Hasil Pencarian

Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 139466 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Husni Mubarok
"November 2017, Mahkamah Konstitusi (MK) mengabulkan uji materi para penghayat agama leluhur atas pasal 61 ayat 1 dan pasal 64 ayat 1 Undang-Undang Administrasi dan Kependudukan (Adminduk) 2013. Putusan MK di atas merupakan tonggak penting advokasi pluralisme agama di Indonesia. Bagaimana rute dan jalan advokasi terhadap ragam agama, dalam konteks ini penghayat agama leluhur dalam sejarahnya? Menggunakan metode penelitian kualitatif, tulisan ini mengajukan argumen bahwa penghayat kepercayaan sejak kemerdekaan telah terbiasa mengadvokasi diri sendiri untuk memperjuangkan nasib komunitasnya di hadapan berbagai rezim. Peran aktivis LSM dan akademisi lebih sebagai sistem pendukung atas keputusan komunitas penghayat agama leluhur dalam menghadapi perubahan struktur politik dan politik agama sejak kemerdekaan hingga era reformasi."
Lengkap +
Jakarta: Kementerian Agama, 2019
297 JPKG 42:2 (2019)
Artikel Jurnal  Universitas Indonesia Library
cover
cover
"Seringnys mahkamah konstitusi melahirkan sebuah putusan yang kontroversial mengakibatkan munculnya gagasan untuk membatasi kekuasaan kehakiman. Salah satu gagasan yang mengemuka untuk membatasi kekuasaan kehakiman tanpa mengganggu independensinya adalah gagasan mengenai judicial restraint. Gagasan mengenai judicial restraint mengedepankan pembatasan pada bentuk-bentuk tertentu. Bentuk-bentuk pembatasan menurut judicial restraint dapat berupa pembatasan berdasarkan norma konstitusi, pembatasan berdasarkan kebijakan untuk melakukan pengekangan diri (self restraint), dan pembatasan yang dilakukan berdasarkan doktrin-doktrin tertentu. Judicial restraint menghendaki kekuasaan kehakiman untuk mengekang diri dari kecenderungan bertindak layaknya sebuah miniparliament yang dapat bermuara pada juristocracy. Judicial restraint juga menghendaki kekuasaan kehakiman untuk tidak mengganggu cabang kekuasaan yang lain"
Lengkap +
JK 11 (1-4) 2014
Artikel Jurnal  Universitas Indonesia Library
cover
"Mahkamah Konstitusi yang lahir sebagai salah satu agenda reformasi dalam kekuasaan yudisial masih terus memproses dirinya menjadi sebuah lembaga independen yang berada di garda depan dalam mengawal konstitusi. Sebagai lembaga yang menangani perkara-perkara konstitusional, posisi lembaga ini jelas dihadapkan dengan pusaran kekuasaan oligarki yang seolah tak pernah lepas dari perjalanan tata negara Indonesia. Pergulatannya tidak hanya dengan kritik sistemik akan tetapi juga kritik keilmuan hukum, dimana lembaga ini diharapkan tidak kental dengan positivism legalistik yang memutlakkan cara kerja hukum dan konstitusi. Disamping itu, apa yang paling ditakutkan dan menjadi konsekuensi ialah apabila para hakimnya mengalami krisis weltanschauung. Disinilah butuh centang perspektif yang tidak hanya melayangkan kritik normatif, akan tetapi juga kritik reflektif, sebagai penegasan dalam membongkar hegemoni struktural politik serta menyelami manusia sebagai pusat perspektif tentang nilai keadilan"
Lengkap +
JK 11 (1-4) 2014
Artikel Jurnal  Universitas Indonesia Library
cover
cover
Lumbanraja, Hasan Tua
"ABSTRAK
Kewenangan pengujian konstitusionalitas Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia bersumber dari atribusi Pasal 24C ayat (1) UUD NRI Tahun 1945. Pengaturan dalam Konstitusi tersebut hanya menyebutkan Mahkamah Konstitusi berwenang mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final untuk menguji undang-undang terhadap Undang-undang Dasar. Menurut teori hukum administrasi negara, penerima atribusi dapat menciptakan wewenang baru atau memperluas wewenang yang sudah ada. Pada praktiknya Mahkamah Konstitusi menafsirkan sendiri jangkauan kewenangannya dalam pengujian konstitusionalitas melalui setiap Putusannya. Selain kewenangan sebagai negative legislator, Mahkamah Konstitusi juga berwenang sebagai positive legislator, bahkan memperluas obyek pengujiannya. Pengaturan dalam Undang-undang Mahkamah Konstitusi sebagai peraturan pelaksana dari Pasal 24 C ayat (1) UUD NRI Tahun 1945 yang membatasi kewenangan Mahkamah Konstitusi sebatas negative legislator dan membatasi obyek pengujian konstitusionalitas menjadi tidak serta merta mengikat bagi Mahkamah Konstitusi. Dalam praktik pengujian konstitusionalitas dewasa ini, perluasan kewenangan peradilan konstitusi dari sebatas negative legislator menjadi positive legislator dan perluasan obyek pengujian menjadi kecenderungan yang umum terjadi diberbagai negara. Perluasan kewenangan peradilan konstitusi memiliki kecenderungan dapat mengambil alih fungsi legislatif dari pembentuk undang-undang. Keadaan ini disebut pathology pengujian konstitusional. Oleh karena itu dilakukan penelitian secara yuridis normatif untuk mengetahui bagaimanakah pengujian konstitusionalitas yang masih menjadi kewenangan peradilan konstitusi. Hasil penelitian berupa konsep pengujian konstitusional yang masih menjadi kewenangan peradilan konstitusi, akan digunakan untuk menganalisa praktik pengujian konstitusional yang dilakukan oleh Mahkamah Konstitusi di Indonesia. Pengujian konstitusionalitas yang dilaksanakan oleh Peradilan konstitusi dinyatakan masih dalam lingkup kewenangannya apabila memenuhi empat kriteria yaitu: 1).Melalui Proses Peradilan; 2).Secara Umum Berperan Sebagai Negative Legislator; 3).Dalam Keadaan Tertentu dan Batasan Materi Tertentu Sebagai Positive Legislator; dan 4). Materi muatan norma yang termasuk dalam kategori doktrin political question bukan Obyek Pengujian Konstitusionalitas. Praktik pengujian konstitusionalitas yang dilakukan Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia ada yang memenuhi empat kriteria tersebut sehingga masih berada dalam lingkup kewenangan peradilan konstitusi. Namun ada pula putusan Mahkamah Konstitusi yang tidak memenuhi empat kriteria kewenangan pengujian konstitusionalitas peradilan konstitusi. Putusan yang demikian memposisikan Mahkamah Konstitusi melampaui kewenangan peradilan konstitusi, sehingga memiliki kecenderungan untuk menjadi pathology karena mengambil alih fungsi legislatif dari pembentuk undang-undang.

ABSTRACT
The jurisdiction of the constitutional judicial review of the Constitutional Court of the Republic of Indonesia came from the attribution of Article 24C paragraph (1) NRI Constitution of 1945. The setting in the Constitution mentions only Constitutional Court jurisdiction to hear at the first and last decision is final, the laws against the Constitution. According to the theory of administrative law, the beneficiary attribution can create new or expand existing jurisdiction. In practice the Constitutional Court to interpret its own range of jurisdiction over the constitutionality through each Decision. In addition to the jurisdiction as negative legislator, the Constitutional Court also authorized as a positive legislator, even extending the test object. The settings in the Law of the Constitutional Court as the implementing regulations of Article 24 C of paragraph (1) NRI Constitution of 1945 which limits the jurisdiction of the Constitutional Court and limiting the extent of negative legislator constitutionality object becomes not necessarily binding on the Constitutional Court. In the practice of the constitutional judicial review of today, the expansion of the jurisdiction of the constitutional court be limited from a negative legislator to be a positive legislator and expansion of test objects become a trend that is common in many countries. The expansion of the jurisdiction of a constitutional court may have a tendency to take over the legislative functions of the legislators. This condition is called constitutional pathology testing. Therefore normative juridical research to determine how the constitutional judicial review of which is still under the jurisdiction of a constitutional court. The results of research in the form of concept constitutional judicial review is still the constitutional jurisdiction of the constitutional court, will be used to analyze the practice of constitutional judicial review carried out by the Constitutional Court in Indonesia. Judicial review carried out by the Constitution Court declared still within the scope of its jurisdiction if it meets four criteria: 1) Through the Judicial Proceedings; 2) .In General Role In Negative Legislator; 3) .In Specific Circumstances and Limitation of Certain Material For Positive Legislators; and 4). The substance of the norms included in the category of the political question doctrine is not Object Testing Constitutionality. Practice constitutional judicial review conducted Indonesian Constitutional Court there that meet these four criteria so that they are within the scope of jurisdiction of the constitutional court. But there is also a Constitutional Court ruling does not satisfy the four criteria of the jurisdiction of the constitutionality of the constitutional court. The verdict thus positioning the Constitutional Court exceeded the jurisdiction of the constitutional court, so it has a tendency to be a pathology due to take over the legislative functions of the legislators.
"
Lengkap +
Depok: Universitas Indonesia, 2016
T45983
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Baharuddin Aritonang
"Telah dilakukan kajian atas 5 putusan Makhamah Konsitusi yang menyangkut Badan Pemeriksa Keuangan (BPK). Kelima putusan itu adalah Putusan MK No.3/PUU-VI/2008, Putusan MK No.5/PUU-IX/2011, Putusan MK No.49/PUU-IX/2011, Putusan MK No.31/PUU-XI/2012, dan Putusan MK No.13/PUU-XI/2013. Putusan-putusan ini menyangkut peranan BPK memeriksa Wajib Pajak, BPK dalam menetapkan kerugian negara serta tentang masa jabatan anggota BPK. Beberapa putusan dikaitkan dengan Hak Asasi Manusia (HAM) di UUD NRI Tahun 1945. Putusan-putusan ini menjadikan materi Pasal 27 ayat (1), Pasal 28 D ayat (1) dan Pasal 28 D ayat (3) sebagai pertimbangan hukum, tanpa memperhatikan keseluruhan materi UUD NRI Tahun 1945, khususnya Pasal 28J ayat (2). Kedepan, kasus seperti ini perlu diperhatikan oleh Makhaman Konstitusi."
Lengkap +
Jakarta: Lembaga Pangkajian MPR RI, 2019
342 JKTN 12 (2019)
Artikel Jurnal  Universitas Indonesia Library
cover
Agus Loekman
"Pada tahun 2004 Mahkamah Konstitusi meluncurkan dokumen bersejarahnya: "Cetak Biru: Membangun Mahkamah Konstitusi Sebagai Institusi Peradilan Konstitusi yang Moderen dan Terpercaya" (Cetak Biru). Cetak Biru ini merupakan dokumen utama kebijakan strategi manajemen perubahan Mahkamah Konstitusi yang unik, yaitu dibuat bersama-sama dengan lembaga swadaya masyarakat Konsorsium Reformasi Hukum Nasional (KRHN) sebagai wujud penghargaannya terhadap proses pengambilan kebijakan publik yang partisipatif.
Permasalahan yang akan diteliti dalam tesis ini adalah: (i) Bagaimanakah Sekretariat Jenderal dan Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia melakukan manajemen perubahannya? dan (ii) Bagaimana hubungan kegiatan manajemen perubahan Sekretariat Jenderal dan Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia terhadap upaya mewujudkan organisasi Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia sebagai lembaga peradilan yang moderen dan terpercaya?
Penelitian ini merupakan penelitian deskriptif dengan menggunakan pendekatan studi kasus di Sekretariat Jenderal dan Kepaniteraan. Sebagai unit unit pendukung utama dibidang administrasi umum dan justisial, peranan Sekretariat Jenderal dan Kepaniteraan sangatlah penting bagi kelancaran beroperasinya Mahkamah Konstitusi dan terutama memiliki posisi yang strategis untuk mewujudkan pelbagai program dalam Cetak Biru. Kedua unit tersebutlah yang akan melanggengkan cita-cita Cetak Biru, melampaui terbatasnya masa jabatan para hakim konstitusi. Penelitian ini mendasarkan pada pendapat Burke (2002: 43) bahwa untuk memahami perubahan organisasi maka pendekatan yang diambil adalah dengan memandang organisasi sebagai suatu sistem yang terbuka, yang tergantung pula dari faktor lingkungan dimana organisasi itu berada. Sedangkan kesuksesan upaya untuk menghadapi perubahan baik yang berasal dari dalam maupun dari luar organisasi, maka menurut Nickols (2004:1), Potts dan La Marsh (dalam Wibowo, 2006: 175), Asian Institute of Journalism and Communication (2003:1), maupun National School of Government (2006: 4) suatu organisasi perlu melakukan serangkaian tindakan untuk mengelolaperubahan itu dengan memperkenalkannya secara terencana, sistematis dan berkelanjutan (sengaja mengalokasikan sumber dayanya) melalui pelbagai program baru yang relevan pula bagi organisasi itu agar seluruh elemen dalam organisasi itu bisa menyesuaikan diri dengan lancar tiap perubahan yang dihadapi. Dalam menjaga kesuksesan mengelola tahapan program perubahan itu pula suatu organisasi harus senantiasa memberi perhatian pada pengaruh kepemimpinan, budaya organisasi, strategi perubahan yang terintegrasi serta komunikasi dua arah dengan para stakeholders organisasi itu.
Berdasarkan hasil kuesioner, telah ditemukan bahwa kriteria ?Organisasi? berpengaruh cukup besar dalam manajemen perubahan di organisasi Mahkamah Konstitusi, sehingga dengan memperhatikan sub kriteria - sub kriteria di dalam kriteria Organisasi maka perlu dipertimbangkan untuk melakukan perubahan di organisasi Mahkamah Konstitusi. Sedangkan untuk kriteria ?Perubahan Organisasi? maka masih perlu dilakukan pengembangan dan pelatihan untuk menerapkan kriteria ini di organisasi Mahkamah Konstitusi.
Selanjutnya berdasarkan serangkaian wawancara mendalam terhadap beberapa narasumber di lingkungan kerja Sekretariat Jenderal dan Kepaniteraan menyatakan bahwa Mahkamah Konstitusi adalah suatu lembaga publik yang baru sehingga masih perlu penyempurnaan sistem kerjanya. Sekalipun hal itu akan menambah beban kerja tetapi semua narasumber tetap bersemangat guna mendukung lancarnya pelaksanaan tugas dan wewenang Mahkamah Konstitusi. Namun demikian, kecuali untuk program pengembangan website Mahkamah Konstitusi, otomatisasi sistem manajemen perkara secara elektronik dan pembangunan gedung perkantoran baru, hingga saat ini belum terbentuk kepanitiaan dan alokasi anggaran khusus untuk mendukung program perubahan sebagaimana direkomendasikan oleh Cetak Biru.
Berdasarkan hal-hal diatas, manajemen perubahan yang dilakukan di lingkungan Sekretariat Jenderal dan Kepaniteraan perlu dilakukan secara konsisten dan perlu dicermati secara serius mengingat bila tidak ditangani lebih lanjut secara profesional, dapat menjadi potensi pada gagalnya upaya perubahan organisasi yang saat ini sedang dikerjakan dan mencederai kepercayaan para stakeholders terhadap kegiatan perubahan organisasi Mahkamah Konstitusi di masa mendatang.
Oleh karena itu disarankan agar pertama, pimpinan Sekretariat Jenderal, Kepaniteraan dan para hakim konstitusi bersama-sama menyelenggarakan rangkaian diskusi internal terbatas untuk merancang dan menyelenggarakan evaluasi secara menyeluruh tentang sejauhmana keberhasilan program perubahan sejak diterbitkannya Cetak Biru di tahun 2004. Kredibilitas evaluasi tersebut akan lebih dihargai oleh publik bilamana dilakukan oleh sebuah tim independen yang berisi para tenaga ahli lokal dibidang organizational development (terutama yang berpengalaman menanagani organisasi publik), ahli hukum administrasi negara/tata negara dan perwakilan stakeholders yang berkompeten. Kedua, Sekretariat Jenderal dan Kepaniteraan secara periodik menyelenggarakan survei secara internal dan eksternal organisasi, untuk memudahkan pengamatan terstruktur tentang sejauhmana pengaruh manajemen perubahan yang dilakukan telah mewujudkan Mahkamah Konstitusi yang moderen dan terpercaya. Berdasarkan kedua survei tersebut, setidaknya para pimpinan akan mendapatkan suatu bentuk awal analisa kebutuhan (needs assessment) guna ditindaklanjuti dengan keputusan strategis berikutnya

In the year 2004, the Constitutional Court launched its historical document: Cetak Biru: Membangun Mahkamah Konstitusi Sebagai Institusi Peradilan Konstitusi yang Moderen dan Terpercaya (The Blue Print to Develop the Constitutional Court as a Modern and Trusted Judicial Institution) (hereinafter referred to as the ?Blue Print?). The Blue Print is the principal document for the Court?s strategy in managing organizational change. The document was also unique because it was jointly drafted with a local civil society organization Konsorsium Reformasi Hukum Nasional/KRHN, as a testament to the court?s support to public participation in policy making.
The focus of the research are twofold: First, on how the Secretariat General and the Court Registrar manage the organizational change. Second, to better understand the the relationship between the Secretariat General?s and the Court Registrar?s efforts in managing the organizational change and how such activity influenced the efforts to develop the Constitutional Court to become a modern and trusted judicial institution.
The research is descriptive and focuses on the court?s Secretariat General and Registrar as objects for the case study. Although each unit provides support in managing the court?s general and judicial administration respectively, they are all very important in making sure that the Constitutional Court is managed properly and posses the strategic role in implementing the various development programs contained in the Blueprint. Those units would eventually be the main actors in implementing the Blueprint, beyond the tenure of the justices of the Constitutional Court.
This research is based on Burke (2002: 43) who opined that in order to understand organizational change, one should observe such organization as an open system, which is dependant to its environment. Meanwhile, in order to successfully respond to change, Nickols (2004:1), Potts and La Marsh (in Wibowo, 2006: 175), the Asian Institute of Journalism and Communication (2003:1), and National School of Government (2006:4) opined that such organization needs to conduct a series of actions in managing change and introduce the changes in a planned, systematic and sustainable way, i.e. allocating the relevant resources, so that all elements of the organization can better adjust to such changes. In maintaining the success of managing change, such organization should focus on the influences of leadership, organizational culture, integrated strategies for change and a ?two-way? communication process with the stakeholders. Based on the results from the questionaires, the research found that the ?Organization? criteria has a profound influence on how change is managed in the Constitutional Court. In this regard, consideration should be focused on better understanding the various subcriterias in order to conduct organzational change at the court. Meanwhile, under the ?Organizational Change? criteria, the results from the questionaires indicate that further development in and training on organizational change are required for the Constitutional Court. Subsequently, based on the series of in-depth interviews with officials of the Secretariat General and the Court Registrar, all opined that the Constitutional Court is a developing public organization and therefore still needs to enhance its system of operational procedures. Eventhough such enhancement would increase the workload, all of the interviewees are generally enthutiastic in supporting and making sure that the mandates of the court are successfuly implemented. However, except for the development of the court?s website, an automated electronic based case management system and the construction of a new court building, the interviewees confirmed that until this day no special commitees or budget allocations are made to support the various change programs as recommended by the Blueprint.
In this regard, change management efforts at the Secretariat General and the Court Registrar should be conducted in a consistent way and to be seriously monitored considering that unprofessional handling of the change program would potentially lead to the failure of such programs and jeopardize the credibility of future change programs of the court before its stakeholders.
Therefore, it is proposed that firstly, the leadership of the Secretariat General, the Court Registrar and the court?s justices should jointly organize a series of internal focused group discussions to craft and determine a comprehensive evaluation to measure the successes of implementation since the launching of the Blueprint in 2004. The credibillty of the evaluation may be better appreciated by the public if conducted by a team of independent evaluators, consisting of local experts in the field of organizational development (particularly those experienced in handling public organizations), administrative law/constitutional law specialists, and competent representatives of the stakeholders. Secondly, the Secretariat General and the Court Registrar jointly conduct periodic surveys (internal and external) to enhance structured observations on how change management efforts have influenced the efforts to develop the Constitutional Court to become a modern and trusted judicial institution. Based on those surveys, at the minimum the leadership of the court can obtain an initial form of a needs assessment analysis, which is required to be followed up via strategic decisions."
Lengkap +
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2007
T 19245
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Jimly Asshiddiqie, 1956-
Jakarta: Pusat Studi Hukum Tata Negara Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2002
342.02 JIM m
Buku Teks  Universitas Indonesia Library
cover
Ni`matul Huda
Jakarta: Rajawali, 2012
342.598 NIM h
Buku Teks  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>