Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 189089 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Adelia Nova Prahasary
"Latar Belakang.
Pengobatan antiretroviral (ARV) di Indonesia, meliputi dua lini. Lini kedua terdiri dari kombinasi dua NRTI (Nucleoside Reverse Trancriptase Inhibitor) dan satu PI (protease inhibitor). Protease inhibitor adalah salah satu ARV yang diketahui dapat menyebabkan lipodistrofi, yang seringkali berkembang mengalami resistensi insulin, dan berhubungan dengan peningkatan risiko kardiovaskular. Peningkatan FFA (free fatty acids) dan TNF-α akibat lipolisis sel lemak pada lipodistrofi, beberapa sitokin yang dilepaskan oleh jaringan lemak (adipokin), seperti leptin dan adiponektin dipikirkan memiliki peran terhadap resistensi insulin. Leptin dan adiponektin memiliki kaitan erat dengan metabolisme glukosa dan sensitivitas insulin.
Tujuan.
Mengetahui korelasi leptin, adiponektin dan rasio leptin-adiponektin dengan HOMA-IR pada pasien HIV/AIDS dalam terapi anti retroviral berbasis inhibitor protease.
Metode.
Studi potong lintang dengan populasi terjangkau adalah pasien HIV/AIDS dewasa yang mendapatkan terapi ARV lini ke dua di RSUPN Cipto Mangunkusumo pada September– Desember 2018. Analisis data digunakan untuk mendapat koefisien korelasi leptin, adiponektin dan rasio leptin-adiponektin dengan HOMA-IR
Hasil.
Sebanyak 111 subjek penelitian dengan subjek laki – laki sebanyak 91 orang (81%). Median usia subjek penelitian 39 tahun. Median lingkar perut 83,1 cm dan IMT 22,91 ± 3,91 kg/m2. Sebanyak 60,4% dari subjek penelitian mengalami hipertrigliseridemia, dan 85% memiliki kadar HDL yang rendah. Pada penelitian didapatkan median HOMA IR 2,91, median adiponektin 11,4 μg/mL, median leptin 9,9 ng/mL, dan median rasio leptin adiponektin 0,74. Pada penelitian ini didapatkan koefisien korelasi antara leptin dengan HOMA-IR 0.434 dengan p <0,001, adiponektin dengan HOMA IR -0,214 dengan p <0,05 dan rasio leptin-adiponektin dengan HOMA-IR, didapatkan nilai r 0,417 dengan p <0,001.
Kesimpulan.
Terdapat korelasi positif bermakna antara leptin dan rasio leptin-adiponektin dengan HOMA- IR, sedangkan untuk adiponektin dengan HOMA-IR didapatkan korelasi negatif bermakna.

Background.
Antiretroviral (ARV) treatment in Indonesia includes two lines. The second line consists of a combination of two NRTIs (Nucleoside Reverse Trancriptase Inhibitors) and one PI (protease inhibitor). Protease inhibitors are ARV drugs known to cause lipodystrophy. Patients who are on HAART (highly active antiretroviral therapy), and have lipodystrophy, often develop insulin resistance which is associated with increased risk for cardiovascular disease. Increasing of FFA (free fatty acids) and TNF-α (tumor necrosis factor-alpha) in result of lipodystrophy, also several cytokines (adipokines) released by adipose tissue, such as leptin and adiponectin, also known as adipocytokines or adipokines, may play a role to insulin reistance. Leptin and adiponectin are linked to glucose metabolism and insulin sensitivity.
Objective.
Knowing the correlation of leptin, adiponectin and leptin-adiponectin ratio with HOMA-IR in HIV/AIDS patient on protease inhibitor based anti retroviral therapy.
Methods.
Cross sectional study with an affordable population of HIV/ AIDS patient on protease inhibitor- based ARV therapy in Cipto Mangunkusumo Hospital from September – December 2018. Data Analysis was used to obtain the coefficient of correlation of leptin, adiponectin and leptin- adiponectin ratio with HOMA-IR.
Results.
There were 111 subjects with 91% males. Median’s age of study subject 39 years. Median of abdominal circumference 83,1 cm and median of body mass index 22,91 ± 3,91 kg/m2. Hypertriglyceridemia was found in 60,4% from subjects and 85% had low HDL level. Median of HOMA IR 2,91, Median of adiponectin 11,4 μg/mL, median of leptin 9,9 ng/mL, median of leptin adiponectin ratio 0,74. Coefficient of correlation between leptin and HOMA-IR was 0,434 with p value <0,001, adiponectin and HOMA-IR -0,214 with p value <0.05 and leptin- adiponectin ratio 0,417 with p value <0,001
Conclusion.
A significant positive correlation between leptin and leptin-adiponectin ratio with HOMA-IR was obtain, also a significant negative correlation was obtained between adiponectin and HOMA-IR.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2023
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Bramantya Wicaksana
"Latar belakang: Orang dengan HIV (ODHIV) termasuk dalam populasi risiko tinggi untuk terjadi COVID-19 derajat berat. Vaksinasi merupakan salah satu modalitas penting dalam melawan penyakit ini akibat ketiadaan terapi yang efektif.
Tujuan: Mengetahui intensi penerimaan vaksin COVID-19 pada orang dengan HIV berbasis integrated behavior model.
Metode: Penelitian ini melalui dua fase,kualitatif dan kuantitatif. Pada fase kualitatif, kuesioner berbasis IBM dibuat berdasarkan hasil in-depth interview. Penelitian dilakukan di RS Cipto Mangunkusumo, RS Kramat 128, dan RS Kanker Dharmais dari September sampai Desember 2021. Kriteria inklusi adalah ODHIV ≥ 18 tahun dan eksklusi tidak dapat membaca atau menulis dan tidak mengisi kuesioner secara lengkap pada bagian IBM. Pengambilan data berbasis kertas atau dalam jaringan dengan metode acak sederhana. Analisis korelasi dan regresi linier dengan SPSS 25.
Hasil: Dari total 470 partisipan, 75,6% pasien ingin melakukan vaksin. Model yang telah dibuat dapat menjelaskan 43,4% varians pada intensi untuk melakukan vaksinasi COVID-19 pada ODHIV (adjusted R2 = 0,434). Sebagai tambahan, determinan yang bermakna adalah sikap instrumental (B = 0,006, p < 0,05), norma yang dirasakan (B = 0,026, p < 0,01), dan kendali yang dirasakan (B = 0,019, p = 0,008).
Kesimpulan: Integrated Behavior Model dapat memprediksi intensi ODHIV untuk melakukan vaksinasi COVID-19.

Background: People Living with HIV (PLHIV) are considered a high-risk population for severe COVID-19. Vaccination is an important modality in combating this disease due to the lack of effective therapies.
Objective: To determine the intention of COVID-19 vaccine acceptance among people with HIV based on the Integrated Behavior Model (IBM).
Method: This study went through two phases, qualitative and quantitative. In the qualitative phase, an IBM-based questionnaire was developed based on the results of in- depth interviews. The research was conducted at Cipto Mangunkusumo Hospital, Kramat 128 Hospital, and Dharmais Cancer Hospital from September to December 2021. Inclusion criteria were PLHIV ≥ 18 years old, and exclusion criteria were individuals who were unable to read or write and did not complete the IBM questionnaire fully. Data collection was done on paper or online using a simple random sampling method. Correlation and linear regression analyses were performed using SPSS 25.
Results: Out of a total of 470 participants, 75.6% of patients expressed the intention to receive the vaccine. The developed model could explain 43.4% of the variance in the intention to receive the COVID-19 vaccination among PLHIV (adjusted R2 = 0.434). Additionally, significant determinants were instrumental attitude (B = 0.006, p < 0.05), perceived norm (B = 0.026, p < 0.01), and perceived control (B = 0.019, p = 0.008).
Conclusion: The Integrated Behavior Model (IBM) can predict the intention of PLHIV to receive the COVID-19 vaccination.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2023
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Diki Prawisuda
"ABSTRAK
Terapi Highly Active Antiretroviral Therapy HAART untuk AIDS akibat infeksi HIV dilakukan dengan kombinasi obat-obat yang menghambat salah satu tahap dari siklus reproduksi virus HIV. Sumber alternatif baru protease inhibitor sebagai komponen terapi AIDS dibutuhkan untuk menyediakan stok obat dan mengatasi apabila terdapat resistensi terhadap protease inhibitor yang lama. Kayu Ules Helicteres isora diketahui pada penelitian in vitro dan in silico sebelumnya memiliki kandidat senyawa yang berpotensi digunakan sebagai sumber protease inhbitor alami, namun penelitian aktivitas protease inhibitor ekstrak metanol Helicteres isora secara in vitro dengan protease assay belum dilakukan. Penelitian ini dilakukan untuk melihat potensi Kayu Ules sebagai protease inhibitor dengan menggunakan kultur sel HT-29 yang diinfeksi virus HIV-1 untuk propagasi virus dan protease assay untuk melihat pengaruh Kayu Ules sebagai protease inhibitor. Analisis imunofluoresen dan RT-PCR mengindikasikan virus HIV-1 yang diproduksi oleh sel HT-29 setelah transfeksi. Enzim tripsin dan sel HT-29 diketahui dapat digunakan sebagai, masing-masing, enzim standar Protease assay dan sel inang virus HIV-1 NL4-3. Hasil penelitian menunjukkan bahwa ekstrak metanol buah Kayu Ules Helicteres isora L. memiliki aktivitas protease inhibitor protease HIV-1 yang optimal pada konsentrasi 15,625 ?g/mL.

ABSTRACT
Highly Active Antiretroviral Therapy HAART for AIDS disease caused by HIV are performed with drug cocktail that inhibit virus replication cycle. Alternative source of protease inhibitor are needed to decrease viral resistancy to the current protease inhibitor. Kayu Ules Helicteres isora , from previous in vitro and in silico studies, known for its potency as a natural source of protease inhibitor, however methanolic extract protease inhibitor activity in vitro study using protease assay has not yet conducted. This research is aimed to study the potential of Kayu Ules as protease inhibitor. We used HT 29 cell lines for HIV 1 NL4 3 propagation and protease assay to know the effect of Helicteres isora as protease inhibitor. Immunofluorescence microscopy and RT PCR results showed the presence of HIV in HT 29 cell culture after transfection. This study demonstrate reliable utility of HT 29 and trypsin for HIV 1 NL4 3 virus generation cell host and for standard protease assay enzyme, respectively. From this experiment, fruit of Kayu Ules methanolic extract are showed to have HIV 1 protease inhibitor activity with its optimum concentration at 15,625 g mL."
2017,
S69902
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Ainum Jhariah Hidayah
"Penyakit infeksi Human Immunodeficiency Virus (HIV) sampai sekarang masih menjadi masalah kesehatan di dunia termasuk di Indonesia. Progresivitas penyakit pada pasien HIV/AIDS dipengaruhi oleh berbagai faktor antara lain faktor usia, genetik, penyakit infeksi lain seperti tuberkulosis dan hepatitis, faktor gizi, status imunologi dan lain-lain. Adanya pengobatan ARV belum mampu menyembuhkan penyakit namun mampu mengontrol progresivitas penyakit HIV dan AIDS dengan menekan replikasi virus, mengurangi timbulnya infeksi oportunistik. Walaupun program ini telah dilaksanakan, namun kematian akibat HIV tetap saja terjadi terutama pada tahun pertama pengobatan ARV.
Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui prediktor yang berhubungan dengan kematian pada pasien HIV-AIDS yang mendapatkan terapi ARV di RS dr. H. Marzoeki Mahdi Bogor Tahun 2008-2012. Desain studi yang digunakan adalah kohort retrospektif dengan menggunakan data register ART dan Rekam Medik. Sampel berjumlah 396 pasien HIV yang menggunakan ARV. Analisis data dilakukan dengan menggunakan Regresi Cox.
Hasil analisis multivariat menunjukkan prediktor kematian pasien HIV-AIDS yang mendapatkan ARV adalah status fungsional baring (RR=2,34, 95% CI:1,32-4,11), kategori IO berat (RR=2,11, 95% CI:1,26-3,54), dan status anemia (RR=2,56, 95% CI:1,74-3,77). Diperlukan perhatian khusus dan pemantauan bagi pasien HIV-AIDS yang menggunakan ARV dengan status fungsional baring, anemia, dan memiliki infeksi oportunistik yang berat.

Human Immunodeficiency Virus (HIV) is still an issue in health sector in the world, particularly in Indonesia. Progression of disease is influenced by various factors including age, genetic, and other infectious diseases such as tuberculosis and hepatitis, nutritional factors, and immunological status. ARV therapy has not been able to cure the disease yet is able to control the progression of HIV/AIDS by suppressing viral replication which reduce the incidence of opportunistic infections. Although the program has been implemented, the deaths from HIV continue to occur, especially in the first year of ARV treatment.
This study aims to investigate the predictors related to death in HIV-AIDS patients with ARV therapy in Dr. H. Marzoeki Mahdi Hospital in Bogor in 2008-2012. The study design was retrospective cohort using ART registration data and Medical Record. Number of samples were 396 HIV patients with ARV therapy. Data analysis was performed using Cox Regression.
The multivariate analysis showed that the predictors of deaths in HIV-AIDS patients with ARV therapy were functional baring status (RR = 2.34, 95% CI: 1.32-4.11), heavy IO category (RR = 2.11, 95% CI : 1.26-3.54), and anemia status (RR = 2.56, 95% CI: 1.74-3.77). Special attention and monitoring are required for HIV/AIDS patients taking antiretroviral medications with functional status of baring, anemia, and having severe opportunistic infections.
"
Depok: Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia, 2017
T48422
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Siahaan, Kristiane
"ABSTRAK
Latar Belakang. Efavirenz adalah salah satu obat antiretroviral lini pertama dalam tatalaksana infeksi HIV. Namun, penelitian dari beberapa negara menunjukkan sekitar 50% pengguna efavirenz mengalami efek samping psikiatrik, seperti gangguan tidur, mimpi buruk, insomnia, cemas, depresi sampai gangguan kognitif. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui prevalensi psikopatologi pada ODHA yang mendapatkan terapi efavirenz, serta faktor yang berhubungan, seperti faktor demografik, mekanisme koping, dan stigma.
Metode. Studi potong lintang ini menggunakan kuesioner yang diberikan pada pasien HIV di UPT HIV RSUPN Cipto Mangunkusumo yang menggunakan efavirenz. Psikopatologi diukur menggunakan SCL-90, mekanisme koping dengan Brief COPE, dan stigma dengan Berger HIV Stigma Scale. Selain itu, faktor demografik seperti usia, jenis
kelamin, riwayat gangguan jiwa, riwayat penggunaan narkotika, dan stadium HIV.
Hasil. Prevalensi psikopatologi pada pasien HIV yang diterapi dengan EFV sebesar 50 dari 112 subjek penelitian (44,6 %). Gejala psikopatologi terbanyak yang didapatkan adalah depresi 25.0% diikuti oleh gejala obsesif kompulsif 17.9%. Faktor yang menunjukkan hubungan signifikan dengan adanya psikopatologi adalah usia (p=0,01), stigma (p=0,01), dan riwayat penggunaan alkohol/zat psikoaktif lainnya (p=0,02).
Kesimpulan. Depresi merupakan psikopatologi yang paling banyak didapatkan pada penelitian ini. Faktor usia, stigma, dan riwayat penggunaan alkohol/zat psikoaktif lainnya mempunyai hubungan yang bermakna terhadap munculnya gejala psikopatologi pada pasien yang mendapatkan terapi EFV.

ABSTRACT
Background. Efavirenz is one of the first-line antiretroviral drugs in the management of HIV infection. However, research from several countries shows that about 50% of efavirenz users experience psychiatric side effects, such as sleep disorders, nightmares, insomnia, anxiety, depression to cognitive disorders. This study aims to determine the
prevalence of psychopathology in HIV patients who received efavirenz therapy, as well as related factors, such as demographic factors, coping mechanisms, and stigma.
Method. This cross-sectional design used a questionnaire given to HIV patients at UPT HIV Cipto Mangunkusumo General Hospital who used efavirenz. Psychopathology was measured using SCL-90, coping mechanism with COPE Brief, and stigma with Berger HIV Stigma Scale. In addition, demographic factors such as age, sex, history of mental
disorders, history of drug use, and stage of HIV.
Results. The prevalence of psychopathology in HIV patients treated with EFV was 50 out of 112 study subjects (44.6%). The most common psychopathological symptom was depression 25.0% followed by obsessive compulsive symptoms 17.9%. Factors that showed a significant correlation with the prevalence of psychopathology were age (p = 0.01), stigma (p = 0.01), and history of alcohol / other psychoactive substance use (p = 0.02).
Conclusion. Depression is the most commonly obtained psychopathology in this study. Age, stigma, and history of using alcohol / other psychoactive substance use have a significant significant correlation with the prevalence of psychopathological symptoms in patients receiving EFV therapy."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2020
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Nenfiati
"Latar Belakang: Sejak era terapi antiretroviral (ARV) khususnya lini dua yang meliputi non nucleoside reverse trascriptase inhibitor (NRTI) dan protease inhibitor (PI), ditemukan lebih banyak efek samping metabolik terutama resistensi insulin pada pasien HIV. Dari penelitian sebelumnya, diketahui resistensi insulin berhubungan dengan meningkatnya usia dan komorbid obesitas. ARV dalam meningkatkan risiko terjadinya resistensi insulin dapat terjadi dengan secara langsung mengintervensi jalur pensinyalan insulin tingkat seluler dan tidak langsung sebagai konsekuensi dari defek dalam metabolisme lipid pada pasien dengan sindrom lipodistrofi yang dikaitkan dengan peningkatan kadar asam lemak bebas/free fatty acids (FFA). Terdapat perbedaan hasil dari studi sebelumnya di Negara dan ras yang bervariasi, terkait proporsi kejadian resistensi insulin pada pasien HIV dalam terapi ARV lini dua dan hubungannya dengan durasi terapi, lipodistrofi, dan kadar FFA.
Tujuan: Mengetahui proporsi kejadian resistensi insulin pada pasien HIV dalam terapi ARV lini dua dan hubungannya dengan durasi terapi, lipodistrofi, dan kadar FFA.
Metode: Penelitian ini merupakan studi observasional potong lintang yang dilakukan pada 111 pasien HIV dalam terapi ARV lini dua. Dilakukan wawancara, pemeriksaan fisik (tekanan darah, indeks masa tubuh, parameter untuk menilai lipodistrofi), dan pemeriksaan laboratorium (gula darah puasa, insulin puasa, trigliserida, HDL, dan FFA. Data karakteristik disajikan dalam rerata bila distribusi normal dan median bila tidak normal.Subjek dinyatakan mengalami resistensi insulin dengan menghitung indeks Homeostatic Model Assessment for Insulin Resistance (HOMA-IR). Nilai titik potong HOMA-IR ditentukan dalam penelitian ini dengan tambahan data sekunder, pada populasi pasien HIV dalam terapi ARV. Selanjutnya, dilakukan analisis statitistik dengan uji t tidak berpasangan jika distribusi normal dan uji Mann Whitney U untuk data distribusi tidak normal.
Hasil: Median usia subjek adalah 39 tahun (19-58) dan 82% nya adalah perempuan. Didapatkan nilai titik potong HOMA-IR 2,705 dengan sensitivitas 67,9% dan spesifisitas 69,1%. 61 dari 111 subjek (55%) mengalami resistensi insulin. Median durasi PI adalah 52 (0,5-178) bulan, durasi NRTI 121 (19-238) bulan. Terdapat 9 subjek dengan lipodistrofi. Median kadar FFA adalah 2,38 (0,28-40,38). Durasi PI (p=0,015) dan durasi NRTI (p=0,027) berhubungan bermakna secara statistik dengan resistensi insulin. Sedangkan, lipodistrofi dan kadar FFA tidak berhubungan bermakna dengan resistensi insulin.
Simpulan: Proporsi resistensi insulin pada pasien HIV dalam terapi ARV lini kedua adalah 55%. Pada penelitian ini durasi terapi NRTI dan PI, berhubungan dengan terjadinya resistensi insulin pada subjek. Sedangkan, ditemukan perbedaan tidak bermakna secara statistik antara kadar FFA, dan adanya lipodistrofi dengan resistensi insulin pada pasien HIV dalam terapi ARV lini kedua.

Background: Since the era of antiretroviral therapy (ART), especially the second line which includes non nucleoside reverse trascriptase inhibitor (NRTI) and protease inhibitor (PI), there were more cases of metabolic side effects especially insuin resistance in HIV infected patients. Previous studies stated positive correlation between older age and obesity as a comorbid. ART increases risk of insulin resistance by directly intervering in celluer insulin signaling pathway or indirectly through defects of lipid metabolism, lipodystrophy, and elevation of FFA levels. There were controversial results from previous studies in different Country and races regarding the proportion of insulin resistance, and its relation with ART duration, lipodystophy, and FFA levels.
Objective: To obtain the proportion on insulin resistance in HIV patiens on second line ART, and its relation with ART duration, lipodystophy, and FFA levels.
Methods: It is an observational cross-sectional study in 111 HIV patiens on second line ART. Interview, physical examination (of blood pressure, body mass index, and lipodystrophy parameter), and laboratory examination (fasting blood glucose and insulin, triglyceride, HDL, and FFA level) were done. Charateristics of subjects are displayed as mean value if the data distribution is normal and median (min-max value) if not. Insulin resistance is measured with HOMA-IR index. Cut off value was calculated with additional secondary data in population of HIV patiens on ART. Then, statistic analysis is done with unpaired t test for data with normal distribution or mann whitney test for data with abnormal distribution.
Results: Age media value of the subjects is 39 (19-58) years old and 82% of the subjects are female. The obtained cut off value of HOMA-IR is 2,705 with Sensitivity of 67,9 and Specificity of 69,1%. 61 of 11 subjects were insulin resistant. PI duration s median value is 52 (0,5-178) months, NRTI duration s median value is 121 (19-238) months. There were 9 subjects found that have lipodystrophy. FFA levels media value is 2,38 (0,28-40,38). PI (p=0,015) and NRTI (p=0,027) durations were significantly corresponded with insulin resistance. Meanwhile, lipodystrophy and FFA levels were not significantly correlated with insulin resistance.
Conclusions: Insulin resistance is found in 55% HIV patients on second line ART. Therapy duration is found to be related with insulin resistance while lipodystophy and FFA levels have no significant difference between subjects with insulin resistance and not.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2019
T55569
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Chahya Kharin Herbawani
"Laporan HIV/AIDS Triwulan 1 Tahun 2017 menyebutkan bahwa terjadi peningkatan jumlah kasus AIDS pada ibu rumah tangga, dari 172 orang pada tahun 2004 menjadi 12.302 kasus sampai bulan Maret 2017. Selain jumlah kasus yang terus meningkat, jumlah kumulatif AIDS menurut pekerjaan/status, ibu rumah tangga menempati urutan kedua terbesar yang menderita AIDS setelah kelompok lain-lain (Kemenkes RI, 2017).
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui faktorfaktor yang berhubungan dengan upaya pencegahan HIV/AIDS pada ibu rumah tangga di wilayah kerja Puskesmas Bagor. Desain penelitian adalah cross-sectional. Jumlah responden yang diperoleh adalah 150 ibu rumah tangga. Data dianalisis dengan regresi logistik.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa faktor yang berhubungan dengan upaya pencegahan HIV/AIDS pada ibu rumah tangga adalah riwayat tes HIV (p=0,028) dan keterpaparan informasi tentang HIV/AIDS (p=0,014). Pada analisis regresi logistik multivariat diketahui bahwa riwayat tes HIV merupakan faktor yang paling mempengaruhi upaya pencegahan HIV/AIDS oleh ibu rumah tangga (p=0,028 95% CI: 1,06-13,54). Pada ibu rumah tangga yang telah terpapar informasi tentang HIV/AIDS memiliki peluang 3,787 kali lebih tinggi untuk melakukan upaya pencegahan HIV/AIDS baik daripada ibu rumah tangga yang belum pernah melakukan tes HIV.
Direkomendasikan kepada kementrian kesehatan, dinas kesehatan dan tenaga kesehatan untuk mensosialikasikan tes HIV sejak pra-nikah dan melakukan pendidikan kesehatan terkait HIV/AIDS yang dapat menjangkau seluruh ibu rumah tangga. Seperti melalui kelompok PKK dan pengajian. Sehingga, ibu rumah tangga dapat terpapar informasi tentang HIV/AIDS.

The first quarter of HIV/AIDS report 2017 mentioned an increase in the number of AIDS cases among housewives, from 172 cases in 2004 to 12.302 cases by March 2017. Besides the increasing number of the HIV cases, the cumulative number of AIDS by occupation group showed that the housewives group was the second largest with AIDS after unidentified group (Indonesian Ministry of Health , 2017).
The aim of this study was to determine the factors that influence the act of HIV/AIDS prevention among housewives in the work area of Bagor Community Health Centre. The study design was cross-sectional. The number of respondent who had obtained was 150 housewives. The data were analyzed with logistic regression.
The result of the study showed that factor corellated with HIV/AIDS prevention among housewives were HIV testing (p=0,028) and information exposure about HIV/AIDS (p=0,014). In multivariate logistic regression analysis was known that HIV testing was the most influencing factor for HIV/AIDS prevention in housewives (p=0,028 95% CI: 1,06-13,54). The housewives who have been done the HIV testing have 3,787 times higher chace to doing HIV/AIDS prevention than those who have not do it.
It is recommended to the ministry of health, health offices and health workers to conduct the reproductive health education related to HIV/AIDS include the HIV testing as pre-marital program, also health education that can reach all housewives such as with organization of husewives group. Thus, housewives can be exposed to information about HIV/AIDS.
"
Depok: Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia, 2018
T50337
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Pratama Wicaksana
"LATAR BELAKANG: Terapi ARV telah mengubah infeksi HIV dari penyakit yang mematikan menjadi penyakit kronik yang dapat dikendalikan. Salah satu efek samping terapi ARV adalah dislipidemia yang dapat meningkatkan risiko kardiovaskular. Studi tentang dislipidemia pada anak terinfeksi HIV di negara berkembang belum banyak dilakukan. TUJUAN: Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui prevalens dislipidemia pada anak terinfeksi HIV dalam terapi ARV serta faktor risiko terkait. METODE: Studi potong lintang dilakukan di poliklinik anak RSCM dari bulan Januari hingga Juli 2019. Pemeriksaan profil lipid dikerjakan pada subyek yang memenuhi kriteria inklusi dan eksklusi. Data yang dikumpulkan adalah status gizi, stadium klinis saat awal diagnosis, status imunosupresi terakhir, nilai VL terakhir, paduan ARV terakhir, dan kombinasi ARV terakhir dari rekam medis. HASIL: Dari 96 subyek yang ikut alam penelitian ini, 52 (54,2%) mengalami dislipidemia. Prevalens dislipidemia pada kelompok terapi ARV lini 2 adalah 80%, sementara pada kelompok lini 1 adalah 39%. Terdapat hubungan yang bermakna antara penggunaan paduan ARV lini 2 dengan peningkatan risiko, yaitu sebesar 6,3 kali (p<0,01 IK95% [2,4-17,1]) untuk terjadi dislipidemia dibandingkan dengan paduan lini 1.KESIMPULAN: Prevalens dislipidemia pada anak terinfeksi HIV yang mendapatkan terapi ARV cukup tinggi dengan faktor risiko yaitu penggunaan paduan ARV lini 2.

INTRODUCTION: Antiretroviral therapy has changed the status of HIV infection from a high-mortality disease into a chronic disease. One of the consequences of long-term use of ARV is dyslipidemia that may progress into cardiovascular disease in the future. OBJECTIVE: The aim of the study was to seek the prevalence of dyslipidemia among HIV-infected children receiving ARV and related risk factors. METHODS: A cross-sectional study was conducted at pediatric outpatient clinic, RSCM, from January to July 2019. Lipid profile was examined on eligible subjects and data regarding nutritional status, clinical stadium at diagnosis, latest immuno supression status, latest VL value and latest ARV combination used were obtained from medical record. RESULTS: Of 96 subjects included, 52 (54,2%) subjects experienced dyslipidemia. Prevalence of dyslipidemia among second line and first line users were 80% and 39%,respectively. The use of second-line ARV medications was associated with 6,3 times (p=0,0 CI95%[2,4-17,1]) increase of risk for dyslipidemia compared to the use of first-line therapy. CONCLUSION: Prevalence of dyslipidemia among HIV-positive children on ARV is high with second-line ARV therapy being a risk facto."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2019
T58940
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Dwi Kartika Sari
"Tujuan: Mengetahui konsentrasi dari virus Epstein-Barr pada saliva dengan teknik Real-Time PCR pada RS Kramat 128 Jakarta dan korelasinya dengan terapi antiretroviral, Limfosit T CD4 dan viral load HIV.
Metode: Penelitian ini merupakan penelitian analitik deskriptif dengan metode potong lintang. Data didapatkan dari pasien HIV yang berkunjung ke RS Kramat 128 pada periode bulan September-Oktober 2019 dengan kelompok kontrol pegawai RS Kramat pada periode tersebut. Seluruh subjek penelitian (77 subjek, 53 HIV dan 24 non-HIV sebagai kelompok kontrol) yang bersedia berpartisipasi diminta untuk mengisi kuesioner, diperiksa rongga mulutnya, serta dikumpulkan salivanya dalam kondisi terstimulasi dan tidak terstimulasi. Saliva yang terkumpul kemudian diekstraksi DNA nya dan dilakukan pemeriksaan real-time PCR dengan menggunakan diagnostik kit untuk EBV pada Pusat Riset Virologi dan Kanker Patobiologi FKUI RSCM.
Hasil: Konsentrasi virus Epstein-Barr pada saliva pasien HIV di RS Kramat 128 Jakarta secara statistik lebih tinggi daripada kelompok kontrol dengan median (min-maks) pada pasien HIV 13.950 (0-38.550.000) dan 680 (0-733.000) pada kelompok kontrol. Tipe antiretroviral memiliki korelasi rendah dengan konsentrasi EBV, namun penggunaan ART jangka panjang memiliki korelasi sedang dalam menurunkan konsentrasi EBV (korelasi negatif dengan r=0,295). Kenaikan jumlah EBV saliva pada pasien HIV secara signifikan memiliki korelasi sedang (korelasi positif dengan r=0,295), namun memiliki korelasi rendah dengan jumlah Limfosit T CD4.
Kesimpulan: Terdapat perbedaan signifikan antara konsentrasi EBV pada pasien HIV dan kelompok kontrol. Penggunaan ART jangka panjang dan viral load HIV secara signifikan memiliki korelasi sedang dengan konsentrasi EBV pada saliva.

Objective: To reveal concentration of salivary Epstein-Barr Virus with real-time PCR Technique in Kramat 128 General Hospital HIV patient and its correlation with antiretroviral therapy, CD4 and HIV viral load.
Method: This is an analytic descriptive cross-sectional study on HIV outpatient of Kramat 128 General Hospital in September-Oktober 2019 and employees of Kramat 128 as control group. All subjects (77 subject, with 53 HIV positive respondent and 24 non-HIVcontrol) willing to participate were asked to fill out a questionnare, followed by oral examination and saliva colection in stimulated and unstimulated method. The collected saliva then extracted and EBV concentration were count by real-time PCR using an EBV diagnostic kit at Center for Research on Institute of Human Virology and Cancer Biology Universitas Indonesia.
Result: The concentrations of salivary EBV were significantly higher in HIV patients than non-HIV controls, with median (min-max) values in HIV patient 13.950 (0-38.550.000) and 680 (0-733.000) in non-HIV controls. The type of ART has low correlation with EBV concentrations, but long-term ART has medium correlation in reducing EBV concentrations (negative correlation with r=0,279). Increase amount of EBV in HIV patient were significantly has medium correlation with HIV viral load (positive correlation with r=0,295) but has low correlation with CD4 cell count.
Conclusion: There are significant differences of salivary EBV concentrations in HIV patients and control group. Long term ART and HIV viral load significantly has medium correlation with EBV concentration.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Indonesia, 2019
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Tasya Wijayanti
"Agen antiretroviral adalah obat yang digunakan untuk pasien HIV dan diminum rutin oleh pasien HIV seumur hidup. Berdasarkan data Kementrian Kesehatan, setidaknya sebanyak 83,4% pasien HIV mendapatkan terapi antiretroviral untuk mengurangi perkembangan virus tersebut. Penggunaan obat antiretroviral harus dipantau dan dievaluasi penggunaannya apakah sesuai dengan tatalaksana yang berlaku. Selain itu, evaluasi diperlukan untuk mengurangi risiko kejadian yang tidak diinginkan oleh pasien HIV yang menggunakan antiretroviral. Oleh karena itu, diperlukan evaluasi penggunaan obat antiretroviral terhadap pasien HIV di RSUP Fatmawati secara berkala. Metode penelitian yang digunakan dalam pembuatan tugas khusus ini adalah penelitian observasional dengan design cross sectional. Data diambil secara retrospektif terhadap data sekunder yaitu data penggunaan obat yang diperoleh dari depo farmasi Instalasi Rawat Jalan Lantai 3 RSUP Fatmawati periode Juli-September 2022. Pengambilan data dilakukan dengan metode total sampling. Berdasarkan hasil pengambilan data, terdapat 2346 pasien HIV yang menjalani pengobatan rawat jalan di RSUP Fatmawati. Dari 2346 pasien tersebut, sebanyak 71% pasien HIV yang menjalani pengobatan rawat jalan di RSUP Fatmawati adalah laki-laki dan usia 35 - ≤45 tahun menjadi populasi terbanyak dengan persentase sebesar 46,76%. Dalam penelitian ini, didapatkan bahwa penggunaan kombinasi Tenolam E (Tenofovir – Lamivudin – Efavirenz) merupakan kombinasi yang paling sering diresepkan di RSUP Fatmawati dengen persentase sebesar 24%. Kemudian, penggunaan obat non-ARV yang sering diresepkan adalah cotrimoxazol yang merupakan antibiotik untuk mencegah infeksi oportunistik pada ODHA.

Antiretroviral agents are drugs that are used for HIV patients and are taken regularly by HIV patients for life. Based on data from the Ministry of Health, at least 83.4% of HIV patients receive antiretroviral therapy to reduce the spread of the virus. The use of antiretroviral drugs must be monitored and evaluated for their use whether they are in accordance with the applicable management. In addition, evaluation is needed to reduce the risk of adverse events in HIV patients taking antiretrovirals. Therefore, it is necessary to periodically evaluate the use of antiretroviral drugs in HIV patients at Fatmawati General Hospital. The research method used in making this special assignment is an observational study with a cross-sectional design. Data were collected retrospectively from secondary data, namely drug use data obtained from the pharmacy depot on the 3rd floor of the Outpatient Installation at Fatmawati Hospital for the period July-September 2022. Data was collected using the total sampling method. Based on the results of data collection, there were 2346 HIV patients undergoing outpatient treatment at Fatmawati General Hospital. Of the 2346 patients, 71% of HIV patients undergoing outpatient treatment at Fatmawati General Hospital were male and aged 35 - ≤45 years being the largest population with a percentage of 46.76%. In this study, it was found that the use of the combination Tenolam E (Tenofovir – Lamivudin – Efavirenz) was the most frequently prescribed combination at Fatmawati General Hospital with a percentage of 24%. Then, the use of non-ARV drugs that are often prescribed is cotrimoxazol which is an antibiotic to prevent opportunistic infections in PLWHA."
Depok: Fakultas Farmasi Universitas Indonesia, 2023
PR-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>