Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 194681 dokumen yang sesuai dengan query
cover
cover
Alfian Syahriza
"Infeksi Trichomonas vaginalis adalah infeksi menular seksual tersering oleh parasit. Berbeda dengan infeksi Neisseria gonorrhoeae yang merupakan infeksi oleh bakteri. Namun, kedua infeksi ini diperkirakan dapat melakukan koinfeksi dan terjadi secara bersamaan pada satu individu. IMS itu sendiri dapat dipengaruhi oleh berbagai faktor seperti pekerjaan, pendidikan, dan jenis kontrasepsi. Pekerja Seks Komersial (PSK) memiliki faktor risiko yang tinggi untuk mengalami IMS baik itu tunggal maupun lebih dari satu jenis IMS.
Penelitian ini ditujukan untuk mengetahui hubungan antara infeksi Trichomonas vaginalis dan Neisseria gonorrhoeae pada PSK serta hubungannya dengan faktor usia, tingkat pendidikan, dan jenis kontrasepsi yang digunakan. Penelitian ini menggunakan desain cross sectional dengan menggunakan data sekunder mengenai IMS pada 265 PSK yang dikumpulkan di Kuningan, Kuningan, Jawa Barat.
Penelitian ini menunjukkan bahwa 27,5% subjek yang positif terinfeksi Trichomonas vaginalis dan juga Neisseria gonorrhoeae. Berdasarkan uji chi-square tidak ditemukan adanya hubungan bermakna antara infeksi Trichomonas vaginalis dan Neisseria gonorrhoeae (p = 0,727). Pada analisa faktor-faktor yang mempengaruhi terjadinya infeksi Trichomonas vaginalis dan Neisseria gonorrhoeae ditemukan hubungan yang bermakna antara faktor usia dengan koinfeksi Trichomonas vaginalis dan Neisseria gonorrhoeae (p = 0,022). Sedangkan, faktor tingkat pendidikan (p = 0,123) dan jenis kontrasepsi (p = 0,388) tidak memiliki hubungan yang bermakna.
Tidak adanya hubungan yang bermakna antara infeksi T. vaginalis dan N. gonorrhoeae didukung penelitian oleh Ginocchio et al (2012). Prevalensi koinfeksi T. vaginalis dan N. gonorrhoeae ditemukan lebih banyak pada usia dibawah 30 tahun dari pada pada usia diatas 30 tahun.

Trichomonas vaginalis, a parasite, and Neisseria gonorrhoeae, a bacteri, are the most common kind of etiology that cause STD. This infection can be manifestated as single infection or combination with another kind of STD in one person, including coinfection between Trichomonas vaginalis and Neisseria gonorrhoeae. STD can be influenced by many factors such as age, education, and contraception. Female Sex Worwers (FSW) have high risk to be infected by single infection or multiple infections.
Therefore, this study aimed to understand the association between Trichomonas vaginalis and Neisseria gonorrhoeae in FSW also its association with age, education, and contraception used. This study used cross-sectional design with secondary entry about STD among 265 FSW collected in Kuningan, Jawa Barat.
The result showed 27,5% FSW were infected by Trichomonas vaginalis and Neisseria gonorrhoeae at the same time. The chi-square test claimed there was no significant association between this two infections (p=0,727) and also association with education (P=0,123) and contraception (P=0,388) used factor are no significant either. But, there is significant association between age and these coinfection by the result of the analize (P : 0,022).
This result have the same result as the research done by Ginocchio et al (2012) that there is low prevalence of coinfection between T. vaginalis and N. gonorrhoeae. We found that prevalence of coinfection of T. vaginalis and N. gonorrhoeae is higher in under 30 years old FSW than in over 30 years old FSW.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2014
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Hermawan Pramudya
"Infeksi Trichomonas vaginalis merupakan salah penyakit Infeksi Menular Seksual IMS yang disebabkan oleh T. vaginalis. Parasit ini menyebabkan mikrotrauma pada saluran kelamin perempuan. Hal ini membuat koinfeksi dengan mikroba lainnya dapat terjadi sehingga bisa menyebabkan kondiloma yang umumnya terdapat pada Human Papillomavirus HPV. Penelitian ini dilakukan di Departemen Parasitologi Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia yang datanya berasal dari Indramayu, Jawa Barat.
Metode penelitian ini adalah cross sectional pada 214 Pekerja Seks Komersial PSK dengan menganalisis perbedaan proporsi kondiloma antara kelompok T. vaginalis positif dan negatif serta mengetahui faktor yang berhubungan.
Berdasarkan analisis chi square menunjukkan perbedaan proporsi infeksi kondiloma yang tidak bermakna p=0,356;p>0,05. Jenis kontrasepsi, asal daerah, dan tingkat pendidikan memiliki hubungan bermakna denga koinfeksi tetapi tidak memiliki hubungan bermakna pada faktor status perkawinan.
Kesimpulan dari penelitian ini adalah tidak ada hubungan yang bermakna antara koinfeksi T. vaginalis dan kondiloma pada PSK di Daerah Indramayu, Jawa Barat dan faktor yang memiliki hubungan bermakna adalah jenis kontrasepsi, asal daerah, dan tingkat pendidikan.

Trichomonas vaginalis infections is a disease Sexually Transmitted Infections STI caused by T. vaginalis. This parasite causes mikrotrauma in the female genital tract. This makes co infection with other microbes may occur that could cause condyloma are generally present in the Human papillomavirus HPV. This research was held in the Department of Parasitology, Faculty of Medicine, University of Indonesia whose data comes from Indramayu, West Java.
This research method is cross sectional at 214 Commercial Sex Workers CSWs with analyze proportion differences of condyloma between group T. vaginalis positive and negative and to identify factors associated to the co infection.
Based on the analysis of chi square is known revealed a significant association between T. vaginalis and condyloma p 0.356 p 0,05. Type contraception, national origin, and level of education have a significant relationship premises coinfection but do not have a significant relationship to the marital status factor.
The conclusion from this study is there is no significant association between co infection with T. vaginalis and condyloma at the CSW in the Region Indramayu, West Java and the factors that have a significant relationship was kind of contraception, region of origin, and education level.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2016
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Efani Erfin
"Salah satu penyakit menular seksual (PMS) yang banyak terjadi pada wanita termasuk pekerja seks komersial adalah Trikomoniasis yang disebabkan parasit Trichomonas vaginalis. Trikomoniasis memiliki berbagai macam variasi yang bergantung kepada populasinya yang menyebar atau menular melalui hubungan seksual. Pekerja seks komersial memiliki faktor resiko yang lebih besar untuk terkena infeksi T. vaginalis dibandingkan dengan orang yang tidak berganti pasangan dalam aktivitas seksualnya.
Salah satu hal yang akan dibahas lebih lanjut dalam penelitian ini adalah mengenai frekuensi berhubungan seksual pada PSK yang cenderung lebih dari satu kali dalam sehari. Sampel yang digunakan dalam penelitian ini merupakan PSK yang berlokalisasi pada wilayah Tangerang. Penelitian ini dilaksanakan dengan menggunakan metode cross-sectional dengan sampel data sekunder yang diperoleh dari Departemen Parasitologi FKUI, dan dilaksanakan di Jakarta sejak bulan September 2014 hingga September 2015. Dalam penelitian ini, frekuensi berhubungan seksual dibagi dalam dua kategori; sedang (3-4 kali sehari) dan sering (lebih dari 5 kali sehari). Dari 155 sampel, dengan prevalensi infeksi T. vaginalis pada PSK adalah sebesar 62,6% (97 orang).
Nilai p yang didapatkan sebesar 0,029 yang menunjukkan hubungan yang bermakna antara infeksi T. vaginalis dengan frekuensi berhubungan seksual pada PSK di wilayah Tangerang. Hal ini membuktikan bahwa frekuensi berhubungan seksual yang sering dapat mempengaruhi infeksi T. vaginalis pada PSK.

One of the most common sexually transmitted disease in commercial sex workers is Trichomoniasis caused by parasite Trichomonas vaginalis. Trichomoniasis has many variants depend on its transmitted population by sexual intercourse. Commercial Sex Workers (CSW) have higher risk factor for being infected by T. vaginalis rather than settled couple in sexual activities.
A matter that will be further discussed is about the frequent of sexual intercourse in CSW, who do more than one time - sexual intercourse in a day. CSW taken as samples are located in Tangerang region. Cross sectional method is used with secondary data from Department of Parasitolgy Faculty of Medicine, Indonesia University. This research is done in Jakarta since September 2014 until September 2015. In this research, the frequency of sexual intercourse is divided in two groups; average (3-4 times a day) and frequently (more than 5 times a day).
P score data retrieved by researcher is P 0.029 which shown meaningful relation for the T. vaginalis infection with the frequent of sexual intercourse of the CSW in Tangerang region. It means that higer frequencies of sexual intercourse does become a risk factor of T. vaginalis infection in CSW in Tangerang, Banten.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2015
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Martina Pinastika Daneswari
"Di Indonesia saat ini penyakit menular terutama Infeksi Menular Seksual (IMS) masih menjadi masalah utama. Infeksi T. vaginalis melalui hubungan seksual terutama pada PSK yang berganti-ganti pasangan mempunyai angka yang tinggi dan saat ini pengobatan utama adalah dengan menggunakan amebisid metronidazole.
Tujuan dari penelitian ini untuk mengetahui apakah pengobatan dengan metronidazole pada waktu dan dosis yang sesuai masih bersifat amebisid yang ampuh terutama pada populasi PSK yang rentan koinfeksi.
Desain penelitian ini menggunakan studi eksperimental dengan desain satu grup pretest-post test dengan pengambilan data melalui sekret vagina PSK sebelum dan sesudah pengobatan metronidazole dan diwarnai larutan giemsa kemudian dilihat dibawah mikroskop.
Responden penelitian ini adalah PSK yang terinfeksi T. vaginalis sebanyak 100 orang di daerah Tangerang, Banten. Didapatkan sebelum pengobatan metronidazole terdapat 16 responden (16%) dengan infeksi kurang dari 10 T. vaginalis dan terdapat 84 responden (84%) dengan infeksi lebih dari 10 T. vaginalis.
Setelah pengobatan dengan metronidazole didapatkan 56 responden (56%) yang sudah tidak terinfeksi, 43 responden (43%) yang terinfeksi kurang dari 10 T. vaginalis, dan 1 responden (1%) dengan infeksi lebih dari 10 T. vaginalis. Dari penelitian ini menunjukan hasil bahwa PSK dengan frekuensi berhubungan seksual sering sampai sangat sering masih efektif untuk diobati dengan metronidazole.

Infectious diseases, especially Sexually Transmitted Disease (STDs) is still one of the main health problem in Indonesia. There is a high prevalence rate for Trichomonas vaginalis infection through sexual intercourse, especially in commercial sex workers who have multiple sex partners. Amebisid Metronidazole is the drug of choice for this infection.
The goal of this research is to identify if metronidazole treatment is still effective especially in the commercial sex workers population, who is vulnerable to coinfection.
Experimental study design is used in this research, using pretestposttest method and data sampling from vaginal discharge before and after metronidazole treatment and then inspected using a microscope with giemsa staining.
Responden for this research is 100 commercial sex workers who is infected with Trichomonas vaginalis at Tangerang, Banten. Obtained before treatment metronidazole are 16 respondents (16%) with number of infection T. vaginalis is less than 10 and there are 84 respondents (84%) with number of infection more than 10 T. vaginalis.
After treatment with metronidazole obtained 56 respondents (56%) who are not infected, 43 respondents (43%) were infected with T. vaginalis is less than 10, and 1 respondent (1%) with number of infection more than 10 T. vaginalis. This findings shows that treatment with metronidazole is still effective in commercial sex workers with frequent sexual intercourse.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2015
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Raditya Dewangga
"Infeksi Trichomonas vaginalis masih menjadi masalah pada wanita yang aktif secara seksual, terutama pada pekerja seks komersial yang sering berganti pasangan. Trichomoniasis yang bersamaan dengan infeksi Chlamydia trachomatis akan menambah beban penyakit dan menimbulkan komplikasi lebih banyak. Penggunaan kontrasepsi untuk mencegah infeksi pada orang yang aktif secara seksual, terutama pekerja seks komersial masih menuai kontroversi mengenai keefektivitasannya.
Pada studi ini, peneliti meneliti perbedaan proporsi infeksi Chlamydia trachomatis antara kelompok infeksi Trichomonas vaginalis positif dengan kelompok Trichomonas vaginalis negatif pada pekerja seks komersial di daerah Indramayu, Jawa Barat serta kaitannya dengan jenis kontrasepsi yang dipakai. Sebanyak 216 pekerja seks komersial di Indramayu pada data sekunder dari Departemen Parasitologi diteliti dengan desain studi cross-sectional.
Analisis uji Chi-square menunjukkan bahwa tidak ada perbedaan proporsi infeksi Chlamydia trachomatis yang bermakna antara kelompok infeksi Trichomonas vaginalis positif dengan kelompok Trichomonas vaginalis negatif p=0,484 . Jenis kontrasepsi juga tidak memiliki hubungan yang bermakna terhadap infeksi Trichomonas vaginalis p=0,653 , infeksi Chlamydia trahomatis p=0,195 , serta koinfeksi Trichomonas vaginalis dan Chlamydia trachomatis p=0,213.
Dapat disimpulkan, tidak ada hubungan yang bermakna antara infeksi Trichomonas vaginalis dan Chlamydia trachomatis pada pekerja seks komersial di Indramayu. Tidak ditemukan pula hubungan antara jenis kontrasepsi yang digunakan oleh pekerja seks komersial dengan infeksi Trichomonas vaginalis, Chlamydia trachomatis, dan koinfeksi kedua parasit tersebut.

Infection caused by Trichomonas vaginalis is still an ongoing problem for sexually active women, especially female sex workers who change partners frequently. Trichomoniasis occurring simultaneously with the infection of Chlamydia trachomatis will further worsen the disease and cause many more complication to appear. The usage of contraception in order to prevent infection toward sexually active women is still controversial regarding its effectiveness.
This research aims to identify the difference in proportion of Chlamydia trachomatis infection between positive Trichomonas vaginalis group and negative Trichomonas vaginalis group on female sex workers in Indramayu, Jawa Barat and its relation with used contraception method. A cross sectional study is conducted using secondary data of 216 female sex workers in Indramayu, obtained from Department of Parasitology FMUI.
Chi square analysis suggests no significant proportion difference in Chlamydia trachomatis infection between positive Trichomonas vaginalis group and negative Trichomonas vaginalis group p 0,484. There are also no significant associations between used contraception method with Trichomonas vaginalis infection p 0,653 , Chlamydia trachomatis infection p 0,195 , and Trichomonas vaginalis with Chlamydia trachomatis coinfection p 0,213.
In conclusion, there is no significant association between Trichomonas vaginalis and Chlamydia trachomatis infection among female sex workers in Indramayu. Moreover, there is no significant association between contraception method used by female sex workers with Trichomonas vaginalis infection, Chlamydia trachomatis infection, and both of the parasite infection.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2016
S70373
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Tia Febrianti
"Infeksi Chlamydia trachomatis (CT) genital merupakan penyebab infeksi menular seksual (IMS) terbanyak baik di negara industri, maupun di negara berkembang. Prevalensi infeksi ini bervariasi bergantung pada faktor risiko, kelompok populasi yang diteliti, dan metode pemeriksaan yang digunakan. Penelitian meta-analisis di tahun 2005 melaporkan bahwa prevalensi infeksi CT berkisar antara 3,3% hingga 21,5%.5 Prevalensi infeksi CT pada wanita risiko tinggi meningkat 8 kali lipat dibandingkan dengan wanita risiko rendah. Penelitian tahun 2001 di Panti Sosial Karya Wanita (PSKW) Mufya Jaya mendapatkan angka kejadian infeksi CT adalah 31,1% dengan metode probe DNA PACE 2® dan 27,8% dengan metode enzyme linked immunosorbent assay (ELISA) Chlamydiazime®. Data tahun 2004 hingga 2005 di PSKW Mulya Jaya berdasarkan peningkatan jumlah sel polimorfonuklear (PMN) tanpa ditemukan penyebab spesifik dengan pewarnaan gram, menunjukkan bahwa insidens infeksi genital nonspesifik sebesar 11,1%. Morbiditas dan komplikasi infeksi CT mempengaruhi kesehatan reproduksi wanita akan menimbulkan masalah ekonomi dan psikososial yang serius. Penyakit ini pada wanita dapat menimbulkan gejala uretritis, servisitis, dan penyakit radang panggul (PRP). Selanjutnya dapat terjadi nyeri panggul kronis, kehamilan ektopik, serta infertilitas. Di Amerika Serikat diperkirakan terdapat Iebih dari 4 juta kasus Baru infeksi CT setiap tahun dan akibatnya 50.000 wanita mengalami infertilitas. Bayi yang dilahirkan dari ibu yang terinfeksi CT dapat menderita konjungtivitis dan/atau pneumonia. Selain itu, infeksi CT juga meningkatkan risiko terkena infeksi human immunodeficiency virus (HIV) dan menderita kanker serviks.
Umumnya infeksi CT bersifat asimtomatik pada 75-85% wanita dan pada 50-90% pria, sehingga penderita tidak mencari pengobatan. Individu terinfeksi CT yang asimtomatik merupakan sumber penuiaran di masyarakat, khususnya wanita penjaja seks (WPS) yang berganti-ganti pasangan seksual. Centers for Disease Control and Prevention (CDC) merekomendasikan uji diagnostik infeksi CT terhadap semua wanita seksual aktif usia <20 tahun; wanita baik usia 20-24 tahun, maupun usia >24 tahun dengan salah satu faktor risiko sebagai berikut: tidak selalu menggunakan kondom, atau mempunyai pasangan seks baru, atau memiliki pasangan seks >1 selama 3 bulan terakhir; serta wanita hamil. Skrining CT pada kelompok wanita risiko tinggi efektif menurunkan insidens infeksi CT dan risiko terjadinya sekuele jangka panjang. Dengan demikian, diperLukan uji diagnostik untuk deteksi infeksi CT yang cepat dan sederhana, sehingga dapat diberikan pengobatan yang tepat serta efektif pada kunjungan pertama guna mencegah transmisi dan komplikasi penyakit lebih lanjut."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2006
T58475
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Erni Saptiani
"Meningkatnya jumlah penderita IMS dan banyaknya penderita IMS yang tidak di obati dari tahun ke tahun di Kota Bandar Lampung, dapat menimbulkan permasalahan kesehatan yang sangat serius dan berdampak besar pada masa yang akan datang apabila tidak mendapatkan perhatian dan penanganan yang intensif.
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui perilaku pencarian pengobatan infeksi menular seksual pada wanita penjaja seks di Kecamatan Panjang Bandar Lampung.Penelitian ini merupakan penelitian kuantitatif dengan rancangan cross sectionaldengan sampel penelitian sebanyak 114 wanita penjaja seks yang diambil secara acak sederhana(simple random sampling). Sebagian besar (60,5%) responden telah mencari pengobatan pertama ke fasilitas pelayanan kesehatan dan 39,5% mencari pengobatan sendiri untuk mengatasi keluhannya. Hasil analisis bivariat menunjukkan ada hubungan bermakna antara faktor hambatan dalam pencarian pengobatan dengan perilaku pencarian pengobatan. Faktor yang paling dominan berhubungan dengan perilaku pencarian pengobatan adalah faktor tersedianya fasilitas kesehatan di lokalisasi dengan nilai OR=3,08 yang berarti responden yang terdapat fasilitas kesehatan di lokalisasi mencari pengobatan IMS 3 kali lebih tinggi dibandingkan responden yang tidak mempunyai fasilitas kesehatan di lokalisasi.

The number of patients with sexually transmitted infection (STI)is increasingin Bandar Lampung, but not all of them obtain proper medical treatments. This can lead to serious health problems and can have major impacts in the future, if lacking intensive care and suitable handling environments.
This research aims to analyze sex workers? behaviors in seeking for the medication of STI. The respondents were 114 female sex workers, and they randomly interviewed in the District of Panjang Bandar Lampung. Quantitative method and cross-sectional design were used to analyze the data.The majority of respondents (i.e., 60,5%) have sought for the first aids to health services, whereas the minority (i.e., 39,5 %) have relied on independent treatments to solve their problems. The bivariate analysis shows that significant relationships exist between the impeding factors (in seeking for the medications) and medical-seeking behaviors. The most dominant factor associated with the medical seeking behaviors is the availability of health facility in the prostitution area with the value of OR is equal to 3,08. This means the respondents with a health facility in their working places are three times higher in seeking medication than those with no health facility."
Depok: Universitas Indonesia, 2015
T44208
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Ahmad Sahidin
"[ABSTRAK
Tesis ini membahas tentang upaya perlindungan terhadap wanita penjaja seks (WPS) melalui pendekatan kelompok dukungan sebaya, peran yang dilakukan oleh pendamping (PL/PE) dan hambatan yang timbul serta upaya mengatasi hambatan dalam perlindungan WPS melalui pendekatan kelompok dukungan sebaya di Yayasan Bandungwangi Jatinegara Jakarta Timur. Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif dengan metode penelitian deskriptif. Hasil penelitian menggambarkan upaya perlindungan WPS melalui pendekatan kelompok dukungan sebaya, meliputi (1) bentuk-bentuk perlindungan dan tahap-tahap perlindungan WPS melalui pendekatan kelompok dukungan sebaya, (2) peran yang dilakukan oleh pendamping, meliputi sebagai komunikasi personal, sebagai edukator, sebagai integrator/koordinator, sebagai penggerak (mobilizer), sebagai fasilitator, memberikan konseling (advice giving and counselling), sebagai pembela (advocate), sebagai pemungkin (enabler), sebagai supporting, sebagai analyst/evaluator, dan (3) hambatan yang timbul serta upaya mengatasi hambatan.

ABSTRACT
This thesis discusses the protection effort for sex workers utilizing peer support group approach, role of (field worker /peer edukator) and constraints faced and effort solve contraints Bandungwangi Foundation Jatinegara East Jakarta, the results illustrate (1) steps to provide protection, (2) the role of field workers/peer educator as coordinator, mobilizer, fasilitator, advocator, enabler, evaluator. and solve contraints in the protection women seks worker, This thesis discusses the protection effort for sex workers utilizing peer support group approach, role of (field worker /peer edukator) and constraints faced and effort solve contraints Bandungwangi Foundation Jatinegara East Jakarta, the results illustrate (1) steps to provide protection, (2) the role of field workers/peer educator as coordinator, mobilizer, fasilitator, advocator, enabler, evaluator. and solve contraints in the protection women seks worker]"
2015
T44194
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Rahma Evasari
"Sifilis merupakan penyakit infeksi yang disebabkan oleh Treponema pallidum subspesies pallidum (T. pallidum), merupakan penyakit kronis dan bersifat sistemik. Sifilis merupakan penyakit yang progresif dengan gambaran klinis aktif (stadium primer, sekunder, dan tersier) serta periode tidak bergejala (sifilis laten). Sifilis masih merupakan masalah kesehatan di seluruh dunia dengan 80-90% kasus baru terjadi di negara berkembang dengan sedikit atau tidak ada akses diagnostik. Sejumlah besar sifilis tidak bergejala. Akibatnya, sebagian sifilis tidak terdiagnosis dan tidak mendapatkan tatalaksana yang baik, sehingga berpotensi menimbulkan gejala sisa serius, manifestasi sifilis tersier, kardiovaskular, neurologik, oftalmologik, otologik, dan berlanjutnya rantai penularan. Penelitian ini bertujuan untuk menilai kemampuan rapid Test STANDARD Q Syphilis Ab dengan menggunakan spesimen serum dan darah kapiler dibandingkan dengan TPHA dalam mendeteksi sifilis pada populasi risiko tinggi yang terdiri atas waria, lelaki yang berhubungan seksual dengan lelaki, dan wanita penjaja seks di Puskesmas Kecamatan Pasar Rebo, Jakarta Timur. Penelitian ini adalah uji diagnostik dengan dengan rancangan studi potong lintang. Hasil penelitian menggunakan spesimen serum memberikan hasil sensitivitas 91,30%, spesifisitas 97,53%, nilai duga positif 95,45%, nilai duga negatif 95,18%, dan akurasi 95,28% dibandingkan dengan TPHA sebagai baku emas. Hasil pengujian dengan spesimen darah kapiler memberikan hasil sensitivitas 84,78%, spesifisitas 98,77%, nilai duga positif 97,50%, nilai duga negatif 91,95%, dan akurasi 93,70% dibandingkan dengan TPHA sebagai baku emas. Kesesuaian hasil rapid test STANDARD Q Syphilis Ab antara spesimen serum dan darah kapiler sangat baik (κ = 0,8223). Rapid test STANDARD Q Syphilis Ab dapat dijadikan alternatif uji treponemal dalam menunjang diagnosis sifilis, baik sebagai penapisan rutin maupun konfirmasi hasil uji nontreponemal serta penggunaan spesimen darah kapiler dapat dijadikan alternatif uji treponemal yang lebih cepat dan mudah dilakukan.

Syphilis is a chronic and systemic disease caused by Treponema pallidum subspecies pallidum (T. pallidum). Syphilis is a progressive disease with active clinical features (primary, secondary, and tertiary syphilis) and asymptomatic periods (latent syphilis). Syphilis is still a worldwide health problem with 80-90% of new cases occurring in developing countries with little or no diagnostic access. A large number of syphilis are asymptomatic. As a result, some syphilis is undiagnosed and does not get good management, potentially causing serious sequelae, the manifestation of tertiary syphilis, cardiovascular, neurologic, ophthalmologic, otologic, and continuous chain of transmission. This study aimed to assess STANDARD Q Syphilis Ab's rapid test capability using serum and fingerprick whole blood specimens compared with TPHA in detecting syphilis in high-risk populations comprised of transgenders, men who have sex with men, and female sexual workers in Puskesmas Pasar Rebo. This study is a diagnostic test with a cross sectional study design. The results of this study using serum specimens were sensitivity of 91.30%, specificity of 97.53%, positive predictive value 95.45%, negative predictive value of 95.18%, and accuration 95.28%, compared to TPHA as the gold standard. Test results with fingerprick whole blood specimens gave sensitivity of 84.78%, specificity of 98.77%, positive predictive value of 97.50%, negative predictive value of 91.95%, and accuration 93.70%, compared to TPHA as the gold standard. Compatibility of rapid test STANDARD Q Syphilis Ab results between serum and fingerprick whole blood specimens was very good (κ = 0.8223). Rapid test STANDARD Q Syphilis Ab can be used as an alternative treponemal test in supporting syphilis diagnosis, either as routine screening or confirmation of nontreponemal test result and the use of fingerprick whole blood specimen can be used as treponemal test alternative which is faster and easier to do.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2018
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>