Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 179129 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Christou Imanuel
"Indonesia sedang merundingkan penetapan batas laut dengan Palau karena terdapat klaim yang tumpang tindih antara kedua negara. Wilayah yang belum didelimitasi kerap menyimpan potensi pelanggaran hukum oleh negara yang sama-sama memiliki klaim atau bahkan negara ketiga. Untuk itu UNCLOS memberikan kewajiban bagi negara pihak untuk berusaha membuat provisional arrangement/pengaturan sementara di wilayah yang delimitasinya belum ditentukan. Kini Indonesia dan Palau belum memiliki pengaturan sementara. Penelitian ini bertujuan untuk menilik keberadaan urgensi untuk dibentuknya pengaturan sementara di wilayah yang sedang dirundingkan oleh Indonesia dan Palau. Untuk mencapai tujuan tersebut, penelitian ini menyarikan norma internasional terkait pengaturan sementara dari UNCLOS dan praktik negara-negara. Inti yang disarikan adalah urgensi yang biasa menjadi dasar pemicu dibentuknya pengaturan sementara. Hasilnya akan disandingkan dengan kondisi terkini di wilayah perbatasan Indonesia dan Palau. Kecocokan antara dasar pengaturan sementara dan kondisi setempat akan menjadi dasar analisis urgensi. Penelitian ini menemukan bahwa terdapat beberapa kecocokan antara kondisi di lapangan dan norma serta praktik terkait pengaturan sementara namun belum cukup untuk menjadi dasar pembentukan pengaturan sementara. Meskipun demikian, aspek keamanan, perlindungan lingkungan, sumber daya, dan negosiasi perlu diperhatikan untuk antisipasi dibutuhkannya pengaturan sementara.

Indonesia is negotiating the delimitation of maritime boundaries with Palau because there are overlapping claims between the two countries. Territories that have not been delimited often harbor the potential for legal violations by countries that share claims or even third countries. For this reason, UNCLOS provides an obligation for state party to try to make provisional arrangements in areas whose delimitations have not been determined. Currently Indonesia and Palau do not yet have a provisional arrangement. This research aims to examine the existence of urgency for the establishment of provisional arrangements in the region currently being negotiated by Indonesia and Palau. To achieve this goal, this research summarizes international norms regarding the provisional arrangements of UNCLOS and the practices of countries. The essence that is extracted is the urgency which is usually the basis for triggering the formation of provisional arrangements. The results will be compared with current conditions in the border areas of Indonesia and Palau. The match between the basis of provisional arrangements and local conditions will form the basis of the urgency analysis. This research found that there is partial alignment between field conditions and the norms and practices related to provisional arrangements but not enough to be the basis for establishing provisional arrangements. However, aspects of security, environmental protection, resources and negotiations need to be considered to anticipate the need for provisional arrangements."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2024
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Intan Hadidjah
"Skripsi ini membahas mengenai aktivitas militer kapal dan pesawat terbang asing di zona ekonomi eksklusif berdasarkan hukum laut internasional. Penelitian ini adalah penelitian deskriptif dengan penekanan pada tinjauan hukum internasional dengan mempertimbangkan penerapan konkrit melalui praktik-praktik negara (state practices).
Hasil penelitian ini memperlihatkan bahwa aktivitas militer di zona ekonomi eksklusif tidak diatur secara jelas dalam Konvensi Hukum Laut dan memberikan ruang untuk interpretasi masing-masing negara. Lebih lanjutnya penelitian ini memberikan pemahaman atas praktik-praktik negara dan upaya-upaya internasional yang telah dibentuk dalam kerangka pencegahan dan penyelesaian sengketa.

The focus of this study is about military activities by government vessel and aircraft in the exclusive economic zone from an international law perspective. This study is a descriptive method with an emphasis on international law study by considering real application through state practices.
This study concludes that military activities in the exclusive economic zone is not explicitly regulated by the Law of the Sea Convention and hence provides room for states' own discretion. Furthermore this study gives comprehension on state practices and international efforts established in the spirit of conflict prevention and dispute resolution.
"
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2011
S247
UI - Skripsi Open  Universitas Indonesia Library
cover
Ayu Sekripsia Sari
"ABSTRAK
The 1982 United Nations Convention on the Law of the Sea tidak menentukan suatu metode tertentu untuk menentukan batas Zona Ekonomi Eksklusif. Namun demikian, Mahkamah dan Majelis internasional secara konsisten menerapkan two-step approach untuk menyelesaikan sengketa batas maritim. Berdasarkan metode ini, suatu proses delimitasi dimulai dengan menarik garis median sementara dan dilanjutkan dengan memeriksa relevant circumstances untuk menentukan apabila garis tersebut harus disesuaikan, agar tercapai hasil yang adil. Menerapkan two-step approach untuk menentukan batas Zona Ekonomi Eksklusif antara Indonesia dan Palau, artikel ini menyimpulkan bahwa terdapat dua relevant circumstances yang mengharuskan penyesuaian garis median sementara, yakni ketimpangan panjang pantai terkait dan keberadaan pulau lepas pantai yang berukuran kecil.

ABSTRAK
The 1982 United Nations Convention on the Law of the Sea does not provide any specific method of delimitation of the Exclusive Economic Zone. However, International Court and Tribunal have consistently followed a two-step approach to resolve maritime boundary disputes. According to this method, the delimitation process begins by drawing a provisional median line and followed by examining the relevant circumstances to determine whether the provisional line needs to be adjusted, in order to achieve an equitable result. Adopting two-step approach to delimit the Exclusive Economic Zone boundary between Indonesia and Palau, this thesis concludes that there are two relevant circumstances requiring the adjustment of the provisional median line, namely the disparity in the lengths of the respective coasts and the presence of small offshore islands. Keywords: Two-step approach, maritime boundary delimitation, Indonesia?s maritime boundaries, relevant circumstances.
"
2016
S64250
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Amelia Rahmi Syaiful
"ABSTRAK
Zona ekonomi eksklusif merupakan wilayah dimana kegiatan penangkapan ikan dilakukan oleh negara lain dalam hal ini kapal asing. Zona ekonomi eksklusif rentan terhadap pelanggaran yang dilakukan oleh kapal asing, negara pantai seperti Australia, Indonesia dan Malaysia menerapkan tindakan khusus sebagai bagian dari penegakan hukum bagi para pelaku yang melanggar di wilayah mereka, sebab negara-negara pantai yang berdasar pada UNCLOS 1982. Pasal 73 UNCLOS 1982 terkait penegakkan hukum di negara pantai, aturan ini memberikan hak dan kewajiban negara untuk mengatur kebijakan di laut, menegaskan bahwa negara pantai dapat melaksanakan hak berdaulat untuk melakukan eksplorasi, eksploitasi, konservasi dan pengelolaan sumber kekayaan hayati di ZEE, melalui tindakan khusus berupa penenggelaman kapal berbendera asing yang diterapkan oleh Australia, Indonesia dan Malaysia dalam rangka penegakan hukum dan selaras dengan prinsip pembangunan berkelanjutan bahwa negara bertanggung jawab untuk menjamin aktivitas dalam yurisdiksi mereka atau pengawasan yang tidak merusak lingkungan negara lain. Walaupun demikian, ketiga negara tersebut memiliki perbedaan dalam segi praktek serta prosedur sebab ketiganya terikat kepada kedaulatan negara, oleh sebab itu peneliti ini mengangkat terkait praktek dan prosedur penenggelaman kapal berbendera asing yang melakukan pelanggaran di zona ekonomi eksklusif suatu negara pantai melalui pendekatan normatif dengan menganalisa dan mengkaji ketentuan hukum internasional dan hukum nasional di negara pantai.

ABSTRACT
Exclusive economic zone is a region where fishing activities carried out by other States in this regard foreign ships. Exclusive economic zone vulnerable to violations committed by foreign vessels, coastal States such as Australia, Indonesia and Malaysia implement special measures as part of law enforcement for the perpetrators who infringe on the territory them. Article 73 of law enforcement related to UNCLOS 1982 in coastal states, this rule provides the rights and obligations of the State to set policy at sea, asserts that coastal States can exercise the right of sovereign to do exploration, exploitation, conservation and management of the biological wealth of resources in the EEZ, through special measures in the form of a foreign flagged ship sinking applied by Australia, Indonesia and Malaysia in the course of law enforcement and in harmony with the principles of development sustainable that the country responsible for the guarantee activity in their jurisdiction or control do not damage the environment of other States. However, they have differences in terms of practice and procedure because they are tied to State sovereignty, therefore the researchers this raised related practices and procedures the sinking ship of foreign flagged infringing on the exclusive economic zone of a coastal State through a normative approach by analyzing and reviewing the provisions of international law and national law in the coastal States. "
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2018
T50286
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Parlindungan, Joe Christian Yesaya
"Skripsi ini membahas mengenai implementasi ketentuan prompt release pada Konvensi Hukum Laut pada zona ekonomi eksklusif negara Australia, Malaysia, dan Indonesia. Permasalahan ini ditinjau dari perbandingan hukum dengan metode penelitian yuridis normative dan penulisan yang bersifat deskriptif. Data dalam penelitan ini didapat dengan melakukan studi dokumen sebagai data utama dari penulisan kualitatif. Hasil penelitian menunjukkan bahwa baik Australia, Malaysia, dan Indonesia memiliki ciri khas masing-masing dan perbedaan dalam implementasi ketentuan prompt release. Implementasi tersebut juga ditemukan tidak sesuai dengan perkembangan interpretasi yang dilakukan oleh ITLOS terhadap ketentuan prompt release.

This thesis discusses the implementation of the prompt release provisions of the Law of the Sea Convention in the exclusive economic zones of Australia, Malaysia, and Indonesia. With normative legal research method and descriptive writings, the data in this study were obtained by conducting a document study as the main data of qualitative writing. The results showed that both Australia, Malaysia, and Indonesia have their own characteristics and differences in the implementation of prompt release provisions. The implementation was also found to be inconsistent with the development of the interpretation made by ITLOS on the prompt release provisions."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2021
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Nainggolan, Jeremia Humolong Prasetya
"Ambiguitas ktivitas militer di Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE) merupakan isu yang terus mendapat perhatian dalam hukum internasional. Mengingat jumlah insiden yang diakibatkan olehnya, telah dilakukan berbagai upaya untuk dapat memitigasi dampak daripada ambiguitas ini. Namun, seiring berkembangnya teknologi, muncul sebuah permasalahan baru yang dapat menghalangi keberhasilan upaya- upaya tersebut. Unmanned Underwater Vehicles UUV , yang belum diatur secara spesifik dalam hukum internasional, kerap digunakan dalam aktivitas militer negara-negara, secara khusus Amerika Serikat di ZEE negara-negara lain. Dengan adanya kekosongan hukum dan juga kapabilitas yang dimiliki oleh UUV, berbagai praktisi dan ahli hukum, serta negara mengkhawatirkan mengenai ancaman penggunaan militer alat ini terhadap kedaulatan, kepentingan, dan keamanan nasional Negara Pantai. Ancaman ini pun sejatinya telah terjadi secara riil dalam dunia nyata. Dalam penelitian ini, pembahasan terbagi atas dua bagian, yaitu aktivitas militer di ZEE dan status hukum UUV yang digunakan dalam aktivitas militer. Kedua objek tersebut akan ditinjau dan dianalisis dengan menggunakan perspektif hukum internasional, ketentuan nasional, dan state practice. Berdasarkan ketiga perspektif tersebut, masih terdapat ambiguitas dan perbedaan pandangan antar negara mengenai aktivitas militer di ZEE. Adapun juga terdapat perdebatan, baik itu dalam hukum internasional maupun ketentuan nasional, mengenai pengaturan UUV yang digunakan dalam aktivitas militer secara umum. Namun, telah terdapat upaya-upaya, baik itu secara nasional maupun internasional untuk menyelesaikan perdebatan tersebut. Penulis menyarankan agar kedua isu tersebut diperjelas dan diatur secara spesifik, baik itu melalui perjanjian internasional yang baru maupun amandemen terhadap perjanjian internasional yang telah ada.

The ambiguity of military activities in the Exclusive Economic Zone EEZ has been one of the main concern in international law. Considering its impact on numerous international incidents, there have been many attempts to mitigate the issue. However, those attempts might be hampered by recent issue arising out of the technological development on the maritime area, namely Unmanned Underwater Vehicles UUV . These UUVs, which haven rsquo t been specifically regulated in the international law, are commonly used in the military activities of States, including the United States of America, in the other States EEZ. Thus, many legal practitioners and scholars, as well as States concerned about threats generated from military application of this unregulated UUV to the sovereignty, interests, and national security of Coastal States. In this paper, the discussion will be divided into two parts, namely military activities in the EEZ and legal status of UUV operating in military activities. These two parts will be reviewed and analyzed in the perspective of international law, national regulation, and States practice. In conclusion, based on these perspective, military activities in the EEZ is vaguely regulated and varied among the States. There is also a contention on the regulation of UUV deployed in the military activities, either in international law or national law. However, attempts on resolving those issues, either in the national or international scale, will also be noted in this paper. The author suggests that these issues have to be defined and regulated specifically by new treaties or amendment to the existing treaties."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2017
S69982
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
cover
Tarigan, Tam Saka Artoka
"Di tahun 2009, Pemerintah Indonesia mengesahkan Undang- undang (UU) Nomor 39 tentang penyelenggaraan Kawasan Ekonomi Khusus (KEK). Produk ini lahir untuk sebuah tujuan mulia: mempercepat pengembangan ekonomi, dan membangun keseimbangan pembangunan antar wilayah, dalam kerangka satu kesatuan ekonomi Negara Kesatuan Republik Indonesia. KEK dipilih sebagai terobosan untuk merealisasikan tujuan daripada KEK itu sendiri. Dilihat dari laporan tahunan Dewan Nasional KEK setiap tahunnya dari seluruh KEK yang sudah berjalan, masih diperlukan evaluasi pada KEK yang ada karena masih belum berjalan efektif. Pada kenyataannya evaluasi kemajuan program KEK sulit dilakukan karena setiap tahun terjadi perubahan pada indikator kinerja. Kurangnya pemantauan dan evaluasi yang efektif merupakan kelemahan kritis di sebagian besar program KEK (2016 ASEAN Guidelines for SEZs). Pengelolaan setiap KEK dapat dianggap sebagai mengelola proyek, dan mengelola seluruh KEK dapat dianggap sebagai manajemen program. Untuk meningkatkan efektifitas kinerja setiap KEK dalam manajemen program pada seluruh KEK, pada penelitian ini telah di analisa Key Performance Index (KPI) terhadap daftar manfaat. KEK di Indonesia memiliki manfaat ekonomi, sosial, dan lingkungan. Kemudian terdapat 31 KPI yang relevan dan dapat digunakan guna memantau kegiatan setiap KEK di Indonesia. Serta indikator penanaman modal asing merupakan indikator yag dianggap paling penting dalam pemantauan kegiatan KEK, diikuti indikator ekspor dan seterusnya.

In 2009, the Government of Indonesia passed Law (UU) Number 39 concerning the implementation of Special Economic Zones (KEK). This product was born for a noble purpose: accelerating economic development, and building a balanced development between regions, within the framework of one economic unitary unitary state of the Republic of Indonesia. KEK was chosen as a breakthrough to realize goals rather than SEZ itself. Judging from the annual report of the National SEZ Council every year for all SEZs that are already running, an evaluation of existing SEZs is still needed because they are not yet running effectively. In fact, evaluating the progress of the KEK program is difficult because every year there are changes in performance indicators. Lack of effective monitoring and evaluation is a critical weakness in most SEZ programs (2016 ASEAN Guidelines for SEZs). Management of each SEZ can be considered as managing a project, and managing all SEZs can be considered as program management. In order to increase the effectiveness of the performance of each SEZ in program management for all SEZs, this research has analyzed the Key Performance Indicators (KPI) against the list of benefits. SEZs in Indonesia have economic, social and environmental benefits. Then there are 31 KPIs that are relevant and can be used to monitor the activities of each SEZ in Indonesia. As well as the foreign investment indicator is the most important indicator in monitoring SEZ activities, followed by the export indicator and so."
Jakarta: Fakultas Teknik Universitas Indonesia, 2023
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Kwiatkowska, Barbara
Dordrecht, Netherlands: Martinus Nijhoff, 1989
341.45 KWI t
Buku Teks  Universitas Indonesia Library
cover
Totok Imam Santoso
"Konflik Laut Cina Selatan (LCS) yang hingga saat ini belum terselesaikan antara Cina, dan negara anggota ASEAN, telah berdampak terhadap Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia (ZEEI) di Laut Natuna Utara. Cina sebagai salah satu claimant state merupakan great power yang sering melakukan aksi agresif di LCS. Pemerintah Indonesia mengirimkan nota protes diplomatik, namun Cina sebaliknya menegaskan klaim kedaulatannya atas wilayah ZEEI tersebut. Panglima TNI mengeluarkan perintah langsung untuk melaksanakan operasi siaga tempur laut. Permasalahannya adalah strategi apa yang terbaik dan efektif bagi TNI untuk mengatasi aksi agresif Cina di ZEEI tersebut, sehingga tidak memicu eskalasi konflik dengan militer Cina menjadi konflik bersenjata secara terbuka dan permasalahan bisa diselesaikan dengan cara damai serta berkelanjutan. Berdasarkan permasalahan tersebut, yang menjadi pokok bahasan dalam tulisan ini antara lain adalah (1) perkembangan isu LCS dan aksi agresif Cina; (2) posisi Indonesia pada ZEEI di Laut Natuna Utara; dan (3) strategi TNI dalam menjamin yurisdiksi nasional di ZEEI. Tulisan ini merekomendasikan peningkatkan interoperabilitas antar Satgas TNI yang bertugas dan antara Satgas TNI dengan unit-unit lapangan dari K/L terkait langsung di Laut Natuna Utara, terutama dalam bentuk ROE integratif/kontinjensi agar tindakan-tindakan yang dilakukan lebih cepat, tepat dan terpadu dalam koridor aturan hukum."
Jakarta: Biro humas settama lemhanas RI, 2020
321 JKLHN 41 (2020)
Artikel Jurnal  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>