Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 145650 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Harahap, Mei Lestari
"Tindakan bedah perlu dilakukan pada semua penderita Tetralogi Fallot (TF) untuk melakukan koreksi kelainan anatomi. mengatasi simptom serta memperbaiki status hemodinamik. Keberhasilan bedah total koreksi tidak hanya terlihat pada berkurangnya tekanan pada ventrikel kanan, tidak adanya defek residual, tapi juga preservasi miokardium yang merupakan hal penting untuk morbiditas dan mortalitas. Timbulnya radikal bebas pada saat iniuri reperfusi adalah salah satu penyebab menurunnya fungsi ventrikel yang terjadi sewaktu pembedahan pada penderita TF. Pada percobaan binatang terdapat hubungan antara diet asam lemak tak jenuh dengan produksi radikal bebas. Timbul pemikiran apakah ada hubungan antara komposisi asam lemak tak jenuh atau rasio asam arakidonat (AA) dan asam ekosapentanoat(EPA) plasma dengan produksi radikal bebas dan fungsi ventrikel pascabedah jantung TF Dilakukan penelitian cross sectional terhadap 26 penderita TF yang menjalani bedah koreksi di RS Jantung Harapan Kita periode Mei s/d November 1997, dari jumlah ini 6 orang dikeluarkan dari penelitian oleh karena telah menjalani bedah pirai sebelumnya dan saturasi oksigen> 85%. Terdapat 20 penderita terdiri 10 laki-laki dan 10 wanita dengan usia 74,20±56,20 bulan. Analisa stasistik dilakukan dengan cara Wilcoxon dan Spearman rank Correlation. Hasil penelitian didapatkan kadar AA 17,34±11,15 µg. kadar EPA 1,25±0,9 pg dan rasio AA/EPA 16,62±9,42. Terdapat peningkatan yang bermakna dari lipid peroksida selama tindakan operasi ( 0,29±1,03 vs 0,61±0,28 µM, p= 0,0001) Tidak terdapat hubungan antara rasio AA/EPA dengan peningkatan radikal bebas Terdapat hubungan antara peningkatan radikal bebas darah dengan fraksi ejeksi ventrikel kiri (r-0,45 dan t= 2,4) Kesimpulan: Tidak terdapat hubungan bermakna antara rasio AA/EPA plasma dengan peningkatan radikal bebas, dan terdapat hubungan antara peningkatan radikal bebas darah dengan penurunan fraksi ejeksi ventrikel kiri."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 1998
T57314
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Dian Novianti
"Latar Belakang: Obesitas merupakan kondisi inflamasi kronik yang dapat mengakibatkan penurunan massa otot dan kekuatan genggam tangan. Salah satu nutrisi yang berperan untuk meningkatkan sintesis protein dan menurunkan degradasi protein, yaitu eicosapentaenoic acid (EPA). Penelitian ini bertujuan untuk melihat korelasi antara asupan EPA dengan massa otot dan kekuatan genggam tangan pada karyawan kantoran dengan obesitas.
Metode: Penelitian potong lintang ini dilakukan pada subjek karyawan kantoran dengan obesitas. Asupan EPA dinilai dengan food frequency questionnaire semi kuantitatif. Massa otot diukur dengan menggunakan multifrequency bioelectrical impedance analysis. Sedangkan, kekuatan genggam tangan diukur menggunakan electric dynamometer.
Hasil: Penelitian ini mencakup 41 subjek penelitian yang memiliki median usia 35 (21-56) tahun dengan jumlah subjek perempuan lebih banyak dibandingkan dengan subjek laki-laki. Subjek penelitian dengan obesitas derajat 1 sebanyak 16 orang (39%) dan obesitas derajat 2 sebanyak 25 orang (61%). Subjek memiliki rerata asupan EPA sebesar 152,3±64,64 mg. Subjek penelitian memiliki median massa otot sebesar 19,8 (15,3-46,5) kg dan median kekuatan genggam tangan sebesar 24,5 (17,8-42,9) kg. Penelitian ini mendapatkan nilai koefisien korelasi cukup dan signifikan antara asupan EPA dengan massa otot (r=0,335, p=0,032). Sedangkan, tidak didapatkan korelasi yang bermakna antara asupan EPA dengan kekuatan genggam tangan.
Kesimpulan: Terdapat korelasi bermakna antara asupan EPA dengan massa otot pada karyawan kantoran dengan obesitas. Namun, tidak didapatkan korelasi antara asupan EPA dengan kekuatan genggam tangan.

Background: Obesity is a chronic inflammatory condition that can lead to decrease muscle mass and handgrip strength. One of the nutrients that plays role in increasing protein synthesis and reducing protein degradation is eicosapentaenoic acid (EPA). This study aims to investigate the correlation between EPA intake with muscle mass and handgrip strength in office workers with obesity.
method: This cross-sectional study was conducted on the subject of office workers with obesity. EPA intake was assessed with semi-quantitative food frequency questionnaire. Muscle mass was measured using a multifrequency bioelectrical impedance analysis. Meanwhile, handgrip strength was measured using a electric dynamometer
Results: This study included fourty one subjects with a median age of 35 (21-56) years old, mostly were female subjects. There were 16 people with obesity grade 1 (39%) and 25 people with obesity grade 2 (61%). Average EPA intake was 152,3±64,64 mg. The subjects had a median muscle mass of 19,8 (15,3-46,5) kg and median handgrip strength of 24,5 (17,8-42,9) kg. There was adequate correlation between EPA intake and muscle mass (r=0,335, p=0,032). There was no significant correlation between EPA intake and handgrip strength
Conclusion: There was a significant correlation between EPA intake muscle mass in office workers with obesity. However, there was no correlation between EPA intake and handgrip strength.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2022
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Yenny Kumalawati Santosoatmodjo
"Tetralogi Fallot (TF) merupakan penyakit jantung bawaan (PJB) sianotik terbanyak. Terapi definitifnya berupa koreksi total melalui operasi jantung terbuka, namun usia terbaik koreksi masih menjadi perdebatan. Operasi saat usia < 3 tahun disebut koreksi dini. Angka kesintasan jangka panjang pasien TF pasca-operasi mencapai 90%. Masalah baru yang muncul adalah gangguan neurodevelopmental yang dapat mempengaruhi kualitas hidup pasien.
Tujuan: Mengetahui sebaran pasien TF pasca-operasi jantung terbuka, serta membandingkan perkembangan, kognitif dan kualitas hidup pasien TF pasca-operasi jantung terbuka yang menjalani koreksi dini dibandingkan koreksi terlambat.
Metode: 29 subjek kelompok koreksi dini dan 34 subjek kelompok koreksi terlambat dipilih secara konsekutif. Penilaian perkembangan menggunakan Denver II. Tingkat kognitif dinilai dengan the Capute scales dan uji intelegensi Wechsler. Kualitas hidup dinilai dengan laporan PedsQLTM. Perbedaan antar kedua kelompok subjek dianalisis dengan menggunakan uji Kai kuadrat, uji Fischer, dan uji t tidak berpasangan.
Hasil: Median usia operasi kelompok koreksi dini adalah 1,8 tahun dan kelompok koreksi terlambat adalah 5,3 tahun. Sebesar 54% subjek menjalani koreksi terlambat. Mikrosefal terjadi pada 15% keseluruhan subjek. Pada kedua kelompok subjek ditemukan masalah perkembangan. Sebesar 75% subjek kelompok koreksi dini memiliki developmental quotient normal. Kelompok koreksi dini memiliki nilai verbal intelligence quotient (IQ) (p 0,002; IK 95% 5,8-24,6) dan full-scale IQ (p0,003; IK 95% 4,7-21,3) yang lebih tinggi dibandingkan kelompok koreksi terlambat. Laporan PedsQLTM anak menunjukkan rendahnya kualitas hidup pada fungsi emosi (p=0,02) dan sekolah (p=0,03) pada kelompok koreksi terlambat.
Simpulan: Pasien TF yang menjalani koreksi dini memiliki dan kualitas hidup yang lebih tinggi dibandingkan kelompok koreksi terlambat, sehingga diperlukan sosialisasi usia operasi koreksi dini.

Background: Tetralogy of Fallot (TF) is the most common cyanotic congenital heart disease. The definitive treatment is complete repair thru open heart surgery. At present, the most effective age category for repair is still being debated. Complete repair for children who are younger than 3 years is called early repair. Recent technological advancement has allowed the early repair to be performed earlier and improve the survival rate of the patients. However, these survivors risk having neurodevelopmental disorder which affect their health-related quality of life.
Objective: To describe the characteristics of post open heart surgery TF patients and compare the TF patients who undergo early correction to ones who undergo late correction within the aspects of development, cognitive outcomes, and health-related quality of life.
Design : Twenty nine subjects from early correction group and 34 subjects from late correction group were compared in development (Denver development screening II), cognitive outcomes (The Capute scales and Wechsler test), and health-related quality of life (PedsQLTM).
Result : Median age of the subjects in early correction group is 1,8 years and in late correction group is 5,3 years. Fifty five percent undergo late correction. The prevalence of microcephaly is 15%. Developmental delay is found in both group. Seventy five percent of subject who undergo early correction have normal developmental quotient. Early correction group have higher verbal intelligence quotient (IQ) (p=0.002; CI 95% 5.8-24.6) and full scale IQ (p=0.003; CI 95% 4.7-21.3). Child report PedsQLTM showed lower quality of life in late correction group.
Conclusions : Tetralogy of Fallot patients who undergo early correction have higher IQ and better health-related quality of life compared to late correction group. The age of early complete repair (< 3 years) needs to be disseminated.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2014
SP-Pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
"Dalam reaksi polimerisasi radikal bebas biasanya dikenal 3 tahap, yaitu inisiasi, propagasi, dan terminasi. Namun sebenarnya ada mekanisme lain yang terjadi, tetapi sering diabaikan karena kuantitas kejadiannya yang sangat rendah. Mekanisme ini yang dinamakan dengan reaksi chain transfer atau reaksi alih rantai. Walaupun demikian, untuk monomer tertentu reaksi alih rantai ini menjadi sangat dominan. Oleh para ahli sintesa polimer, mekanisme ini dimanipulasi untuk mengkontrol berat molekul, distribusi berat molekul bahkan sampai gugus fungsi dari polimer yang akan disintesa. Beberapa aspek dari mekanisme reaksi alih rantai ini akan dibahas pada tulisan ini."
MPI 2:1 (1999)
Artikel Jurnal  Universitas Indonesia Library
cover
Nadira Putri Pinasthika
"Dua persen dari 48 juta penyandang cacat menderita tuna grahita, dimana penyebab terbesar adalah kekurangan Arachidonic Acid AA , Docosahexaeonic Acid DHA dan Eicosapentanoic Acid EPA yang berperan dalam perkembangan otak. Single Cell Oil, yaitu pemanfaatan mikroorganisme satu sel, dapat menjadi solusi, seperti kapang Aspergillus oryzae, untuk menghasilkan AA, DHA EPA. Kapang A. oryzae dikultivasi pada medium Potato Dextrose Agar PDA, Czapek Dox Agar CDA dan Malt Extract Agar MEA, lalu divariasikan waktu inkubasinya selama 2,4,5,6 dan 7 hari pada medium yang optimal. Lipid kapang diekstrak menggunakan etanol dan n-heksana. Karakterisasi lipid kapang dilakukan dengan metode kromatografi gas GC. Medium yang paling optimal adalah CDA dengan produktivitas lipid 21,516. Waktu inkubasi yang paling optimal pada medium CDA adalah 5 hari dengan produktivitas lipid sebesar 33,59 yang mengandung 58,3 asam lemak tak jenuh. Komposisi asam lemak tak jenuh yang dihasilkan pada hari ke-5 adalah 29,2 oleat; 29,1 linoleat dan 0,046 EPA.

Two percent of the 48 million people with disabilities suffer from mental illness, where the biggest cause is the lack of Arachidonic Acid AA , Docosahexaeonic Acid DHA and Eicosapentanoic Acid EPA that play a role in brain development. Single Cell Oil, which utilizes one cell microorganism, can be a solution, such as Aspergillus oryzae, to produce AA, DHA EPA. A. oryzae was cultivated on Potato Dextrose Agar PDA, Czapek Dox Agar CDA and Malt Extract Agar MEA, then the incubation time are 2,4,5,6 and 7 days in optimal medium. Lipid were extracted using ethanol and n hexane. The characterization of lipid was done by gas chromatography GC method. The most optimal medium is CDA with a lipid yield of 21.516. The most optimal incubation time on CDA medium was 5 days with 33.59 lipid productivity containing 58.3 unsaturated fatty acid. The unsaturated fatty acid composition produced on the 5th day was 29.2 oleate 29.1 linoleate and 0.046 EPA."
Depok: Fakultas Teknik Universitas Indonesia, 2017
S67559
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Nurul Aisha
"Pada penelitian ini telah dilakukan sintesis polistirena melalui polimerisasi radikal terkontrol menggunakan metode Atom Transfer Radical Polymerization (ATRP) serta mempelajari pengaruh variasi waktu reaksi, variasi konsentrasi ligan, katalis, dan inisiator terhadap persen konversi, distribusi berat molekul, dan indeks polidispersitas. Variasi kondisi reaksi dilakukan untuk mendapatkan komposisi optimum sintesis polistirena dengan persen konversi tinggi, distribusi berat molekul sempit, dan indeks polidispersitas kecil (≈1). Polistirena telah berhasil disintesis dengan metode ATRP menggunakan ligan PMDETA, katalis CuBr, inisiator EBiB, dan pelarut sikloheksanon. Parameter keberhasilan dilihat dari persen konversi dan berbagai hasil karakterisasi seperti FTIR, GPC, dan DSC. Komposisi optimum sintesis polistirena yaitu pada konsentrasi ligan 4%, katalis 2%, dan inisiator 4% terhadap 100% mol stirena. Persen konversi polistirena pada komposisi optimum mencapai 91,4% dan diperoleh nilai indeks polidispersitas sebesar 1,17, rata-rata berat molekul 3.526 g/mol, dan suhu transisi gelas 72,42°C.

This research has been conducted synthesis of polystyrene through controlled radical polymerization by using Atom Transfer Radical Polymerization (ATRP) method and also studied about the influence of variation of time reactions, variation of ligand, catalyst, and initiator concentrations toward conversion percentage, molecular weight distribution, and polydispersity index. The condition of variation reactions has been done to obtain the optimum composition of reaction thus it got polystyrene with higher conversion percentage, a narrow range of molecular weight distribution, and small index of polydispersity (≈1). Polystyrene has been successfully synthesized by ATRP method using PMDETA as ligand, CuBr as catalyst, EBiB as initiator, and cyclohexanone as solvent. The parameter of successful can be seen from the percentage of conversion and various results of characterization such as FTIR, GPC, and DSC. The optimum composition to synthesis of polystyrene where the concentration of ligand is 4%, catalyst is 2%, and initiator is 4% against 100% mol of styrene. The conversion percentage of polystyrene at the optimum composition reached 91.4% and obtained the result of polydispersity index by 1.17, the average molecular weight is 3.526 g/mol, and the glass transition temperature is 72.42°C.
"
Depok: Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Indonesia, 2015
S59148
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Mohammad Rijal Alaydrus
"Hipertrofi ventrikel kanan (HVKa) pada tetralogy fallot (TF) merupakan suatu respon adaptif akibat dari peningkatan tekanan di ventrikel kanan (VKa) dan hipoksia. HVKa yang berat vektor jantung akan mengarah ke kanan-posterior dapat menyebabkan gelombang S yang dalam di sadapan V6. Sementara itu pasien TF yang lama tidak dikoreksi akan mengalami paparan tekanan berlebih dan sianosis yang lebih lama juga, yang dapat menyebabkan perubahan-perubahan di tingkat seluler kardiomiosit yang pada akhirnya menyebabkan disfungsi VKa, dan sindrom curah jantung rendah (SCJR). Walaupun angka kesintasan pasca operasi baik, tapi perburukan SCJR dapat mengakibatkan kematian. Saat ini belum jelas bagaimana hubungan antara gelombang S di V6 dengan luaran total koreksi TF khususnya kejadian SCJR.
Metode: Penelitian dengan metode potong lintang. Subyek penelitian adalah TF yang menjalani total koreksi selama tahun 2013 sebanyak 150 pasien, 35 diantaranya dikeluarkan dari penelitian karena tidak memenuhi kriteri inklusi. Subyek dibagi menjadi 2 kelompok yaitu kelompok subyek dengan temuan kriteria S di V6 dan subyek yang untuk melihat hubungan temuan kriteria tersebut dengan variabel dasar. Kemudian dilakukan analisis bifariat terhadap kejadian SCJR, variabel dengan nilai p < 0.25 di masukkan dalam analisa multivariat. Nilai p< 0.05 dianggap bermakna.
Hasil: Usia yang lebih muda, saturasi dan hematokrit yang lebih tinggi ditemukan pada kelompok subyek memenuhi kriteria gelombang S di V6. Kemudian, usia yag lebih muda, saturasi yang tinggi, kriteria gelombang R di aVR, kriteria gelombang S di I dan kriteria gelombang S di V6 berhubungan dengan kejadian SCJR. Analisis multivariat kriteria gelombang S di V6 berhubungan dengan kejadian SCJR dengan OR 3.2, interval kepercayaan 95% 1.2 - 8.5 dan nilai p=0.02.
Kesimpulan: Kriteria EKG gelombang S di sadapan V6 untuk diagnosis HVKa berhubungan dengan kejadian SCJR pasca total koreksi pasien TF.

Tetralogy of Fallot (TOF) is a common cyanotic congenital heart disease. Right ventricular hypertrophy (RVH) is an adaptive response due to pressure overload and hypoxia in right ventricle (RV); it can be manifested as tall R wave in right precordial leads. This is due to changing direction of cardiac-vector to right In severe RVH, the cardiac vector rotated to right posterior causing deep S wave in V6. Uncorrected TF will expossed to prolong pressure overload and hypoxia, it can caused changes in cardiomyocite that can leads to RV dysfunction, low cardiac output syndrom (LCOS), and arrhythmias. Although the post operation survival rate was quite good, but worsening LCOS could increase mortality. In present time, the association between S wave in V6 and postoperative TOF outcomes, especially LCOS, has not been explained.
Methods: This is a cross sectional study. 150 TOF patients underwent total correction in 2013 included in this study. 35 patients who didn?t meet the inclusion criteria were excluded. Subjects divided in 2 groups: (1) patients who meets S in V6 criteria, and (2) control subjects as baseline characteristic. Bivariate analysis was done for incidence of LCOS, the variable with P<0.25 included in multivariate analysis. The significant value was p<0.5.
Results: Multivariate analysis showed S wave in V6 correlated with the incidence of LCOS with odds ratio 3.2, CI 95% (1.2-8.5), p=0.02.
Conclusion: The ECG findings S wave in V6 leads to diagnose RVH correlated with incidence of LCOS in post total correction TOF. An S wave criterion in V6 of RVH patients? OR was 3.2 to predicts LCOS.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2014
T58767
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Andreas Kevin
"Pendahuluan. Radikal bebas adalah molekul yang memiliki properti tidak stabil dan sangat reaktif. Tubuh dapat terkena radikal bebas dari sumber eksternal maupun internal. Ketika level radikal bebas di tubuh melebihi kapasitas tubuh untuk
menetralisir radikal bebas, kondisi ini disebut sebagai stress oksidatif. Antioksidan adalah molekul yang bisa memberikan elektron dari atomnya dan menetralisir radikal bebas, Syzygium aromaticum merupakan salah satu sumber antioksidan. Metode. Tes fitokimia dilakukan dengan ekstrak Syzygium aromaticum fraksi ethanol, etil asetat, dan heksana untuk mengetahui senyawa apa saja yang ada dalam
ekstrak Syzygium aromaticum. Untuk mengetahui aktifitas antioksidan Syzygium aromaticum dilakukan Uji DPPH (2,2-diphenyl-1-picrylhydrazyl) yang merupakan senyawa radikal bebas, tes ini bersifat kuantitatif, hasil yang didapat berupa IC50 yang menunjukan konsentrasi antioksidan yang diperlukan untuk menginhibisi 50% dari radikal bebas yang ada. Untuk aktivitas antioksidan In Vivo, tes MDA
dilakukan. Dari 5 grup tikus SD dibandingkan antara sesudah dan sebelum diberikan ekstrak (5 mg/200 gr BB, 10 mg/200 gr BB, and 20 mg/200 gr BB), vitamin C (kontrol positif), dan air (kontrol negatif). Dengan membandingkan level sebelum dan sesudah perlakuan untuk grup yang berbeda, aktifitas antioksidan dapat diketahui. Hasil. Aktifitas antioksidan In Vitro ekstrak Syzygium aromaticum dapat digolongkan sebagain antioksidan kuat karena memiliki IC50 yang kecil yaitu, 7,04 "g/mL . sedangkan aktivitas In Vivo ekstrak Syzygium aromaticum menunjukan penurunan level MDA yang signifikan di dosis 20 mg dengan penurunan 0.361 nmol/mL.
Kesimpulan. Hasil dari penelitian ini membuktikan bahwa Syzygium aromaticum

Introduction. Free radicals are unstable and very reactive. The body can be exposed to free radical from exogenous or endogenous sources. If the level of free radical is higher than the body’s limit to neutralize it, the condition is called oxidative stress. Meanwhile, antioxidants are molecules that can neutralize the free radicals. Syzygium aromaticum is considered as a source of antioxidant.
Methods. Phytochemistry test is done with Syzygium aromaticum extract in ethanol, ethyl acetate, and hexane fraction. To check the radical scavenging
property, DPPH (2,2-diphenyl-1-picrylhydrazyl) test is done. The result of will be IC50 which is the concentration of substance needed to inhibit 50% of the free radical. For In Vivo test, MDA test is done. There will be 5 groups of SD rats which
will have the blood taken before and after given extract of Syzygium aromaticum at different doses (5 mg/200 gr BB, 10 mg/200 gr BB, and 20 mg/200 gr BB), vitamin C (positive control), and water (negative control). By comparing the levels of MDA present in blood in before and after extract supplementation, a conclusion can be drawn. Results. Antioxidant activity of Syzygium aromaticum extract In Vitro can be classified as a strong antioxidant since the IC50 is 7,04 "g/mL. while In Vivo test shows that supplementation of Syzygium aromaticum extract reduce the level of MDA significantly at 20mg dose which cause MDA level to fell by 0,361 nmol/mL.
Conclusion. The result shows that Syzygium aromaticum has antioxidant and radical scavenging activity proven by both In Vivo and In Vitro tests.
"
Depok: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia , 2018
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Astrid Miranti
"Zat yang harus terpenuhi untuk proses perkembangan sel terutama sel otak, adalah asam lemak seperti AA, DHA dan EPA. Kapang dapat menjadi sumber alternatif asam lemak tak jenuh seperti omega 3, omega 6, dan omega 9 khususnya AA, DHA dan EPA. Dalam penelitian ini, akan dilakukan penelitian mengenai variasi kondisi operasi yang sesuai untuk pertumbuhan Aspergillus oryzae dalam produksi asam lemak tak jenuh AA, DHA dan EPA dengan metode Submerged Fermentation menggunakan media sintetis dan ekstrasi bertingkat. Aspergillus oryzae akan dikultivasi pada medium PDA dengan menggunakan sumber karbon pada substrat berupa glukosa dan Ammonium sulfate serta yeast extract sebagai sumber nitrogen. Ekstraksi yang digunakan menggunakan etanol dan n-heksana.
Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa laju agitasi optimum untuk produksi asam lemak tak jenuh dari Aspergillus oryzae adalah 120 RPM dengan yield lipid sebesar 28,28 dan menghasilkan kadar asam lemak tak jenuh sebesar 50,36 . Laju agitasi optimum untuk produksi EPA adalah sebesar 120 RPM dengan komposisi EPA yang didapatkan sebesar 2,42. Serta pH medium optimum untuk produksi asam lemak tak jenuh dari Aspergillus oryzae adalah pH 6 dengan yield lipid sebesar 22,35 dan menghasilkan kadar asam lemak tak jenuh sebesar 45,5. Sedangkan Suhu inkubasi optimum untuk produksi asam lemak tak jenuh dari Aspergillus oryzae adalah 25°C dengan yield lipid sebesar 13,19 dan menghasilkan kadar asam lemak tak jenuh sebesar 62,15 . Jenis asam lemak tak jenuh yang diperoleh dari Aspergillus oryzae adalah oleat, linoleat, linolenat dan EPA.
There are several substances that needs to be fulfill to keep the brain cell growth such as AA, DHA and EPA. Fungi is one of the alternative source of omega 3, omega 6, omega 9 especially AA, DHA and EPA. This research variates operating condition that is suitable for the growth of Aspergillus oryzae in AA, DHA, and EPA fatty acid production with Submerged Fermentation using synthetic medium and layered extraction. Aspergillus oryzae will be cultivated in medium using glucose as carbon source and Ammonium sulfate and yeast extract as nitrogen source. The extraction method using ethanol and n hexane as solvent.
The result shows that optimum agitation rate for unsaturated fatty acid production of Aspergillus oryzae is 120 RPM, lipid yield 28,28 and unsaturated fatty acid content 50,36. Optimum medium pH for PUFA production of Aspergillus oryzae is 6, lipid yield 22,35 and unsaturated fatty acid content 45,5. Optimum incubation temperature for unsaturated fatty acid production of Aspergillus oryzae is 25°C, lipid yield 13,19 and unsaturated fatty acid content 62,15. Unsaturated fatty acids produced from Aspergillus oryzae are oleic, linoleic, linolenic and EPA.
"
Depok: Fakultas Teknik Universitas Indonesia, 2017
S68251
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Ardita Rizky Putri Arcanggi
"Lemak tak jenuh adalah salah satu asupan nutrisi perkembangan otak dan kesehatan tubuh. Akan tetapi, tubuh memiliki keterbatasan dalam mensintesis asam lemak tak jenuh seperti AA EPA. Oleh karena itu, kedua asam lemak ini menjadi esensial bagi tubuh. Selama ini, asam lemak tak jenuh dipenuhi oleh nutrisi dari minyak ikan. Namun, ketersediaan minyak ikan saat ini memiliki keterbatasan, yaitu pencemaran logam berat, penyediaan sumber daya ikan, dan harga komoditas. Oleh karena itu, penelitian ini menggagas upaya pengadaan asam lemak tak jenuh dari mikroorganisme yang mampu mengonversi asam lemak tak jenuh dengan biaya yang murah dan menghasilkan asam lemak tak jenuh dengan persentase yang tinggi.
Penelitian ini menggunakan Aspergillus oryzae dengan medium kultivasi onggok tapioka dan ampas tahu sebagai usaha penekanan biaya produksi. Disamping itu, Penelitian ini memvariasikan komposisi karbon dan menganalisis kurva hubungan konsentrasi karbon terhadap produksi lipid maksimum dari Aspergillus oryzae serta menentukan laju agitasi optimum terhadap produksi lipid dari Aspergillus oryzae. Hasil penelitian menunjukkan perolehan komposisi AA, DHA, EPA optimum berada pada konsentrasi karbon 9 w/w dan laju agitasi 120 RPM, sebesar 0,18 w/w , 0,33 w/w , dan 2,96 w/w.

Unsaturated fatty acids are one of the most nutrient intake for brain development and health. However, the body has limited synthesize unsaturated fatty acids such as AA, DHA, EPA. Therefore, both these fatty acids are essential for the body. During this time, an unsaturated fatty acid filled with nutrients from fish oil. However, the availability of fish oil currently has limitations, namely the heavy metal pollution, provision of fish resources, and commodity prices. Therefore, this study initiated the procurement efforts of unsaturated fatty acids of microorganisms able to convert unsaturated fatty acids with low cost and produce unsaturated fatty acids with a high percentage.
This study will use Aspergillus oryzae with tapioca and tofu waste as production cost reduction efforts. In addition, this study will analyze the varying composition of carbon and carbon concentration curves to the maximum lipid production from Aspergillus oryzae and determine the optimum rate of agitation against lipid production from Aspergillus oryzae. The results shows that the optimum composition of AA, DHA, EPA are 0.18 w w , 0.33 w w , and 2.96 w w in concentration carbon of 9 w w and agitation rate of 120 RPM.
"
Depok: Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Indonesia, 2017
S68371
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>