Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 123919 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Pakpahan, Victor Ercantez
"Latar Belakang : Berdasarkan WHO (World Health Organization) pada tahun 2017, ameloblastoma dinyatakan sebagai suatu tumor epitelial odontogenik yang berasal dari jaringan pembentuk gigi, memiliki sifat lokal invasif serta destruktif. Gold standard dalam tatalaksana kasus ameloblastoma ialah pembedahan reseksi diikuti dengan free fibula flap. Kendati demikian, prosedur yang digunakan memiliki efek samping pasca operasi dalam beberapa aspek, seperti halnya fungsi mastikasi, penampilan, hingga psikologis. Peninjauan efek samping yang ada dinilai berdasarkan kualitas hidup dari responden menggunakan kuesioner bernama UW-QOL.
Tujuan : Mengetahui kualitas hidup responden dilihat dari perbedaan score UW-QOL antar kelompok berdasarkan klasifikasi defek mandibula melibatkan kondilus dan yang tidak melibatkan kondilus.
Metode : Penelitian dilakukan menggunakan kuesioner guna mengumpulkan score UW- QOL. Responden berjumlah 32 orang yang terbagi menjadi 2 kelompok berdasarkan klasifikasi defek mandibula mencapai kondilus dan tidak mencapai kondilus. Analisis data dilakukan menggunakan IBM SPSS dengan uji Mann-Whitney U untuk melihat ada atau tidaknya perbedaan score yang bermakna maupun tidak.
Kesimpulan : Hasil uji non-parametrik Mann-Whitney U menunjukkan kualitas hidup antar kelompok dengan defek mandibula sama baiknya ditunjukkan dengan tidak adanya perbedaan bermakna pada seluruh aspek seperti pada aspek Penampilan, Aktivitas, Rekreasi, Bicara, Cita Rasa, Air Liur, serta Suasana Hati. Namun, terdapat 3 aspek yang menunjukkan adanya perbedaan bermakna secara statistik ditunjukkan dengan alpha kurang dari 0,05 yaitu aspek Menelan, Mengunyah, serta Kecemasan.

Background: Based on the WHO (World Health Organization) in 2017, ameloblastoma is stated as an odontogenic epithelial tumor originating from tooth-forming tissue, which has locally invasive and destructive properties. The gold standard in the management of ameloblastoma cases is surgical resection followed by a free fibula flap. However, the procedures used have post-operative side effects in several aspects, such as masticatory function, appearance and psychology. The review of existing side effects was assessed based on the quality of life of the respondents using a questionnaire called UW-QOL. Objectives: To determine the quality of life of respondents seen from the differences in UW-QOL scores between groups based on the classification of mandibular defects involving the condyle and those not involving the condyle.
Methods: The research was conducted using a questionnaire to collect UW-QOL scores. Respondents totaled 32 people who were divided into 2 groups based on the classification of mandibular defects reaching the condyle and not reaching the condyle. Data analysis was carried out using IBM SPSS with the Mann-Whitney U test to see whether there were significant differences in scores or not.
Conclusion: The results of the non-parametric Mann-Whitney U test show that the quality of life between groups with mandibular defects is equally good, as shown by the absence of significant differences in all aspects such as appearance, activity, recreation, speech, taste, saliva and mood. . However, there are 3 aspects that show statistically significant differences, indicated by an alpha of less than 0.05, namely the Swallowing, Chewing and Anxiety aspects.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Indonesia, 2024
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Ciputra Linardy
"

Introduksi: Rekonstruksi mandibula pada kasus-kasus tumor mandibula menggunakan flap fibula bebas merupakan hal penting untuk mengembalikan fungsi dan estetik pada defek pascareseksi. Penelitian ini ditujukan untuk menilai hubungan karakteristik klinis dengan fungsi menelan, fungsi bicara, fungsi makan, dan kualitas hidup pada pasien yang dilakukan rekonstruksi mandibula menggunakan flap fibula bebas pascamandibulektomi.

Metode: Dilakukan studi dengan desain potong lintang dan survei mengikutsertakan pasien yang dilakukan rekonstruksi mandibula menggunakan flap fibula bebas pascamandibulektomi di RSCM pada tahun 2014-2019. Dilakukan penilaian terhadap kelas defek mandibula, panjang defek, jumlah subunit mandibula, ekstensi defek, jumlah segmen tulang, selanjutnya dilakukan penilaian fungsi melalui wawancara menggunakan European Organization for Research and Treatment of Cancer Head and Neck Cancer Quality of Life Questionnaire (EORTC QLQ-H&N35).

Hasil: Tercatat 63 pasien dengan mandibulektomi dan dilakukan rekonstruksi. Hanya 14 dapat dinilai. Hanya panjang defek dan ekstensi defek yang memiliki hubungan bermakna dengan fungsi. Panjang defek mandibula memiliki korelasi positif dengan gangguan pada fungsi menelan (p = 0,032), fungsi bicara (p = 0,020), dan kualitas hidup (p = 0,032). Ekstensi defek intraoral dan ekstraoral menyebabkan gangguan fungsi menelan (p = 0,035).

Konklusi: Penelitian ini menunjukkan bahwa fungsi menelan, fungsi bicara, dan kualitas hidup tergantung defek pascamandibulektomi.

 


Introduction: Mandibular reconstruction utilizing free fibula flap is essential in restoring the function, and aesthetics outcomes post mandibular tumor resection. This study looks into the association of clinical characteristics with functional outcomes such as swallowing, speaking, eating, and quality of life on patients undergoing post-mandibulectomy mandibular reconstruction using free fibula flap.

Methods: We performed a cross-sectional study that includes patients who underwent post-mandibulectomy mandibular reconstruction using free fibula flap at RSCM in 2014-2019. Mandibula defect class, defect length, the number of mandibula subunits, defect extension, and the number of osteotomy segments was evaluated. The functional outcomes were assessed using the European Organization for Research and Treatment of Cancer Head and Neck Cancer Quality of Life Questionnaire (EORTC QLQ-H&N35).

Results: 63 patients underwent mandibulectomy and reconstruction using free fibula flap. Only 14 were included in the study. Defect length and extension are significantly associated with functional outcomes. Mandibula defect length has positive correlation with problems in swallowing function (p = 0.032), speaking function (p = 0.020), and quality of life (p = 0.032). Both intraoral and extraoral defect extension causes swallowing function problem (p = 0.035).

Conclusion: This study discovered that swallowing function, speaking function, and quality of life are associated with post-mandibulectomy defect.

 

 

"
Depok: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2020
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Santi Anggraini
"ABSTRAK
Latar Belakang : Perubahan yang terjadi pasca bedah pada area wajah dan leher
dapat menyebabkan perubahan fisik, yang termasuk didalamnya perubahan
Penampilan Wajah dan Leher yang dapat mempengaruhi Quality of Life Pasien.
Tujuan: Menilai perbedaan QOL antara pasien dengan kategori simetri jika
dibandingkan dengan pasien kategori asimetri pada pasien pasca reseksi
mandibula dengan rekonstruksi pelat pada kasus ameloblastoma.
Metode Penelitian: 20 subyek penelitian dilakukan penilaian QOL dengan
menggunakan University of Washington Questionnaire (UW QOL) versi Bahasa
Indonesia yang telah dilakukan cross cultural adaptation serta memiliki 8 item
pernyataan yang valid dengan nilai konsistensi Alpha Cronbach?s sebesar 0,817.
Penilaian perubahan fisik dilakukan dengan menggunakan fotografi frontal ekstra
oral dengan membuat kategori asimetri, dengan perhitungan asymmetry index dan
perhitungan pergeseran menton.
Hasil : Terdapat perbedaan QOL yang signifikan antara pasien dengan kategori
asimetri wajah jika dibandingkan dengan pasien kategori simetri wajah pada
pasien pasca reseksi mandibula dengan rekonstruksi pelat. Pada pasien dengan
kategori simetri memiliki skor QOL yang lebih tinggi dibanding pasien dengan
kategori asimetri.
Kesimpulan:Perubahan fisik pada wajah dan leher pasca reseksi bedah dengan
rekonstruksi pelat mempengaruhi penilaian QOL pasien.

ABSTRACT
Background: Changes that occur after surgery on the face and neck area can be
categorized into physical changes, which can affect the Quality of Life of Patients.
This becomes important when the patient is a barometer of the success of the
actions in the field of medicine.
Purpose: Assess QOL differences between patients with asymmetry categories
when compared with patients categories symmetry in patients with post-resection
of mandibular reconstruction plate in the case of ameloblastoma.
Methods: 20 subjects research conducted QOL assessment using the University
of Washington Questionnaire (UW-QOL) Indonesian version that has been made
cross-cultural adaptation and has 8 valid statement items and the value of
consistency Cronbach's Alpha in point 0.817. Assessment of physical changes
done by using extra-oral photography frontal asymmetry by creating categories,
with the calculation of the index and a shift asymmetry menton.
Results: There were significant differences in QOL among patients with
symmetry categories compared with those categories of asymmetry in patients
with post-resection mandibular reconstruction plate. In patients with category
symmetry has a higher QOL scores than patients with category symmetry.
Conclusions: Physical changes in the face and neck after surgical resection with
reconstruction plate affect patient QOL assessment."
2015
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Yudy Ardilla Utomo
"Latar Belakang: Tumor rongga mulut jinak yang besar menyebabkan deformitas pada wajah sehingga tindakan koreksi dengan operasi menyebabkan defek anatomis, fisiologis, serta psikologis pada penderita. Prosedur bedah dan rekonstruksi pada pasien dengan tumor mandibula merupakan tantangan yang kompleks. Mandibula tersusun atas komponen-komponen seperti korpus mandibula, simphisis mandibula, parasimphisis mandibula, ramus mandibula, procesus coronoideus, dan kondilus mandibula. OPG masih dapat digunakan untuk melihat perubahan morfologi kondilus. Diketahui bahwa perubahan pada morfologi kondilus dapat berupa berkurangnya konfigurasi dan volume dari kondilus itu sendiri, berkurangnya ketinggian ramus, hal ini dapat menyebabkan permasalahan pada sistem stomatognatik pasien.
Tujuan: Mengetahui perubahan morfologi kondilus mandibula pasca reseksi dengan kategori perubahan morfologi kondilus di Divisi Bedah Mulut dan Maksilofasial, Departemen Gigi dan Mulut RSUPN Cipto Mangunkusumo, Jakarta.
Material dan Metode: Penelitian dengan metode retrospektif melalui radiografi panoramik pasien-pasien tumor mandibula pre operasi reseksi,pasien-pasien tumor mandibula pasca operasi reseksi,dan pasien-pasien tumor mandibula 1 tahun pasca operasi reseksi selama bulan Juni sampai dengan Agustus tahun 2019 di Divisi Bedah Mulut dan Maksilofasial RSUPN Cipto Mangunkusumo, Jakarta. Setiap sampel dilakukan pengukuran pada radiografi panoramiknya dengan menggunakan Klasifikasi Kranjenbrink dan klasifikasi morfologi kondilus mandibula.
Hasil: Pada penelitian ini tidak terjadi perubahan tinggi kondilus mandibula pasca segmental reseksi mandibula. (p: 0,801). Tidak terjadi perubahan morfologi kondilus mandibula pasca reseksi mandibula (P: 0.41) untuk kondilus kiri dan (p: 0.32) untuk kondilus kanan. Dan didapat dengan jenis operasi disartikulasi, terjadi perubahan morfologi kondilus mandibula pasca disartikulasi reseksi mandibula (p: 0.003) untuk kondilus kiri, dan (p: 0.012) untuk kondilus kanan.
Kesimpulan: Hasil penelitian menunjukkan tidak terdapat perubahan morfologi kondilus mandibula pada reseksi mandibula pada left condyle (LC)ataupun right condyle (RC). Terdapat perubahan morfologi kondilus pada satu sisi pasca reseksi disartikulasi mandibula. Tidak terdapat perubahan tinggi kondilus mandibula pasca reseksi segmental mandibula pada left condyle (LC)ataupun right condyle (RC).

Background: Large benign oral cavity tumors causing deformity in the face, requires surgical correction causing anatomical, physiological and psychological defects in patients. Surgical and challenging procedures in patients with mandibular tumors are complex challenges. The mandible is composed of components such as the mandibular corpus, mandibular symphysis, mandibular parasymhysis, mandibular ramus, coronoid process, and mandibular condyle. OPG can still be used to see changes in the condyle morphology. It is known that changes in the condyle morphology can affect its configuration and volume of the condyle itself, reducing the height of the ramus, this can cause complications in the patient's stomatognathic system.
Objective: To determine the morphological changes of the mandibular condyle post resection in condyle morphological changes in the Oral and Maxillofacial Surgery Division, Department of Dentistry Cipto Mangunkusumo General Hospital, Jakarta.
Materials and Methods: A retrospective study using panoramic radiographs of patients with preoperative mandibular tumor resection, patients with mandibular tumor postoperative resection, and mandible tumor patients 1 year after surgery 2019 in the Oral and Maxillofacial Surgery Department of Cipto General Hospital, Cipto General Hospital Mangunkusumo, Jakarta. Each sample was measured on its panoramic radiography using the Kranjenbrink Classification and the morphological classification of the mandibular condyle.
Result: In this study there was no change in the height of the mandibular condyle after segmental resection of the mandible. (p: 0.801). There were no changes in the morphology of the mandibular condyle after resection of the mandible (P: 0.41) for the left condyle and (p: 0.32) for the right condyle. And obtained with this type of disarticulation surgery, there was a morphological change in the mandibular condyle after disarticulation of the resection of the mandible (p: 0.003) for the left condyle, and (p: 0.012) for the right condyle.
Conclusion: The results showed no morphological changes in the mandibular condyle in resection of the mandible in the left condyle (LC) or right condyle (RC). There is a change in the condyle morphology on one side post disarticulating resection of the mandible. There is no change in the height of the mandibular condyle after resection of the segmental mandible in the left condyle (LC) or right condyle (RC).
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Indonesia, 2019
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Hananto Anggoro Wiryawan
"Latar belakang: Tatalaksana rekonstruksi pada pasien reseksi mandibula dengan hanya menggunakan rekonstruksi plat umum dilakukan dibeberapa rumah sakit di Indonesia. Beberapa komplikasi yang dapat terjadi pasca rekonstruksi mandibula dapat berupa ekspose plat, fraktur plat dan fistula.
Tujuan: Tujuan penelitian ini akan mencari beberapa faktor yang mempengaruhi terjadinya komplikasi tersebut.
Material dan metode: Penelitian ini merupakan studi retrospektif dari tahun 2012-2017 yang diambil dari rekam medis. Data tumor jinak mandibula (lokasi, ukuran, panjang), data sistemik pasien (riwayat merokok, diabetes, status gizi) dan data operasi (durasi, sistem plat rekonstruksi) dihubungkan dengan kejadian komplikasi yang dianalisis dengan menggunakan Kaplan Meier Survival Curve dan Cox Regresi Proportional Hazard.
Hasil: Terkumpul 69 data dengan prevalensi terjadinya komplikasi sebesar 21,73%(15/69) dengan rerata lama observasi 15,4 bulan. Terdapat pengaruh riwayat merokok (p=0,000) dan faktor usia (p=0,000) terhadap terjadinya komplikasi pasca pemasangan plat dengan hazard ratio riwayat merokok 9,19 dan faktor usia 10-20 tahun dibanding diatas 60 tahun sebesar 153,8. Angka survival plat pada pasien tidak merokok berada diatas 80% pada 2 tahun pertama, tahun ketiga 60% dan setelah itu dapat menurun hingga 20-40%.
Kesimpulan: Merokok dan faktor usia berpengaruh terhadap kejadian komplikasi pasca rekonstruksi mandibula. Jika memungkinkan, rekonstruksi mandibula hanya dengan plat rekonstruksi merupakan tindakan sementara, perlu dipertimbangkan penggunaan graft baik vascularized maupun non-vascularized.

Background: Treatment of reconstruction in post-mandibular resection patients using only plate reconstruction is commonly performed in several hospitals in Indonesia. Some complications that can occur after reconstruction of the mandible can be expose plates, plate fractures and fistulas.
Aim: The purpose of this study will look for several factors that influence the occurrence of these complications.
Material and method: A retrospective study from 2012-2017 taken from medical records. Data on benign mandibular tumors (location, size, length), patient systemic data (smoking history, diabetes, nutritional status) and operating data (duration, reconstruction plate system) were associated with the incidence of complications, analyzed using Kaplan Meier Survival Curve and Cox Proportional Regression Hazard.
Result: Sixty-nine data with the prevalence of complications 21.73% (15/69) with an average observation time 15.4 months. There was an effect of smoking history (p = 0,000) and age factor (p = 0,000) on the occurrence of postoperative complications with hazard ratio of smoking history 9,19 and age factor 10-20 years compared to over 60 years is 153,8. The plate survival rate in patients who do not smoke is above 80% in the first 2 years, the third year is 60% and after that it can decrease by 20-40%.
Conclusion: Smoking and age factors influence the incidence of post-reconstruction mandibular complications. If possible, mandible reconstruction using a reconstruction plate is temporary procedure, it is necessary to consider the use of either vascularized or non-vascularized grafts.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Indonesia, 2018
SP-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Verry Herawan
"Latar Belakang: Kondilus mandibula sering terlibat dalam berbagai kondisi patologis seperti tumor dan cedera traumatis, dimana melibatkan kondilus mandibula sehingga memerlukan reseksi dan pengangkatannya. Ameloblastoma mencakup sekitar 14% dari semua tumor rahang dan kista dan merupakan tumor odontogenik yang prevalensinya paling tinggi di negara berkembang. Pelat rekonstruksi mandibula digunakan dalam bedah mulut dan maksilofasial untuk rekonstruksi defek mandibula. Karena mandibula memainkan peran sentral dalam fungsi dan estetika, hilangnya kontinuitas rahang dapat sangat merusak integritas rahang pasien, dan sangat mempengaruhi persepsi diri dan kepercayaan diri pasien. Saat ini, kemajuan teknologi tiga dimensi (3D) dapat digunakan untuk membuat model aloplastik untuk rekonstruksi mandibula.
Tujuan Penelitian: Mengetahui dan menganalisis perbedaan perubahan posisi protesa kondilus pada pasien ameloblastoma pascareseksi disartikulasi yang menggunakan 3D Model STL dan tidak menggunakan 3D Model STL pre operasi pada kontrol 1 hari setelah operasi dan 6 bulan pascareseksi mandibula di Rumah Sakit Ciptomangunkusumo Jakarta periode 2015-2020.
Metode Penelitian: 22 subjek penelitian panoramik diambil dari pasien Rumah Sakit Ciptomangunkusumo sesuai dengan kriteria inklusi dan ekslusi. Subjek penelitian dilihat perbedaan nilai rata-rata tinggi protesa kondilus antara 2 kelompok (dengan Model 3D STL dan tanpa Model 3D STL) pada 1 hari pascareseksi dan 6 bulan pascareseksi. Pengukuran dilakukan dengan menggunakan aplikasi IC Measure. Analisis data untuk melihat perbedaan nilai rata-rata letak posisi protesa kondilus antara 2 kelompok (dengan Model 3D STL dan tanpa Model 3D STL) pada 1 hari pasca reseksi dan 6 bulan pasca reseksi dilakukan dengan menggunakan Uji Dependent T.test dan Wilcoxon- Signed Rank test dan perbedaan nilai tinggi dan letak posisi protesa kondilus antara 2 kelompok (dengan Model 3D STL dan tanpa Model 3D STL) 1 hari pasca reseksi dan 6 bulan pasca reseksi dengan menggunakan Uji ANOVA.
Hasil: Terdapat perbedaan ketinggian dengan nilai P sebesar P= 0,004 dan tidak terdapat perbedaan letak protesa yang signifikan secara statistik dengan nilai P sebesar P= 0,66 antara kontrol 1 hari pasca reseksi dan 6 bulan pasca reseksi dengan model 3D STL. Terdapat perbedaan ketinggian dengan nilai P sebesar P=0,005 dan tidak terdapat perbedaan letak protesa yang signifikan secara statistik dengan nilai P sebesar P= 0,76 antara kontrol 1 hari pascareseksi dan 6 bulan pascareseksi tanpa model 3D STL.
Kesimpulan: tidak terdapat perbedaan ketinggian dan letak protesa pada fossa kondilus yang signifikan secara statistik antara kelompok 1 hari tanpa model STL, 1 hari dengan model STL, 6 bulan dengan model STL dan 6 bulan tanpa model STL pascareseksi disartikulasi.

Background: Mandibular condyles are often involved in various pathological conditions such as tumors and traumatic injuries, that involving the mandibular condyles that require resection and removal. Ameloblastoma accounts for approximately 14% of all jaw tumors and cysts and is the most prevalent odontogenic tumor in developing countries. Mandibular reconstruction plates are used in oral and maxillofacial surgery for the reconstruction of mandibular defects. Since the mandible plays a central role in function and esthetics, loss of jaw continuity can severely impair the patient's jaw integrity, and severely affect the patient's self-perception and self-confidence. Currently, technological advances in three-dimensional (3D) models can be used to create alloplastic models for mandibular reconstruction.
Aim: To know and analyze the differences in the position changes of the condylar prosthesis in ameloblastoma patients after disarticulation resection using the 3D STL model and not using the 3D STL model preoperatively in controls 1 day after surgery and 6 months after mandibular resection at Ciptomangunkusumo Hospital, Jakarta. 2015-2020 period.
Methods: 22 panoramic research subjects were taken from Ciptomangunkusumo Hospital patients according to the inclusion and exclusion criteria. Research subjects saw the difference in the average height of the condylar prosthesis between the 2 groups (with 3D STL model and without STL 3D model) at 1 day post-resection and 6 months post-resection. Measurements are carried out using the IC Measure application. Data analysis to see the difference in the average value of the position of the condylar prosthesis between the 2 groups (with 3D STL Model and without 3D STL Model) at 1 day post-resection and 6 months post-resection was carried out using the Dependent T.test and Wilcoxon-Signed Rank Test. The difference in the height and position of the condylar prosthesis between the 2 groups (with 3D STL model and without STL 3D model) 1 day after resection and 6 months after resection using the ANOVA test.
Result: There was a difference in height with a P value of P = 0.004 and there was no statistically significant difference in location with a P value of P = 0.66 between controls 1 day post-resection and 6 months post-resection with the 3D STL model. There was a difference in height with a P value of P = 0.005 and there was no statistically significant difference in the location of the protest with a P value of P = 0.76 between controls 1 day post-resection and 6 months post-resection without the 3D STL model.
Conclusion: There was no statistically significant difference in height and position of the prosthesis between controls 1 day post-resection and 6 months post-resection without 3D STL model, there was no statistically significant difference in height and position of the prosthesis between controls 1 day post-resection and 6 months post resection with 3D STL model.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Indonesia, 2022
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Cindy Lorenza
"Latar Belakang: Bone loss merupakan kondisi yang terjadi seiring penuaan akibat berbagai faktor risiko. Pemeriksaan densitas tulang dapat dilakukan dengan melihat grayscale value tulang kanselus mandibula pada radiograf panoramik digital. Tujuan: Mengetahui perbandingan rerata grayscale value tulang kanselus mandibula menurut jenis kelamin, usia, dan besar arus listrik pada radiograf panoramik digital. Metode: Penelitian ini menggunakan 294 sampel radiograf panoramik digital pria dan wanita berusia 31-75 tahun di RSKGM FKG UI. Rerata grayscale value didapatkan dari pengukuran menggunakan Software I-Dixel Morita© di tulang kanselus mandibula kiri atau kanan daerah apikal regio premolar. Analisa statistik dilakukan 2 kali dengan atau tanpa mempertimbangkan variasi kondisi besar arus(mA). Analisa pertama melibatkan seluruh 294 sampel dengan rentang besar arus 3,3-8 mA. Analisa kedua melibatkan 60 sampel dengan rentang besar arus 5,7-6,4 mA. Hasil: Hasil analisa statistik pertama menunjukkan rerata grayscale value kelompok pria sebesar 113,52±14,88 dan kelompok wanita sebesar 109,98±14,08. Rerata Grayscale value kelompok usia 31-45 tahun sebesar 112,38±13.39, kelompok usia 46-60 tahun sebesar 111,76±13.75, dan kelompok usia 61-75 tahun sebesar 111,11±16.49. Hasil analisa statistik kedua menunjukkan rerata grayscale value kelompok pria sebesar 116,66±13,75 dan kelompok wanita sebesar 105,58±13,55. Rerata grayscale value kelompok usia 32-53 tahun sebesar 115,42±10,89 dan kelompok usia 54-75 tahun sebesar 106,81±16,72. Kesimpulan: Rerata grayscale value tulang kanselus mandibula antar jenis kelamin dan kelompok usia tidak berbeda bermakna (3,3-8 mA). Rerata grayscale value tulang kanselus mandibula antar jenis kelamin serta antar kelompok usia berbeda bermakna (5,7-6,4 mA).

Background: Bone loss is a condition that occurs during aging due to various factor risk. Bone density examination can be performed by measuring grayscale value at the mandibular cancellous bone on a digital panoramic radiograph. Objective: To obtain comparison of mean grayscale value of mandibular cancellous bone by gender, age, and tube current on digital panoramic radiograph. Method: This study utilizing secondary data, totally 294 digital panoramic radiograph of men and women age 31-75 years old at RSKGM FKG UI. Mean grayscale value is obtained by measurement using Software I- Dixel Morita© in the left or right mandibular cancellous bone in the apical area of the premolar region. Two alternative statistical analysis were carried out, with or without considering the variation in tube current condition (mA). The first analysis involved all 294 samples with tube current condition range from 3,3-8 mA. The second analysis involved 60 samples with tube current condition range from 5,7-6,4 mA. Result: First statistical analysis showed that mean grayscale value of the men group is 113,52±14,88 and women group is 109,98±14,08. Mean grayscale value of the 31-45 years old group is 112,38±13.39, 46-60 years old group is 111,76±13.75, and 61-75 years old group is 111,11±16.49. Result from second statistical analyses shows mean grayscale value of the men group is 116,66±13,75 and women group is 105,58±13,55. Mean grayscale value of the 32-53 years old group is 115,42±10,89 and 54-75 years old is 106,81±16,72. Conclusion: Mean grayscale value mandibular cancellous bone by gender and age group are not statistically different (3,3-8 mA). Mean grayscale value mandibular cancellous bone by gender and age group are statistically different (5,7-6,4 mA)."
Depok: Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Indonesia, 2021
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Adiel Amaris Syah
"Berdasarkan data Kementerian Kesehatan Indonesia6, pada tahun 2010, 43,3% dari seluruh perokok mulai merokok pada rentang usia 14-19 tahun. Fakta ini mengindikasikan peningkatan prevalensi penyakit-penyakit pembuluh darah di masa yang akan datang, termasuk Buerger's disease (Penyakit Buerger). Sehubungan dengan peningkatan prevalensi tersebut, perlu dilakukan penelitian tentang faktor-faktor yang mempengaruhi kualitas hidup pasien dengan Penyakit Buerger, terutama faktor sosioekonomi dengan tujuan agar pelayanan terhadap pasien dan kepuasan pasien terhadap terapi dapat ditingkatkan. Metode penelitian adalah studi potong lintang. Pada hasil ditemukan hubungan bermakna antara faktor usia dengan indeks gejala pasca tatalaksana (p<0,05 ; uji t tidak berpasangan). Kesimpulan yang didapatkan bahwa secara keseluruhan tidak ditemukan hubungan bermakna antara faktor sosioekonomi dengan kualitas hidup, kecuali faktor usia dengan indeks gejala pasca tatalaksana.

Based on the data from the Ministry of Health of Indonesia, in 2010, 43.3% of all smokers start smoking at the age range from 14 to 19 years old. This fact indicates an increased prevalence of vascular diseases in the future, including Buerger's disease. Regarding to the increased prevalence a research futher about factors that affect the quality of life of the patient with Buerger's Disease need to be performed, particularly on the socioeconomic factor which purposed for better medical service and increase treatment satisfactory of the patients. The research method is cross-sectional study. As the result, significant correlations is found in the correlation of the age factor and post-therapy symptoms index (p<0,05 : t-unpaired test). The conclusion found is relatively no significant correlation between the socioeconomic factor and the quality of life, except the correlation of the age factor and the post therapy symptoms index.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2014
SP-Pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Sitorus, Pardamean Robby Andreas
"Penelitian ini merupakan penelitian potong lintang yang bertujuan untuk menganalisis
korelasi antara cervical vertebral maturation dengan dimensi mandibula. Data berasal
dari 90 radiograf sefalometri lateral (49 perempuan, 41 laki-laki), anak usia 8-16 tahun di
Jakarta. Metode: menggunakan penilaian dan pengukuran visual radiograf sefalometri
lateral, dimensi mandibula diukur berdasarkan panjang total mandibula (jarak dari titik
condylon - gnathion), tinggi ramus mandibula (jarak dari titik condylon - gonion
intersection), dan panjang corpus mandibula (jarak dari titik gnathion - gonion
intersection), selama tahap maturasi skeletal vertebra servikalis (cervical stage 1 sampai
cervical stage 6) yang dinilai dari badan kedua sampai badan keempat tulang vertebra
servikalis. Korelasi antara cervical vertebral maturation dengan dimensi mandibula
dianalisis menggunakan uji Spearman. Hasil: terdapat korelasi yang kuat dan signifikan
(p < 0,05) antara cervical vertebral maturation tahap pubertas dengan panjang total
mandibula (r = 0,663), antara cervical vertebral maturation tahap pubertas dengan tinggi
ramus mandibula (r = 0,555), dan antara cervical vertebral maturation tahap pubertas
dengan panjang corpus mandibula (r = 0,510). Terdapat korelasi yang sedang dan
signifikan (p < 0,05) antara cervical vertebral maturation tahap prepubertas dengan
panjang total mandibula (r = 0,453), antara cervical vertebral maturation tahap
prepubertas dengan tinggi ramus mandibula (r = 0,395), dan antara cervical vertebral
maturation tahap pascapubertas dengan panjang corpus mandibula (r = 0,374).
Kesimpulan: terdapat korelasi antara cervical vertebral maturation dengan dimensi
mandibula terutama pada tahap pubertas. Maturasi skeletal dapat digunakan untuk
menilai pertumbuhan dan perkembangan mandibula, sebagai pertimbangan dalam
mengoptimalisasi waktu perawatan ortopedik maksilofasial.

This study is a cross-sectional and aims to analyze correlation between cervical vertebral
maturation and mandibular dimensions from 90 lateral cephalometric radiograph (49
girls, 41 boys), aged 8-16 years in Jakarta. Methods: The method uses visual
measurements of lateral cephalometric radiograph, mandibular dimensions were assessed
from total mandibular length (range of condylon - gnathion line), ramus mandibular
height (range of condylon - gonion intersection line), and corpus mandibular length
(range of gonion intersection – gnathion line), during maturity stages of the cervical
vertebral bone (cervical stage 1 to cervical stage 6) which assessed from second to fourth
branches. Correlation between cervical vertebral maturation and mandibular dimensions
were analyzed using Spearman method. Results: The results showed a significant (p <
0.05) and strong correlation between cervical vertebral maturation pubertal stage and total
mandibular length (r = 0.663), between cervical vertebral maturation pubertal stage and
ramus mandibular height (r = 0.555), and between cervical vertebral maturation pubertal
stage and corpus mandibular length (r = 0.510). The results showed a significant (p <
0.05) and medium correlation between cervical vertebral maturation prepubertal stage
and total mandibular length (r = 0.453), between cervical vertebral maturation prepubertal
stage and ramus mandibular height (r = 0.395), and between cervical vertebral maturation
post pubertal stage and corpus mandibular length (r = 0.374). Conclusion: The
Correlation between cervical vertebral maturation and mandibular dimension is seen
mainly in puberty stage. Skeletal maturity used to assess mandibular growth for
optimization maxillofacial orthopaedic treatment timing.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Indonesia, 2020
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Dekta Filantropi Esa
"Latar Belakang. Penyakit radang usus atau Inflammatory Bowel Disease (IBD) memiliki gejala gangguan saluran pencernaan yang tidak dapat diprediksi, tidak menyenangkan, dan kerap kali menimbulkan rasa malu bagi penderitanya. Berbagai ketidaknyamanan tersebut dapat mempengaruhi penurunan kualitas hidup pasien IBD hingga meningkatkan morbiditas dan mortalitas di masa depan. Perlu instrumen yang sahih dan andal untuk menilai kualitas hidup pasien dengan IBD.
Tujuan. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui keandalan dan kesahihan Inflammatory Bowel Disease Questionnaires-9 (IBDQ-9) versi bahasa Indonesia untuk menilai kualitas hidup pasien dengan IBD.
Metode. Instrumen asli IBDQ-9 diterjemahkan ke bahasa Indonesia dan diterjemahkan kembali ke bahasa Inggris lalu dikonfirmasi kepada pemilik instrumen. Kemudian dilakukan uji kesahihan isi dengan Content Validity Index (CVI). Studi potong lintang dengan populasi terjangkau pasien dewasa IBD di Poliklinik Gastroenterologi, Rumah Sakit Umum Pusat Nasional Cipto Mangunkusumo Jakarta pada bulan November 2022 yang berusia 18-59 tahun, telah mengalami IBD minimal 2 minggu dan bersedia untuk menandatangani
informed consent sebagai responden penelitian. Perbandingan skor total IBDQ-9 dengan SF-36 versi Indonesia dinilai dengan uji korelasi Spearman lalu uji keandalan dengan menentukan alfa Cronbach dan Intraclass Correlation Coefficient (ICC).
Hasil. Sebanyak 124 pasien IBD dianalisis dengan uji Spearman menunjukkan korelasi yang tinggi dan signifikan antara IBDQ-9 dengan SF-36 (r=0,769 dan p<0,001). IBDQ-9 versi bahasa Indonesia memiliki nilai alfa Cronbach versi bahasa Indonesia sebesar 0,883 dan nilai ICC yang baik juga sebesar 0,883 (IK95% 0,849-0,912).
Kesimpulan. Instrumen IBDQ-9 versi Bahasa Indonesia sahih dan andal untuk menilai kualitas hidup pasien dengan IBD di Indonesia.

Latar Belakang. Penyakit radang usus atau Inflammatory Bowel Disease (IBD) memiliki gejala gangguan saluran pencernaan yang tidak dapat diprediksi, tidak menyenangkan, dan kerap kali menimbulkan rasa malu bagi penderitanya. Berbagai ketidaknyamanan tersebut dapat mempengaruhi penurunan kualitas hidup pasien IBD hingga meningkatkan morbiditas dan mortalitas di masa depan. Perlu instrumen yang sahih dan andal untuk menilai kualitas hidup pasien dengan IBD.
Tujuan. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui keandalan dan kesahihan Inflammatory Bowel Disease Questionnaires-9 (IBDQ-9) versi bahasa Indonesia untuk menilai kualitas hidup pasien dengan IBD.
Metode. Instrumen asli IBDQ-9 diterjemahkan ke bahasa Indonesia dan diterjemahkan kembali ke bahasa Inggris lalu dikonfirmasi kepada pemilik instrumen. Kemudian dilakukan uji kesahihan isi dengan Content Validity Index (CVI). Studi potong lintang dengan populasi terjangkau pasien dewasa IBD di Poliklinik Gastroenterologi, Rumah Sakit Umum Pusat Nasional Cipto Mangunkusumo Jakarta pada bulan November 2022 yang berusia 18-59 tahun, telah mengalami IBD minimal 2 minggu dan bersedia untuk menandatangani
informed consent sebagai responden penelitian. Perbandingan skor total IBDQ-9 dengan SF-36 versi Indonesia dinilai dengan uji korelasi Spearman lalu uji keandalan dengan menentukan alfa Cronbach dan Intraclass Correlation Coefficient (ICC).
Hasil. Sebanyak 124 pasien IBD dianalisis dengan uji Spearman menunjukkan korelasi yang tinggi dan signifikan antara IBDQ-9 dengan SF-36 (r=0,769 dan p<0,001). IBDQ-9 versi bahasa Indonesia memiliki nilai alfa Cronbach versi bahasa Indonesia sebesar 0,883 dan nilai ICC yang baik juga sebesar 0,883 (IK95% 0,849-0,912).
Kesimpulan. Instrumen IBDQ-9 versi Bahasa Indonesia sahih dan andal untuk menilai kualitas hidup pasien dengan IBD di Indonesia.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2023
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>