Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 95186 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Lenny S. Budi
"Penyakit asma adalah suatu penyakit yang sangat kompleks dan terjadi secara kronis, hingga mengundang banyak pendapat, penelitian dan kontroversi. Peranan faktor imunologis pada asma anak, merupakan suatu hal yang penting. Dalam tatalaksana nasien asma, perananan faktor penghindaran terhadap penyebab asma tidak kalah pentingnya. Pada awalnya, TDR dianggap sebagai faktor penyebab yang berdiri sendiri untuk menimbulkan serangan asma akut, tetapi akhir-akhir ini banyak peneliti meragukan hal ini. Penelitian ini merupakan suatu penelitian observasional dengan rancangan laporan seri kasus dilakukan secara prospektif yang bersifat deskriptif terhadap 10 orang pasien asma yang pertama kali berobat di Poliklinik Alergi-Imunologi IKA FKUI/RSCM selama tahun 1997, Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pola paparan TDR di rumah pasien asma sepanjang tahun, dengan melakukan kunjungan rumah selama 1 Januari 1998 sampai dengan 31 Desember 1998. Selama 1 Januari 1997 sampai dengan 31 Desember 1997 didapati 241 orang pasien anak yang pertama kali berobat di Poliklinik Alergi-Imunologi IKA FKUI/RSCM, diantaranya 58 orang pasien asma. Hasil uji kulit negatip terhadap TDR didapati 11 anak (19%) dari 58 pasien asma anak tersebut, sedangkan hasil uji kulit positip didapati pada 47 anak (81%). Rentang nilai jumlah TDR per gram debu rumah berkisar antara 0-340 ekor, sedangkan rentang nilai 100-500 ekor/gram debu rumah menurut kepustakaan hanya menyebabkan hiperreakstivitas bronkus tanpa disertai serangan asma akut. Gambaran grafik skor klinis dan PEFR setiap pasien pada umumnya memperlihatkan bahwa gambaran klinis asma dapat berat atau ringan pada keadaan ada atau tidaknya TDR. Sebaran antara skor klinis dan nilai PEFR dengan jumlah TDR pada diagram baur memperkuat gambaran grafik skor klinis dan nilai PEFR setiap pasien, sehingga pada penelitian ini diduga bahwa untuk menimbulkan serangan asma akut tidak semata-mata hanya disebabkan olch TDR kiranya masih perlu ditambahkan faktor lain selain TDR. Pada penelitian ini, rerata jumlah TDR/gram debu rumah tertinggi (127 ekor/gram debu rumah) di kasur dijumpai pada bulan September sesuai dengan rerata kelembaban relatif tertinggi (70%) dan suhu terendah (28°C) di kamar tidur. Rerata jumlah TDR/gram debu rumah terendah di kasur dijumpai pada bulan Agustus dan Desember (masing-masing 47 dan 26) sesuai dengan rerata kelemaban relatif terendah (masing-masing 54%) dan rerata suhu tertinggi (masing-masing 33°C). Pada penelitian ini tidak dijumpai variasi musim. Selama penelitian ini, rerata jumlah TDR/gram debu rumah setiap bulan di kasur selalu dijumpai lebih banyak daripada di lantai kamar tidur. Pada penelitian ini jenis spesies ditemukan terbanyak baik di kasur maupun di lantai kamar tidur yaitu spesies Dermatophagoides pteronyssinus (masing-masing 72,00% dan 55,41%) dan Glycyphagus destructor (masing-masing 12,70% dan 26,51%), keadaan ini sesuai dengan 2 penelitian sebelumnya di Jakarta, yaitu penelitian yang dilakukan oleh Widiastuti, dan Aulung 2 Pada penelitian ini ditemukan pula spesies Cheyletus erudetus baik di kasur maupun di lantai kamar tidur (masing-masing 5,38 dan 10,21%). Spesies Cheyletus erudetus merupakan pemangsa terhadap TDR lainnya."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 1999
T57311
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Mailani Dwi Hidayati
"Tungau debu rumah (TDR) adalah salah satu sumber alergen yang paling umum. Sensitisasinya dapat menyebabkan asma. Alergen TDR kelompok 1 adalah alergen kuat anggota keluarga protease sistein yang mampu mengaktifkan alergen lain: kelompok 3, 6, dan 9 yang memiliki aktivitas protease serin. Aktivitas proteolitik terlibat dalam etiologi asma melalui meningkatkan permeabilitas sel epitel saluran napas yang memungkinkan alergen tersebut bersama alergen lain melewati sel epitel dengan memotong protein antar sel. Tubuh manusia memiliki inhibitor protease seperti alpha-1 antitripsin (AAT) merupakan antiprotease serin dan sistatin C merupakan antiprotease sistein. AAT diketahui juga merupakan protein fase aktif positif yang terlibat dalam mekanisme resolusi inflamasi. Sistatin C secara signifikan berhubungan dengan beberapa marker inflamasi seperti protein C-reaktif, IL-6, dan TNF-α. Penelitian kami bertujuan mengetahui keadaan AAT dan sistatin C serum pasien asma TDR. Sebuah studi potong lintang dari 10 pasien asma TDR dan 10 subjek sehat dilakukan. Aktivitas penghambatan AAT dan sistatin C serum diukur dengan uji enzimatik. Konsentrasi AAT dan sistatin C serum diukur dengan metode ELISA. Tidak ada perbedaan signifikan pada aktivitas penghambatan AAT serum (p=0,445, p>0,05), konsentrasi AAT (p=0,290, p>0,05), dan konsentrasi sistatin C (p=0,290, p>0,05). Aktivitas penghambatan sistatin C serum pada pasien asma secara signifikan lebih tinggi daripada subjek sehat (p=0,001, p<0,05). Tidak ada korelasi antara aktivitas penghambatan AAT dan konsentrasi AAT atau korelasi antara aktivitas penghambatan sistatin C dan konsentrasi sistatin C yang diamati. Aktivitas sistatin C pada asma TDR signifikan lebih tinggi daripada subjek sehat. Sedangkan, aktivitas AAT, konsentrasi AAT, dan sistatin C pada pasien asma TDR tinggi tidak signifikan daripada subjek sehat.

House dust mite (HDM) is one of the most common sources of allergen. Its sensitization can lead to asthma. The group 1 mite allergens are potent allergens belonging to the papain-like cysteine protease family. Moreover, the group 1 mite allergens were able to activate others like groups 3, group 6, and group 9 that have serine protease activity. The proteolytic activity involves the etiology of asthma by increasing the permeability of the airway epithelial cell and allowing themselves and other allergens to pass through the epithelial cells by cleaving the cell surface molecules. The human body has natural inhibitor protease like alpha-1 antitrypsin (AAT) which has anti-serine protease and cystatin C which has anti-cysteine protease. AAT is known as an acute phase protein that is involved in the inflammation resolution mechanism. Cystatin C was significantly correlated with several inflammatory markers such as C-reactive protein, IL-6, and TNF-α. Our study aimed to investigate the behavior of serum alpha-1 antitrypsin and cystatin C in patients with house dust mite asthma. A cross-sectional study of 10 patients with HDM allergic asthma and 10 healthy subjects were carried out. Serum AAT and cystatin C inhibitory activity were measured with enzymatic assays. While serum AAT and cystatin C concentration were determined by ELISA method. No significant differences in serum AAT inhibitory activity (p=0.445, p>0.05), serum AAT concentration (p=0.290, p>0.05), and cystatin C concentration (p=0.290, p>0.05). Serum cystatin C inhibitory activity in asthmatic patients was significantly higher than healthy subject (p=0.001, p<0.05). Neither correlation between the AAT inhibitory activity and the AAT concentration or correlation between cystatin C inhibitory activity and cystatin C concentration was observed. In conclusion, the activity of cystatin C in dust mite asthma is significantly higher than in healthy subjects. Whereas the activity of AAT, concentration of AAT, and cystatin C in dust mite asthma patients are insignificantly higher than in healthy subjects."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2022
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Jean Budi Pratista Devi
"ABSTRAK
Salah satu cara mengendalikan Tungau Debu Rumah (TDR) diperlukan
perilaku bersih masyarakat terutama kebersihan debu rumah. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui hubungan perilaku membersihkan rumah pada masyarakat terhadap keberadaan TDR.Disain penelitian ini, yaitu cross-sectional analitik. Penelitian ini dilakukan pada masyarakat perkotaan di Pamulang (Tangerang Selatan) dan Pasar Rebo (Jakarta Timur) selama Oktober 2013- Juni 2014. Sebanyak 96 rumah responden yang terdiri dari 52 di Pamulang dan 44 Pasar Rebo dipilih secara random. Dari 96 debu rumah yang diperiksa dengan metode langsung di bawah mikroskop ditemukan spesies TDR, yaitu Dermatophagoides pteronyssinus (60,4%), D. farinae (4,2 %), dan Glysiphagus destructor (20,8%). Perilaku responden, yaitu membersihkan tempat tidur dan rumah 1 x sehari (40,6%) lebih sedikit dibandingkan 2 x sehari (59,4%). Responden dengan perilaku bersih 1 x sehari ditemukan frekuensi TDR lebih sedikit dibandingkan 2 x sehari dengan nilai OR=2,09 (95% CI 2,15 sampai 4,18). Penelitian ini memperlihatkan bahwa dengan perilaku bersih dari masyarakat"
"perkotaan mengurangi keberadaan TDR di dalam debu rumah."

ABSTRACT
One of methods to controlling House Dust Mites (HDM) is pattern behavior people to keep clean especially keep the house from dust. This research aims to determine the patterns of behavior in the public house cleaning affect the existence population HDM found in the house of the population. This study used design analytic cross-sectional. This research was done to citizen in the Pamulang and Pasar Rebo ( East Jakarta) from October 2013 until June 2014. 96 homes respondents consisted of 52 respondents Pamulang and 44 respondents East Jakarta by random sampling. From 96 house dust which investigated directly methods to see and find species HDM used microscope, those are Dermatophagoides pteronyssinus (60,4%), D. farinae (4,2 %), and Glysiphagus destructor (20,8%). Respondents?s behavior, cleaning their bedroom and house 1 x a day (40,6%) fewer just than 2 x a day (59,4%). Respondents with behavior of clean 1 x / day, TDR frequency?s discovered fewer just than 2 x/ day with value OR=2,09 (95% CI 2,15 until 4,18). This study to show that pattern people?s behavior to keep clean which can decrease or reduces population of HDM in dust home"
2015
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
"Penelitian ini bertujuan untuk membandingkan kepadatan dan keragaman jenis tungau debu rumah (TDR) yang didapatkan dengan teknik isolasi dan teknik flotasi. Sampel debu dikumpulkan dengan penyedot debu 10 rumah di Perumahan BTN Pamulang, Tangerang. Selanjutnya sampel debu dibawa ke Bagian Parasitologi Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia untuk pemeriksaan. Tungau yang didapat diidentifikasi berdasarkan kunci determinasi Krantz (1978) dan Mc Daniel (1979). Disimpulkan bahwa teknik flotasi lebih baik dari pada teknik flotasi lebih baik daripada teknik isolasi. "
MPARIN 9 (1-2) 1996
Artikel Jurnal  Universitas Indonesia Library
cover
Fitriahati Setiyarizki
"Tungau Debu Rumah (TDR) merupakan aeroalergen utama yang dapat memicu reaksi alergi pada penyakit atopi seperti dermatitis atopi, asma, dan rhinitis alergi. TDR dapat ditemukan di berbagai tempat bersarang baik alami maupun nonalami di dalam rumah. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui hubungan bahan alami dan nonalami terhadap keberadaan TDR. Dengan menggunakan desain cross-sectional, penelitian ini dilakukan di Pasar Rebo (Jakarta Timur) dan Pamulang (Tangerang Selatan) pada November 2013 sampai Februari 2014. Data demografi penduduk diperoleh melalui kuesioner. Sampel debu rumah diambil dari bahan alami, yaitu kapuk dan nonalami, yaitu karpet, kasur busa, sofa, dan spring bed. Deteksi spesies TDR pada debu tersebut dilakukan dengan teknik langsung menggunakan mikroskop. Dari hasil penelitian didapatkan 207 sampel debu rumah dari 96 responden (Pasar Rebo = 44 Sampel dan Pamulang = 52 sampel). Spesies TDR yang ditemukan di Pasar Rebo adalah Dermatophagoides pteronyssinus (Dp) dan Glyciphagus destructor (Gd), sedangkan spesies TDR yang ditemukan di Pamulang adalah Dp, D.ferinae (Df), dan Gd. Dp merupakan spesies dominan pada bahan alami dan nonalami. Secara statistik, terdapat hubungan bermakna antara jenis bahan dengan keberadaan TDR (p<0,05). Bahan alami berisiko lebih tinggi dibandingkan nonalami (OR = 1,99, 95% CI 1,06-3,72). Dapat disimpulkan bahwa keberadaan spesies TDR berhubungan dengan jenis bahan bersarang yang terdapat di dalam rumah.
House Dust Mites (HDM) is the main aeroalergen that can induced allergic reaction at atopic diseases such as dermatitis atopic, asthma, and rhinitis allergy. HDM was found in both nature and non-nature materials on stuffs around living house. The aim of this research was to know association between nature and non-nature materials with HDM. Cross sectional method was used in this research. Primary data was collected in Pasar Rebo (North Jakarta) and Pamulang (South Tangerang) for four months, from November 2013 until February 2014. Demographic profile was collected by filling the questionnaire. House dust was collected from both nature, as kapok matress, and non-nature materials, such as carpet, foam mattress, sofa, and spring bed. HDM was detected by direct examination on microscope. This research includes 207 house dust samples from 96 houses in Pasar Rebo, 44 samples, and Pamulang, 52 samples. Data from statistic show that in Pasar rebo, Dermatophagoides pteronyssinus (Dp) and Glyciphagus destructor (Gd) were found as varies HDM species meanwhile in Pamulang, Dp, D.ferinae (Df), and Gd were found. From both places, Dp was mostly found in nature and non-nature materials. Statistically, there was significance association between any materials and house dust mites (p<0,05). Nature material had a higher risk than non-nature materials to found HDM (OR = 1,99, 95% CI 1,06-3,72). Asconclussion, materials used living house associated with population of HDM."
Depok: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2014
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Widiastuti
"Latar Belakang
Debu banyak dijumpai di mana-mana termasuk di dalam atau di luar rumah, ditemukan terutama pads musim panas Debu terdiri dari partikel detrimen yang berasal dari rambut, daki, bulu binatang, sisa makanan serbuk sari, serpihan kulit manusia, bakteri, jamur, virus, serangga kecil dan lain-lain (Voorhorst dkk, 1969). Debu rumah merupakan komponen alergen inhalan yang panting, karena berperan sebagai pencetus timbulnya asma alergi yang telah dikenal sejak satu abad yang lalu (Voorhoret dkk, 1969).
Dalam debu rumah terdapat Tungau Debu Rumah (TDR) yang banyak ditemukan pada rumah yang lembab, kasur kapuk,bantal, guling, serta perabot rumah yang lain. Sumber debu dengan jumlah TDR terbanyak adalah debu kamar tidur terutama debu di kasur (Voorhorst dkk,1969). Aulung dkk {1989) melaporkan bahwa sejumlah 226 dari 429 TDR terdapat pada kasur anak dan dikumpulkan dari seluruh ruang tidur yang terdiri dari kasur, lantai, dinding dan lubang angin, menempati urutan teratas dalam jumlah. Sundaru dkk (1993) melaporkan bahwa pada pengumpulan berbagai jenis tungau dari 3 macam kasur yang diteliti (masing-masing 20 kasur) secara sangat bermakna (p < 0,01) kasur kapuk mengandung populasi TDR jenis D. pteronyss inns dan I). farinae yang paling besar
jika dibandingkan dengan kasur pegas dan kasur busa. Manan dkk {1993) melaporkan bahwa dari masing-masing 10 kasur penderita asma yang diperiksa, kasur kapuk dihuni oleh 359 TDR terbukti sangat berbeda bermakna (p <0,05) jika dibandingkan dengan kasur busa yang dihuni oleh spesies TDR yang lama.
Peranan TDR terhadap asma bronkial secara epidemiologis telah diteliti oleh Dowse dkk (1985). Pada penelitian tersebut terbukti bahwa adanya perubahan pola hidup penduduk setempat dari cara hidup yang sangat bersahaja menjadi moderen antara lain menggunakan selimut tebal, dapat meningkatkan prevalensi penderita asma sebesar 3,3%. Selain itu TDR berperan penting terhadap berbagai penyakit alergi antara lain rinitis dan dermatitis atopik (Carswel, 1988). Pada survei awal di tahun 1994 terhadap penderita asma yang berobat di Runah Sakit Cipto Mangunkusumo ternyata 85,7% penderita menggunakan kasur kapuk sebagai alas tidur dan pad penelitian pendahuluan yang dilakukan di perumahan STN, 90% menggunakan kasur kapuk sebagai alas tidur.
"
1996
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Heru Sundaru
"Asma bagi sebagian besar negara di dunia sudah menjadi masalah. Peningkatan prevalensi, morbiditas, mortalitas, menurunnya kualitas hidup merupakan contoh yang perlu mendapat perhatian. Upaya penanggulangan penyakit tersebut, terbentur kepada belum diketahuinya penyebab asma, sehingga penelitian umumnya ditujukan kepada faktor risiko asma dengan harapan suatu hari diketemukan penyebab yang pasti. Dua faktor utama yang mempengaruhi asma yaitu faktor genetik dan faktor lingkungan. Faktor genetik tidak dapat menerangkan terjadinya peningkatan prevalensi asma. Hal ini terbukti dari penelitian-penelitian pada ras yang sama, tetapi tinggal di berbagai negara atau wilayah mempunyai prevalensi asma yang berbeda- beda. Oleh karena itu penelitian terutama ditujukan kepada faktor lingkungan. Faktor genetik seperti terwakili dalam riwayat asma dalam keluarga, penyakit atopi yang khususnya rinitis alergik yang menyertai asma punya peranan dalam terjadinya serta prevalnsi asma. Dari faktor lingkungan, kadar alergen tungau debu rumah (TDR), sensitisasi alergen, urutan kelahiran anak serta polusi udara dilaporkan berkaitan dengan prevalensi dan berat asma.
Daerah urban sering dilaporkan mempunyai prevalensi asma yang Iebih tinggi dibandingkan daerah rural. Jakarta yang dapat dikatakan mewakili daerah urban dilaporkan mempunyai polusi udara dan frekuensi sensitisasi alergen yang tinggi dibanding dengan Subang suatu wilayah perkebunan dan pertanian dianggap sebagai daerah rural mempunyai udara yang relatif bersih. Sampai sejauh ini belum ada penelitian asma yang mencari faktor risiko terjadinya asma yang membandingkan daerah urban dan rural di Indonesia. Data ini penting untuk upaya pencegahan baik terjadinya asma maupun serangan asma.
PENETAPAN MASALAH
Dari latar belakang di atas timbul pertanyaan apakah ada perbedaan prevalensi dan berat asma antara urban dan rural, jika ada apakah disebabkan oleh riwayat asma dalam keluarga, penyakit atopi yang menyertai, kadar alergen TDR, sensitisasi alergen, urutan kelahiran, dan polusi udara.
METODOLOGI PENELITIAN
Disain dan analisis penelitian
Potong Iintang, sedangkan analisis yang menyangkut prevalensi menggunakan analisis univariat, untuk membandingkan faktor risiko digunakan analisis bivariat atau analisis kasus kontrol. Analisis multivariat digunakan untuk menghilangkan faktor-faktor pengganggu. Diharapkan penelitian ini menghasilkan model prediksi terjadinya penyakit asma.
Populasi dan sampel penelitian
Siswa Sekolah Lanjutan Tingkat Pertama (SLTP) berusia 13-14 tahun yang memenuhi kriteria penerimaan dan penolakan.
Tempat dan waktu penelitian
SLTP terpilih di wilayah Jakarta Pusat dan Kabupaten Subang, dari Maret 2003 sampai Oktober 2004.
Cara kerja
Semua siswa dari SLTP terpilih, mengisi kuesioner ISAAC (lnternational Study of Asthma and Allergy in Chifdren) yang berisi gejala asma, riwayat asma dalam keluarga, penyakit atopi yang menyertai. Sebagian siswa yang terpilih secara random dan kontrol dilakukan uji kulit terhadap 6 macam alergen dan kontrol positif serta negatif. Sampel debu dari atas kasur diambil untuk pengukuran kadar alergen TDR. Polusi udara diukur di Jakarta Pusat dan di Kalijati serta Lapangan Bintang Subang.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Karakteristik kasus
Dari 131 SLTP di Jakarta Pusat, terpilih secara random 19 SLTP yang diikutkan dalam penelitian ini, sedangkan di Subang 12 SLTP dari 72 SLTP. Di Jakarta didapatkan 3840 responden dengan response rate 97,5% dan 3019 responden di Kabupaten Subang dengan response rate 98%. Dari seluruh responden di Jakarta 1751 (45,6%) berjenis kelamin Iaki-laki dan 2089 (54,4%) perempuan, sedangkan di Subang dari total responden 1476 (48,9%) berjenis kelamin laki-Iaki dan 1543 (51,1%) perempuan.
Di Jakarta didapatkan 2601 responden masuk kriteria kontrol dan 480 masuk kriteria asma (mengi 12 bulan terakhir, mengi, olah raga dan batuk malam). Di Subang didapatkan 1094 responden masuk kriteria kontrol dan 737 kriteria asma.
Pada pengukuran kadar alergen TDR di Jakarta terpilih secara random untuk kontrol 164 responden dan kasus 165 responden, di Subang kontrol terpilih secara random 138 dan kasus 168 responden. Uji tusuk kulit pada responden secara random di Jakarta pada 274 kontrol dan 253 kasus dan di Subang 247 kontrol dan kasus 269 orang.
Prevalensi asma
Prevalensi asma 12 bulan terakhir yang merupakan kombinasi gejala mengi, mengi setelah olah raga dan batuk malam 12 bulan terakhir didapatkan 12,5% (480 kasus) di Jakarta dan 24,4% (737 kasus) di Subang, terdapat perbedaan yang bermakna p 0,000 OR 2,26 (IK 95%, 1,49-2,57). Dengan demikian pada penelitian ini prevalensi asma di daerah rural lebih tinggi dari daerah urban.
Prevalensi mengi 12 bulan di Jakarta 7,5% (288 kasus) dan di Subang 9,6% (290 kasus), berbeda bem1akna p 0,001 OR (odds rasio) 1,10 (IK 95% 1,10;1,50). Didapatkan prevalensi batuk malam yang tinggi di Subang, Pada analisis batuk malam menggunakan diagram Venn diperoleh kasus batuk malam saja tanpa disertai mengi sebanyak 190 kasus (4.95%) di Jakarta dan 442 kasus (14,6%) di Subang. Karakteristik batuk malam di Jakarta lebih atopi ( p 0,000 OR 8,81 IK 95% 4,12;19,7) dibanding Subang (p 0,043 OR 1,53 IK 95% 0,99;2,31). Data ini menunjukkan bahwa batuk malam di Jakarta lebih mungkin berkembang menjadi asma, sedangkan di Subang batuk malam Iebih mungkin karena iritasi.
Pengukuran kadar polusi udara di Subang ternyata mempunyai kadar SO; (111,76-114,08 pg/ma) dibanding Jakarta 30,75 pglm3. Dilaporkan kadar S02 yang tinggi menyebabkan mengi dan batuk. Beberapa Iaporan menunjukkan intervensi terhadap tingginya kadar SO2 sampai mendekati normal menyebabkan prevalensi mengi dan batuk menurun secara bermakna. Tingginya prevalensi mengi di Subang berasal dari S02 yang dihasilkan gunung berapi yang masih aktif (Gunung Tangkuban Perahu).
Prevalensi mengi 12 bulan terakhir
Prevalensi mengi 12 bulan terakhir di Subang 9,6% Iebih tinggi dari akarta 7,5% (p 0,001). Perbedaan prevalensi karena Subang mempunyai kadar S02 yang tinggi sehingga menimbulkan mengi dan batuk. Tingginya prevalensi asma di Subang tidak didukung oleh riwayat asma dalam keluarga (Jakarta 30,9%, Subang 28,9% dan p 0,611), penyakit atopi yang menyertai (Jakarta rinitis 50%, Subang 40%), kadar alergen Grup I (Jakarta 2,08 pglg debu, Subang 1,24 pg/g debu dan p 0,013), sementara sensitisasi alergen (Jakarta 79,23%, Subang 55,83% dan p 0,000), urutan kelahiran anak tidak berbeda bermakna (Jakarta OR 0.70, p.0.191, Subang OR 0.86, p. 0.625). Satu-satunya perbedaan yang mendukung tingginya prevalensi mengi 12 bulan di Subang adalah tingginya kadar SO2.
Berbagai faktor risiko di Jakarta yang masuk analisis multivariat seperti riwayat asma dalam keluarga (p 0,000), sensitisasi alergik D pteronyssinus (p 0,000) D.farinae (p 0,000), kecoak (p 0,000) dan Qalbicans (p 0,0429) dan urutan kelahiran anak 3 sampai dengan 4 (p 0,09), tetapi setelah analisis multivariat yang bermakna berhubungan dengan asma adalah (model prediksi 1.2), ayah OR 11,73 (IK 95% 3,76;36,62; p 0,000), ibu OR 16.10 (IK 95% _5,44;47,60; p 0,000), ayahdan ibu OR 8,06 (IK 95% 0,85;76,46; p 0,069), D.pteronyssinus OR 14,35 (IK 95% 8,79;23,43; p 0,000), urutan kelahiran anak makin tinggi, makin besar daya proteksi. Urutan kelahiran anak 3 sampai dengan 4 OR 0,70 (IK 95% 0,41;1,20; p 0,191) dan Iebih dari 4 OR 0,51(IK 95% 0,22 ; 1,20) (p 0,123).
Sensitisasi alergen D.p1?eronyssinus dan D. farinae kolinier sehingga dimasukkan analisis Salah satu. Population Atributable Risk (PAR) D.pteronyssinus di Jakarta 71,9%. Di Subang hasil analisis multivariat faktor risiko yang ada (model prediksi 2_2) menunjukkan ayah OR 15,04 (IK 95% 4,87-46,39; p 0,000), ibu OR 18,12 (IK 95% 4,98;66,00; p 0,000), D.pteronyssinus OR 2,36 (IK 95% 1,43;3,91; p 0,001), C.albicans OR 15.00 (IK 95% 1,69;1,33). Urutan kelahiran anak 3 sampai dengan 4 OR 0,86 (IK 95% 0,46;1,59; p 0,625) dan Iebih dari 4 OR 0,50 (IK 95% 0,13;1,88; p 0,306). Jumlah saudara kandung kolinier dengan urutan kelahiran anak. PAR untuk D.pteronyssinus di Subang 28,2%, Calbicans meskipun mempunyai OR 15,00 tetapi secara klinis kurang penting, dan nilai PARnya hanya 5,4%.
Model prediksi, skoring dan titik potong
Dari analisis multivariat, juga menghasilkan nilai prediksi bentuk terjadinya asma. Nilai prediksi tersebut diperuntukkan bagi masyarakat, dokter maupun peneliti. Bagi masyarakat (model prediksi 1.1 di Jakarta atau 2.1 di Subang) hanya membutuhkan data adanya riwayat asma dalam keluarga, serta urutan kelahiran anak. Bagi dokter (model 1.2 di Jakarta dan 2.2 di Subang) ditambahkan data hasil uji tusuk kulit, terutama alergen TDR), sedangkan bagi peneliti selain data di atas perlu tambahan kadar TDR (model 1.3 di Jakarta dan 2.3 di Subang). Dalam diskusi ini Jakarta diambil sebagai model (1.2 dan 1.3).
Dari hasil analisis Receiver Operator Curve (ROC) antara model prediksi secara matematis dengan skoring ternyata menunjukkan hasil yang tidak berbeda yang dapat dilihat dari 95% IK yang saling bersinggungan dengan kata Iain memprediksi terjadinya asma dengan menggunakan skoring sama baiknya dengan menggunakan model prediksi. Titik potong (cutoff) untuk menentukan batas sensitivitas dan spesitisitas yang terbaik. Model 1.2 skor total 83, titik potong 2 20, sensitivitas 84,6%, spesitisitas 76,01% dan akurasi 79,5%. Model 1.3 skor total 130, titik potong 2 40, sensitivitas 82,96%, spesitisitas 71,34%, prediksi 36,68% dan akurasi 76,59%.
Berat asma
Pada penelitian ini secara statistik derajat berat asma di Jakarta Iebih berat dari pada di Subang, baik untuk frekuensi mengi 12 bulan terakhir (p 0,000) OR 2,87 (IK 95% 1,55;5,33), bangun malam akibat mengi (p 0,000) OR 2,92 (IK 95% 1,71-4.01), mengi serangan hebat dalam 12 bulan terakhir (p 0,000) OR 2,18 (IK 95% 1,46-2,47).
Baik di Jakarta maupun di Subang riwayat asma dalam keluarga tidak mempengaruhi berat asma (p > 0,427) demikian pula dengan penyakit atopi yang menyertai (p > 0,171). Kadar alergen TDR di Jakarta tidak berhubungan dengan derajat berat asma (p > 1,01), begitu pula di Subang (p > 0,250).
Sensitisasi alergen Dfarinae mempunyai kecenderungan berhubungan dengan serangan asma berat di Jakarta (p 0,071), sedangkan di Subang sensitisasi Dpteronyssinus mempunyai hubungan dengan serangan asma berat (p 0,034) dan sensitisasi alergen Dfarinae berhubungan dengan frekuensi tidur ternganggu > 1 malamlminggu (p 0,035) dan serangan asma berat (p 0,004).
Urutan kelahiran anak baik di Jakarta (p > 0,229) maupun di Subang (p > O,349) tidak berhubungan dengan derajat asma.
Kadar emisi kendaraan bermotor NO2, CO, O3 3 sampai 4 kali Iebih tinggi di Jakarta yang umumnya telah mendekati, bahkan kadang-kadang Iebih tinggi dan ambang batas merupakan iritan bagi peserta asma, sehingga memperberat gejala asma yang sudah ada.
KESIMPULAN
- Prevalensi asma baik menurut kriteria kombinasi tiga gejala asma maupun menurut kriteria mengi 12 bulan ternyata Iebih tinggi di Subang (rural) dibanding Jakarta (Urban). Tingginya prevalensi ini berkaitan dengan tingginya kadar SO2, faktor risiko yang Iain seperti riwayat asma datam keluarga, penyakit atopi yang menyertai, kadar alergen TDR, sensitisasi alergen maupun urutan kelahiran anak tidak mendukung tingginya prvalensi asma, sehingga hipotesis ditolak.
- Derajat berat asma berhubungan dengansensitisasi alergen TDR dan kuat dugaan dengan polusi udara dari kendaraan bermotor.
- Dari faktor risiko yang dapat di intervensi sensitivitas alergen TDR merupakan risiko yang penting, terutama di Jakarta karena memberikan nilai PAR 71 ,9%.
- Telah dikembangkan sistem untuk memprediksi terjadinya asma baik untuk masyarakat, dokter maupun peneliti di bidang penyakit asma.
- Riwayat asma dalam keluarga dan sensitisasi alergen TDR berperan dalam terjadinya asma.
SARAN
- Untuk mengurangi terjadinya asma disarankan untuk menghindari perkawinan sesama penderita asma, menghindari alergen TDR sehingga diharapkan dapat mengurangi sensitisasi alergen.
- Perlu kebijakan mengurangi polusi udara dart emisi kendaraan bermotor terutama di Jakarta.
- Penelitian lanjutan mengenai sistem skor pada terjadinya asma di berbagai daerah.
- Pengukuran prevalensi asma dengan menggunakan kuesioner ISAAC pada daerah yang mempunyai kadar SO2 yang tinggi, interprestasinya harus hati-hati.
- Perlu penelitian lanjutan bagi penduduk yang tinggal di sekitar gunung berapi yang masih aktif."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2005
D712
UI - Disertasi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Mira Winarta
"ABSTRAK
Scope and Research method : In order to find out the prevalence rate of respiratory obstruction due to exposure to jute's dust and other risk factors, such as work place, age group, length of work, smoking habit, usage of personal protection device, clinical symptom and allergy history, a cross sectional study regarding the influence of jute's dust on lung function among jute factory worker has been done in Tangerang. Total sample of respondent for this study is 135 workers, who are working in 4 working unit in the factory. There are 4 methods of data collection used in this study. First, interview by using Pneumomobile Project Indonesia questioner. Second, physical examination to all employees especially related to respiratory disorder. Third, measurement of lung function using spirometer. Fourth, examination of jute's dust at work place used low volume dust sampler.
Result and Conclusion: This study find out the concentration of total jute's dust in high exposure working place is 13,3mg/m3, while in low exposure working place is 1,5 mg/m3. Result of statistic soon significant different (p<0,05). The study also finds out that the prevalence rate of chronic respiratory obstruction among the workers who work in high concentration dust environment is 25,9% and with low exposure is 2,8%. Statistically it is significantly different (p<0,05). There are a significant relationship between occurrence of chronic respiratory obstruction disease and dust concentration, while there are no relationship with age group, length of work, education level, height of body, smoking habit, use of personal protection device, previous clinical symptom and allergy history. The prevalence rate of acute respiratory obstruction among the workers who work in high concentration dust environment is 11,1%, while in low concentration dust environment is 3,7%. Statistically has not significantly different (p0,05). There are no relationship between acute respiratory obstruction disease and work place, age group, length of work, educational level, height of body, smoking habit, use of personal protection device, previous clinical symptom and allergic history. Analysis of smoking habit as risk factor and its relationship with obstruction can't be done since the prevalence rate of smoking habit among the workers is low (1,5%).
"
1997
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Siagian, Fresby H
Depok: Fakultas Teknik Universitas Indonesia, 1994
S36358
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Budhy Djayanto
"ABSTRAK
Asma telah dikenal sejak zaman Hipocrates (abad ke- 4-5 . SM). Pada saat itu sampai ditemukannya IgE sekitar 20 tahun yang lalu diagnosis asma terutama didasarkan pada timbulnya gejala klinis misalnya sesak dan mengi. Dengan berkembangnya ilmu pengetahuan dan teknologi, terutama di bidang kedokteran, beberapa hal yang belum diketahui tentang timbulnya asma dan timbulnya serangan asma mulai tersingkap; antara lain aspek fisiologis, aspek patologis, aspek imunologis dan aspek psikologis (Wirjodiardjo, 1990).
Asma merupakan penyakit kronik yang tersering dijumpai pada anak. Penyakit asma dapat mudah dikenal bila ditemukan gejala yang berat misalnya serangan batuk dengan mengi setelah latihan berat atau timbul waktu udara dingin. Kadang-kadang dapat juga ditemukan gejala yang ringan seperti batuk kronik dan berulang tanpa mengi yang dapat menyulitkan dokter, pasien atau keluarga pasien. Gambaran klinik dan perjalanan penyakit asma berbeda pada bayi, anak kecil dan anak yang lebih besar sesuai pertambahan usia (Rahajoe H. H., 1983).
Asma dapat mempengaruhi tumbuh kembang seorang anak. Asma yang merupakan penyakit kronik juga dapat memberikan masalah biologis, psikologis dan sosial pada penderita maupun keluarganya bila tidak ditanggulangi secara komprehensif antara penderita; orangtua; saudara kandung; dokter dan guru pada anak yang sudah sekolah (Steinhauer, 1974; Sudjarwo dan Suiaryo, 1990).
Dampak negatif asma yang utama pada anak sekolah adalah terganggunya pelajaran di sekolah. Di Amerika Serikat, sepertiga dari waktu absen di sekolah disebabkan oleh asma (Godfrey, 1983 b). Besar kecilnya angka absensi ini akan menjadi salah satu faktor yang menentukan intensitas gangguan terhadap tumbuh kembangnya dikemudian hari. Asma dapat timbul pada setiap umur, tetapi biasanya jarang timbul pada bulan-bulan pertama kehidupan. Delapan puluh persen asma pada anak mulai timbul pada usia di bawah 5 tahun (Blair,1977; Godfrey, - 1983 b).
Asma sangat erat hubungannya dengan hiperreaktivitas saluran nafas, hal ini dikemukakan oleh Boushey dkk (1980), Rahajoe dkk (1988), Gerritsen (1989) dan Pattemore dkk (1990).
Faktor alergi berperan pada asma anak. Sekitar 2/3 dari seluruh anak dengan asma mempunyai dasar alergi (Carlsen dkk, 1984). Bahkan menurut HcNicol dan Williams (1973), jika semua anak dengan asma diteliti sepanjang usianya; maka akan didapat bukti adanya faktor alergi yang berperan. Faktor alergi pada asma menyebabkan berbagai reaksi immunologik dengan hasil akhir berupa gejala asma. Keadaan atopi lebih banyak dijumpai pada penderita asma dan keluarganya dibanding kelompok kontrol (tidak asma). Asma juga lebih sering ditemukan pada keluarga penderita asma dibanding kelompok kontrol (Si.bbald dkk, 1980; Zimmerman dkk, 1988)"
1991
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>