Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 120362 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Sepreka Mirly
"Latar belakang: Indonesia merupakan negara maritim yang berhubungan erat dengan industri pengiriman dan kekayaan laut yang berdampak pada sosio-ekonomik negara. Kesehatan pelaut berperan penting dalam mempertahankan manajemen ini dan perlu mendapat perhatian khusus. Pelaut memiliki risiko mengalami MAFLD, kelelahan saat bertugas, atau kombinasi keduanya. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui hubungan antara MAFLD dengan kelelahan kerja pada Pelaut tugboat.

Metode: Penelitian ini menggunakan metode potong lintang dengan data sekunder hasil MCU karyawan Perusahaan X. MAFLD didefinisikan sebagai fatty liver berdasarkan hasil USG ditambah dengan adanya obesitas atau overweight. Kelelahan diukur menggunakan kuesioner SOFI yang telah divalidasi dalam bahasa Indonesia. Hubungan antara MAFLD dengan kelelahan dianalisis menggunakan uji regresi logistik untuk mendapatkan nilai signifikansi (P), odds ratio (OR) dan interval kepercayaan (IK) 95%.

Hasil: Prevalensi pekerja yang mengalami kelelahan sedang sebanyak 64 orang (23,5%). Kelelahan kerja secara statistik berhubungan signifikan dengan MAFLD (aOR 5,05; IK 95% 2,65-9,60; p <0,001) dan kurangnya aktivitas fisik/olahraga (aOR 2,79; IK 95% 1,17-6,68; p 0,021).

Kesimpulan: Hampir seperempat dari total jumlah pelaut tugboat mengalami kekelahan sedang saat bekerja. Kelelahan tersebut berhubungan signifikan dengan MAFLD dan kurangnya aktivitas fisik/olahraga


Background: Indonesia is a maritime nation closely associated with shipping industry and oceanic wealth that impacts the country's socio-economic status. The health of sailors plays a crucial role in maintaining this management and requires specific attention. Sailors are at risk of experiencing MAFLD, on-duty fatigue, or a combination of both. This research aims to investigate the relationship between MAFLD and work-related fatigue among tugboat sailors.

Methods: This study used a cross-sectional method with secondary data from the Medical Check-Up (MCU) results of Company X's employees. MAFLD was defined as fatty liver based on ultrasound results combined with the presence of obesity or overweight. Fatigue was measured using the validated SOFI questionnaire in the Indonesian language. The association between MAFLD and fatigue was analyzed using logistic regression to obtain significance values (P), odds ratios (OR), and a 95% confidence interval (CI).

Results: The prevalence of workers experiencing moderate fatigue was 64 individuals (23.5%). Statistically, work-related fatigue was significantly associated with MAFLD (aOR 5.05; 95% CI 2.65-9.60; p <0.001) and insufficient physical activity/exercise (aOR 2.79; 95% CI 1.17-6.68; p 0.021).

Conclusion: Nearly a quarter of the total number of tugboat sailors experience moderate fatigue while working. This fatigue is significantly associated with MAFLD and insufficient physical activity/exercise."

Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2023
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Yomi Islamiyati
"Latar Belakang. Penyakit ginjal kronik (PGK) dan penyakit perlemakan hati terkait metabolik (Metabolic Associated Fatty Liver Disease, MAFLD) berbagi beberapa faktor risiko metabolik penting dan mekanisme patofisiologis. Hingga saat ini, belum diketahui besarnya masalah MAFLD pada populasi PGK-dialisis di Indonesia dan pengaruh berbagai faktor terhadap kejadian MAFLD. Tujuan. Mengetahui faktor-faktor yang berhubungan dengan MAFLD pada pasien PGK yang menjalani hemodialisis rutin. Metode. Studi potong lintang dengan populasi terjangkau adalah pasien PGK yang menjalani hemodialisis di Unit Dialisis dan Transplantasi Ginjal Gedung CMU 1 Lantai 8, RSUPN Cipto Mangunkusumo pada Maret hingga Mei 2024. Selanjutnya dilakukan anamnesis, pemeriksaan fisik, pemeriksaan darah dan penilaian CAP dengan alat transien elastografi. Analisis data dilakukan untuk mengetahui faktor-faktor yang berhubungan dengan MAFLD pada pasien PGK yang menjalani hemodialisis rutin. Hasil. Sebanyak 99 individu diikutsertakan pada penelitian ini dan didapatkan prevalensi MAFLD sebesar 31,31%. MAFLD lebih banyak ditemukan pada lemak viseral berisiko, kadar CRP tinggi, usia ≥50 tahun, diabetes melitus, dislipidemia, adekuasi dialisis yang buruk dan fungsi ginjal sisa ≥100 ml. Analisis bivariat mendapatkan lemak viseral berisiko, diabetes melitus dan adekuasi dialisis yang buruk berhubungan dengan kejaidan MAFLD. Analisis multivariat mendapatkan lemak viseral berisiko dan adekuasi dialisis yang buruk merupakan faktor yang berhubungan dengan terjadinya MAFLD pada pasien gagal ginjal dengan hemodialisis rutin. Kesimpulan. Lemak viseral berisiko dan adekuasi dialisis yang buruk merupakan faktor yang berhubungan dengan terjadinya MAFLD pada pasien gagal ginjal dengan hemodialisis rutin.

Background. Chronic kidney disease (CKD) and metabolic-associated fatty liver disease (MAFLD) share several important metabolic risk factors and pathophysiological mechanisms. Until now, the magnitude of the MAFLD problem in the CKD-dialysis population in Indonesia is unknown and the influence of various factors on the incidence of MAFLD. Objective. To determine the factors associated with MAFLD in CKD patients undergoing routine hemodialysis. Methods. This cross-sectional study was conducted on an accessible population of CKD patients who underwent hemodialysis at the Dialysis and Kidney Transplant Unit, CMU Building 1, Floor 8, Cipto Mangunkusumo Hospital from March to May 2024. Anamnesis, physical examination, blood test and CAP assessment with transient elastography were performed. Data analysis was conducted to determine factors associated with MAFLD in CKD patients undergoing routine hemodialysis. Results. A total of 99 individuals were included in this study and the prevalence of MAFLD was found to be 31.31%. MAFLD is more commonly found in at-risk visceral fat, high CRP levels, age ≥50 years, diabetes mellitus, dyslipidemia, poor dialysis adequacy and residual renal function ≥100 ml. Bivariate analysis found that risky visceral fat, diabetes mellitus and poor dialysis adequacy were associated with the occurrence of MAFLD. Multivariate analysis found that risky visceral fat and poor dialysis adequacy were factors associated with the occurrence of MAFLD in kidney failure patients on routine hemodialysis. Conclusion. Risky visceral fat and poor dialysis adequacy are factors associated with the occurrence of MAFLD in renal failure patients on routine hemodialysis"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2024
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Ignatius B. Prasetya
"Background: the risk of Non Alcoholic Fatty Liver Disease (NAFLD) is increasing in patients with type 2 diabetes. Prevalence and factors related to the increased risk of NAFLD in diabetic patients in Indonesia has never been studied before. Data regarding the profile of fibrosis in the population has also been unknown. This study aimed to identify the difference on the profile of diabetic patients with and without NAFLD as well as the degree of fibrosis.
Methods: the study was conducted using a cross sectional method in type 2 diabetic patients who were treated at the outpatient clinic of endocrinology and metabolic division in Cipto Mangunkusumo Hospital. Sampling was done consecutively. Collected data comprised of age, duration of diabetes, body mass index (BMI), waist circumference, HDL, triglyceride, and HbA1C levels. Abdominal ultrasonography was conducted for all patients to determine the presence of NAFLD. Patients with NAFLD were subsequently underwent transient elastography in order to assess their degree of liver fibrosis. Chi-square or Fishers Exact tests were used for bivariate analysis and logistic regression was used for multivariate analysis.
Results: as many as 186 patients were analyzed in the study and 84 patients (45.2%) were demonstrated to have NAFLD. Transient elastography examinations were carried out in 68 patients and 17 patients (25.0%) were found with severe fibrosis. Univariate analysis showed significant differences on BMI (PR=1.878; 95%CI= 1.296 2.721; p<0.001) and waist circumference (PR=2.368; 95%CI= 1.117 5.017; p=0.018) between patients with and without NAFLD. However, the multivariate test showed that BMI was the only factor that had a significance difference between both groups (OR=2.989; 95%CI=1.625-5.499; p<0.001).
Conclusion: prevalence of NAFLD among type 2 diabetic patients in Cipto Mangunkusumo Hospital has reached 45.2% and 25.0% among them had severe fibrosis. BMI is the only factor found to be associated with the occurrence of NAFLD."
Jakarta: University of Indonesia. Faculty of Medicine, 2017
616 UI-IJIM 49:2 (2017)
Artikel Jurnal  Universitas Indonesia Library
cover
Ignatius Bima Prasetya
"Latar Belakang: Risiko Non-Alcoholic Fatty Liver Disease NAFLD meningkat pada pasien dengan diabetes melitus DM tipe 2. Prevalensi dan faktor-faktor yang berhubungan dengan peningkatan risiko NAFLD pada populasi DM di Indonesia belum pernah diteliti. Profil derajat fibrosis pada populasi ini juga masih belum diketahui.
Tujuan: Mengetahui perbedaan profil pasien DM dengan atau tanpa NAFLD serta derajat fibrosisnya.
Metode: Penelitian dikerjakan secara potong lintang terhadap pasien DM tipe 2 dewasa yang berobat di poliklinik endokrin metabolik RSCM. Pengambilan sampel dilakukan secara konsekutif. Data yang dikumpulkan mencakup usia, lama diabetes, indeks masa tubuh IMT , lingkar pinggang, kadar HDL, trigliserida, dan HbA1C. Ultrasonografi abdomen dikerjakan pada semua pasien untuk menentukan adanya NAFLD. Pasien dengan NAFLD lalu menjalani pemeriksaan elastografi transien untuk menilai derajat fibrosis. Uji Chi Square atau Fischer's-Exact digunakan untuk analisis bivariat dan regresi logistik digunakan untuk analisis multivariat.
Hasil Penelitian: Sebanyak 186 pasien dianalisis dalam studi ini, dengan 84 pasien 45,2 terbukti mengalami NAFLD. Elastografi transien berhasil dikerjakan pada 68 pasien NAFLD, dengan 17 pasien 25,0 terbukti mengalami fibrosis berat. Analisis univariat menunjukan perbedaan signifikan IMT PR=1,878; 95 CI= 1,296-2,721.

Background: Risk of Non Alcoholic Fatty Liver Disease NAFLD is increased in patients with type 2 diabetes. Prevalence and factors related to the increased risk of NAFLD in diabetic patients in Indonesia are currently unknown. Data regarding fibrosis profile in this population is also unknown.
Aim: To understand the prevalence and fibrosis profile of Non Alcoholic Fatty Liver Disease in diabetes mellitus and factors associated with it.
Methods: This study was a cross sectional study on diabetic patients treated in the endocrinology and metabolic clinic of Cipto Mangunkusumo Hospital. Sampling was done consecutively. Data collected comprised of age, duration of diabetes, body mass index BMI, waist circumference, HDL, triglyceride, and HbA1C. Abdominal ultrasonography was conducted to every patient to determine the presence of NAFLD. Patients with NAFLD underwent transient elastography to assess their degree of liver fibrosis. Collected data were analyzed in univariate and multivariate manner.
Study Results: We analyzed 186 patients with diabetic. NAFLD were diagnosed in 84 patients 45,2. Transient elastography were carried out in 68 patients, with advanced fibrosis were found in 17 patients 25,0. Univariate analysis showed significant differences between BMI PR 1,878 95 CI 1,296 2,721 p
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2017
T55667
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
cover
Ayu Diandra Sari
"Obesitas merupakan masalah utama pada kesehatan masyarakat dunia yang diketahui juga sebagai salah satu faktor risiko penyakit perlemakan hati non alkoholik(NAFLD). Sistem penilaian untuk mendeteksi NAFLD telah dikembangkan dan divalidasi di Indonesia. Namun, pola makan orang obesitas yang mungkin memberikan pengaruh terhadap NAFLD masih belum diketahui. Penelitian ini mengevaluasi asupan sukrosa pada obesitas dewasa di Jakarta dan hubungannya dengan skor NAFLD. Ini adalah studi potong lintang berbasis komunitas di antara orang dewasa dengan indeks massa tubuh (BMI)>25 kg/m2 antara September dan Oktober 2018 di Jakarta, Indonesia. Asupan sukrosa dinilai menggunakan food recal l2x24 jam, dihitung berdasarkan tabel komposisi makanan Indonesia dan Amerika dengan menggunakan Nutrisurvey 2007.Skor NAFLD terdiri dari enam faktor risiko, yaitu BMI>25 kg/m2, jenis kelamin laki-laki, usia>35 tahun, trigliserida>150 mg/dL, kadar kolesterol lipoprotein kepadatan tinggi<40 mg/dL untuk pria atau <50 mg/dL untuk wanita, dan kadar alanin aminotrans feraseserum >35 U/L. Dari 102 subjek yang terdaftar, 75 orang(73,5%) adalah wanita. Median dari total skor NAFLD adalah 6,7 dengan rentang dari 3,6 hingga 10,2. Median asupan karbohidrat total adalah 179,6 (54,1-476,8) g/hari, dan median total asupan sukrosa adalah 47,0 (13,7-220,5) g/hari. Asupan sukrosa lebih tinggi signifikan pada responden dengan skor NAFLD >6,7 dibandingkan <6,7. (47,8 vs. 45,3 g; p=0,042; Mann-Whitney U test). Analisis multivariat mengonfirmasi adanya hubungan asupan sukrosa dan skor tinggi perlemakan hati non alkoholik.
Kesimpulan: Asupan sukrosa tidak memiliki hubungan bermakna dengan skor NAFLD pada penyandang obesitas dewasa, namun bermakna jika dikaitkan dengan skor tinggi perlemakan hati non alkoholik. Dibutuhkan penelitian lebih lanjut untuk pengembangan variabel tambahan pada skor NAFLD.

Obesity is a major problem in a world public health which is also known as one of the risk factors of non-alcoholic fatty liver disease (NAFLD). An assessment system for detecting NAFLD has been developed and validated in Indonesia. However, the diet pattern of obese people who might have an effect on NALFD is still unknown. This study evaluated sucrose intake among obese adults in Jakarta and ints association with NAFLD score. This was a community-based cross sectional study among adults with body mass index (BMI) >25 kg/m2 between September and Oktober 2018 in Jakarta, Indonesia. Sucrose intake was assessed using 2x24-hour food recall, calculated based on the Indonesian and American food composition tables using dietary software Nutrisurvey. The NAFLD score consists of six risk factors, i.e. BMI >25 kg/m2, male sex, age >35 years, triglycerides >150 mg/dL, high density lipoprotein cholesterol levels <40 mg/dL for men or <50 mg/dL for women, and serum alanine aminotransferase levels >35 U/L. A total of 102 subjects were recruited; 75 (73.5%) of them were women. The median of total NAFLD scores was 6.7, ranging from 3.6 to 10.2. Median total carbohydrate intake was 179.6 (54.1-476.8) g/day, while the median total sucrose intake was 47.0 (13.7-220.5) g/day. Sucrose intake was significantly higher in patients with NAFLD score >6.7 than <6.7 (47.8 vs. 45.3 g; p=0.042; Mann-Whitney U test). Multivariate analysis confirmed the association of sucrose intake and higher total NAFLD score.
Conclusions: Sucrose intake and NAFLD score have no significant association among obese adults. Further research is needed to develop additional variables on NAFLD score.
"
Depok: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2019
T57776
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Anggilia Stephanie
"ABSTRAK
Sebagai salah satu penyebab terbanyak peningkatan enzim hati, dan sirosis, NAFLD perlu dinilai derajat steatosisnya. Trigliserida sebagai salah satu komponen sindrom metabolik diketahui mempunyai pengaruh terhadap terjadinya nonalcoholic fatty liver disease NAFLD , namun korelasinya dengan derajat steatosis pada pasien NAFLD belum diketahui. Studi ini bertujuan untuk mendapatkan korelasi antara kadar trigliserida dengan nilai Controlled attenuation parameter CAP pada pasien NAFLD, serta mendapatkan nilai titik potong trigliserida yang optimal untuk memprediksi derajat steatosis sedang-berat pada pasien NAFLD. Studi potong lintang dilakukan pada pasien NAFLD dewasa di poliklinik Penyakit Dalam RSCM, yang direkrut secara konsekutif. Pasien dengan sirosis hepatis dieksklusi dari penelitian. Diagnosis NAFLD dilakukan dengan menggunakan USG, sementara derajat steatosis ditentukan dengan metode CAP menggunakan alat Fibroscan. Sampel darah puasa diambil untuk pemeriksaan trigliserida. Korelasi antara kadar trigliserida dengan nilai CAP dianalisis dengan uji Pearson. Sebanyak enam puluh dua subyek, dengan median usia 55 rentang 21 ndash; 78 tahun. Median nilai IMT 26,1 rentang 19-38 kg/m2, lingkar pinggang 96,6 SB: 8,49 cm, kadar trigliserida 160,3 SB: 65,5 mg/dL, kolesterol LDL 147,8 SB: 38,2 mg/dL, kolesterol HDL 48,5 SB:11,1 mg/dL dan nilai CAP 268,5 SB: 46,8 dB/m. Obesitas sentral didapatkan sebanyak 94,8 . Komorbid didapatkan berupa hipertensi 46,8 , DM tipe 2 54,8 , dan sindrom metabolik pada 72,6 . Didapatkan adanya korelasi yang lemah antara TG dengan derajat steatosis r=0,272; p= 0,033 . Dari kurva ROC didapatkan kemampuan TG dalam memprediksi derajat steatosis kurang baik AUC 0,66 IK 95 0,48 ndash; 0,83 , sehingga tidak dilanjutkan untuk mencari titik potong. Didapatkan adanya korelasi lemah antara kadar trigliserida dengan derajat steatosis pada pasien NAFLD. Saat ini kadar trigliserida tunggal tidak dapat digunakan untuk mendeteksi derajat steatosis sedang-berat.ABSTRACT As one of the most common cause of elevated liver enzymes and cirrhosis nowadays, steatosis degree need to be evaluated in NAFLD cases. Triglyceride, one of metabolic syndrome components, is known to be associated with NAFLD. However, correlation between the triglyceride levels and steatosis degree, has not yet understood. This study aim to find correlation between triglyceride level with Controlled Attenuation Parameter CAP value in NAFLD patients, and also gain optimal cut off point of triglyceride for predicting moderate to severe NAFLD. A cross sectional study on adult NAFLD patient in RSCM Internal Medicine Clinic, recruited consecutively in four months. Patients with liver cirrhosis was excluded. Diagnosis of NAFLD using Ultrasound, meanwhile steatosis degree was assessed using CAP in Fibroscan. Blood samples were taken for Triglycerides examination. The correlation between triglyceride levels with CAP values were analyzed by Pearson test. Sixty two NAFLD subjects, with a median age of 55 range 21 78 years. Median value of BMI was 26.1 range 19 38 kg m2, mean for waist circumference, levels of LDL and HDL cholesterol was 96.6 SD 8.49 cm, 147.8 SD 38.2 mg dL, 48.5 SD 11.1 mg dL , respectively. Mean for triglyceride was 160.3 SD 65.5 mg dL, and CAP value 268.5 SD 46.8 dB m. Central obesity found in as many as 94.8 of subject. Comorbidities such as hypertension and type 2 diabetes was found at 46.8 and 54.8 respectively, and metabolic syndrome 72.6 . In this study, we found a weak correlation between triglyceride values and CAP r 0.272 p 0.033 . From the ROC we find the TG capability of predicting steatosis degree was not good enough AUC 0.66, 95 CI 0.48 to 0.83 . Therefore cut off point of TG was not assessed. As a conclusion, there is a weak correlation between triglyceride levels and degree of steatosis in patients with NAFLD. Triglyceride level cannot be used solely for assessment of steatosis degree. "
Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2017
T55689
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Edi Mulyana
"Latar belakang dan Tujuan: Persentase pasien yang gagal dalam pengukuran kekakuan hati menggunakan transient elastography bervariasi antara 2-10%, umumnya disebabkan oleh obesitas. probe XL, diharapkan dapat meningkatkan keberhasilan pengukuran kekakuan hati pada pasien dengan obesitas. Tujuan penelitian ini adalah untuk menilai keberhasilan pengukuran kekakuan hati dengan menggunakan probe M dan XL serta faktor yang mempengaruhinya.
Metode Penelitian: Pasien yang memenuhi kriteria inklusi diikutsertakan dalam penelitian ini. Hasil pemeriksaan kemudian dianalisis dengan menggunakan uji statistik unpaired t-test atau Mann-Whitney dan uji statistik McNemar.
Hasil Penelitian: Dari 92 pasien NAFLD dengan obesitas yang diteliti, Proporsi keberhasilan pengukuran kekakuan hati menggunakan probe M adalah 57,6 %, sedangkan dengan probe XL 88,0%. Perbedaan ini bermakna secara statistik (p < 0,001). Faktor IMT, SCD dan lingkar toraks berhubungan dengan keberhasilan pengukuran kekakuan hati dengan menggunakan probe M, dengan nilai p masingmasing 0,007,0,001 dan 0,001. Variabel yang sama dengan probe XL tidak menunjukkan hubungan bermakna, dengan nilai p masing-masing 0,321, 0,817 dan 0,216. Hasil uji statistik Mann-Whitney didapatkan nilai median dari IMT dan SCD yang tidak berhasil dilakukan pengukuran kekakuan hati dengan menggunakan probe M adalah masing-masing 32,7Kg/m2 dan 2,6 cm. Hasil uji statistik T-test didapatkan nilai Mean dari lingkar toraks yang tidak berhasil dengan pengukuran kekakuan hati dengan menggunakan probe M adalah 97,8 cm.
Kesimpulan: Proporsi keberhasilan pengukuran kekakuan hati pada pasien NAFLD dengan obesitas dengan menggunakan probe XL lebih baik dibandingkan dengan probe M. Faktor IMT, SCD dan Lingkar Toraks berhubungan dengan keberhasilan pengukuran kekakuan hati dengan menggunakanan probe M. Variabel yang sama tidak berhubungan dengan probe XL.

Background and Aims: The percentage of patients who failed in liver stiffness
measurement (LSM) using transient elastography (Fibroscan®) varies between 2-
10%, generally caused by obesity. The new XL probe, with enhanced features to use in obesity patients, is expected to overcome the limitations and increase . The aims of this prospective study were to asses the success rate of liver stiffness measurement using M and XL probes and influencing factors.
Methods: Patients who fulfilled inclusion criteria were examined for transient elastography with both Fibroscan ® M and XL probe. The results of examination then were analyzed with unpaired t-test or Mann –Whitney and Mc Nemar test.
Results: A total of 92 patients were evaluated, The proportion of successful liver stiffness measurement using M probe was 57,6 %. while the proportion of XL probe was 88 %. ( p< 0,001 ). Skin to liver capsule distance ( SCD ), body mass index ( BMI ) and thoracic circumference was associated with the successfulness of liver stiffness measurement using probe M with respective p values were 0,007, 0,001 and 0,001. The same variables were not associated with successful examination using the XL probe with p values were 0,321, 0,817 and 0,216 respectively. T-test analysis showed mean thoracic circumference value of unsuccessfull liver stiffness measurement using M probe was 97,8 cm. Mann-Whitney test showed median BMI and SCD value of unsuccessfull liver stiffness measurement were 32,7 kg/m2 and 2,6 cm respectively.
Conclusion: The proportion of successful liver stiffness measurement using XL probe higher than M probe. BMI , SCD and thoracic circumference were associated with the successful of liver stiffness measurement using a M probe. The same variables were not associated with successful examination using the XL probe.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2013
SP-Pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Winda Permata Bastian
"Latar Belakang : Disbiosis mikrobiota usus dianggap berperan pada progresifitas NAFLD. Penelitian mengenai mikrobiota usus pada pasien NAFLD masih sedikit dan menunjukkan hasil yang berbeda.
Tujuan : Mengetahui profil mikrobiota usus pada pasien NAFLD dengan derajat fibrosis hati.
Metode : Penelitian menggunakan desain potong lintang, dengan menggunakan sampel pasien NAFLD di Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo, periode waktu Maret – Juli 2018. Pemeriksaan sampel feses secara konsekutif dilakukan dengan menggunakan alat isolasi DNA (Tiangen) dan quantitative real-time polymerase chain reaction (Fast 7500) untuk menghitung jumlah mikrobiota dinyatakan dalam copy number DNA/gram feses (Bacteroides, Lactobacillus and Bifidobacteria). Sedangkan pemeriksaan fibrosis hati dengan menggunakan alat transient elastography (FibroScan® 502 Touch). Analisis statistik dilakukan menggunakan analisis bivariat dengan menggunakan uji chi-square.
Hasil : Dari 60 pasien NAFLD, didapatkan 35 pasien dengan fibrosis non signifikan dan 25 pasien dengan fibrosis signifikan. Kebanyakan pasien merupakan penderita diabetes melitus (85%), dislipidemia (58,3%), obesitas (58,3%), dan obesitas sentral (90%). Didapatkan jumlah Bacteroides (483.000 kopi unit DNA/gram feses) paling banyak dibandingkan dengan Lactobacillus (100.800 kopi unit DNA/gram feses) dan Bifidobacteria  (12.110 kopi unit DNA/gram feses). Dari ketiga mikrobiota tersebut terdapat peningkatan bermakna proporsi Bacteroides pada kelompok fibrosis signifikan (81%) dibandingkan dengan fibrosis non signifikan (19%). Begitupula dengan Lactobacillus yang jumlahnya lebih banyak pada fibrosis signifikan. Sedangkan pada Bifidobacteria, proporsi pada fibrosis signifikan lebih rendah dibandingkan fibrosis non signifikan.
Simpulan : Terdapat perubahan komposisi mikrobiota usus pada pasien NAFLD. Proporsi Bacteroides juga meningkat pada kelompok fibrosis signifikan.

Background: Dysbiosis of the gut microbiota has been considered to have a role in NAFLD progression. However, there is still lack of studies regarding this phenomenon.
Aim of the study: To find the difference of gut microbiota profile in NAFLD patient based on the stages of liver fibrosis.
Patients and Methods: A cross sectional study was conducted at Dr. Cipto Mangunkusumo Hospital which is the largest tertiary refferal center hepatobiliary outpatient’s clinic. Human fecal samples from NAFLD patients who came to outpatient clinic were collected consecutively. The stool sample examination was performed using isolation DNA kit (Tiangen) and quantitative real-time polymerase chain reaction (Fast 7500) was used to measure total bacterial counts (Bacteroides, Lactobacillus and Bifidobacteria). Clinical and laboratory data, Food Frequency Questionare (FFQ) were also collected. The stage of fibrosis were diagnosed based on transient elastography (FibroScan® 502 Touch). Statistical analysis including bivariate analysis were performed using SPSS version 20.
Results: Of 60 human fecal samples, there are 35 patients had non significant fibrosis and 25 patients had significant fibrosis and consist of 46.7% male and 53.3% female with the median age is 56 years old. Most patient have diabetes (85%) dyslipidemia (58.3%), obesity (58.3%), and central obesity (90%).  The Bacteroides count (483000) was higher when compared to Lactobacillus (100800) and Bifidobacteria (12110). Of these three microbiota, the proportion of Bacteroides was higher in significant fibrosis group when compared to non significant fibrosis group. Patient with significant fibrosis was also has a higher proportion of Lactobacillus compared to non significant fibrosis group (7000 vs 2050). In contrast, the proportion of Bifidobacteria was lower in significant fibrosis group (22) when compared to non significant fibrosis group (95).
Conclusion: There is a dysbiosis of gut microbiota in NAFLD patients. Bacteroides as a gram-negative microbiota that produces LPS is significantly increased with fibrosis stage, that may play a role in NAFLD progression.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2018
SP-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Steven Zulkifly
"Latar Belakang. Lean NAFLD lebih sering ditemukan di negara Asia dan prevalensinya di Indonesia masih belum diketahui. Tingginya prevalensi, asimptomatik dan baru bergejala setelah timbul komplikasi, dan tingginya mortalitas lean NAFLD menjadikan perlunya deteksi dini pada populasi dewasa dengan IMT <23 kg/m2. Skrining pada populasi umum tidak direkomendasikan karena meningkatkan biaya kesehatan.
Tujuan. Membuat sistem skoring untuk penapisan lean NAFLD pada populasi dewasa di Jakarta.
Metode. Studi ini menggunakan desain potong lintang dari laporan pemeriksaan kesehatan individu dewasa >18 tahun dengan IMT <23 kg/m2 yang melakukan pemeriksaan kesehatan di klinik. Parameter yang dianalisis antara lain usia, jenis kelamin, lingkar pinggang, kadar GDP, kolesterol total, HDL, LDL, trigliserida, AST, ALT, dan asam urat. Variabel dengan nilai p <0,25 dilanjutkan ke analisis multivariat untuk pembuatan sistem skoring.
Hasil. Sebanyak 276 individu diikutsertakan pada penelitian ini dan didapatkan prevalensi lean NAFLD sebesar 9,8%. Lean NAFLD lebih banyak ditemukan pada laki-laki dan memiliki karakteristik usia lebih tua, IMT, lingkar pinggang, kadar GDP, ALT, dan trigliserida lebih tinggi dibanding lean tanpa NAFLD. Analisis bivariat mendapatkan jenis kelamin laki-laki, usia ≥45 tahun, kadar GDP ≥100 mg/dL, ALT ≥35 U/L, dan trigliserida ≥150 mg/dL berhubungan dengan lean NAFLD. Sistem skoring melibatkan 4 parameter yaitu laki-laki, kadar GDP ≥100 mg/dL, ALT ≥35 U/L, dan trigliserida ≥150 mg/dL dengan masing-masing bernilai 1 poin. Model skoring ini memiliki sensitivitas 44,4%, spesifisitas 84,3%, dan AUROC 0,74.
Kesimpulan. Parameter jenis kelamin, kadar GDP, ALT, dan trigliserida dapat digunakan sebagai sistem skoring dengan performans menengah untuk penapisan lean NAFLD dewasa.
.....Background. Lean NAFLD is commonly found in Asian countries and its prevalence in Indonesia is still unknown. The high prevalence, asymptomatic until complications occur, and the high mortality of lean NAFLD makes it necessary for early detection in adult with BMI <23 kg/m2. Screening in general population is not recommended due to the high cost burden.
Aim. To develop a scoring system for screening lean NAFLD in adults in Jakarta Methods. A cross-sectional study design was conducted from medical examination reports from individual >18 years old and BMI <23 kg/m2 who performed medical check up at the clinic. Several parameters including age, gender, waist circumference (WC), fasting blood glucose (FBG), total cholesterol (TC), HDL, LDL, triglycerides (TG), AST, ALT, and uric acid (UA) were analyzed in this study. Variabels with p-value <0.25 were included in multivariate analysis for the development of scoring systems.
Results. A total of 276 people were enrolled in this study. Prevalence of lean NAFLD is 9.8%. Lean NAFLD are more commonly found in men and have older age, higher BMI, WC, GDP, ALT, and TG levels than lean non-NAFLD. In bivariate analysis, male sex, age ≥ 45 years, FBG ≥100 mg/dL, ALT ≥35 U/L, and TG ≥150 mg/dL are associated with lean NAFLD. The scoring system involves four parameters including male, FBG ≥100 mg/dL, ALT ≥35 U/L, and TG ≥150 mg/dL, worth 1 point each. This model has sensitivity 44.4%, specificity 84.3%, and AUROC 0.74.
Conclusion. Parameters including gender, FBG, ALT, and TG levels can be used as a scoring system with moderate performance for screening lean NAFLD in adults."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2023
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>