Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 195387 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Tiara Maharani
"Perkembangan gig economy yang semakin pesat membuka peluang pekerjaan baru yang mengandalkan teknologi sebagai pilar utama. Pekerjaan ini disebut dengan gig works–bercirikan pekerjaan yang dilakukan oleh seorang individu sebagai gig workers dengan keahlian khusus pada bidangnya untuk melakukan suatu pekerjaan bersifat sekali-selesai (temporary). Ketika hendak melakukan pekerjaan, pekerja yang bekerja sebagai gig workers tidak mengikatkan dirinya dalam suatu hubungan kerja, melainkan hanya dalam hubungan kemitraan. Karena alasan tersebut, seorang gig workers tidak memenuhi persyaratan untuk disebut sebagai ‘pekerja’ menurut istilah hukum ketenagakerjaan di Indonesia. Sebagai seseorang yang bukan merupakan seorang ‘pekerja’ menurut definisi hukum ketenagakerjaan, gig workers tidak mendapatkan akses yang setara untuk mendapatkan perlindungan dan pemenuhan hak ketenagakerjaan layaknya seorang pekerja, meskipun kapasitas pekerjaan yang dilakukannya tidak jauh berbeda dengan pekerja biasa. Penelitian ini akan meneliti sistem hukum dua negara, Indonesia dan Britania Raya yang telah berhasil menjamin perlindungan dan pemenuhan hak gig workers atau kontraktor independen di negaranya. Selain itu akan dilakukan penelitian terkait sistem hubungan kemitraan antara gig workers dengan perusahaan penyedia aplikasi untuk dilakukannya pekerjaan gig. Berdasarkan penelitian ini, terdapat urgensi pembentukan peraturan yang secara khusus mengatur tentang hak dan kewajiban para pihak yang terlibat di ranah gig works Indonesia, sehingga akan ada kepastian hukum dan jaminan pemenuhan hak bagi gig workers yang bekerja di Indonesia.

The rapid development of the gig economy opens up new job opportunities that rely on technology as their main pillar. Such jobs are called gig works–a type of job which is carried out by an individual known as a gig worker with special expertise to carry out a one-time job. Workers who work as gig workers do not bind themselves into an employment relationship, but rather only as an independent contractor. For this reason, a gig worker does not meet the requirements to be called a 'worker' according to the labor law in Indonesia. As someone who is not considered a 'worker', gig workers do not have equal access to the protection and fulfillment of their basic employment rights like regular workers do, despite that the capacity of their work is not much different from regular workers. This research will inspect the legal systems of two countries, Indonesia and the United Kingdom, which have succeeded in guaranteeing the protection and fulfillment of the rights of a gig workers in their countries. Apart from that, this research will be carried out regarding to the independent contracting system between gig workers and companies providing applications to carry out gig works. Based on this research, there is an urgency to establish regulations that specifically regulate the rights and obligations of the parties involved in the Indonesian gig works sector, so that there will be legal certainty and guarantees for the fulfillment of rights for those who work as a gig workers in Indonesia."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2024
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Johannes Gahara Respati Kencono
"Bertumbuhnya mobilitas masyarakat menyebabkan juga perkembangan akan kebutuhan terhadap transportasi baik itu pribadi ataupun umum. Dengan bertumbuhnya angka jumlah kendaraan bermotor di jalan raya, tentu tidak dapat dihindari bahwa kemungkinan angka kecelakaan juga akan ikut naik. Sehingga diperlukan juga sebuah cara untuk melindungi seluruh masyarakat dalam hal terjadinya sebuah kecelakaan transportasi dengan menggunakan asuransi perlindungan kecelakaan transportasi. Mengingat hal itu, Undang-Undang di Indonesia yang mengatur tentang hal tersebut ialah UU No. 33 Tahun 1964 dan UU No. 34 Tahun 1964 yang mana kedua Undang-Undang tersebut sudah berumur dan juga terdapat hal-hal yang pengaturannya sudah tidak relevan maupun belum mengikuti perkembangan zaman. Maka dari itu penelitian ini akan membahas mengenai asuransi perlindungan kecelakaan transportasi di Indonesia dengan dibandingkan dengan Inggris melalui penelitian yuridis normatif dengan melakukan studi kepustakaan. Hasil dari penelitian ini menunjukkan bahwa asuransi perlindungan kecelakaan transportasi di Inggris yakni Road Traffic Act 1988 memiliki cakupan yang lebih luas, menyeluruh, dan berkembang mengikuti zaman seperti dengan adanya pencakupan untuk penumpang yang berada di dalam mobil penyebab kecelakaan. Dengan itu peraturan mengenai asuransi asuransi perlindungan kecelakaan transportasi di Indonesia masih perlu diperbaharui kembali.

The growth of mobility in the community led to the development of the need for public and private transportation. With the growing number of motor vehicles on the roads, it is an inevitability that the number of accidents will also increase. Thus, there is also a need in a way to protect the community as a whole in the event of a transportation accident by using transportation accident protection insurance. In this case, the law in Indonesia that regulates such matter is Law No. 33 of 1964 and Law No. 34 of 1964 in which those two laws are obsolete and there are also things whose regulations are not relevant or have not kept up with the times. Therefore, this study will discuss transportation accident protection insurance in Indonesia compared to The United Kingdom through normative juridical research by conducting a literature study. The results of this study indicate that transportation accident protection insurance in the United Kingdom, namely the Road Traffic Act 1988, has a wide, more comprehensive, and evolving coverage as with the times, such as the coverage for passengers who were in the car causing the accident. Therefore, regulations regarding transportation accident protection insurance in Indonesia still need to be renewed."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2022
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Salsabilla Putri Azzahra
"Krisis sistem keuangan merupakan suatu kondisi dimana institusi keuangan dan sistem keuangan yang terintegrasi mengalami gangguan. Bank sebagai salah satu institusi keuangan utama di Indonesia merupakan hal vital dan pengawasan institusi keuangan harus dilaksanakan dengan baik secara menyeluruh. Tulisan ini akan memberikan perbandingan antara otoritas keuangan di Indonesia dan Britania Raya terkait pencegahan dan penanganan krisis sistem keuangan. Tulisan ini ditulis menggunakan metode penelitian doktrinal dan dianalisis secara deskriptif analitis. Sebagai lembaga keuangan vital, pengawasan baik di Indonesia dan Britania Raya dilaksanakan oleh lembaga-lembaga mikroprudensial dan makroprudensial melalui kebijakan yang dimilikinya. Secara umum pencegahan mikroprudensial dengan mengawasi jalannya usaha perbankan terutama dalam permodalan, likuiditas, serta manajemen risiko. Sedangkan lembaga makroprudensial memberikan suatu pengawasan dan analisis menyeluruh terkait risiko sistemik dan sistem keuangan secara keseluruhan, memberikan pengawasan dimana lembaga mikroprudensial tidak memberikan pengawasan. Dalam kondisi krisis, otoritas keuangan di Indonesia dan Britania Raya akan melaksanakan koordinasi untuk memberikan tindakan penanganan. Secara umum, penyelenggaraan dan penanganan krisis sistem keuangan dilaksanakan cara yang sama, tetapi berbeda dalam tugas otoritas terkait di masing-masing negara. Oleh karena itu, dapat disimpulkan koordinasi otoritas keuangan harus dilaksanakan secara menyeluruh dan efisien untuk mencegah terjadinya krisis sistem keuangan yang dapat merugikan negara.

A financial system crisis is a condition where financial institutions and integrated financial systems are disrupted. Banks as one of the main financial institutions in Indonesia are vital and the supervision of financial institutions must be carried out properly as a whole. This paper will provide a comparison between the financial authorities in Indonesia and the United Kingdom regarding the prevention and countermeasures of financial system crises. This paper is written using doctrinal research method and analysed descriptively. As vital financial institutions, supervision in both Indonesia and the United Kingdom is carried out by microprudential and macroprudential institutions through their policies. In general, microprudential supervision oversees the banking business, especially in terms of capital, liquidity, and risk management. While macroprudential institutions provide a comprehensive supervision and analysis related to systemic risk and the financial system as a whole, providing supervision where microprudential institutions do not provide supervision. In the event of a crisis, financial authorities in Indonesia and the United Kingdom will coordinate to provide handling actions. In general, the organisation and handling of financial system crises are carried out in the same way, but differ in the duties of the relevant authorities in each country. Therefore, it can be concluded that the coordination of financial authorities must be carried out in a coordinated manner."
Jakarta: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2024
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Rahmanto Prabowo
"Penerapan gamification pada aplikasi mitra GO-JEK dan Grab diterapkan dalam bentuk sistem poin untuk insentif dan rating untuk feedback. Pada perjalanannya, seiring dengan bertumbuhnya jumlah mitra, gamification yang diterapkan mulai tidak sejalan dengan tujuan gamification. Para mitra semakin sulit untuk mencapai target poin, mereka harus menjalankan aplikasi lebih dari sepuluh jam perhari. Hal ini juga berimbas pada pelayanan mereka pada konsumen, yang menjadi kurang maksimal dan mendapatkan feedback yang kurang baik. Hal ini juga berimbas pada turunnya motivasi pengemudi dalam mengambil pesanan. Untuk menganalisis pengaruh gamification terhadap motivasi pengemudi, penelitian ini menggunakan Self Determination Theory (SDT) dan Motivational Affordance Perspective (MAP). Dalam SDT motivasi terbagi menjadi dua yaitu extrinsic motivation dan intrinsic motivation. Dalam MAP, sebuah perancangan sebuah sistem harus memiliki unsur self-efficacy, need for autonomy dan playfulness. Dari hasil analisis yang telah dilakukan, gamification dapat berpengaruh terhadap motivasi secara extrinsic namun belum dapat memberikan pengaruh terhadap motivasi secara intrinsic. Dari hasil ini dapat
disimpulkan dengan gamification motivasi pengemudi dalam mengambil pesanan lebih karena terpaksa untuk mencapai target poin. Tujuan gamification adalah untuk membuat penggunanya menikmati pekerjaannya seperti sedang bermain game. Secara motivasi seharusnya gamification dapat memotivasi secara intrinsic. Penelitian ini memberikan rekomendasi operator transportasi daring untuk mengembangkan gamification yang telah diterapkan dengan menambahkan fitur yang mengandung unsur self-efficacy, need for autonomy dan playfulness agar dapat mempengaruhi motivasi mitranya secara intrinsic. Hal ini ditujukan untuk membuat mitra menikmati pekerjaannya

The application of gamification in GO-JEK and Grab partner applications is applied in the form of a point system for incentives and ratings for feedback. On the journey, along with the growing number of partners, the gamification applied began to be inconsistent with the purpose of gamification. Partners find it difficult to reach the target points, they
have to run applications for more than ten hours per day. This also impacts on their service to consumers, becomes less optimal and gets poor feedback. This also impacts on the driver`s motivation in taking orders. To analyze the effect of gamification on driver motivation, this study uses Self Determination Theory (SDT) and Motivational Affordance Perspective (MAP). In SDT motivation is divided into two, namely extrinsic motivation and intrinsic motivation. In MAP a design of a system must have elements of self-efficacy, need for autonomy and playfulness. From the results of the analysis that has been done, gamification can influence extrinsic motivation but it cannot yet influence intrinsic motivation. From these results it can be concluded that gamification motivates drivers to take more orders because they are forced to reach the target points. The purpose of gamification is to make users enjoy their work like playing games. gamification should be able to intrinsically motivate. This study provides recommendations for online transport operators to develop gamification that has been applied by adding features that contain elements of selfefficacy, need for autonomy and playfulness in order to influence intrinsic partner motivation. This is intended to make partners enjoy their work.
"
Jakarta: Fakultas Ilmu Komputer Universitas Indonesia, 2019
TA-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Carolus Boromeus Pedro Prasetyo
"Skripsi ini membahas tentang proses belajar cyberfraud oleh pengemudi transportasi online di Jakarta. Penelitian ini melihat bagaimana proses belajar yang dialami oleh pengemudi transportasi online di Jakarta sebagai pelaku kejahatan. Penelitian ini berlandaskan pada teori Differential Association untuk menjelaskan dan menganalisis proses belajar tersebut. Metode penelitian ini menggunakan pendekatan studi kasus terhadap 4 orang informan yaitu, M, R, D dan A yang merupakan seorang pelaku kejahatan. Metode tersebut bertujuan untuk mendapatkan informasi sedalam mungkin mengenai proses belajar cyberfraud oleh pengemudi transportasi online. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa terdapat proses belajar kejahatan yang dialami oleh pengemudi transportasi online, sehingga bisa menjadi seorang pelaku kejahatan cyberfraud

This undergraduate thesis discusses the learning process of fraud by online transportation drivers in Jakarta. This study looks at how the learning process experienced by online transportation drivers in Jakarta as perpetrators of crime. This research is based on the theory of Differential association to explain and analyze the learning process. This research method uses a case study approach to 4 informants, namely M, R, D and A who are criminals. This method aims to obtain as much information as possible about the learning process of fraud by online transportation drivers. The results of this study indicate that there is a learning process experienced by online transportation drivers, so that a perpetrator of fraud is a crime."
Depok: Fakultas Ilmu Sosial Dan Ilmu Politik, 2021
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Alvioleta Putri
"Eksistensi skuter listrik dan sepeda listrik diminati tinggi oleh publik sehingga hal tersebut memunculkan suatu peluang bisnis. Penyediaan layanan jasa sewa skuter listrik dan sepeda listrik memiliki tantangan tersendiri untuk memastikan pemenuhan hak konsumennya terpenuhi karena risiko terjadi suatu celaka tinggi. Selain inisiatif pelaku usaha, hal tersebut juga dipengaruhi oleh peraturan terkait yang berlaku. Tulisan ini menganalisis terkait pemenuhan hak konsumen Beam Mobility di Indonesia ditinjau berdasarkan perbandingan regulasi skuter listrik dan sepeda listrik serta kebijakan perlindungan konsumen di Indonesia dan Australia. Penelitian ini memanfaatkan pendekatan peraturan perundang-undangan dan pendekatan perbandingan dengan negara Australia. Data yang dipakai dalam penelitian ini adalah bahan hukum primer yang meliputi UU PK, UU No. 22/2009, Permenhub No. PM 45, Australian Road Rules 2009, dan Competition and Consumer Act 2010. Serta, data sekunder berupa hasil wawancara dengan konsumen Beam Mobility di Indonesia. Hasil penelitian menemukan bahwa regulasi skuter listrik dan sepeda listrik di Indonesia belum dapat memberikan pengawasan yang maksimal kepada konsumen karena peraturan terkait perangkat yang aman dan standar keselamatan di setiap daerah dan/kota belum sepenuhnya diterapkan. Sedangkan, Australia telah menerapkan regulasi yang rinci dan ketat di setiap wilayahnya. Akibat hal tersebut, implementasi kebijakan keselamatan Beam Mobility di Indonesia tidak dapat memberikan tingkat perlindungan yang sama dengan Beam Mobility Australia sehingga risiko terjadinya kecelakaan lebih tinggi di Indonesia. Selain itu, Beam Mobility menetapkan klausula baku pengalihan tanggung jawab kepada penggunanya. Hal ini dapat merugikan konsumen karena implementasi kebijakan operasional Beam Mobility di Indonesia belum cukup baik akibat minimnya regulasi yang mengatur tentang skuter listrik dan sepeda listrik. Dengan demikian, pemenuhan hak konsumen Beam Mobility di Indonesia, khususnya hak atas layanan yang aman dan dapat diandalkan, tidak dapat terpenuhi.

The existence of electric scooters and electric bicycles is in high demand by the public so that it creates a business opportunity. The provision of electric scooter and electric bicycle rental services has its own challenges to ensure the fulfillment of consumer rights is fulfilled because the risk of an accident is high. In addition to the initiative of business actors, this is also influenced by the relevant applicable regulations. This paper analyzes the fulfillment of Beam Mobility in Indonesia’sconsumer rights based on a comparison of electric scooter and electric bicycle regulations and consumer protection policies in Indonesia and Australia. This research utilizes a legislative approach and a comparative approach with Australia. The data used in this research are primary legal materials which include the Consumer Protection Law, Law No. 22/2009, Minister of Transportation Regulation No. PM 45, Australian Road Rules 2009, and Competition and Consumer Act 2010. As well as, secondary data in the form of interviews with Beam Mobility consumers in Indonesia. The results found that the regulation of electric scooters and electric bicycles in Indonesia has not been able to provide maximum supervision to consumers because regulations related to safe devices and safety standards in each region and city have not been fully implemented. Meanwhile, Australia has implemented detailed and strict regulations in each region. As a result, Beam Mobility in Indonesia's implementation of safety policies cannot provide the same level of protection as Beam Mobility in Australia, resulting in a higher risk of accidents in Indonesia. In addition, Beam Mobility stipulates a default clause of liability transfer to its users. This can be detrimental to consumers because the implementation of Beam Mobility in Indonesia's operational policies is not good enough due to the lack of regulations governing electric scooters and electric bicycles. Thus, the fulfillment of Beam Mobility in Indonesia's consumer rights, particularly the right to a safe and reliable service, cannot be fulfilled."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2024
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Ayu Lupita
"Beberapa tahun belakang ini, fenomena gig economy sedang berkembang di Indonesia. Hal tersebut ditandai dengan perubahan dunia kerja yang didukung oleh teknologi informasi dan komunikasi yang semakin canggih. Gig economy sendiri memberikan lapangan pekerjaan yang cukup besar dan menyerap banyak tenaga kerja, tetapi hal ini juga memiliki kekurangan. Para pekerja tersebut atau yang dikenal dengan sebutan gig workers bukanlah pekerja tetap, melainkan berstatus sebagai kontraktor independen. Penelitian kali ini bertujuan untuk mengevaluasi kondisi kerja pada gig economy di Indonesia yang dikaitkan dengan agenda ILO yaitu Decent Work. Penelitian ini melibatkan langsung partisipasi dari pengemudi transportasi online yang mana dapat dikategorikan sebagai gig workers dengan status “mitra” yang melekat pada mereka. Data dikumpulkan dari focus group discussion (FGD) yang melibatkan 40 responden yang berasal dari empat kota besar di Indonesia yaitu Jakarta, Bogor, Depok, dan Yogyakarta. Analisis dilakukan dengan menggunakan metode kualitatif melalui proses coding secara manual. Dari hasil analisis, ditemukan bahwa pengemudi transportasi online memilih pekerjaan ini karena adanya kesempatan kerja yang menawarkan fleksibilitas, yang mana fleksibilitas tersebut merupakan suatu keuntungan yang tidak dapat ditemukan pada pekerjaan lain. Akan tetapi, pada kenyataannya pekerjaan tersebut justru belum sepenuhnya mampu menerapkan agenda Decent Work. Dengan kata lain, standar kerja yang berlaku pada umumnya tidak dapat ditemukan jika bekerja sebagai pengemudi transportasi online.

In recent years, gig economy phenomenon has been growing in Indonesia. The growth is marked by the alteration of work supported by information and communication technology that gets more sophisticated. Gig economy provides large jobs opportunity and absorbs relatively abundant labor. However, it has its weaknesses. The workers, called gig workers, are not permanent workers; they are independent contractors. This research aims to evaluate working condition of gig economy in Indonesia that is linked to ILO's agenda, namely Decent Work. This research involves online transportation's drivers' direct participation as gig workers. The data are collected from Focus Group Discussion (FGD) involving 40 respondents coming from four big cities in Indonesia: Jakarta, Bogor, Depok, and Yogyakarta. The analysis is performed using qualitative method by manual coding process. According to the analysis, online transportation's drivers chose this job as it offers flexibility, one of the benefits that may not be found in other jobs. However, in reality, that job has not been able to fully implement Decent Work agenda. In other words, work standard that is applied in general cannot be implemented if someone works as online transportation's driver."
Depok: Fakultas Ekonomi dan BIsnis Universitas Indonesia, 2020
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Ginting, Chrissie Margareta
"Salah satu kebutuhan primer manusia adalah kebutuhan pangan. Tidak hanya orang dewasa, anak-anak juga membutuhkan pangan. Mengonsumsi pangan yang sehat sangat berpengaruh bagi pertumbuhan dan kesehatan anak-anak. Seiring perkembangan zaman, muncul pangan yang berjenis pangan olahan. Berbagai cara dilakukan oleh pelaku usaha pangan olahan agar produknya dikonsumsi oleh masyarakat, salah satunya adalah dengan promosi melalui iklan. Sayangnya, tidak semua pangan olahan yang beredar dan diiklankan merupakan pangan olahan yang sehat untuk anak-anak. Melalui penelitian yuridis-normatif, tulisan ini membahas tentang peraturan iklan pangan olahan di Negara Indonesia dan beberapa negara lain seperti Negara Britania Raya, Negara Irlandia, dan Negara Kanada (Quebec). Berdasarkan hasil penelitian, dapat disimpulkan bahwa terdapat beberapa ketentuan dalam regulasi di Negara Britania Raya, Negara Irlandia dan Negara Kanada (Quebec) yang belum diatur dalam peraturan iklan pangan olahan di Negara Indonesia. Sehingga, dalam beberapa hal peraturan di Indonesia mengenai iklan pangan olahan yang tidak sehat terhadap anak-anak belum terlalu memadai dibandingkan peraturan di Negara Britania Raya, Negara Irlandia dan Negara Kanada (Quebec).

One of the primary needs of human beings is food. Not only adults but also children need food, especially healthy food. Eating healthy food is essential for children's growth and health. Along with the times, various food products are being developed, such as processed food. Numerous methods have been done by processed food sellers, so the products are consumed and favored by the community. One way to promote their product is by advertising. Unfortunately, not all processed food is healthy for children. Through this juridical-normative research, this paper discusses the regulations of processed food advertisement in several countries, such as the United Kingdom (UK), Ireland, and Canada (Quebec). Based on this research, it can be concluded that there are several provisions of the regulation in the United Kingdom, Ireland, and Canada (Quebec), that has not been regulated in Indonesia. So, in some cases, regulations in Indonesia regarding consumer protection against unhealthy food advertisement for children are not yet sufficient compared to the regulations in The United Kingdom, Ireland, and Canada (Quebec)."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2020
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Mega Zianita Salim
"ABSTRAK
Keberadaan transportasi online menjadi perhatian, terutama terkait permasalahan sosial yang terjadi pada pengemudi transportasi online. Salah satu hak terpenting pengemudi sebagai pekerja adalah perlindungan keselamatan dan kesejahteraannya. Transportasi online melibatkan banyak pihak, sehingga diperlukan intervensi pemerintah sebagai pihak yang memiliki kewenangan untuk mengatur kepentingan umum. Penelitian ini menggunakan metode penelitian kualitatif dengan pengumpulan data melalui wawancara mendalam dan studi pustaka. Jenis penelitian ini adalah deskriptif yang bertujuan untuk mendeskripsikan upaya yang dilakukan Pemerintah dalam melindungi pengemudi angkutan online. Teori yang digunakan dalam penelitian ini adalah konsep kebijakan publik, hubungan industrial, dan konsep hubungan kemitraan. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa upaya pemerintah dalam melindungi pengemudi transportasi online dilakukan melalui Kementerian Perhubungan dan Kementerian Ketenagakerjaan. Kementerian Perhubungan melindungi pengemudi transportasi online dengan menerbitkan Peraturan Menteri PM 12 Tahun 2019 dan PM 118 Tahun 2018 serta menyelenggarakan Program Early Age Traffic Awareness (SALUD) untuk meningkatkan kesadaran pengemudi dalam keselamatan berkendara. Lebih lanjut, Kementerian Ketenagakerjaan untuk melindungi pengemudi transportasi online telah melaksanakan program Jamsostek berupa Jaminan Kecelakaan Kerja dan Kematian serta melakukan Dialog Sosial dengan perwakilan pengemudi transportasi online dan perusahaan aplikasi transportasi online. Dalam implementasinya, pemerintah mengalami beberapa kendala, seperti perusahaan aplikasi transportasi online yang tidak sesuai dengan ketentuan, lemahnya sanksi yang diberikan kepada perusahaan aplikasi transportasi online, kurangnya kesiapan instansi terkait.
ABSTRACT
The existence of online transportation is a concern, especially regarding social problems that occur in online transportation drivers. One of the most important rights of drivers as workers is the protection of their safety and welfare. Online transportation involves many parties, so government intervention is needed as the party that has the authority to regulate public interests. This research uses qualitative research methods by collecting data through in-depth interviews and literature study. This type of research is descriptive which aims to describe the efforts made by the Government in protecting online transportation drivers. The theory used in this research is the concept of public policy, industrial relations, and the concept of partnership relations. The results of this study indicate that the government's efforts to protect online transportation drivers are carried out through the Ministry of Transportation and the Ministry of Manpower. The Ministry of Transportation protects online transportation drivers by issuing Ministerial Regulations PM 12 Year 2019 and PM 118 Year 2018 and organizing an Early Age Traffic Awareness (SALUD) Program to increase driver awareness in driving safety. Furthermore, the Ministry of Manpower to protect online transportation drivers has implemented the Jamsostek program in the form of Work Accident and Death Insurance and conducted Social Dialogue with representatives of online transportation drivers and online transportation application companies. In its implementation, the government has experienced several obstacles, such as online transportation application companies that do not comply with the regulations, weak sanctions given to online transportation application companies, and lack of readiness of related agencies."
Depok: Fakultas Ilmu Administrasi Universitas Indonesia, 2019
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Sasha Khairani Putri
"Trademark dilution merupakan hak yang diberikan kepada pemilik merek untuk mencegah penggunaan merek yang sama atau serupa pada barang dan/atau jasa yang tidak bersaing, meskipun penggunaannya tidak menimbulkan persaingan usaha tidak sehat ataupun kebingungan pada konsumen. Pada dasarnya, pelanggaran merek membutuhkan adanya suatu persaingan dan apabila tidak ada persaingan di antara para pihaknya maka penggunaan merek yang serupa tersebut tidak dianggap sebagai pelanggaran. Doktrin trademark dilution ini kemudian diciptakan sebagai penutup dari celah ini. Dewasa ini, doktrin trademark dilution telah diadopsi oleh berbagai macam negara baik itu secara eksplisit maupun implisit dalam peraturan perundang-undangannya. Konsep dari doktrin trademark dilution itu sendiri merupakan konsep hukum merek yang rumit dan relatif sulit untuk dijelaskan dan dipahami, oleh karena itu penerapan doktrinnya mungkin saja berbeda pada tiap negaranya. Dalam skripsi ini, Penulis akan menganalisis penerapan doktrin trademark dilution di negara Amerika Serikat, Inggris, dan Indonesia dari segi peraturan perundang-undangannya dan penyelesaian sengketanya di pengadilan. Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah yuridis-normatif dengan pendekatan perundang-undangan dan metode perbandingan serta perolehan data dilakukan melalui studi kepustakaan. Hasil dari penelitian ini menunjukkan bahwa terdapat beberapa perbedaan terkait penerapan doktrin trademark dilution di Amerika Serikat, Inggris, dan Indonesia. Hukum terkait trademark dilution di Amerika Serikat lebih berkembang dan hampir menyentuh setiap detail sehingga merupakan peraturan yang sangat komprehensif, sedangkan di Inggris, peraturan yang terkandung dalam Pasal 10(3) Trade Mark Act of 1994 belum mencakup seluruh ketentuan yang relevan. Penyelesaian sengketa di Amerika Serikat dan Inggris umumnya telah menerapkan trademark dilution dengan tepat meskipun dalam pertimbangan Majelis Hakim di Inggris masih ditemukan adanya pertimbangan yang menyangkut pautkan likelihood of confusion dalam menetapkan klaim trademark dilution. Di Indonesia, meskipun sudah diatur secara implisit, unsur penting seperti kekhasan merek belum diterapkan secara maksimal baik dalam undang-undang ataupun praktiknya sehingga trademark dilution belum dapat dikatakan sudah diterapkan secara baik di Indonesia. Indonesia memerlukan memerlukan perbaikan undang-undang merek agar pengaturan terkait trademark dilution dapat menjadi lebih efektif dan tepat.

Trademark dilution is a right granted to brand owners to prevent the use of the same or similar brand on non-competitive goods and/or services, even though its use does not cause unfair business competition or confusion to consumers. Basically, trademark infringement requires competition and if there is no competition between the parties, the use of a similar brand is not considered an infringement. The trademark dilution doctrine was then created to close this gap. Nowadays, the doctrine of trademark dilution has been adopted by various countries either explicitly or implicitly in their laws and regulations. The concept of the trademark dilution doctrine itself is a complex and relatively difficult concept of trademark law to explain and understand, therefore the application of the doctrine may differ in each country. In this thesis, the author will analyze the application of the trademark dilution doctrine in the United States, United Kingdom, and Indonesia from the perspective of laws and regulations and the settlement of disputes in court. The method used in this research is juridical-normative with a statutory approach and comparative methods and data collection is done through literature studies. The results of this study indicate that there are some differences regarding the application of the doctrine of trademark dilution in the United States, the United Kingdom, and Indonesia. The law related to trademark dilution in the United States is more developed and touches almost every detail so it is a very comprehensive regulation, whereas in England, the regulations contained in Article 10(3) of the Trade Mark Act of 1994 have not yet covered all relevant provisions. Dispute resolution in the United States and the United Kingdom have generally applied trademark dilution appropriately although in the consideration of the High Court Judge in the United Kingdom, there are still considerations regarding the likelihood of confusion in determining trademark dilution claims. In Indonesia, although it has been regulated implicitly, important elements such as brand distinctiveness have not been applied optimally both in law and practice so trademark dilution cannot be said to have been applied properly in Indonesia. Indonesia needs to improve its trademark laws so that regulation related to trademark dilution can be more effective and appropriate."
Depok: 2023
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>