Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 84067 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Muhammad Lukman Nurhakim
"Tulisan ini menganalisa bagaimana penerapan etika kemanusiaan dalam pemanfaatan artificial intelligence untuk penyusunan kontrak. Tulisan ini disusun dengan menggunakan metode penelitian doktrinal. Artificial intelligence pada hakikatnya merupakan suatu alat yang diciptakan manusia untuk membantu dan memudahkan pekerjaan manusia. Artificial intelligence adalah teknologi berupa mesin yang mampu mereplikasi perilaku manusia dan dikembangkan dengan menggunakan pengetahuan tentang cara berpikir manusia, sehingga mampu menjalankan proses berpikir seperti manusia. Dalam perkembangannya, pemanfaatan artificial intelligence telah merambah dunia hukum. Pemanfaatan sebuah alat untuk mengerjakan pekerjaan manusia tentu menimbulkan permasalahan etika serta pertanggungjawaban. Oleh karena itu, penelitian ini mengkaji pemanfaatan artificialdalam penyusunan kontrak dengan menelaah bagaimana artificial intelligence dapat menggantikan pekerjaan manusia yang memiliki etika dalam hal menyusun sebuah kontrak, serta bagaimana pertanggungjawaban ketika artificial intelligence melakukan kesalahan. Hasil penelitian ini menyatakan bahwa perlu adanya standarisasi etika yang diterapkan baik untuk pengguna maupun untuk artificial intelligence yang nantinya akan diprogramkan kedalam artificial intelligence namun dalam hal ini tetap ada pengawasan dari pengguna artificial intelligence, serta untuk pertanggungjawaban jika artificial intelligence melakukan kesalahan akan dibebankan kepada pengguna atau pengembang artificial intelligence tersebut.

This paper analyzes how the application of humanitarian ethics in the use of artificial intelligence for contract drafting. This paper is prepared by using doctrinal research method. Artificial intelligence is essentially a tool created by humans to help and facilitate human work. Artificial intelligence is a technology in the form of a machine that is able to replicate human behavior and is developed by using knowledge of how humans think, so that it is able to carry out human-like thought processes. In its development, the use of artificial intelligence has penetrated the legal world. The utilization of a tool to do human work certainly raises ethical and liability issues. Therefore, this research examines the utilization of artificial intelligence in contract drafting by examining how artificial intelligence can replace human work that has ethics in terms of drafting a contract, as well as how liability when artificial intelligence makes mistakes. The results of this study state that there is a need for standardization of ethics applied both to users and to artificial intelligence that will be programmed into artificial intelligence but in this case there is still supervision from artificial intelligence users, and for accountability if artificial intelligence makes mistakes will be charged to the user or developer of the artificial intelligence."
Jakarta: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2024
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Hanny Kirtianawaty
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2001
T36161
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Sitepu, Regina
"Angkutan udara yang mempunyai karakteristik bertekhnologi tinggi dan memerlukan tingkat keselamatan tinggi, perlu lebih dikembangkan potensinya dan ditingkatkan peranannya sebagai penghubung wilayah baik nasional maupun internasional, sebagai penunjang, pendorong dan penggerak pembangunan nasional demi peningkatan kesejahteraan rakyat. Banyaknya masyarakat yang menggunakan jasa transportasi udara, ditandai dengan meningkatnya jumlah arus pengguna jasa angkutan udara di berbagai kota di wilayah Indonesia. Dalam penyelenggaraan penerbangan ternyata banyak hak-hak penumpang yang tidak dipenuhi sebagai mana mestinya. Sehubungan dengan itu diperlukan adanya pengaturan-pengaturan secara hukum untuk menentukan tanggung jawab perusahaan penerbangan sehingga kepentingan penumpang terlindungi. Dalam penelitian ini bertujuan untuk mengetahui tanggung jawab hukum perusahaan penerbangan PT Pelita Air Service sebagai pengangkut untuk kerugian yang timbul terhadap penumpang dan bagasi dalam pengangkutan udara dengan charter pesawat udara, serta apakah peraturan perundang-undangan saat ini sudah cukup untuk menjawab permasalahan apabila terjadi kerugian yang diderita oleh pengguna jasa angkutan udara. Penelitian ini adalah penelitian hukum normatif yang dilakukan dengan penelusuran terhadap peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan perlindungan hukum terhadap penumpang transportasi udara niaga tidak berjadwal.Hasil penelitian yang diperoleh adalah bahwa dalam tatanan hukum positif di Indonesia terdapat beberapa peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan perlindungan hukum bagi penumpang transportasi udara, yaitu antara lain : Ordonansi Pengangkutan Udara (OPU) 1939, Undang-Undang No 1 Tahun 2009 tentang Penerbangan, Undang-Undang No 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen. Perlindungan Hukum yang diberikan dan paling banyak dibahas dalam Undang-Undang No 1 Tahun 2009 adalah tentang keselamatan baik untuk perusahaan penerbangan, awak pesawat, penumpang dan bagasi. Selain itu peraturan perundang-undangan juga menentukan upaya hukum yang dapat ditempuh oleh penumpang yang mengalami kerugian, yaitu upaya hukum melalui jalur pengadilan dan upaya hukum di luar pengadilan.

Air transportation has high technology and high safety requirement as its characteristic. In regards to this benefit, air transportation should have been developed for its potential and its role in connecting the national and international area in enhancing the national development for the prosperity of the people. The number of society that is using air transportation has been increased which indicated by the higher number of airline passenger across Indonesia. In its practice, many of passenger rights are not fulfilled as it should be. Given to this circumstance, it is necessary to establish regulation which defines the legal liability of air transportation companies for the protection of passenger rights. The objective of this study is to explore the legal liability of PT Pelita Air Service as an air transportation company concerning to the damages or losses of the passenger and baggage in the air transportation which are using chartered aircraft, and to review the sufficiency of the current regulatory law in protecting air transportation customer. This study is a normative legal study which performed by research of regulation and law that related to the legal protection for non-scheduled air transport passenger. This study revealed that in the positive legal order in Indonesia there are some regulations which related to the legal protection for air transportation passengers such as Air Transport Act Year 1939, Law No. 1 Year 2009 on Aviation and Law No. 8 Year 1999 concerning on Consumer Protection. The legal protection which defined in Law No. 1 Year 2009 is mostly regarding the safety of airline, air crew, passenger and baggage. In addition, this law has regulated the legal action for passenger who is suffering for any losses for an in court or out court settlement."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2011
T28764
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Halomoan, Reynhart Henry
"Skripsi ini menganalisis tanggung jawab dokter dan rumah sakit dalam Putusan Pengadilan Nomor 1324/Pdt.G/2021/PN Tng. Skripsi ini disusun dengan metode penelitian doktrinal dengan tipe penelitian deskriptif-preskriptif, menelaah melalui perspektif hukum tentang tanggung jawab dokter dan rumah sakit dalam Putusan Pengadilan Nomor 1324/Pdt.G/2021/PN Tng. Skripsi ini secara komprehensif membedah bagaimana seharusnya tanggung jawab hukum dokter selaku pelaku tindakan medis dan rumah sakit sebagai tempat pelayanan kesehatan apabila terjadi kegagalan tindakan medis. Dalam kasus ini, dokter dan rumah sakit merupakan dua subjek hukum utama yang bertanggung jawab dalam kegagalan tindakan anestesi yang dialami oleh Penggugat. Penggugat mengalami kelumpuhan permanen setelah dilaksanakannya tindakan anestesi oleh dokter spesialis anestesi. Dalam kasus ini, dokter telah melakukan perbuatan melawan hukum dalam memintakan informed consent kepada Penggugat, tetapi tindakan dokter dalam tindakan anestesi dan anamnesis bukan merupakan perbuatan melawan hukum karena telah sesuai dengan pedoman. Lebih lanjut, rumah sakit dalam kasus ini telah melakukan perbuatan melawan hukum dengan tidak memberikan isi rekam medis kepada Penggugat dan lalai dalam menjaga kualitas peralatan medis yang digunakan. Oleh karena itu, disarankan kepada dokter dan rumah sakit sebagai untuk dapat memahami hak, kewajiban, serta tanggung jawab yang dimiliki demi memaksimalkan pelayanan kesehatan dan meminimalisasi risiko.

This thesis analyzes the responsibilities of doctors and hospitals in Court Decision Number 1324/Pdt.G/2021/PN Tng. The thesis employs a doctrinal research method with a descriptive-prescriptive type of research, examining the legal perspectives on the responsibilities of doctors and hospitals in the said court decision. This thesis comprehensively dissects how the legal responsibilities of doctors as medical practitioners and hospitals as healthcare service providers should be addressed in the event of medical procedure failures. In this case, both the doctor and the hospital are the primary legal subjects responsible for the failure of the anesthesia procedure experienced by the Plaintiff. The Plaintiff suffered permanent paralysis following an anesthesia procedure performed by an anesthesiologist. In this case, the doctor committed an unlawful act by failing to obtain informed consent from the Plaintiff; however, the doctor's actions during the anesthesia and anamnesis procedures were not unlawful as they adhered to established guidelines. Furthermore, the hospital committed an unlawful act by failing to provide the Plaintiff with the medical records and by neglecting the maintenance of the medical equipment used. Therefore, it is recommended that doctors and hospitals understand their rights, obligations, and responsibilities to maximize healthcare services and minimize risks."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2024
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Mervat Lutfia
"Hubungan dokter dan apoteker adalah berkaitan dengan pembuatan resep dan pemproduksian resep untuk pasien berkaitan dengan kosmetika. Obat-obatan beretiket biru digunakan untuk perawatan kulit menjadi obat khusus yang mana pemberian serta pemberlakuannya harus disesuaikan dengan kebutuhan setiap pasien. Namun praktiknya penjualan kosmetika beretiket biru diperdagangkan secara bebas dengan tetap adanya pencantuman dokter dan apoteker yang melakukan praktik kefarmasian. Permasalahan hukum ini yang cenderung merugikan konsumen akibat penggunaan kosmetika beretiket biru yang diperdagangkan bebas dan dibuat tidak sesuai dengan kebutuhan setiap orang. Rumusan masalah yang digunakan oleh penulis adalah: Bagaimana tanggung jawab hukum dokter dan apoteker atas beredarnya kosmetik etiket biru di pasar bebas?, Bagaimana tanggung jawab profesi berdasarkan kode etik terhadap dokter dan apoteker yang diduga melakukan perdagangan dan penjualan bebas kosmetik beretiket biru?, dan Bagaimana bentuk perlindungan hukum terhadap konsumen terkait  kosmetik etiket biru illegal? Penulis menggunakan penelitian hukum doktrinal yang sifatnya adalah preskriptif dengan menggunakan bahan hukum sekunder dengan sumber hukum primer, sekunder, tersier. Hasil penelitian menjelaskan bahwa tanggung jawab dokter dan apoteker atas beredarnya obat atau kosmetika etiket biru harus dilandasi dengan teori pertanggungjawaban hukum dan pembuktian bahwa telah terjadi kerugian yang dirasakan oleh konsumen sebagaimana dijelaskan dalam Pasal 1365 KUHPer. Adapun pedoman yang digunakan untuk menilai atau menentukan adanya kesalahan tersebut adalah standar profesi apoteker yang menyangkut pekerjaan keprofesian apoteker di apotek khususnya dalam pelayanan obat berdasarkan resep dokter. Kode etik profesi apoteker diatur dalam Keputusan Kongres Nasional XVIII/2019 yang dikeluarkan oleh Ikatan Sarjana Farmasi Indonesia Nomor 006/KONGRES XVIII/ISFI/2009 Tentang Kode Etik Apoteker Indonesia. Sedangkan kode etik dokter diatur di dalam pengaturan mengenai kode etik kedokteran dalam hal ini diatur dan dijelaskan di dalam Pedoman Pelaksanaan Kode Etik Kedokteran Indonesia yang dikeluarkan oleh Majelis Kehormatan Etik Kedokteran Indonesia Ikatan Dokter Indonesia. Dalam menyelesaikan permasalahan jual beli etiket biru atas obat atau kosmetika yang menimbulkan kerugian bagi konsumen, maka konsumen yang dirugikan dalam hal ini dapat memilih penyelesaian sengketa secara litigasi dan non litigasi. Pilihan antara litigasi dan non litigasi sangat penting, tergantung pada keinginan dan kebutuhan para pihak yang bersengketa. 

The relationship between doctors and pharmacists is related to making prescriptions and producing prescriptions for patients related to cosmetics. Medicines with the blue label used for skin care are special medicines whose administration and application must be adjusted to the needs of each patient. However, in practice, the sale of cosmetics with the blue label is traded freely, with the inclusion of doctors and pharmacists who practice pharmacy. This legal problem tends to be detrimental to consumers due to the use of cosmetics with blue labels which are traded freely and are not made to suit each person's needs. The problem formulation used by the author is: What are the legal responsibilities of doctors and pharmacists for the circulation of blue label cosmetics on the free market? form of legal protection for consumers regarding illegal blue label cosmetics? The author uses doctrinal legal research which is prescriptive in nature using secondary legal materials with primary, secondary and tertiary legal sources. The research results explain that the responsibility of doctors and pharmacists for the distribution of blue label medicines or cosmetics must be based on the theory of legal responsibility and proof that there has been harm felt by consumers as explained in Article 1365 of the Civil Code. The guidelines used to assess or determine the existence of these errors are the pharmacist professional standards which concern the professional work of pharmacists in pharmacies, especially in providing medicines based on doctor's prescriptions. The professional code of ethics for pharmacists is regulated in the Decree of the XVIII/2019 National Congress issued by the Indonesian Pharmacy Graduate Association Number 006/KONGRES XVIII/ISFI/2009 concerning the Code of Ethics for Indonesian Pharmacists. Meanwhile, the doctor's code of ethics is regulated in the regulations regarding the medical code of ethics, in this case it is regulated and explained in the Guidelines for Implementing the Indonesian Medical Code of Ethics issued by the Indonesian Medical Ethics Honorary Council of the Indonesian Doctors Association. In resolving the problem of buying and selling blue labels for medicines or cosmetics which causes losses to consumers, consumers who are disadvantaged in this case can choose litigation and non-litigation dispute resolution. The choice between litigation and non-litigation is very important, depending on the desires and needs of the parties to the dispute."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2024
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
A. Sularso
"Kehadiran pasar modal sebagai salah satu alternatif sumber dana pembiayaan perusahaan, merupakan mekanisme pasar untuk mempertemukan pihak-pihak yang mempunyai kelebihan dana dan membutuhkan dana jangka panjang secara terorganisir. Semenjak tahun 1989, Bursa Efek mulai bangkit kembali, ekonomi Indonesia tumbuh berkembang ke arah sistem perekonomian terbuka, berbagai peraturan pasar modal dikeluarkan guna mengantisipasi permasalahan dan kebutuhan-kebutuhan yang begitu pesat.
Pasar modal mengalami boom sejak tahun 1989, emiten dengan mudah memperoleh dana segar dari masyarakat pemodal, sedang pemodal dengan mudah memperoleh keuntungan sampai lebih dari 100% dalam jangka dua minggu, karena selisih harga perdana dan harga pasar sekunder. Kesempatan ini secara tidak tanggung-tanggung digunakan oleh oknum-oknum pelaku yang terkait dalam lembaga penunjang pasar modal, banyak tudingan masyarakat diarahkan kepada antara lain profesi penujang, yang dituduh tidak mengungkapkan keadaan perusahaan secara obyektif, tidak independen dsb. Para analis saham sulit membedakan antara laporan yang substantial dan rekayasa. Namun akhirnya pasar modal mengalami malapetaka (harga saham jatuh secara drastis), sehingga uang sejumlah trilyunan rupiah amblas, masyarakat menjerit dan menangis.
Keputusan Presiden no 53/1990 dan Keputusan Menteri Keuangan no.1548/KMK.013/1990, yang intinya merubah fungsi Bapepam yang semula sebagai pengawas dan pelaksana kegiatan pasar modal, menjadi pembina dan pengawas saja.Tesis ini menganalisa tanggung jawab hukum profesi penunjang dalam rangka melindungi investor (pemodal). Sampai sejauh mana tanggung jawab profesi penunjang terhadap investor, serta peraturan yang mendukungnya apakah masih memadai.
Hal tersebut karena wewenang menunjuk profesi penunjang untuk mengerjakan audit (pemeriksaan laporan keuangan, pemeriksaan hukum, penilaian aset, dan dokumen hukum) berada pada emiten atau underwriter, sehingga mereka dapat membagi tanggung jawabnya dengan profesi penunjang, di sisi lain investor yang masih awam tidak mempunyai instrumen untuk menilai. Ketimpangan ini terjadi disebabkan beberapa faktor, seperti, moral, etika,kurangnya profesionalisme, dan peraturan perundangundangan yang belum memadai. Adapun kajian secara normatif terutama semula terhadap Keputusan Menteri Keuangan No. 1548/ KMK. 013/1990 tentang Pasar Modal dan RUU tentang Pasar Modal yang belum disetujui oleh DPR, kemudian karena dalam waktu yang begitu cepat. RUU tentang Pasar Modal tersebut telah menjadi Undang-undang No.8 tahun 1995 tentang Pasar Modal, maka penulis menyesuaikan dengan Undang-undang yang baru tersebut."
Depok: Universitas Indonesia, 1995
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Joko Hanggono
"Perseroan Terbatas (PT) salah satu badan usaha yang paling diminati, wajiblah memberikan kepastian hukum, hal ini penting baik secara internal antara para organ yaitu Direksi, Dewan Komisaris dan Rapat Umum Pemegang Saham (RUPS), dan eksternal sebagai subyek hukum yang mandiri dalam hubungan dengan pihak ketiga. Kepastian hukum haruslah dijamin sejak pendirian PT, karena merupakan pintu utama kelangsungan PT. Ketentuan, syarat dan prosedur pendirian suatu PT sebagaimana diatur dalam Peraturan Menteri No 4 tahun 2014. Prakteknya proses pendirian sering menemui kendala, salah satu sebagaimana dikaji dalam tesis karena keadaan memaksa, sehingga kepastian hukum atas proses pendirian dipertanyakan tatkala pengesahan tetap diberikan Kementerian padahal akta pendirian telah lewat masa berlakunya karena keadaan memaksa yang timbul dari Kementerian, pengesahan mana melanggar Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas. Pengesahan yang diberikan setelah lewat waktu permohonan karena keadaan memaksa dapat dipandang dari dua sisi, yaitu pertama dari sisi jangka waktu yang diperbolehkan karena keadaan memaksa sebagai alasan pembenar dan pembebasan otomatis, kedua dari sisi isi akta perubahan angaran dasar yang merupakan jalan keluar dari Kementerian yang dibuat saat akta pendirian telah batal adalah menjadi tanggung jawab Kementerian atas jalan keluarnya. Metode penelitian adalah yuridis normatif, dengan menggunakan data sekunder yang terdiri dari bahan hukum primer, sekunder dan tertier. Sebagai alat pengumpulan data serta pengolahannya digunakan metode kualitatif.

Limited Liability Company ("Ltd") as one of the most favourite form of business entities, should give a Legal Certainty for both internally and externally. Legal certainty is very important either in relationship internally between the part of the "Ltd" itself, such as Board of Directors, Board Of Commissioners and General Meeting (RUPS), as well as for externally in order "Ltd" as a subject of law. In relationship with other third parties, Legal Certainty must be guaranteed since the date of establishment, because it is the main basis for the sustainability of the "Ltd" in the future. In common practice, there are so many problems regarding the process of establishment, one of the example is the force majeure which is discussed on this thesis, where the ratification is still given by the Ministry even after the application had been expired. In this case, how is the legal certainty for the "Ltd", because this ratification broke the Limited Liability Company Law Number 40 year 2007 but however the force majeur factor forces the Ministry to ratificate the establishment. However, due to the force majeur factor, this ratification after the application had been expired can be reviewed from two sides: First, from the period of time allowed because of the force majeur as an excuse and automatic exemption because of it. Second, from the content's amendment of the Article of Association as the wayout given by the Ministry itself, it becomes the Ministry's full responsibilities. The method of research is juridical normative by the use of secondary data consisting of primary, secondary and tertier law. The qualitative method is used as the mean of collecting data and its processing."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2014
T42228
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Chitra
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 1987
S25862
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Lumanauw, Valerie Irene Patricia
"

Di tengah berbagai penyalahgunaan otoritas dan kejahatan yang dilakukan korporasi, Mahkamah Agung telah mengeluarkan Peraturan Mahkamah Agung Nomor 13 Tahun 2016 tentang Tata Cara Penanganan Perkara Tindak Pidana oleh Korporasi yang mengatur bahwa dalam menjatuhkan pidana terhadap Korporasi, Hakim dapat menilai kesalahan korporasi dengan mempertimbangkan apakah korporasi telah melakukan langkah-langkah yang diperlukan untuk melakukan pencegahan, mencegah dampak yang lebih besar dan memastikan kepatuhan terhadap ketentuan hukum yang berlaku guna menghindari terjadinya tindak pidana. Demikian pula, Section 7 (2) United Kingdom Bribery Act juga memperkenalkan konsep serupa dalam hal korporasi gagal melakukan upaya pencegahan tindak pidana suap. Skripsi ini membahas dua hal utama yaitu: (1) apakah yang dapat disebut sebagai prosedur yang memadai bagi perusahaan untuk menghindari pertanggungjawaban pidana baik di Indonesia dan Inggris, dan (2) apakah persamaan dan perbedaan prosedur ini dalam aturan di Indonesia dan Inggris. Dengan menerapkan penelitian hukum normatif menggunakan pendekatan peraturan, teoretis, dan komparatif, skripsi ini menyimpulkan bahwa pertanyaan tentang kapan dan bagaimana prosedur yang memadai diterima sebagai dasar alasan pertanggungjawaban pidana perusahaan hanya dapat dijawab oleh pengadilan dan setiap kasus akan tergantung pada faktanya masing-masing. Dengan demikian, penegak hukum dan jaksa penuntut harus memahami sifat pembelaan ini, bahwa harus ada margin untuk kesalahan dalam melaksanakan itikad baik. Adapun untuk korporasi di Indonesia dan Inggris, mengingat fakta bahwa tidak semua korporasi bergerak di industri atau pasar yang sama, perusahaan harus menyesuaikan program pencegahan mereka agar dapat disebut sebagai prosedur yang memadai untuk menghindari pertanggungjawaban pidana.

 


In the wake of extraordinary corporate power and frequent corporate scandals, Indonesian Supreme Court has issued a Supreme Court Rule Number 13 of 2016 on Procedures for Handling Criminal Offences by Corporation which stipulated that in imposing criminal penalties on Corporations, judges can assess corporate faults by taking into consideration whether corporations take or do not take adequate procedure to take precautions, prevent greater impacts and ensure compliance with applicable legal provisions to avoid the occurrence of criminal acts. Similarly, Section 7 (2) of United Kingdom Bribery Act 2010 also introduced this adequate procedure defense in terms of “Corporate Liability for failure to prevent bribery”. This undergraduate thesis explores two main issues: (1) what constitute as adequate procedures for corporations to evade criminal liability both in Indonesia and United Kingdom, and (2) what are the similarities and differences between adequate procedure defense in Indonesia and United Kingdom. By applying the normative legal research using the statute, theoretical and comparative approach, this undergraduate thesis concludes that the question of when and how an adequate procedure is accepted as grounds of excuse in corporate criminal liability is only to be resolved by the courts and each case will depend on its own facts. Thus, law-enforcement authorities and prosecutors should understand the nature of this adequate procedure defense, which means that there must be a margin for good faith error. As for businesses, given the fact that businesses are not all alike, companies must tailor their program to address the compliance issues specific to their industry or market.

 

 

"
2019
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Raden Roro Dwi Setyani Hanindita
"ABSTRAK
Tulisan ini membahas tiga permasalahan. Pertama mengenai bagaimana bentuk pertanggungjawaban pidana anak terhadap cyberbullying terhadap sesama anak, yang didahului dengan penjelasan mengenai pasal-pasal pada peraturan perundang-undangan pidana di Indonesia dan berdasarkan Undang-Undang Sistem Peradilan Pidana Anak. Kedua adalah mengenai upaya preventif dan represif yang dapat dilakukan di Indonesia dalam rangka perlindungan anak. Ketiga mengenai penegakan hukum, permasalahan, dan solusi dengan negara Filipina, Australia, dan Finlandia sebagai pembanding dengan kondisi di Indonesia. Penggunaan metode penelitian ini melalui studi kepustakaan yang dipadu dengan penelitian lapangan melalui wawancara untuk memberikan paparan mengenai pertanggungjawaban pidana dan perlindungan anak dalam cyberbullying. Pertanggungjawaban pidana yang berlaku adalah sanksi hukuman atau tindakan untuk anak. Selain itu analisis pertanggungjawaban pidana anak berpedoman pada prinsip-prinsip perlindungan anak. Selanjutnya, perbandingan dengan Filipina, Australia, dan Finlandia terhadap kondisi di Indonesia dapat dijadikan rekomendasi untuk bisa diterapkan di Indonesia dalam rangka perlindungan anak dalam cyberbullying. Dari paparan tersebut kemudian dapat ditermukan kekurangan dalam upaya perlindungan anak beserta solusi untuk kedepannya.

ABSTRACT
This thesis mainly discusses about three problems. The first is about child criminal liability towards cyber bullying against fellow children, which is preceded by an explanation of the articles on the rules of Criminal law in Indonesia and based on Juvenile Justice Children Act. Secondly, is about preventive and repressive efforts that can be done in Indonesia in the framework of child protection. The Third, concern about Law enforcement, problems, also solutions in Philippines, Australia, and Finland as a comparison with the condition in Indonesia. By using literature research method combined with field research method through interview to give exposure about criminal liability is by punishment or actions sanction for children, but the imprisonment is the last resort ultimum remidium for children. In addition, the criminal liability of children analysis remains guided by four principles of child protection. Furthermore, in comparison with the Philippines, Australia, and Finland to the conditions in Indonesia can be made a recommendations to be applied in Indonesia in the context of the child protection efforts along with the solutions for the future. "
2017
S69708
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>