Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 95623 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Jonathan Agustinus Alva
"Dalam penyelesaian sengketa untuk para pihak yang telah membuat perjanjian memuat klausul arbitrase, penyelesaian sengketanya akan melalui arbitrase, maka para pihak tidak diperkenankan melalui pnegadilan karena sudah disepakati para pihak, yang dimana perjanjian itu mengikat bagi para pihak. Maka dalam penelitian ini diajukan dua permasalahan pokok yaitu Apakah pada studi putusan no:  681/Pdt.G/2019/PN.JKT.SEL mengenai sengketa perjanjian arbitrase Rizal, Kaiser Renort, Edward Sahat Simanungkulit, dan Lusiana Julia dengan PT. Pembangkit Listrik Negara di pengadilan dapat diselesaikan menurut UU No. 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan APS dan Bagaimana peranan lembaga arbitrase yang diatur dalam Undang-undang Nomor 30 Tahun 1999 dalam penyelesaian sengketa yang ada di indonesia. Penelitian ini secara yuridis normatif terhadap studi putusan nomor: 681/PDT.G/2019/PN.JKT.SEL. Pengolahan data dilakukan secara kualitatif, sedangkan pengambilan kesimpulan dilakukan berdasarkan logika deduktif. Berdasarkan analisis terhadap studi putusan nomor: 681/PDT.G/2019/PN.JKT.SEL. diketahui adanya perjanjian yang memuat klausul arbitrase yang dibuat oleh para pihak namun sengketa tersebut diselesaikan melalui pengadilan dan kemudian pengadilan tetap menerima dan memutus sengketa tersebut, walaupun perjanjian yang dibuat oleh para pihak itu telah memuat klausul arbitrase.

In dispute resolution for parties who have made an agreement containing an arbitration clause, the dispute resolution will be through arbitration, so the parties are not permitted to go to court because it has been agreed by the parties, where the agreement is binding on the parties. So in this research two main problems are raised, namely whether in the study of decision no: 681/Pdt.G/2019/PN.JKT.SEL regarding the arbitration agreement dispute between Rizal, Kaiser Renort, Edward Sahat Simanungkulit, and Lusiana Julia with PT. State Electricity Generation in court can be resolved according to Law no. 30 of 1999 concerning Arbitration and APS and what is the role of arbitration institutions regulated in Law Number 30 of 1999 in resolving disputes in Indonesia. This research is juridically normative regarding the study of decision number: 681/PDT.G/2019/PN.JKT.SEL. Data processing is carried out qualitatively, while conclusions are drawn based on deductive logic. Based on analysis of decision study number: 681/PDT.G/2019/PN.JKT.SEL. It is known that there is an agreement containing an arbitration clause made by the parties, but the dispute was resolved through the court and then the court still accepted and decided the dispute, even though the agreement made by the parties contained an arbitration clause."
Jakarta: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2024
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Reinatta Amelia Utami
"Sebuah perkawinan merupakan salah satu peristiwa penting dalam hidup manusia. Begitu banyak persiapan yang dilakukan agar perkawinan itu dapat terlaksana sesuai dengan yang diinginkan. Sebelum terlaksanya perkawinan, pada umumnya pasangan yang hendak melangsungkan perkawinan terlebih dahulu mengutarakan keseriusan niatnya dengan menjanjikan perkawinan atau menggelar acara peminangan atau yang dikenal pula dengan pertunangan. Akan tetapi tidak jarang janji-janji itu tidak dipenuhi dan menimbulkan kerugian bagi salah stau pihak sehingga membawanya ke muka pengadilan. Skripsi ini membahas sekaligus menganalisa beberapa putusan-putusan pengadilan berkaitan dengan pembatalan sepihak pelaksanaan perkawinan sebagai suatu pembuatan melawan hukum. Metode penelitian yang digunakan adalah metode peneltian normatif yuridis. Hasil penelitian dalam tulisan ini menunjukkan dalam mayoritas putusan hakim pengadilan menyatakan bahwa dibatalkannya pelaksanaan perkawinan secara sepihak merupakan sebuah perbuatan melawan hukum, namun Penulis juga menemukan perbedaan perdapat dalam putusan hakim yang mana menyatakan bahwa pembatalan secara sepihak atas pelaksanaan perkawinan adalah merupakan sebuah wanprestasi.

A marriage is one of the important events in human life. So many preparations were made so that the marriage itself could be carried out as desired. Before the marriage is carried out, in general, couples who want to get married first express the seriousness of their intention by promising marriage or holding a marriage ceremony or what is also known as engagement. However, it is not uncommon for these promises not to be fulfilled and cause harm to one of the parties, thus bringing them to court. This paper discusses as well as analyzes several court decisions relating to the cancellation of promise to marry by one of the party as the law of tort. The research method used is juridical-normative research method. The results of the research in this paper show that the majority of court judges' decisions stated that the cancellation of promise to marry is an act against the law, but the author also finds inconsistencies in the judge's decision which states that those same matter in some cases was categorized as a breach of contract."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2021
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Kartika Rahmadayanti
"ABSTRAK
Penelitian ini disusun untuk melihat perlindungan hukum yang didapat oleh
debitur (nasabah pegadaian) dalam melakukan perjanjian dengan PT Pegadaian
melalui surat bukti kredit (SBK) yang didalamnya terdapat pencantuman klausula
baku apabila PT Pegadaian melakukan tindakan wanprestasi yang menyebabkan
hilang atau rusaknya barang yang digadaikan oleh debitur. Untuk melihat adanya
kesesuaian antara pengaturan dan praktek, dapat dilihat dari studi kasus Putusan
Mahkamah Agung No. 480 K/Pdt.Sus/2012 dan Putusan Pengadilan Negeri
Medan Nomor : 235/Pdt.G/2011/PN.Mdn terkait perlindungan hukum yang
didapat oleh debitur atau mengenai ganti rugi yang akan diterima debitur jika
barang yang digadaikan hilang atau rusak selama masih berada di PT Pegadaian.

ABSTRACT
This research is prepared to see the legal protection acquired by the debtors in
agreement between PT Pegadaian and the debtors. Viewing that there is a
standard clause in the mortgage agreement between PT Pegadaian with the
consumers that is contained in the Credit Evidence Letter (SBK) which could be
found that PT Pegadaian can do some breach of contract in case the mortgaged
goods are lost or damaged as long as the goods are still in PT Pegadaian. To see
the compatibility between the regulations and practice, it can be seen from case
study of Supreme Court’s Decision No. 480 K/Pdt.Sus/2012 and Court Decision
No. 235/Pdt.G/2011/PN.Mdn related to the legal protection obtained by the
debtors or concerning the indemnification that would be received by the debtors in
case the mortgaged goods are lost or damaged as long as the goods are still in PT
Pegadaian."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2014
S56317
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Erwin Setiawan
"Skripsi ini membahas mengenai mengenai gugatan Perbuatan Melawan Hukum yang dapat diajukan dari sebuah pelanggaran perjanjian menurut Hukum Perdata di Indonesia. Penelitian ini adalah penelitian yuridis-normatif normative legal research dengan studi kepustakaan. Metode penelitian ini digunakan untuk menjawab permbahasan mengenai mengenai ketentuan tentang Perbuatan Melawan Hukum, unsur-unsur Perbuatan Melawan Hukum, dan kaitannya jika dihubungkan kedalam suatu perbuatan perikatan sesuai dengan Hukum Perdata Indonesia. Selain itu, skripsi ini juga menganalisis kasus terhadap Putusan Pengadilan Negeri No. 34/Pdt.G/2010/PN.TNG, Kota Tangerang, Propinsi Banten yang dikaitkan dengan teori. Hasil penelitian ini menyarankan mengenai gugatan yang diajukan berdasarkan suatu perbuatan perikatan tidak hanya wajib digunakan gugatan wanprestasi tetapi gugatan Perbuatan Melawan Hukum juga dapat diajukan terhadapnya sebagaimana yang tertulis di dalam penelitian ini.

This thesis discusses about the tort claims that may be made of a breach of contract under civil law in Indonesia. This research is a normative juridical-legal normative research to study literature. The research methods used to answer permbahasan regarding the provisions of the Unlawful acts, the elements of the tort, and connection when plugged into an act of engagement in accordance with the Indonesian Civil Code. In addition, this paper also analyzes the case of the District Court No.. 34/Pdt.G/2010/PN.TNG, Tangerang City, Banten Province associated with the theory. The results of this study suggest about the lawsuit filed by an act of engagement is not only obliged to use default action but also tort claims may be brought against it as it is written in the present study."
Depok: Universitas Indonesia, 2014
S53561
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Farisa Alifah
"ABSTRAK
Penelitian ini membahas mengenai kedudukan pihak ketiga yang melakukan pembayaran dalam suatu kasus wanprestasi perjanjian pemborongan. Dalam penulisan ini terdapat dua permasalahan, yakni bagaimana kedudukan dan tanggung jawab Direksi yang diberikan oleh Undang-Undang Perseroan Terbatas serta bagaimana akibat hukum pembayaran oleh pihak ketiga dalam konsep hukum perdata. Penelitian ini menggunakan penelitian yuridis normatif. Berdasarkan hasil analisis ini, Pasal 1382 KUHPerdata merupakan pasal yang tepat untuk digunakan, karena mengatur mengenai pembayaran oleh pihak ketiga yang tidak berkepentingan. Dengan demikian, pihak ketiga yang tidak berkepentingan, atas nama debitur dapat melakukan pembayaran utang debitur kepada kreditur dengan tidak menggantikan hak-hak kreditur kepada debitur.

ABSTRAK
This study discusses legal standing of payment made by third party in the breach of chartering agreement. There are two issues in this study, first related to status and responsibility of Director given by Limited Liability Company Law then the second about legal consequences for the payment made by third party according to civil law. This study uses normative juridical research. Based on the results of this analysis, Article 1382 of Civil Code is the right article to use because it adjust payment made by third party who have no interest in the agreement. Thus, third party who have no interest in an agreement, on behalf of a debtor can make payment to creditor without gaining creditor rights to the debtor.
"
2016
S63188
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Wita Jesiska
" ABSTRAK
Semakin maraknya pemasaran rumah susun yang masih belum dibangun atau masih dalam tahap pembangunan terutama yang belum mencapai keterbangunan minimal 20 menjadikan terhambatnya proses pemasaran jual beli satuan rumah susun antara pelaku pembangunan dengan konsumen melalui Perjanjian Pengikatan Jual Beli PPJB . Pemasaran satuan rumah susun tersebut dapat dilakukan berdasarkan pemesanan terlebih dahulu yaitu melalui Surat Pesanan Satuan Rumah Susun yang kemudian dilanjutkan dengan pelaksanaan Perjanjian Pengikatan Jual Beli PPJB . Skripsi ini membahas mengenai konsep Surat Pesanan Satuan Rumah Susun sebagai alternatif pelaksananan penjualan satuan rumah susun oleh perusahaan pengembang. Pembahasan pertama adalah mengenai kekuatan mengikat surat pesanan terhadap pelaksanaan perjanjian pengikatan jual beli satuan rumah susun. Kedua membahas mengenai status pemilikan satuan rumah susun dalam proses jual beli berdasarkan Surat Pesanan dan PPJB. Ketiga membahas mengenai kekuatan mengikat Surat Pesanan yang dilakukan antara Sdr. Ike Farida dan PT. Elite Prima Hutama terkait dengan ada tidaknya wanprestasi oleh PT. Elite Prima Hutama yang menjadi inti permasalahan dalam Putusan Pengadilan Negeri Jakarta Selatan No. 51/PDT.G/2015/PN.JKT.SEL. Dengan dilakukannya analisis berdasarkan metode penelitian yuridis normatif, Surat Pesanan Satuan Rumah Susun merupakan suatu bentuk perjanjian innominaat yang sifatnya baku dimana kewajiban yang lahir dari Surat Pesanan tersebut adalah pelaksanaan PPJB. Proses pelaksanaan jual beli satuan rumah susun melalui Surat Pesanan dan Perjanjian Pengikatan Jual Beli belum mengalihkan hak atas kepemilikan Satuan Rumah Susun dari perusahaan pengembang kepada pembeli. Surat Pesanan yang dilakukan antara Sdr. Ike Farida dan PT. Elite Prima Hutama dapat dikatakan sah dan mengikat sehingga PT. Elite Prima Hutama telah wanprestasi dalam melaksanakan PPJB.
ABSTRACT Proliferative marketing of the un built or under construction condominium which has not reached at least 20 of construction delays the implementation of making the Preliminary Sale and Purchase Agreement. The under construction condominiums were marketed by booking through Purchase Order Letter. This Purchase Order Letter is followed by the Preliminary Sale and Purchase Agreement in order to implement the Sale and Purchase Agreement of condominium unit. This thesis discusses about the concept of Purchasing Ordering Letter as an alternative sale of under construction condominium by the developer. First discussion describes the binding power of the Condominium Purchase Order Letter towards the implementation of Sale and Purchase Agreement. Second discussion describes the ownership right of condominium by buying and selling through Purchase Order Letter and Preliminary Sale and Purchase. Third discussion describes whether there is a breach of Purchase Order Letter which is made by Ike Farida and PT. Elite Prima Hutama based on South Jakarta State Court No. 51 PDT.G 2015 PN.JKT.SEL. By using normative legal research, this thesis also concludes that Purchase Order Letter is a form of innominate and standardized agreement. As an agreement, Purchase Order Letter creates legally binding obligation between two parties to implement the Preliminary Sale and Purchase Agreement of Condominium. The implementation process of buying and selling of Condominium unit through Purchase Order Letter and Preliminary Sale and Purchase Agreement have not transferred the Condominium Unit ownership rights of the developer to the buyer. The Purchase Order Letter between Ike Farida and PT. Elite Prima Hutama is valid and binding, so PT. Elite Prima Hutama has been in default or breach of contract by not implementing the Preliminary Sale and Purchase Agreement as agreed in the Purchase Order Letter."
Depok: Universitas Indonesia, 2017
S65765
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
cover
Abdul Raihan Putra Safiandi
"Skripsi ini membahas anticipatory breach sebagai bentuk wanprestasi dalam perjanjian dengan fokus pada perbandingan hukum di Indonesia, Inggris, dan Singapura. Anticipatory breach adalah pelanggaran kontrak yang terjadi sebelum kewajiban kontraktual jatuh tempo atau dilanggar secara aktual, memberikan pihak yang dirugikan hak untuk segera mengambil tindakan hukum. Skripsi ini menggunakan metode penelitian yuridis-normatif, yang melakukan analisis terhadap peraturan perundang-undangan, putusan pengadilan, serta literatur hukum terkait. Di Indonesia, anticipatory breach belum diatur secara eksplisit dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUHPerdata), yang mensyaratkan wanprestasi hanya dapat terjadi setelah kewajiban jatuh tempo. Sebaliknya, Singapura dan Inggris, yang menganut sistem common law, mengakui anticipatory breach sebagai prinsip hukum, memungkinkan pihak yang dirugikan untuk mengajukan tuntutan lebih awal. Penelitian ini menganalisis putusan pengadilan terkait di ketiga yurisdiksi untuk mengeksaminasi penerapan doktrin ini. Hasil penelitian menunjukkan bahwa anticipatory breach telah sejak lama diterapkan di Inggris dan Singapura dan memberikan perlindungan lebih baik kepada pihak yang dirugikan dibandingkan sistem hukum Indonesia. Namun, adaptasi prinsip ini ke dalam hukum Indonesia terhambat karena keberadaan pasal 1238 jo. pasal 1243 jo. pasal 1269 KUHPerdata. Penelitian ini memberikan rekomendasi untuk menerapkan doktrin anticipatory breach dalam sistem hukum Indonesia guna mendukung perkembangan penyelesaian sengketa perjanjian yang semakin modern.

This thesis examines anticipatory breach as a form of default in contracts, focusing on a comparative legal study between Indonesia, England, and Singapore. Anticipatory breach refers to a contractual violation that occurs before the contractual obligations are due or breached in actuality, granting the aggrieved party the right to take immediate legal action. This study employs a normative-juridical research method, analyzing legislation, court decisions, and relevant legal literature. In Indonesia, anticipatory breach is not explicitly regulated in the Indonesian Civil Code (Kitab Undang-Undang Hukum Perdata or KUHPerdata), which requires default to occur only after the obligation becomes due. In contrast, Singapore and England, which adhere to the common law system, recognize anticipatory breach as a legal principle, enabling the aggrieved party to file claims earlier. This research analyzes court decisions in the three jurisdictions to examine the application of this doctrine. The findings reveal that anticipatory breach has long been implemented in England and Singapore, offering better protection to the aggrieved parties compared to Indonesia’s legal system. However, the adaptation of this principle into Indonesian law faces challenges due to the provisions of Articles 1238, 1243, and 1269 of the Civil Code. This study provides recommendations to adopt the doctrine of anticipatory breach into the Indonesian legal system to support the evolving resolution of contractual disputes in modern times."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2025
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Ratnaning Wulandari
"Tesis ini membahas perbandingan pembatalan Putusan Arbitrase Internasional di Indonesia dan Singapura. Metode yang digunakan dalam penulisan tesis ini adalah normatif dengan pendekatan komparatif (comparative approach). Tesis ini juga menganalisa beberapa kasus pembatalan Putusan Arbitrase Internasional di Indonesia dan Singapura yang menjadi pembahasan dalam tesis serta menganalisa upaya hukum terhadap putusan pembatalan Putusan Arbitrase Internasional. Saran Penulis dalam tesis ini adalah UU No. 30 Tahun 1999 perlu mengatur secara tegas mengenai pembatalan Putusan Arbitrase Internasional, termasuk di dalamnya mengenai syarat-syarat pembatalan. Salah satu cara yang dapat ditempuh Indonesia untuk memberikan kepastian hukum terhadap penyelesaian sengketa melalui arbitrase serta melengkapi UU No. 30 Tahun 1999 perlu dibuatkan suatu revisi terhadap UU No. 30 Tahun 1999, mengenai pasal yang mengatur tentang syarat pembatalan Putusan Arbitrase Internasional dengan mengadopsi ketentuan yang diatur dalam UNCITRAL Model law on International Commercial Arbitration secara komprehensif khususnya dalam konteks pembatalan Putusan Arbitrase Internasional di Indonesia. Pengadilan Indonesia dan Singapura diharapkan tetap bersikap tegas dalam memeriksa dan menangani permohonan pembatalan Putusan Arbitrase Internasional sesuai dengan ketentuan yang berlaku mengenai arbitrase internasional. Putusan pembatalan Putusan Arbitrase Internasional di Indonesia tidak dapat upaya hukum menurut UU No. 30 Tahun 1999 dan upaya hukum di Singapura terhadap putusan pembatalan Putusan Arbitrase Internasional dapat diajukan kasasi dengan syarat ketat terkait dengan adanya pelanggaran terhadap prinsip Natural Justice.

This thesis discusses the comparison of the setting aside of International Arbitration Awards in Indonesia and Singapore. The method used in writing for thesis is normative with comparative approach. This thesis analyzes several cases of setting aside of the International Arbitration Awards in Indonesia and Singapore which are discussed and analyzed the legal remedy against the decision to annul the International Arbitration Awards. The author's suggestion on the problem is Law No. 30 of 1999 need to strictly regulate for the setting aside of the International Arbitration Awards, including the terms of the setting aside. Indonesia can take to provide legal certainty to the settlement of disputes through arbitration and also complent for Law No. 30 of 1999 should be made a revision of Law No. 30 of 1999 regarding the provisions of the setting aside of the International Arbitration Awards by adopting the provisions set forth in the UNCITRAL Model Law on International Commercial Arbitration comprehensively in particular in the context of the setting aside of the International Arbitration Awards in Indonesia. Indonesian and Singapore Courts are expected to remain firm in examining and handling requests for the setting aside of the International Arbitration Awards in accordance with the applicable provisions of international arbitration. The verdict of the setting aside of the International Arbitration Awards in Indonesia shall not be a legal remedy under Law No. 30 of 1999 and legal remedy in Singapore against the setting aside of verdict of the International Arbitration Awards may be filed with a strict covenant relating to breach of the principle of Natural Justice."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2017
T48552
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Asyura Triana Arimurti
"Skripsi ini membahas mengenai pemutusan perjanjian pemborongan pekerjaan, yakni karena wanprestasi atau dengan digunakannya hak untuk memutus perjanjian pemborongan pekerjaan secara sepihak oleh pihak yang memborongkan berdasarkan Pasal 1611 KUHPerdata. Pokok permasalahan pada penelitian ini adalah bagaimana wanprestasi dapat terjadi beserta akibat hukumnya berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku di Indonesia, pengaturan pemutusan perjanjian pada perjanjian pemborongan pekerjaan, serta pertimbangan hakim terkait pemutusan perjanjian secara sepihak pada perjanjian pemborongan pekerjaan dalam Putusan Mahkamah Agung RI No. 1157 K/PDT/2017. Metode penelitian yang digunakan adalah yuridis-normatif menggunakan data sekunder.
Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa dalam hal pihak yang memborongkan menuduh pemborong melakukan wanprestasi tetapi wanprestasi tidak terbukti, pemutusan perjanjian pemborongan pekerjaan tidak dapat dilakukan berdasarkan Pasal 1266 KUHPerdata. Pemutusan perjanjian tetap dapat dilakukan melalui
ketentuan Pasal 1611 KUHPerdata hanya apabila ganti rugi yang dimaksud pasal tersebut telah terpenuhi. Selama ganti rugi yang dimaksud oleh Pasal 1611
KUHPerdata tidak terpenuhi, maka pemutusan perjanjian secara sepihak pada perjanjian pemborongan pekerjaan yang dilakukan oleh pihak yang memborongkan tidak dapat didasari oleh Pasal 1611 KUHPerdata. Dengan demikian, sepatutnya hakim lebih cermat dalam menggunakan Pasal 1611 KUHPerdata sebagai dasar pertimbangan.

This thesis explains the termination of the construction agreement due to breach of contract or the use of the right to terminate the construction agreement unilaterally pursuant to Article 1611 of the Civil Code. The main problem of this thesis are how the breach of contract could have occurred along with its legal consequences based on laws in Indonesia, the regulation of a termination of the construction agreement, and the judge's consideration of the unilateral termination of the construction agreement in the Supreme Court’s Decision Number 1157 K/PDT/2017. The research method used is normative juridical, which is using secondary data. Based on the research, in the event that the principal accuses the constructor of the breach of contract but he cannot prove it, the termination of the construction agreement cannot be done under the provisions of Article 1266 of the Civil Code. The termination of the construction agreement can be done under the provisions of Article 1611 of the Civil Code only if the compensation in that article has been fulfilled. If compensation intended by Article 1611 of the Civil Code are not fulfilled, the unilateral termination of the construction agreement is cannot be based on that article. Thus, the judge should be more careful in using Article 1611 of the Civil Code as a basis for consideration."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2020
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>