikan. Meskipun ada hakim menyebutkannya secara aksplisit atau pun implisit dalam pertimbangan hukumnya, akan tetapi belum digali hubungan antara unsur “sengaja” dengan perbuatan yang dilakukan terdakwa, sehingga menimbulkan kerugian keuangan negara. Dengan demikian, asas dan teori Kesalahan yang dikolaborasi dengan model penalaran moralitas “Natural Law” dapat menjadi model ideal (parameter) untuk menilai unsur kesalahan sebagai dasar pertanggungjawaban pidana Pasal 2 dan Pasal 3 UU PTPK. Sebab keadaan objektif dan subjektif menjadi syarat pertanggungjawaban pidana, dan pada model penalaran moralitas “Natural Law” tidak melepas pengujian validitas normatif Pasal 2 dan Pasal 3 UU PTPK guna memperoleh kebenaran dan keadilan.
Many people have been convicted and sentenced for criminal acts of corruption in Article 2 and Article 3 of the PTPK Law. However, the Corruption Court has not been able to comprehensively consider the elements of guilt for the crimes committed. This study examines three legal issues, namely (1) How the Corruption Court considers the elements of guilt in Article 2 and Article 3 of the PTPK Law in its decisions; (2) How is the development of the interpretation of the element of guilt in the formulation of the criminal act of corruption of Article 2 and Article 3 of the PTPK Law; and (3) What are the parameters for examining and evaluation of the element of guilt as a basis for criminal responsibility in Article 2 and Article 3 of the PTPK Law. The method used is Doctrinal legal research methodology, also called "black letter" methodology, which focuses on the letter of the law to compose a descriptive and detailed analysis of legal rules found in primary sources (cases and regulations). The purpose of this method is to gather, organize, and describe the law; provide commentary on the sources used; then, identify and describe the underlying theme or system and how each source of law is connected or explore legal norms and court decisions based on library-based studies. The analysis is based on the principles and theory of Criminal Responsibility through the analytical and critical approach to avoid liability without fault and to ensure that "committed intentionally" is the main element used in decision-making regarding corruptor sentencing. Examining and evaluating are based on the "Natural Law" morality reasoning model. This study shows that the judge's decision is more about proving objective facts than subjective facts - or "intentions" of the perpetrators. The corruption court tends to punish defendants without comprehensively considering the elements of guilt or more to an act that does not follow the required administrative procedures and standards and has not yet touched on the concept of an unlawful act and "intentionally" that contributes to losses of the state finances. Even though some judges mentioned it explicitly or implicitly in their legal considerations, however comprehensively consider the elements of guilty yet. Therefore, the principle and criminal responsibility, and collaboration with the models of moral "Natural Law" can become an ideal model of legal reasoning for examining and evaluating the element of guilt as a basis for criminal responsibility under Article 2 and Article 3 of the PTPK Law. In this case, objective and subjective conditions are to examine the validity of Articles 2 and 3 of the PTPK Law to obtain truth and justice."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2023
D-pdf
UI - Disertasi Membership Universitas Indonesia Library
Mochamad Lutfi Suryana
"Prinsip keterbukaan Beneficial Owner ini dilatar belakangi karena banyaknya perusahaan yang dijadikan sarana oleh pelaku tindak pidana pencucian uang yang merupakan Beneficial Owner, maka dari itu diperlukan prinsip keterbukaan terhadap Beneficial Owner agar dapat mencegah dan memberantas tindak pidana pencucian uang. Permasalahan yang dihadapi saat ini adalah Benefical Onwer dijadikan modus dalam tindak pidana pencucian uang serta peran Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia dalam mengupayakan transparansi Benefical Onwer. Metode penelitian ini menggunakan metode normatif dengan pendekatan kualitatif yang menggunakan teori kepastian hukum. FATF menerbitkan rekomendasi nomor 24 dan 25 yang mewajibkan negara-negara untuk memastikan tersedianya informasi yang memadai, akurat dan tepat waktu mengenai Pemilik Manfaat. Pada tahun 2018 Presiden menerbitkan Peraturan Presiden Nomor 13 Tahun 2018 tentang Penerapan Prinsip Mengenali Pemilik Manfaat dari Korporasi Dalam Rangka Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang dan Tindak Pidana Pendanaan Terorisme. Selanjutnya guna mendukung komitmen pemerintah untuk memberantas tindak pidana pencucian uang yang dilakukan oleh Benefical Onwer, Kementerian Hukum dan HAM melakukan kerja sama dalam bentuk Nota Kesepahaman dengan Kementerian/Lembaga terkait tentang integrasi data Benefical Onwer. Hasil dari penelitian ini adalah pemerintah perlu menyusun peraturan pada tingkat Undang-Undang yang mengatur terkait Beneficial Owner dalam Tindak Pidana Pencucian Uang untuk dapat memberantas permasalahan sampai kepada pelaku sesungguhnya. Dibutuhkan sosialisasi yang berkesinambungan yang tidak hanya dilakukan oleh Kementerian Hukum dan HAM melainkan seluruh Kementerian/Lembaga terkait guna memberikan informasi tentang pentingnya pendataan Beneficial Owner. Hal ini bertujuan untuk memperbaiki iklim berusaha di Indonesia serta dapat menarik investor dalam perekonomian di Indonesia.
The principle transparency of Beneficial Owners is motivated by the fact that many companies are used as facilities by perpetrators of money laundering crimes who are Beneficial Owners, therefore the principle of openness to Beneficial Owners is needed in order to prevent and eradicate money laundering. The problems faced today are that Benefical Onwer is used as a mode of money laundering and the role of the Ministry of Law and Human Rights in seeking transparency of Benefical Onwer. This research method uses a normative method with a qualitative approach that uses the theory of legal certainty. The FATF issues recommendations number 24 and 25 which require countries to ensure adequate, accurate and timely information about the Beneficiaries is available. In 2018 the President issued Presidential Regulation Number 13 of 2018 concerning the Application of the Principle of Recognizing the Beneficial Owner of a Corporation in the Context of Prevention and Eradication of the Crime of Money Laundering and the Financing of Terrorism. Furthermore, to support the government's commitment to eradicating the crime of money laundering committed by Benefical Onwer, the Ministry of Law and Human Rights cooperates in the form of a Memorandum of Understanding with related Ministries/Institutions regarding the integration of Benefical Onwer data. The result of this research is that the government needs to compile regulations at the level of the Act that regulates related to Beneficial Owners in the Crime of Money Laundering to be able to eradicate the problem to the real perpetrators. Continuous socialization is needed which is not only carried out by the Ministry of Law and Human Rights but also all relevant Ministries/Institutions in order to provide information about the importance of collecting data on Beneficial Owners. This aims to improve the business climate in Indonesia and can attract investors in the Indonesian economy."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2022
T-pdf
UI - Tesis Membership Universitas Indonesia Library
Budi Suhariyanto
"Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana diubah oleh Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (UU Tipikor) telah mengatur model pertanggungjawaban pidana korporasi yaitu bilamana suatu tindak pidana korupsi dilakukan oleh atau atas nama korporasi maka tuntutan dan penjatuhan pidananya dapat dilakukan terhadap korporasi dan/atau pengurusnya. UU Tipikor tidak mengatur kriteria bilamana pertanggungjawaban pidana hanya ditujukan terhadap korporasi atau korporasi dan pengurusnya. Ketidaklengkapan UU Tipikor tersebut menyebabkan multi tafsir di kalangan penegak hukum dan hakim sehingga menimbulkan ketidak-pastian hukum dan ketidak-konsistenan putusan pengadilan. Disertasi ini melakukan telaah mengenai perumusan model pertanggungjawaban pidana korporasi dalam perkara korupsi yang ideal di Indonesia agar tidak terjadi lagi ketidakpastian hukum dan multi tafsir dalam putusan pengadilan. Metode penelitian yang digunakan adalah studi dokumen, didukung dengan wawancara mendalam (in-depth interview) terhadap penegak hukum dan hakim. Adapun pendekatan masalah penelitian yang digunakan yaitu pendekatan perundang-undangan, konseptual, kasus dan perbandingan. Dari hasil penelitian yang dilakukan dapat disimpulkan bahwa diperlukan penentuan kriteria model pertanggungjawaban pidana korporasi secara otonom, dependen dan independen. Model otonom mensyaratkan pertanggungjawaban korporasi tidak digantungkan dan dihubungkan dengan pertanggungjawaban pengurusnya sama sekali karena kesalahan korporasi tidak berasal dari atribusi kesalahan pengurusnya secara individu. Terdapat empat kriteria dalam model otonom yaitu: pertama, perbuatan pengurus merupakan perbuatan korporasi; kedua, perbuatan pengurus dilakukan untuk dan dalam rangka kepentingan korporasi dan tidak ada kepentingan individu pengurus; ketiga, kesalahan korporasi berasal dari atribusi kesalahan perbuatan korporasi; dan keempat, alokasi tanggung jawab hanya dibebankan kepada korporasi, tanpa sekalipun membebani tanggung jawab kepada pengurus. Model dependen mensyaratkan alokasi kesalahan dan pertanggungjawaban korporasi digantungkan pada terbuktinya kesalahan pengurus atas terjadinya tindak pidana korupsi. Terdapat dua kriteria model dependen yaitu pertanggungjawaban korporasi atas penerimaan manfaat hasil tindak pidana korupsi dan/atau pertanggungjawaban korporasi sebagai sarana tindak pidana korupsi. Model independen mensyaratkan pertanggungjawaban korporasi diajukan secara gabungan dengan pengurusnya dimana konstruksi kesalahan korporasi dibedakan dari pengurusnya dengan mengakomodasi kesalahan original atau organisasi atas reaksi saat terjadinya korupsi dan/atau budaya korporasi yang memicu korupsi. Penelitian ini merekomendasikan agar dilakukan reformulasi UU Tipikor dan pembentukan yurisprudensi terkait dengan kriteria model pertanggungjawaban pidana korporasi
Law Number 31 of 1999 as amended with Law Number 20 of 2001 on Corruption Crime Eradication (Corruption Law) governs a corporation criminal liability model i.e. if a corruption crime is committed by or on behalf of a corporation, then its indictment and criminal charge may be implemented against the corporation and/or its management. However, Corruption Law does not govern criteria whether criminal liability is only addressed to corporation or corporation and its management. Incomplete Corruption Law has led to multi-interpretations among law enforcers and judges causing legal uncertainty and inconsistency in court verdicts. This dissertation scrutinizes the formulation of a corporation criminal liability model in corruption cases that is ideal for Indonesia to prevent legal uncertainty and multi-interpretations in court verdicts. The research method used is a document study, supported with in-depth interviews with law enforcers and judges. The approaches of research problems used are the approaches of statutory laws, concept, case, and comparison. The research concludes that the determination of an autonomous, dependent, and independent corporation criminal liability model criteria is required. Autonomous model requires that corporation liability does not depend on and is not related to the liability of its management at all since the faults of a corporation are not originated from the attribution of its management’s faults individually. There are four criteria in the autonomous model, namely: first, the act of management is the act of a corporation; second, the act of management is conducted for and for the interest of a corporation and there is no individual interest of the management; third, the faults of a corporation come from the attribution of the faults of a corporation’s acts; and fourth, the allocation of liability is only imposed to corporation, without imposing liability to management. The dependent model requires that the allocation of faults and liability of a corporation depends on the proven faults of management regarding a corruption crime. There are two dependent model criteria namely corporation liability over the receipt of proceeds of corruption crime and/or corporation liability as a facility for corruption crime. The independent model requires corporation liability to be submitted collectively with its management in which the construction of a corporation’s faults is distinguished from its management by accommodating original or organizational faults over a reaction during the occurrence of corruption and/or corporation cultures that trigger corruption. This research recommends the reformulation of Corruption Law and the formation of relevant jurisprudence through corporation criminal liability model criteria."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2021
D-pdf
UI - Disertasi Membership Universitas Indonesia Library
Kristantini Sugiharti
"Notaris membutuhkan perlindungan hukum saat menerapkan kewajiban untuk Mengenali Pemilik Manfaat dari suatu Badan Hukum, agar tujuan dari terbitnya Perpres 13/2018 sebagai upaya pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang dan Tindak Pidana Pendanaan Terorisme dapat dilaksanakan dengan optimal. Penelitian ini menganalisis 3 (tiga) isu terkait penerapan Prinsip Mengenali Pemilik Manfaat, yaitu (1) pentingnya penerapan Prinsip Mengenali Pemilik Manfaat oleh Notaris; (2) kewajiban serupa oleh Notaris dalam menerapkan Prinsip Mengenali Pemilik Manfaat di Negara Belanda, Jerman, Amerika Serikat dan Singapura; dan (3) keberadaan Surat Pernyataan Pemilik Manfaat sebagai perlindungan Notaris yang telah menerapkan Prinsip Mengenali Pemilik Manfaat. Melalui penerapan metode penelitian yuridis normatif dengan pendekatan perbandingan dan analisis kualitatif, serta disampaikan secara deskriptif analitis, penelitian ini menyimpulkan, bahwa: (1) penting bagi Notaris untuk menerapkan Prinsip Mengenali Pemilik Manfaat, karena Notaris memiliki kewenangan untuk mengenali penghadap guna memperoleh informasi yang benar mengenai penghadap, sehingga dapat berperan sebagai
gatekeeper untuk berkontribusi dalam upaya pencegahan TPPU; (2) pentingnya penerapan Prinsip Mengenali Pemilik Manfaat oleh Notaris juga ditemukan di Belanda dan Jerman karena Notaris memiliki peran penting dalam pendirian badan hukum di kedua negara itu, tetapi tidak di Amerika Serikat dan Singapura karena adanya perbedaan peran Notaris di negara-negara tersebut; dan (3) Keberadaan Surat Pernyataan Pemilik Manfaat yang dibuat oleh penghadap tidak sepenuhnya dapat melindungi Notaris dari tuntutan hukum, karena surat tersebut hanya memiliki kekuatan pembuktian sempurna apabila tidak disangkal oleh yang menandatanganinya. Pengaturan mekanisme ini masih memerlukan kajian lebih lanjut agar tidak terdapat pembebanan kewajiban yang berlebihan terhadap Notaris.
Notary requires certain protection while implementing the Principle to Recognize Beneficial Owner of legal person. It is due to optimally comply with the purpose of Presidential Regulation No.13 of 2018 to erradicate money laundering and terrorism funding. This research analyzes the issues regarding implementation of the Principle, namely (1) the importance for Notary to implement the Principle; (2) the obligation for Notary to implement the principle in the Netherlands, Germany, United State of America and Singapore; and (3) the existence of the Beneficial Ownership Statement Letter from the Client as a protection from legal charges for the Notary, who have applied it. Implementing the normative-juridical method with the comparative approach, this research concluded, that (1) it is important for Notary to implement the principle due to its power to obtain client`s valid information, therefore Notary is ideal to be a gatekeeper on the effort of erradicating money laundering; (2) the importance of the principle to be applied by Notary is founded as well in the Netherlands and Germany, where Notary has an important role in establishment of the legal persons, however it is not the case in the United State of America and Singapore; and (3) the existence of the Beneficial Ownership Statement Letter from the Client can not entirely protect the Notary from legal charges, since the letter can only be an infallible proof when there are no objection from the undersigning person. Further research are needed in order to avoid excessive responsibility in implementing this mechanism."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2019
T54299
UI - Tesis Membership Universitas Indonesia Library
Elizabeth Michelle
"Terdapat ketidaksesuaian dalam Undang-Undang Yayasan Nomor 28 Tahun 2004 dan Peraturan Presiden No.13/2018 tentang Penerapan Prinsip Manfaat dari Korporasi Dalam Rangka Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang dan Tindak Pidana Pendanaan Terorisme. Melihat dari ketentuan dalam Undang-Undang Yayasan yang menyatakan bahwa Organ Yayasan tidak boleh menerima keuntungan, sementara Pemilik Manfaat sendiri bertujuan untuk mengidentifikasi Pemilik Manfaat dari Yayasan, hal ini tentu bertentangan dikarenakan Organ Yayasan tidak diperbolehkan menerima manfaat apa pun. Metode penelitian yang digunakan adalah penelitian doktrinal dengan tipologi penelitian berbentuk preskriptif yang merupakan penelitian dengan memberikan arahan teori hukum dan peraturan perundang-undangan terhadap suatu masalah serta memberikan solusi untuk menyelesaikan masalah tersebut. Hasil penelitian menyatakan bahwa beberapa kriteria dalam menetapkan Pemilik Manfaat bertentangan dengan Undang-Undang Yayasan dan tidak dapat dilaksanakan secara keseluruhan dan efektif sehingga terbentuk suatu batasan dalam penentuan Pemilik Manfaat . Pada hakikatnya Pemilik Manfaat dalam AHU online tidak mudah di akses oleh semua pihak, akibatnya prinsip transparansi tidak terlaksana secara maksimal dan masih memberikan celah. Perlu dipahami bahwa memang tidak dimungkinkan suatu Peraturan dapat efektif sepenuhnya dalam menangani permasalahan hukum di Indonesia. Saran yang dapat diberikan dalam penelitian ini adalah diperlukannya tinjauan dan pembaharuan hukum Pemilik Manfaat dalam Yayasan agar terciptanya Peraturan yang lebih baik dan efektif.
There is a discrepancy in Foundation Law Number 28 of 2004 and Presidential Regulation No.13/2018 concerning the Application of the Principle of Benefits from Corporations in the Context of Preventing and Eradicating Crimes of Money Laundering and Terrorism Financing Crimes. Looking at the provisions in the Foundation Law which states that Foundation Organs may not receive profits, temporarily Beneficial Owner itself aims to identify the Beneficial Owner of the Foundation, this is of course contradictory because Foundation Organs are not allowed to receive any benefits. The research method used is doctrinal research with a prescriptive research typology, which is research that provides direction on legal theory and statutory regulations on a problem and provides solutions to resolve the problem. The results of the research state that there are several criteria in determining Beneficial Owner contrary to the Foundation Law and cannot be implemented as a whole and effectively until a limitation is formed in the determination Beneficial Owner . In reality Beneficial Owner in AHU online is not easily accessed by all parties, as a result the principle of transparency is not implemented optimally and still provides gaps. It needs to be understood that it is not possible for a regulation to be completely effective in dealing with legal problems in Indonesia. Suggestions that can be given in this research are the need to review and update related laws Beneficial Owner within the Foundation to create better and more effective regulations."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2024
T-pdf
UI - Tesis Membership Universitas Indonesia Library