Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 118966 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Nikolas Dalle Bimo Natawiria
"Leang Burung 2 di Kabupaten Maros, Sulawesi Selatan sudah beberapa dekade menjadi salah satu situs yang penting dalam memahami kehidupan prasejarah manusia di Indonesia. Leang Burung 2 pertama kali diekskavasi oleh Ian Glover pada tahun 1975 dan Adam Brumm di tahun 2007 dan 2011-2013. Pada situs ini ditemukan banyak artefak batu, namun sejauh ini belum ada penelitian mendalam mengenai jejak pakai yang dapat menunjukkan fungsi alatalat tersebut. Oleh karena itu, tujuan penelitian ini untuk mengetahui jejak pakai pada artefak batu agar dapat mengetahui fungsinya. Data yang digunakan dalam penelitian ini berasal dari dua lapisan tanah dan spit yang berbeda pada penggalian tahun 2011. Penelitian ini menggunakan analisis mikroskopis pembesaran rendah dan hasilnya dibandingkan dengan penelitian eksperimen etnografi yang dilakukan oleh L. Keeley dan J. Kamminga. Hasil analisis menunjukkan hanya ada lima artefak batu yang memiliki jejak pakai yang jelas. Jejak pakai tersebut memperlihatkan kegiatan pengolahan kayu antara 25.000-45.000 tahun yang lalu.

Leang Burung 2 in Maros, South Sulawesi, for decades, has been a pivotal site for understanding prehistoric human life in Indonesia. Leang Burung 2 was first excavated by Ian Glover in 1975 and Adam Brumm in 2007 and 2011-2013. Many stone artifacts have been found at this site, but so far there has been no in-depth research on use-wear that can show the function of these artifacts. Therefore, the purpose of this research is to find out the use-wear on stone artifacts in order to know their function. The data used in this study came from two different layers of soil and spit from the 2011 excavation. This study used low magnification microscopic analysis and the results were compared with an ethnographic experimental study conducted by L. Keeley and J. Kamminga. The results of the analysis show that there are only five stone artifacts that have clear traces of use. The traces of use show wood processing activities between 25,000-45,000 years ago."
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia, 2023
TA-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Amsterdam : Elsevier, 1991
543 TRA
Buku Teks SO  Universitas Indonesia Library
cover
Vernika Hapri Witasari
"Pada beberapa prasasti batu di kawasan Indonesia dijumpai pahatan gambar. Pahatan gambar tersebut ada yang memiliki nilai lambang raja. Prasasti berlambang raja hanya dijumpai pada kawasan Indonesia dan India. Lambang raja ada yang dituliskan pada isi prasasti maupun dipahatkan pada prasasti batu berupa visualisasi dari pahatan gambar tersebut. Visualisasi tanda khusus pertama kali ditemukan pada masa pemerintahan Raja Airlaṅga yang kemudian berlanjut hingga sekitar abad XV Masehi pada masa pemerintahan Girīndrawardhana. Beberapa pahatan gambar ditemukan berbeda di hampir setiap raja yang memerintah. Hal itu membawa suatu persepsi bahwa pahatan gambar tersebut digunakan untuk membedakan seorang raja dengan raja lainnya, dengan kata lain sebagai lambang raja. Pahatan gambar yang dipilih untuk dijadikan lambang raja tentu ada maknanya. Penelitian ini mencoba untuk merekonstruksi makna lambang raja, selain memiliki makna yang tampak juga memiliki makna lain berdasarkan penggunaan dan fungsinya saat itu.

In some stone inscriptions in the area of Indonesia has carved an image. Sculptured images have value as a symbol of the king. Inscription bearing the king?s only found in Indonesia and India region. King?s emblem there is an inscription written on the content and the inscription engraved on stone sculpture in the form of visualization of the image. Visualization special mark was first discovered in the reign of King Airlaṅga which continues until around the XV century A.D during the reign Girīndrawardhana. Some of the sculptured images found to differ in almost every king who ruled. It brings a perception that the sculptures were used to distinguish the image of a king with the other kings, in other word as a symbol of the kings. Sculptured images selected to be the king of meaningless symbols. This study attempts to reconstructed the meaning of the symbol of the king, beside having the meaning which seems also to have different meanings based on the use and function of the time."
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia, 2011
T29226
UI - Tesis Open  Universitas Indonesia Library
cover
Weinheim: VCH, 1994
577.27 ENV
Buku Teks  Universitas Indonesia Library
cover
Orlando: Academic press, 1984
543.098 4 TRA
Buku Teks  Universitas Indonesia Library
cover
Miftah Putra Tegak Laksana
"Fokus kajian dari penelitian ini terletak pada proses transformasi yang terjadi pada himpunan artefak batu di Sektor Lumbung Padi, situs Gua Putri, Sumatra Selatan. Sebagai salah satu temuan artefaktual yang umum di situs prasejarah, artefak batu tentunya tidak dapat dilepaskan dari bukti-bukti otentik yang membedakannya dengan batu kali yang tergeletak di pinggir jalan. Pada artefak batu, terdapat jejak modifikasi khusus seperti dataran pukul, retus, tajaman, bahkan pada skala mikroskopik seperti residu dan kilap silika. Jejak-jejak tersebut dapat terjadi secara alami oleh alam, namun kebanyakan dibentuk oleh manusia. Dalam konteks situs prasejarah, penelitian ini mencoba untuk memahami dan menjabarkan seluruh alur perubahan yang terjadi pada himpunan batu; daur hidup awal batu yang diambil dari sumbernya, dibentuk menjadi alat, dipakai, terbuang, hingga akhirnya dikategorikan oleh arkeolog menjadi sebuah artefak. Penelitian ini melibatkan beberapa pemahaman geologis mengenai batuan, analisis secara teknologis dengan konsep chaîne opératoire, serta kajian pustaka mengenai studi replikasi dan fungsi alat batu, dengan harapan mampu mengungkap rangkaian perubahan yang terjadi pada artefak batu melalui bukti-bukti yang terekam dan lestari padanya.

The focus of this research lies in the transformation process that occurs in a collection of stone artifacts at the Lumbung Padi Sector, Gua Putri Site, South Sumatra. As some of many artifactual findings are found at prehistoric sites, stone artifacts certainly can not be separated from the authentic evidence that distinguishes it from river stones lying on the side of the road. Stone artifacts have traces of specific modifications, such as striking platform, retouch, edges, even on microscopic scales such as residues and silica sheen. These traces can occur naturally by nature but are mostly formed by humans. In the context of prehistoric sites, this research tries to understand and describe the entire flow of changes that occur in the stone artifacts; the initial life cycle of a stone taken from its source, formed into a tool, used, wasted, and finally categorized by archeologists to be an artifact. This research involves some geological understanding regarding rock, technological analysis with the concept of chaîne opératoire, and a lot of literature understanding regarding replication and use-wear studies, with the hope of being able to uncover a series of changes which occurs in stone artifacts, through recorded and enduring evidence."
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia, 2020
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Yusmaini Eriawati
"Adaptasi adalah suatu strategi yang digunakan oleh manusia sepanjang hidupnya untuk bertahan dan menyesuaikan diri (Alland, 1975: 63--71; Dyson-Hudson, 1983:5--10; Harris, 1968:2--15; Moran, 1979: 4--9). Secara umum adaptasi sering diartikan sebagai suatu proses, dan lewat proses itu hubungan-hubungan yang (saling) menguntungkan antara suatu organisme dan lingkungannya dibangun dan dipertahankan (Hardesty, 1977: 19--24). Berbagai proses yang memungkinkan manusia bertahan (survive) terhadap tantangan kondisi lingkungan membuktikan kemampuan mereka untuk beradaptasi (McElroy dan Townsend, 1989: 6--14).
Masalah adaptasi yang pada intinya mempelajari interaksi atau hubungan manusia dan lingkungan pada masa lalu yang merupakan bagian dari permasalahan arkeologi (Hardesty 1980: 157--68 ; Kirch 1980: 101--14), saat ini sudah menjadi topik yang sering dibicarakan para arkeolog Indonesia. Dari karya-karya ilmiah yang diajukan di berbagai pertemuan ilmiah arkeologi belakangan ini, beberapa di antaranya membicarakan masalah interaksi manusia dan lingkungan masa lalu tersebut. Begitu pula dari beberapa tesis program pascasarjana, antara lain Heriyanti Ongkodharma dengan Situs Banten Lama (1987), Wiwin Djuwita dengan Situs Gilimanuk (1987), Sonny Chr_ Wibisono dengan Situs Selayar (1991), serta Soeroso M.P. dengan Situs Batujaya (1995).
Karya ilmiah yang dapat dikatakan menjadi pembuka jalan bagi arkeologi Indonesia untuk lebih menekuni dan melihat besarnya manfaat penelitian arkeologi dalam membahas permasalahan interaksi manusia dan lingkungan tertuang dalam disertasi Mundardjito (1993) yang berjudul pertimbangan Ekologi dalam Penempatan Situs Masa Hindu-Budha di daerah Yogyakarta: Kajian Arkeologi Ruang Skala Makro. Disertasi itu menunjukkan bahwa kepeloporan Mundardjito menjadi sangat penting artinya (Dharrnaputra, 1996: 1-2).
Penelitian arkeologi mengenai masalah interaksi manusia dan lingkungan di dunia diawali dengan adanya karya antropolog Amerika, Julian Steward pada tahun 1937 yang menggunakan konsep ekologi budaya dalam melakukan penelitian di bagian utara Amerika Barat daya mengenai adaptasi masyarakat dan pola permukiman komunitas prasejarah dalam konteks lingkungan alam (Mundardjito 1993:8).
Lingkungan memang rnerupakan faktor yang penting bagi terciptanya suatu proses hubungan antara manusia dengan budayanya. Hubungan itu tidaklah semata-mata terwujud sebagai hubungan ketergantungan manusia terhadap lingkungannya, tetapi juga terwujud sebagai suatu hubungan dimana manusia mempengaruhi dan merubah lingkungannya (Suparlan, 1984: 3-6).
Menurut William W. Fitzhug (1972:6--10) hubungan antara manusia dan lingkungan, terutama pada masa prasejarah, lebih banyak diekspresikan ke dalam adaptasi teknologi dan ekonorni (mata pencaharian) yang berkaitan langsung dengan kebutuhan hidup manusia. Kebutuhan manusia paling mendasar untuk hidup adalah makanan dan minuman, ruang fisik untuk berlindung, sarana kegiatan (bekerja, beristirahat, bermain), dan ruang sumber daya sebagai tempat untuk memperoleh makanan, minuman, dan peralatan (Raper, 1977: 193--96).
Kebutuhan hidup manusia yang paling penting dan merupakan syarat utama untuk dapat dipenuhi adalah keberadaan sumber makanan-minuman di lingkungan merka hidup. daerah-daerah yang dipilih untuk dimukimi manusia adalah tempat-tempat yang dapat memberikan cukup persediaan bahan makanan dan air tawar, terutama di sekitar tempat-tempat yang sering dikunjungi atau dilalui hewan, seperti padang-padang rumput, hujan kecil dekat sungai atau dekat rawa-rawa.
Selain atas dasar kemungkinan memperoleh makanan, manusia secara berpindah-pindah tinggal di tempat-tempat yang dipandang cukup aman dari gangguan binatang liar dan terhindar dari panas, hujan atau angin, misalnya di balik-balik batu besar atau membuat perlindungan dari ranting-ranting pohon, dan sebagainya (Soejono 1990:118; Beals dan Hoijer 1963:359). Selanjutnya mulai timbul usaha-usaha mencari tempat yang lebih permanen, yaitu dengan memanfaatkan gua-gua atau ceruk-ceruk yang tersedia.
Pada awalnya gua atau ceruk itu dimanfaatkan terbatas hanya sebagai tempat berlindung dan menghindar dari berbagai gangguan yang merupakan kebutuhan dasar (basic need) manusia mempertahankan diri (Koentjaraningrat, 1990: 11--15; Haviland, 1993: 13--16). Adanya kebutuhan tempat tinggal yang lebih permanen menjadikan gua-gua atau ceruk-ceruk itu dimanfaatkan sebagai tempat tinggal sekaligus tempat melaksanakan hcrbagai kegiatan (Soejono, 1990:125; Beals dan Hoijer, 1963:355--58)."
Jakarta: Program Pascasarjana Universitas Indonesia, 1999
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Aldiman Bakhti
"Inspeksi dan validasi secara kuantitatif dibutuhkan dalam uji kualitas SPECT dan harus dilakukan secara berkala. Identifikasi dari cincin artefak merupakan bagian dari evaluasi citra harus dianalisa karena hal ini berkaitan dengan performa dari SPECT. Hingga saat ini interpertasi dan evaluasi dari cincin artefak yang dilakukan memiliki keterbatasan, yaitu evaluasi dilakukan secara visual yang rentan terhadap subjektifitas dan tidak sensitif dengan perubahan yang kecil terhadap performa modalitas. Pada penelitian ini suatu metode dikembangkan untuk melakukan identifikasi, evaluasi, dan kuantifikasi cincin artefak. Metode ini dikembangkan dengan menggunakan bahasa pemograman Python dengan berbagai macam library untuk melakukan langkah-langkah evaluasi sebagai berikut: (1) secara otomatis menentukan perbedaan antara citra yang tidak memiliki artefak dengan citra yang memiliki artefak dengan menggunakan metode Student’s t-test, (2) mendeteksi cincin artefak dengan menggunakan metode threshold (3) mendeskripsikan posisi dari artefak cincin dengan mengkuantifikasi jari-jari dalam, luar, dan lebar dari artefak cincin. Metode yang dikembangkan berhasil mendeteksi artefak cincin pada citra. Nilai p-value untuk semua citra sampel yang diperoleh dari perhitungan dengan menggunakan metode Student’s t-test menunjukkan kurang dari 0.025. Artinya terdapat perbedaan yang signifikan antara citra yang memiliki artefak dengan citra yang tidak memilki artefak. Metode ini juga dapat melakukan kuantifikasi terhadap jari-jari luar, dalam, dan lebar cincin artefak pada citra. Metode ini diharapkan dapat memberi manfaat untuk meningkatkan kualitas identifikasi cincin artefak pada SPECT quality control.

The Inspection and quantitative validation are essentially needed in SPECT system quality control and must be done periodically. An identification of the ring artifact conducting by Jaszczak phantom as a part of an image quality evaluation should be analyzed since it has consequently linked with the SPECT’s performance. Until now interpretation and evaluation of these artifacts are performed visually which is prone to subjectivity and insensitive with subtle changes in the system’s performance. In this study, a method for identifying, evaluating, and quantifying the ring artifacts is developed to overcome these limitations. The method is developed using Python language with a variety of libraries to perform a sequence of evaluation steps: (1) determine the differences between the reference image with no artifacts and the one suspected image with artifacts based on Student's t-test method, (2) detect ring artifacts using threshold method and (3) describe the ring artifacts position by quantifying the radius and width of the ring artifacts. The method successfully detects the ring artifact in the system. The student's t-test method shows the p-values of all image samples smaller than 0.025 which indicates significant differences between with and without artifact images. Then, it successfully calculated the desired parameter which are the outer, inner radius and width of the detected artifacts. In conclusion, our method will be beneficial to improve SPECT system quality control for identifying the ring artifact."
Depok: Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Indonesia, 2020
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Advan Beryl Primana
"Ruang ambigu merupakan ruang yang dapat secara bebas diinterpretasikan oleh penggunanya, sehingga berdampak pada kompleksitas makna yang memunculkan penggunaan ruang yang kontradiktif dan bervariasi. Karakteristik ini kemudian termanifestasi dalam bentuk trace. Dalam produksinya, terdapat elemen-elemen seperti enabler material, enabling actor, enabling action, dan interpretasi trace yang berdampak pada bagaimana trace dihasilkan.
Dengan demikian, skripsi ini akan mengkaji ruang ambigu melalui keberadaan trace di dalamnya dengan menguraikan trace yang ditemukan sebagai elemen-elemen pembentuk trace, sehingga dapat dipahami bagaimana masing-masing elemen tersebut dapat mengindikasikan ruang ambigu. Dalam prosesnya, studi menghasilkan bahwa masing-masing elemen pembentuk trace yang diuraikan kemudian mampu memberikan indikasi ambiguitas melalui kompleksitas trace dalam enabler material, kontradiksi terhadap enabling action yang dilakukan oleh enabling actor, dan keberagaman respons pengguna terhadap trace di sekitarnya.

Ambiguous space is a space formed through a free interpretation of space by its users, causing a complexity of meaning that emerges in contradictory and varied use of space. These characteristics are then manifested in the form of traces. In its production, there are elements such as enabler material, enabling actor, enabling action, and trace interpretation that impacts how the trace is formed.
Therefore, this study will examine ambiguous space through the presence of traces in it by deciphering found traces as trace elements so that it can be understood how each of these elements can indicate ambiguous space. In the end, this study shows that each of the forming elements can indicate ambiguity through the complexity of trace on the enabler material, the contradiction of enabling action by enabling actor, and the variety of user responses to the surrounding trace.
"
Depok: Fakultas Teknik Universitas Indonesia, 2021
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Sandell, E.B.
New York: John Wiley & Sons, 1978
546.3 SAN p
Buku Teks SO  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>