Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 82584 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Budi Yuli Setianto
"Latar belakang. Fibrillasi atrium (AF) merupakan jenis aritmia yang paling sering dijumpai terutama pada penderita stenosis mitral (MS). Atrium kanan mempunyai karakteristik anatomis tertentu yang menyebabkan halangan elektrofisiologis alamiah yang memungkinkan terjadinya sirkit reentry, schingga memudahkan timbulnya aritmia seperti halnya flutter atrium. Tujuan penclitian ini adalah untuk mengetahui apakah dimensi atrium kanan mempunyai peran yang lebih besar dan merupakan faktor risiko independen terhadap timbulnya AF pada penderita stenosis mitral dibanding dengan faktor lain. Metode dan hasil. Dilakukan penelitian secara potong lintang prospektif dengan menggunakan data base terhadap 42 penderita MS dominan yang dilakukan kateterisasi jantung dan/ valvuloplasti dengan balon (PTMC) antara bulan Juli s'd Descmber 1998 (selama 6 bulan). Tiga puluh penderita dimasukan dalam penelitian. Rasio laki-laki/ perempuan adalah 11/19, rerata umur 34,07 ± 11,58 tahun dengan rentang umur 16-64 tahun. Prosentase penderita AF sebanyak 46,7%. Penderita AF mempunyai umur yang lebih tua secara bermakna dibanding dengan penderita irama sinus (SR) (38,71 ±12,57 tahun vs 30,00 ± 9,18 tahun, p= 0,016). Kelas fungsional penderita AF lebih buruk secara bermakna dibanding kelompok SR (2,36 ± 0,50 vs 1,69 ± 0,60; p= 0,003). Fraksi ejeksi kelompok AF lebih rendah secara bermakna dibanding kelompok SR (54,12 + 10,71 % vs 68,69 t 6,50 %; p- 0,015). Kelompok AF mempunyai Cardio thoraccic ratio (CTR) lebih besar secara bermakna dibanding kelompok SR (62,64 ± 7,53 % vs 54,79 ± 5,32 %; p- 0,006). Area katup mitral dan gradien transmitral tidak berbeda bermakna di antara kedua kelompok. Sedang diameter akhir sistolik, diameter antero-posterior atrium kiri, luas permukaan atrium kanan, diameter medio-lateral atrium kanan, diameter supero inferior atrium kanan, dan volume atrium kanan lebih besar secara bermakna pada kelompok AF dibanding kelompok SR, (berurut-turut 3,264 ± 0,531 cm vs 2,649 ± 0,559 cm; p 0,005, 5,148 ± 1,025 cm vs 4,22 ±0,668 cm; p= 0,006, 3,997 ±0,927 cm vs 2,919 t0,785 cm; p- 0,000, 5,867 ± 0,666 cm vs 4,446 ± 0,738 cm; p= 0,002, 31,072±8,583 cm vs 17,488 ± 5,646 cm; p= 0,000, 52,435 ± 29,647 cm' vs 21,609 ± 11,517 cm'; p=0,001). Demikian pula tidak ada perbedaan bermakna dalam variabel hemodinanik di antara kedua kelompok AF dan SR. Dengan analisis multivariat menggunakan analisis regresi logistik menunjukkan hanya luas permukaan atrium kanan yang berperan terhadap timbulnya AF. (p 0,0079; kocfisien regresi 0,407, OR= 1,503; CI 95% OR= 1,121 2,014) Kesimpulan. Pada penderita MS: Luas permukaan atrium kanan lebih berperan dan merupakan faktor risiko independen terhadap timbulnya AF dibanding dengan variabel lain termasuk dimensi atrium kiri."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 1999
T57295
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Wirya Ayu Graha
"Latar belakang: Salah satu terapi fibrilasi atrium adalah ablasi bedah yang disebut Cox-maze IV yang dilakukan bersamaan dengan operasi katup mitral (concomitant cox-maze IV). Keberhasilan Cox-maze IV di Rumah Sakit Jantung dan Pembuluh Darah RSJPD Harapan kita cukup tinggi yaitu 88,13%. Penelitian ini untuk menilai faktor-faktor yang berhubungan dengan keberhasilan concomitant Cox-maze IV pada pasien dengan fibrilasi atrium dan penyakit katup mitral di RSJPD Harapan Kita, Indonesia.
Metode: Desain penelitian adalah cross sectional. Pasien dengan penyakit katup mitral dan fibrilasi atrium diperiode Januari 2012 sampai Desember 2017 dilakukan operasi katup mitral dan Cox-maze IV kemudian dievaluasi irama jantung 6 bulan pasca operasi. Irama yang dinilai adalah bebas fibrilasi atrium dan dinilai faktor-faktor yang berhubungan.
Hasil: Total subjek adalah 115 pasien dengan prevalensi bebas fibrilasi atrium 6 bulan pascabedah adalah 81.5%. Pascabedah mortalitas sebanyak 7 pasien (6,1%). Diameter atrium kiri lebih dari 60 mm memiliki odds ratio 2,91 artinya, pasien dengan diameter atrium kiri lebih dari 60 mm memiliki peluang 2,91 kali irama tetap fibrilasi atrium dibanding dengan pasien dengan diameter atrium kiri kurang dari 60 mm.
Simpulan: Faktor yang berhubungan dengan keberhasilan concomitant Cox-maze IV pada pasien dengan fibrilasi atrium dan penyakit katup mitral adalah diameter atrium. Pasien dengan diameter atrium kiri lebih dari 60 mm memiliki OR 2,91 tetap FA.

Introduction: One of the therapies for atrial fibrillation is surgical ablation that is known as Cox-maze IV, that is performed together with mitral valve operation (concomitant cox-maze IV). The success rate of Cox-maze IV in RSPJD Harapan Kita is quite high, which is 88.13%. This study is aimed at understanding the factors that attribute to the success of concomitant Cox-maze IV on atrial fibrillation and mitral valve disease patients in RSJPD Harapan Kita, Indonesia.
Method: The study design is cross sectional. Patients with mitral valve disease and atrial fibrillation within the period of January 2012 to December 2017 were given mitral valve operation and Cox-maze IV, then the cardiac rhythm was evaluated for 6-months post-surgery. The examined rhythm is atrial fibrillation free and we evaluated the associating factors.
Results: Total subject was 115 patients with the prevalence of atrial fibrillation free for 6-months post-surgery was 81.5%. Post-surgery mortality rate was 7 patients (6.1%). A larger than 60 mm left atrium diameter had an odds ratio of 2.91, which meant that patients with a left atrium diameter larger than 60 mm had a 2.91 higher risk of having atrial fibrillation rhythm than those with a smaller than 60 mm left atrium diameter.
Conclusion: Factors associated with the success of concomitant Cox-maze IV on atrial fibrillation and mitral valve disease patients is atrium diameter. Patients with a left atrium diameter larger than 60 mm has an OR of 2.91 to have atrial fibrillation. "
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2018
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Wega Sukanto
"Latar belakang: Fibrilasi atrium meningkatkan morbiditas pasien dengan penyakit katup mitral. Insidens fibrilasi atrium pada pasien dengan penyakit katup mitral cukup tinggi karena proses pembesaran atrium dan remodelling. Semakin besar atrium, semakin lanjut juga proses remodelling, keberhasilan bedah ablasi-pun semakin kecil. Populasi pasien di Indonesia memiliki dimensi atrium kiri yang sudah besar. Kami mencoba melakukan penelitian untuk melihat pengaruh dimensi atrium kiri terhadap keberhasilan bedah ablasi di Rumah Sakit Jantung dan Pembuluh darah Nasional Harapan Kita, Indonesia.
Metode: Penelitian kohort retrospektif dengan mengambil seluruh data 59 pasien yang memenuhi kriteria inklusi dan ekslusi dari 85 pasien yang menjalani bedah ablasi pada Januari 2012 sampai dengan Oktober 2016 di Rumah Sakit Jantung dan Pembuluh darah Nasional Harapan Kita, Indonesia. Data diambil dari rekam medis pasien yang menjalani operasi koreksi katup mitral dengan atau tanpa koreksi katup trikuspid dengan bedah ablasi set lesi bilateral, alat tunggal radiofrekuensi bipolar. Pengamatan irama jantung dilakukan pada minggu pertama, bulan ketiga, dan bulan keenam pascaoperasi. Analisis data menggunakan Mann-Whitney U test dan logistik regresi.
Hasil: Diameter atrium kiri preoperasi pada kedua kelompok keluaran hasil bedah ablasi bulan ketiga dan bulan keenam berbeda bermakna nilai p 0,05 , bulan ketiga nilai p >0,05 , dan bulan keenam nilai p >0,05 pascaoperasi. Analisis multivariat seluruh variabel perancu pada tiap waktu pengamatan tidak didapatkan hubungan yang secara statistik bermakna. Pada kelompok pasien dengan diameter atrium kiri ge;60mm, angka konversi irama menjadi sinus 69,22.
Kesimpulan: Semakin besar diameter atrium kiri preoperasi, semakin tinggi angka rekurensi AF pada pasien penyakit jantung katup mitral. Bedah ablasi tetap dapat menjadi suatu pertimbangan terapi pada pasien dengan diameter atrium kiri yang besar diameter ge;60mm .

Backgrounds: Atrial fibrillation causing many thromboemboli complications. Incidence of atrial fibrillation is high among patients with mitral valve disease. The proccess of enlargement and remodelling of atria were believed to increase failure in ablation surgery. Patients population in Indonesia had enormous size of atria in the time of surgery. We report the correlation between preoperative left atrial dimension with the outcome of the surgery.
Methods: This is a cohort retrospective study. We collected data from medical records of all 59 patients underwent modified Cox Maze IV with single device radiofrequency bipolar and biatrial lesion with mitral valve with or without tricuspid valve intervention throughout January 2012 to October 2016. We observed the outcome in first week, third month, and sixth month after the surgery. This study based on Mann Whitney U test and logisctic regression.
Results: There is significant difference in the preoperative left atrial diameter between two outcome groups AF and non AF at third month and sixth month p value 0.05. Multivariate analysis reveals no significant correlation among confounding factors at all observation time. The successful sinus rhythm conversion among patients with preoperative left atrium diameter greater than 60mm is 69,22.
Conclusions: Preoperative left atrial diameter affects the outcome of ablation surgery. The bigger the diameter, less success rhythm conversion. But in our population, ablation surgery still can be considered among patients with big left atrial size.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2017
SP-Pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
cover
Husain Haikal
"Latar Belakang : Implantasi Alat Pacu Jantung Permanen APJP terusmengalami peningkatan. Kejadian Fibrilasi Atrium FA pada pasien pascapemasangan APJP dengan pemacuan dasar ventrikel dikarenakan adanyadisfungsi diastolik ventrikel kanan yang diikuti oleh disfungsi diastolik ventrikelkiri dan disinkroni ventrikel karena adanya Blok Berkas Cabang Kiri BBCKi .Kedua hal ini akan mengakibatkan peningkatan tekanan diastolik ventrikel kiridiikuti dengan gangguan pada atrium kiri dan timbul FA. Banyak prediktor yangdapat digunakan untuk menilai kejadian FA namun belum ada penelitian yangmenghubungkan pemeriksaan Elektrokardiogram EKG 12 sadapan yaitu denganinterval QT corrected QTc pacu menggunakan rumus Framingham dengankejadian FA pada pasien dengan APJP.
Tujuan : Mengetahui hubungan interval QTc pacu dengan kejadian FA danmenentukan nilai potong dari interval QTc pacu.
Metode : Penelitian ini merupakan studi kasus kontrol. Penelitian dilakukan diRumah Sakit Jantung dan Pembuluh Darah Harapan Kita RSJPDHK padasubyek yang menjalani pemasangan APJP pemacuan dasar ventrikel pada Januari2013 hingga Agustus 2014. Dilakukan perhitungan interval QTc pacumenggunakan rumus Framingham pada EKG 12 sadapan yang dilakukan satubulan setelah implantasi APJP.
Hasil Penelitian : Terdapat 75 subyek yang memenuhi kriteria inklusi dimana 15subjek mengalami FA 20 . Interval QTc pacu menggunakan rumusFramingham berkorelasi baik dengan kejadian FA. Nilai potong dari interval QTcpacu yang didapat adalah ge; 451,5 mdet, dimana nilai potong ini mempunyai risiko4,3 kali lipat kejadian FA.
Kesimpulan : Interval QTc pacu menggunakan rumus Framingham dapatdigunakan sebagai prediktor kejadian FA pada pasien yang menggunakan APJPdengan pemacuan dasar ventrikel.

Background : Implantation of Permanent Pacemaker PPM increasing in the lastdecades. Atrial fibrillation AF in patient using PPM with right ventricular basepacing developed because of the diastolic dysfunction of the right ventricle thatimpact the left ventricle and also ventricular dissynchrony in left ventricle due toLeft Bundle Branch Block LBBB . This abnormalities will impact to the leftatrial and induced atrial fibrillation. There are many predictors for AF but wehaven't found any study that correlate paced QT corrected paced QTc usingFramingham formula with the the risk of AF in patients implanted doublechamber or single chamber PPM under ventricular based pacing.
Aim : To determine the correlation between paced QTc with AF in patientimplanted PPM and determine cutoff value.
Methods : This is a case control study that was conducted in NationalCardiovascular Centre Harapan Kita Hospital Jakarta with subjeks implantedPPM using double chamber or single chamber with ventricular based pacing fromJanuary 2013 until August 2014. The calculation of Paced QTc using framinghammethod.
Results : There are total 75 subyek in this study, 15 subject developed AF 20 .The Paced QTc using Framingham method was correlated well with AF. Thecutoff value of Paced QTc was ge 451.5 msec and the risk to develop AF was 4.3times.
Conclusion : Paced QTc can be used as a predictor of AF in patient with doublechamber or single chamber PPM with ventricular based pacing.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2016
T55634
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Simbolon, Jessica Putri Natalia
"Latar Belakang : Fibrilasi atrium merupakan aritmia yang paling sering ditemui pada populasi dewasa di seluruh dunia. Penyakit jantung katup, terlepas dari kelainan irama yang menyertai, meningkatkan risiko tromboemboli, dan risiko ini meningkat signifikan dengan adanya fibrilasi atrium. Skor CHA2DS2-VASc sudah divalidasi dan sering dipakai secara umum pada FA tanpa penyakit jantung katup untuk menilai stratifikasi resiko strok, namun kemampuan skor ini kurang baik pada populasi FA dengan penyakit jantung katup. Sampai saat ini, belum terdapat skor untuk memprediksi kejadian strok iskemik pada kelompok baik FA valvular EHRA tipe 1 maupun EHRA tipe 2.
Tujuan : Menilai prediktor klinis dan ekokardiografis yang dapat memprediksi kejadian strok iskemik dan merangkumnya menjadi sistem skor yang dapat digunakan sebagai prediktor kejadian strok iskemik pada pasien FA Valvular EHRA tipe 2.
Metode : Studi ini dilakukan secara kohort retrospektif pada 695 pasien fibrilasi atrium valvular EHRA tipe 2. Data diambil dari data rekam medis yang memenuhi kriteria inklusi. Luaran klinis yang dinilai adalah kejadian strok iskemik setelah terdiagnosis selama periode Januari 2015 – Juli 2021.
Hasil : Strok iskemik terjadi pada 67 (9,6%) pasien dari total 695 pasien fibrilasi atrium valvular EHRA tipe 2. Analisis regresi logistik multivariat menunjukkan bahwa tidak terdapat faktor risiko yang dapat menjadi prediktor kejadian strok iskemik; hipertensi (OR 1,526; 95% IK 0,876 – 2,659, p = 0,136), FEVKi <30% (OR 1,463; 95% IK 0,804 – 2,663, p = 0,213), dan LFG <15 mL/menit/1,73 m2 (OR 3,584; 95% IK 0,672 – 19,105, p = 0,123).
Kesimpulan : Dari berbagai variabel (klinis, ekokardiografis, dan laboratoris) yang dinilai, tidak ditemukan variabel yang secara independen dapat menjadi prediktor strok iskemik iskemik pada FA valvular EHRA tipe 2.

Background : Atrial fibrillation (AF) is the most common cardiac arrhythmia in adults. Valvular heart diseases, despite the arrhythmic problems, increase the risk of thromboembolism, and this risk is even higher in those with associated atrial fibrillation. CHA2DS2-VASc has been validated and widely used to guide anticoagulation in non-valvular AF to reduce ischemic stroke risk, however CHA2DS2-VASc is modestly predictive for ischemic stroke in valvular AF. To date, there has been no validated score for stroke prediction in valvular AF, either EHRA type 1 or EHRA type 2.
Objective : To derive clinical and echocardiographic risk factors for ischemic stroke prediction and to formulate scoring system for AF with EHRA type 2 valvular heart disease(VHD).
Methods : This retrospective study enrolled 695 AF patients with EHRA type 2 VHD. The data were collected from medical record which include patients who met the inclusion criteria throughout January 2015 – July 2020. The primary outcome was ischemic stroke throughout observation period between January 2015 – July 2021.
Results : There were 67 ischemic stroke events (9,6%) out of 695 EHRA type 2 VHD AF patients. Logistic regression analysis demonstrated there was no significant risk factor to predict ischemic stroke; hypertension (OR 1,526; 95% IK 0,876 – 2,659, p = 0,136), left ventricular ejection fraction (LVEF) <30% (OR 1,463; 95% IK 0,804 – 2,663, p = 0,213), and Glomerular Filtration Rate (GFR) <15 mL/min/1,73 m2 (OR 3,584; 95% IK 0,672 – 19,105, p = 0,123).
Conclusion : From all risk factors (clinical, echocardiographic, laboratory), there is no significant risk factor that is well-predictive for ischemic stroke incidence in EHRA type 2 VHD AF.
"
Depok: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2021
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Muhammad Munawar
"Latar belakang. Stenosis mitralis (SM) masih merupakan masalah kesehatan di Indonesia, dan fibrilasi atrium merupakan penyakit penyerta yang akan meningkatkan emboli sistemik, stroke dan mortalitas pasien. Diduga umpan balik mekano elektris dan remodeling elektris mempunyai peranan yang penting dalam mekanisme terjadinya tibrilasi atrium (FA) pada penyakit katup jantung. Untuk menguji hipotesis bahwa telah tejadi remodeling elektris intrinsik pada pasien SM, dan remodeling tersebut bersifat reversibel, malta telah dilakukan penelitian mengenai perubahan elektrotisiologis sesudah tindakan komisurotomi mitral transvena perkutan (KMTP). Bahan dan cara kerja. Tigapuluh satu pas ien SM yang dilakukan KMTP, 20 dengan irama sinus (IS) dan ll dengan FA persisten serta 10 pasien dengan jantung normal sebagai kelompok kelola dimasukkan dalam penelitian ini. Pemeriksaan hemodinamik dan elektrotisiologi dilakukan sebelum dan segera sesudah KMTP. Semua pasien FA, dilakukan kardioversi eksternal sinkron sebelum dilakukan KMTP. Sebelum pemeriksaan elektrofisiologis, diberikan propranolol iv, 0,2 mg/kgbb dan sulfas atropin 0,004 mg/kbb untuk mem-blok aktiiitas saraf autonom. Pemeriksaan elektrofisiologi meliputi pemeriksaan periode refrakter efektif (PRE) di 6 tempat di atrium, waktu koduksi (WK) di atrium kanan dan kiri dan pengukuran elektrogram atrium di I8 tempat atrium kanan dan kiri. Hasil. Tidak terdapat perbedaan umur, dan jenis kelamin antara kelompok pasien SM dan kelompok kelola. PRE keselunlhan pada kelompok SM dan kelola yang diperoleh pada pacuan 600 milidetik tidak menunjukkan perbedaan bermakna Demikian pula pada pacuan 400 milidetik, tidak menunjukkan kemaknaan statistik Secara regional, PRE atrium lcanan dan kiri tidak menunjukkan perbedaan yang bermakna pada kelompok pasien SM dan kelola. Tetapi kelompok pasien SM mempunyai dispersi PRE lebih lebar dibanding dengan kelompok kelola. WK atrium kanan dan kiri kelompok pasien SM menunj ukkan perlambatan yang bermaltna dibanding dengan kelompok kelola. Di sebagian besar tempat atrium kanan dan kiri, voltase elektrogram atrium juga menunjukkan penurunan yang sangat bermakna. Tidak ada perbedaan dalam durasi elektrogram pada kedua kelompok. Potensial ganda dan elektrogram yang terpecah-pecah tidak ditemukan pada kedua kelompok. Tidak Lerdapat perbedaan bermakna dalam variabel hemodinamik antara kelompok SM disertai IS dengan disertai FA, namun terdapat perbedaan bermakna dalam variabel elektroflsiologi (re-modeling elektris) PRE rerata Secara keseluruhan yang diukur pada interval pacuan 600 milidetik pada kelompok FAjauh lebih pendek dibanding dengan kelompok IS yang secara statistik berbeda bermakna. Demikian pula bila diukur pzlda interval pacuan 400 milidetik. Secara regional, PRE atrium kanan dan kiri kelompok FA lebih pendek dibanding dengan kelompok IS dan perbedaannya seeara statistik bermakna. Sedang dispersi PRE pada kedua kelompok tersebut tidak menunjukkan kemaknaan statislik. WK di atrium kanan dan kiri pada kelompok FA lebih lambat dibandingkan dengan kelompok IS, dan perbedaannya secara statistik bermalma. Sebagian besar tempat di atrium tidak menunjukkan perbedaan voltase elektogram antara kelompok IS dan FA. Remodeling elektris ini bersifat reversibel setelah dilakukan KMTP. PRE rerata secara keseluruhan yang diukur pada interval pacuan 600 milidetik sebelum dan sesudah dilakukan KMTP ialah 240,51-_39,2 milidetik vs 248,2i36,l mi1idetik(p=0,003). Demikian pula pada pengukuran dengan interval 400 mi1idetik(da.ri 228,2i35,3 milidetik vs 238,l i319 milidetik, p=0,000). Reversibilitas hanya terjadi terutama pada sebagian besar PRE atrium dan WK di atrium kiri, sedang besamya vol tase elektrogram lidak demikian halnya. Remodeling elektris atrium tersebut bersifat intrinsik, tidak dipengaruhi oleh susunan saraf autonom. Di samping pembuktian hipotesis di atas ditemukan pula variabel prediktor terhadap kejadian FA pada penderita SM yakni diameter atrium kanan medial-lateral yang diukur dengan ekokardiograti 2 dimensi (rasio odds 1,128 dengan KI 95% berkisar antara 1,012 sampai l,466), serta PRE atrium kanan bawah (rasio odds 0,952 dengan KI 95% anlara 0,907 - l,000). Kesimpulannya pada pasien SM telah terjadi remodeling elekuis yang mengarah texjadinya FA. Bilamana telah terjadi FA, maka remodeling elelctris akan makin memburuk. Walaupun demikian remodeling elektris yang terjadi bersifat reversibel dengan mengurangi regangan dinding atrium melalui KMTR Remodeling elektris dan reversibilitasnya bersifat intrinsik, tidak dipengaruhi oleh saraf autonom. Oleh karena itu intervensi dini dengan KMTP perlu dilakukan pada setiap pasien SM dengan keluhan, atau bilamana clijumpai pembesaran dimensi atrium kanan mediallateral.

Background: Mitral stenosis (MS) is one of the major health problems in developing countries. In addition, atrial fibrillation (AF) is one of the MS complication and had a consequence of higher systemic embolic rate including stroke and mortality. Mechano-electrical feedback and electrical remodeling in patients with valvular heart disease might be play an important role in the mechanism of atrial fibrillation (AF). To test the hypothesis that there was an intrinsic electrical remodeling in MS and this remodeling might be reversible, we investigated electrophysiological changes after percutaneous transvenous mitral commissurotomy (PTMC). Material and methods. Eleven MS patients with persistentAF and 20 patients with sinus rhythm (SR) were undergoing PTMC included in this study. Ten patients who underwent electrophysiologic study or ablation involving left atrial study were as control group. Autonomic nervous system was blocked using propranolol 0.2 mg/kgbw and atropine 0.04 mgfkgbw. Atrial effective refractory period (AERP) was measured at 2 sites in the right and 4 sites in the left atrium. The conduction time (CT) was measured at the right and left atrium using decapolar catheter. Atrial electrogram was measured on its amplitude, duration and number of fragments of the electrogram at 18 sites of the atrium. Results. There were no statistically differences in age and sex among the MS group and the control group. No significant difference in the overall AERP between the MS group and control group, but the MS group had a higher AERP dispersion tha.n the control group. The MS group had a lower conduction time (CT) than the control group and its difference was statistically significant. Most of the sites in the MS group were smaller than the control group. The duration of electrogram of both groups were similar. No double potential and fractionated electrograms were found in both groups. There were no statistical difference in the hemodynamic variables between the MS patients with SR (SR group) and AF group. The AF group had shorter overall AERP than the IS group and the difference was statistically significant- In most sites of the atrium, the voltage of the an-ial electrogram was lower in the AF group compared with the IS group. There was no significant difference in CT between both groups. The voltage of the atrial electrogram in both groups were similar. The overal AERP and the AERP of most sites of the atrium was increased after PTMC. The CT in left atrium not the right was shortened after PTMC. And the voltage of atrial electrogram became higher after PTMC. In addition, beside the above hypothesis tested, there were 2 independent predictors for AF in patients with MS, i.e. the medial-lateral right atrial dimension (OR 1.128 and 95% Cl 1.012 - l.466) and AERP of the low right atrium (OR 0.952, 95% CI 0.907 - L000). Conclusion: Patients with MS have an electrical remodeling due to atrial stretch. Atrial remodeling also occurs when the patients are getting atrial fibrillation. But fortunately these electrophysiological changes will be reversible when PTMC is performed. The electrical remodeling and its reversibility is an intrinsic atrial property, not influenced by the autonomic nervous system. Earlier intervention should he performed to prevent AF for every symptomatic MS patient or asymptomatic with increased medial-lateral right atrial dimension."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2005
D616
UI - Disertasi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Muhammad Munawar
"Latar belakang. Stenosis mitralis (SM) masih merupakan masalah kesehatan di Indonesia, dan fibrilasi atrium merupakan penyakit penyerta yang akan meningkatkan emboli sistemik, stroke dan mortalitas pasien. Diduga umpan balik mekano elektris dan remodeling elektris mempunyai peranan yang penting dalam mekanisme terjadinya tibrilasi atrium (FA) pada penyakit katup jantung. Untuk menguji hipotesis bahwa telah tejadi remodeling elektris intrinsik pada pasien SM, dan remodeling tersebut bersifat reversibel, malta telah dilakukan penelitian mengenai perubahan elektrotisiologis sesudah tindakan komisurotomi mitral transvena perkutan (KMTP). Bahan dan cara kerja. Tigapuluh satu pas ien SM yang dilakukan KMTP, 20 dengan irama sinus (IS) dan ll dengan FA persisten serta 10 pasien dengan jantung normal sebagai kelompok kelola dimasukkan dalam penelitian ini. Pemeriksaan hemodinamik dan elektrotisiologi dilakukan sebelum dan segera sesudah KMTP. Semua pasien FA, dilakukan kardioversi eksternal sinkron sebelum dilakukan KMTP. Sebelum pemeriksaan elektrofisiologis, diberikan propranolol iv, 0,2 mg/kgbb dan sulfas atropin 0,004 mg/kbb untuk mem-blok aktiiitas saraf autonom. Pemeriksaan elektrofisiologi meliputi pemeriksaan periode refrakter efektif (PRE) di 6 tempat di atrium, waktu koduksi (WK) di atrium kanan dan kiri dan pengukuran elektrogram atrium di I8 tempat atrium kanan dan kiri. Hasil. Tidak terdapat perbedaan umur, dan jenis kelamin antara kelompok pasien SM dan kelompok kelola. PRE keselunlhan pada kelompok SM dan kelola yang diperoleh pada pacuan 600 milidetik tidak menunjukkan perbedaan bermakna Demikian pula pada pacuan 400 milidetik, tidak menunjukkan kemaknaan statistik Secara regional, PRE atrium lcanan dan kiri tidak menunjukkan perbedaan yang bermakna pada kelompok pasien SM dan kelola. Tetapi kelompok pasien SM mempunyai dispersi PRE lebih lebar dibanding dengan kelompok kelola. WK atrium kanan dan kiri kelompok pasien SM menunj ukkan perlambatan yang bermaltna dibanding dengan kelompok kelola. Di sebagian besar tempat atrium kanan dan kiri, voltase elektrogram atrium juga menunjukkan penurunan yang sangat bermakna. Tidak ada perbedaan dalam durasi elektrogram pada kedua kelompok. Potensial ganda dan elektrogram yang terpecah-pecah tidak ditemukan pada kedua kelompok. Tidak Lerdapat perbedaan bermakna dalam variabel hemodinamik antara kelompok SM disertai IS dengan disertai FA, namun terdapat perbedaan bermakna dalam variabel elektroflsiologi (re-modeling elektris) PRE rerata Secara keseluruhan yang diukur pada interval pacuan 600 milidetik pada kelompok FAjauh lebih pendek dibanding dengan kelompok IS yang secara statistik berbeda bermakna. Demikian pula bila diukur pzlda interval pacuan 400 milidetik. Secara regional, PRE atrium kanan dan kiri kelompok FA lebih pendek dibanding dengan kelompok IS dan perbedaannya seeara statistik bermakna. Sedang dispersi PRE pada kedua kelompok tersebut tidak menunjukkan kemaknaan statislik. WK di atrium kanan dan kiri pada kelompok FA1ebih lambat dibandingkan dengan kelompok IS, dan perbedaannya secara statistik bermalma. Sebagian besar tempat di atrium tidak menunjukkan perbedaan voltase elektogram antara kelompok IS dan FA. Remodeling elektris ini bersifat reversibel setelah dilakukan KMTP. PRE rerata secara keseluruhan yang diukur pada interval pacuan 600 milidetik sebelum dan sesudah dilakukan KMTP ialah 240,51-_39,2 milidetik vs 248,2i36,l mi1idetik(p=0,003)_ Demikian pula pada pengukuran dengan interval 400 mi1idetik(da.ri 228,2i35,3 milidetik vs 238,l i319 milidetik, p=0,000). Reversibilitas hanya terjadi terutama pada sebagian besar PRE atrium dan WK di atrium kiri, sedang besamya vol tase elektrogram lidak demikian halnya. Remodel ing elektris atrium tersebut bersifat intrinsik, tidak dipengaruhi oleh susunan saraf autonom. Di samping pembuktian hipotesis di atas ditemukan pula variabel prediktor terhadap kejadian FA pada penderita SM yakni diameter atrium kanan medial-lateral yang diukur dengan ekokardiograti 2 dimensi (rasio odds 1,128 dengan KI 95% berkisar antara 1,012 sampai l,466), serta PRE atrium kanan bawah (rasio odds 0,952 dengan KI 95% anlara 0,907 - l,000). Kesimpulannya pada pasien SM telah teijadi remodeling elekuis yang mengarah texjadinya FA. Bilamana telah terjadi FA, maka remodeling elelctris akan makin memburuk. Walaupun demikian remodeling elektris yang terjadi bersifat reversibel dengan mengurangi regangan dinding atrium melalui KMTR Remodeling elektris dan reversibilitasnya bersifat intrinsik, tidak dipengaruhi oleh saraf autonom. Oleh karena itu intervensi dini dengan KMTP perlu dilakukan pada setiap pasien SM dengan keluhan, atau bilamana clijumpai pembesaran dimensi atrium kanan mediallateral.

Background: Mitral stenosis (MS) is one of the major health problems in developing countries. In addition, atrial fibrillation (AF) is one of the MS complication and had a consequence of higher systemic embolic rate including stroke and mortality. Mechano-electrical feedback and electrical remodeling in patients with valvular heart disease might be play an important role in the mechanism of atrial fibrillation (AF). To test the hypothesis that there was an intrinsic elec-trical remodeling in MS and this remodeling might be reversible, we investigated electrophysiological changes after percutaneous transvenous mitral commissurotomy (PTMC). Material and methods. Eleven MS patients with persistentAF and 20 patients with sinus rhythm (SR) were undergoing PTMC included in this study. Ten patients who underwent electrophysiologic study or ablation involving left atrial study were as control group. Autonomic nervous system was blocked using propranolol 0.2 mg/kgbw and atropine 0.04 mgfkgbw. Atrial effective refractory period (AERP) was measured at 2 sites in the right and 4 sites in the left atrium. The conduction time (CT) was measured at the right and left atrium using decapolar catheter. Atrial electrogram was measured on its amplitude, duration and number of fragments of the electrogram at 18 sites of the atrium. Results. There were no statistically differences in age and sex among the MS group and the control group. No significant difference in the overall AERP between the MS group and control group, but the MS group had a higher AERP dispersion tha.n the control group . The MS group had a lower conduction time (CT) than the control group and its difference was statistically significant. Most of the sites in the MS group were smaller than the control group. The duration of electrogram of both groups were similar. No double potential and fractionated electrograms were found in both groups. There were no statistical difference in the hemodynamic variables between the MS patients with SR (SR group) and AF group. The AF group had shorter overall AERP than the IS group and the difference was statistically significant- In most sites of the atrium, the voltage of the an-ial electrogram was lower in the AF group compared with the IS group. There was no significant difference in CT between both groups. The voltage of the atrial electrogram in both groups were similar. The overal AERP and the AERP of most sites of the atrium was increased after PTMC. The CT in left atrium not the right was shortened after PTMC. And the voltage of atrial electrogram became higher after PTMC. In addition, beside the above hypothesis tested, there were 2 independent predictors for AF in patients with MS, i.e. the medial-lateral right atrial dimension (OR 1.128 and 95% Cl 1.012 - l.466) and AERP of the low right atrium (OR 0.952, 95% CI 0.907 - L000). Conclusion: Patients with MS have an electrical remodeling due to atrial stretch. Atrial remodeling also occurs when the patients are getting atrial fibrillation. But fortunately these electrophysiological changes will be reversible when PTMC is performed. The electrical remodeling and its reversibility is an intrinsic atrial property, not influenced by the autonomic nervous system. Earlier intervention should he performed to prevent AF for every symptomatic MS patient or asymptomatic with increased medial-lateral right atrial dimension.
"
Depok: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2005
D752
UI - Disertasi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Yudhistira Kurnia
"Latar Belakang: Kondisi MS akan menyebabkan terjadinya peningkatan tekanan atrium kiri secara progresif dan menyebabkan remodelling serta dilatasi atrium kiri. Proses ini akan berakhir dengan penurunan komplians dari atrium kiri dan menyebabkan perubahan secara morfologis dan fungsional. Beberapa studi menunjukkan pengukuran Strain atrium kiri pada pasca tindakan balloon mitral valvuloplasty (BMV) menunjukkan perbaikan yang bermakna. Namun belum ada yang menilai hubungan antara perubahan Strain atrium kiri dengan perbaikan kapasitas fungsional pada pasien MS pasca tindakan BMV.
Tujuan: Tujuan penelitian ini adalah untuk mengevaluasi hubungan antara perubahan Strain atrium kiri dengan perubahan kapasitas fungsional pada pasien MS pasca tindakan BMV.
Metode: Desain penelitian yang digunakan adalah studi dengan one group pre-post design. Penelitian ini menggunakan data pemeriksaan ekokardiografi dan data kapasitas fungsional pasien mitral stenosis yang dilakukan tindakan BMV pada Maret 2019 hingga April 2020. Dilakukan pengukuran strain atrium kiri dengan metode speckle tracking echocardiography. Data sebelum dan sesudah BMV dianalisis untuk mencari hubungan variabel terhadap perubahan kapasitas fungsional.
Hasil: Pasca tindakan BMV, terjadi perbaikan signifikan kapasitas fungsional yang ditandai dengan perbaikan median lama latihan (241 (18 – 1080) ke 606 (80 – 1900) detik, p <0.0001) dan perbaikan median nilai VO2max estimasi (18,8 (10,2 – 51,4) ke 33(12,6-83,2) mlO2/kg/menit, p <0.0001). Strain atrium kiri mengalami perubahan signifikan pasca tindakan BMV dari median 8(2-23)% ke 11(4-27)%. Dari uji korelasi didapatkan bahwa pre-MVG (r 0,23, adjusted R2 = 4,9%) berkorelasi terhadap perubahan kapasitas fungsional. Pada analisis bivariat dan multivariat didapatkan bahwa perubahan strain atrium kiri tidak berhubungan dengan perubahan kapasitas fungsional. Nilai pra MVA >1 cm2 (OR 7,37, IK 95% 1,0-54,35; p = 0,05) pra MVG > 10 mmHg (OR 6,6, IK 95% 1,71-25,5; p = 0,006) dan pra mPAP < 25 mmHg (OR 5,96, IK 95% 1,37-25,9; p = 0,017) berkorelasi terhadap perbaikan lama latihan pasca tindakan BMV.
Kesimpulan: Perubahan strain atrium kiri tidak berhubungan dengan perubahan kapasitas fungsional pada pasien MS pasca tindakan BMV.

Background: MS conditions will cause a progressive increase in left atrial pressure, remodelling and left atrial dilatation. This process will end with a decrease of left atrial compliance, causing morphological and functional changes. Several studies have shown that left atrial strain measurements after the BMV procedure showed significant improvement. However, no study has assessed the relationship between changes in left atrial strain and improvements in functional capacity in MS patients after the BMV procedure.
Objectives: This study aimed to evaluate the association between left atrial strain changes and functional capacity changes in MS patients after BMV procedures
Method: This is a one group pre-post design using retrospective data. This study used echocardiographic and functional capacity data of mitral stenosis patients who underwent BMV procedures from March 2019 to April 2020. Left atrial strain was measured using the speckle tracking echocardiography method. Data before and after BMV were analyzed to find the association of variables to changes in functional capacity.
Results: After the BMV procedure, there was a significant improvement in functional capacity as indicated by an improvement in the median length of exercise (241 (18 – 1080) to 606 (80 – 1900) seconds, p <0.0001) and an improvement in the median estimated VO2max value (18.8 (10.2). – 51.4) to 33(12.6-83.2) mlO2/kg/min, p < 0.0001). The left atrial strain underwent a significant change after the BMV procedure from a median of 8(2-23)% to 11(4-27)%. From the correlation test it was found that pre-MVG (r 0.23, adjusted R2 = 4.9%) correlated with changes in functional capacity. In bivariate and multivariate analysis, it was found that changes in left atrial strain were not associated with changes in functional capacity. Pre MVA value >1 cm2 (OR 7.37, CI 95% 1.0-54.35; p = 0.05) pre MVG > 10 mmHg (OR 6.6, CI 95% 1.71-25.5 ; p = 0.006) and pre mPAP < 25 mmHg (OR 5.96, CI 95% 1.37-25.9; p = 0.017) correlated with the improvement in duration of exercise after the BMV action.
Conclusion: Changes in left atrial strain are not associated with changes in functional capacity in MS patients after the BMV procedure.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2022
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Fridyan Ratnasari
"Latar Belakang: FA merupakan salah satu masalah aritmia yang paling umum terjadi dengan prevalensi yang terus meningkat seiring dengan penuaan populasi dan peningkatan angka kejadian penyakit kardiovaskular. Manajemen FA dengan ablasi mampu mengurangi gejala pasien, namun angka rekurensi FA yang masih tinggi (10- 30%) pasca ablasi terus menjadi bahan penelitian dengan mekanisme yang masih belum dipahami. Remodelling atrial memiliki peran penting dalam progresi FA. Ketebalan dinding atrium kiri yang bervariasi menyebabkan adanya perbedaan propagasi dan penetrasi dari tindakan ablasi, sehingga penilaian ketebalan dinding atrium kiri penting dalam proses tindakan ablasi FA.
Tujuan: Mengetahui hubungan antara ketebalan atrium kiri dengan rekurensi aritmia atrial pasca ablasi FA.
Metode: Penelitian ini merupakan studi kohort retrospektif dengan menggunakan data pasien ablasi fibrilasi atrium di RSJPD Harapan Kita pada periode Januari 2018- Januari 2023. Evaluasi rekurensi aritmia atrial dilakukan dengan EKG 12 sadapan, pemeriksaan Holter monitoring 24 jam. Penilaian ketebalan dinding atrium kiri dilakukan dengan pemeriksaan CT scan kardiak. Dilakukan analisis bivariat dan multivariat antara ketebalan dinding atrium kiri dengan rekurensi aritmia atrial pasca ablasi.
Hasil: Dari 127 pasien pasca ablasi FA, didapatkan rata-rata pasien berusia 55 tahun dengan jenis kelamin laki-laki 64%. Berdasarkan tipe FA didapatkan 65% merupakan FA paroksismal. Ketebalan dinding atrium kiri (OR 1,56; IK 95% 1,20-2,03; p value < 0,001) dan diameter atrium kiri berdasarkan ekokardiografi (OR 1,07; IK 95% 1,00- 1,14; p value 0,0038) berhubungan secara signifikan dengan rekurensi aritmia atrial pasca ablasi.

Background: Atrial fibrillation (AF) is the most common arrhythmia and its prevalence increases with age. Management of catheter ablation is effective in reducing symptom burden but its recurrence rate is still considered high (10-30%) with unclear mechanism. Atrial remodeling plays important role in AF progression. The left atrial wall thickness (LAWT) is heterogenous which cause different propagation and penetration of ablation power. Recurrence of arrhythmia atrial after catheter ablation for atrial fibrillation (AF) has been considered as a common phenomenon but its mechanism and implication in long-term outcome has not been fully understood.
Objective: We aimed to clarify the relation between left atrial wall thickness and arrhythmia atrial recurences after ablation
Metode: A total of 127 patients with history of catheter ablation for AF were consecutively recruited from period of January 2018- January 2023. Recurrences was defined as recurrence of atrial tachyarrhythmia using surface electrocardiogram and Holter monitoring. LAWT was assessed using cardiac CT scan. The statistical analysis was performed to find the relationship between the left atrial wall thickness and arrhythmia atrial recurrences.
Results: From 127 patients post catheter ablation for AF, patients included mean age of 55 years old and 64% patients are male. Based on type of AF, most of patients (65%) are paroxysmal AF. The mean left atrial wall thickness (OR 1,56; IK 95% 1,20- 2,03; p value < 0,001) and diameter of left atrium from echocardiography (OR 1,07; IK 95% 1,00-1,14; p value 0,0038) were significantly associated with arrhythmia atrial post catheter ablation.
Conclusion: Left atrial wall thickness assessed with CT cardiac increased 4.4 times arrhythmia atrial recurrences post catheter ablation of AF.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2023
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>