Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 111316 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Auliya Yasyfa Anwar
"Tulisan ini menganalisis mengenai akibat hukum pelanggaran kewajiban penggunaan bahasa Indonesia dalam perjanjian yang melibatkan pihak Indonesia berdasarkan Pasal 31 ayat (1) Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2009 (“UU 24/2009”) ditinjau dari hukum perjanjian. Baik UU 24/2009 maupun peraturan turunannya tidak mengatur mengenai akibat hukum dari pelanggaran Pasal 31 ayat (1) UU 24/2009 ini. Oleh karena itu, akibat hukumnya adalah tergantung putusan hakim dalam perkara di pengadilan. Penelitian ini bersifat yuridis normatif dengan menggunakan pendekatan kualitatif. Dalam analisisnya, analisis akibat hukum terhadap perjanjian dilakukan berdasarkan hukum perjanjian yang mencakup sifat hukum perjanjian, bentuk perjanjian, syarat sebab yang halal dari syarat sah perjanjian, konsep batal demi hukum, dan asas itikad baik serta penyalahgunaan keadaan. Hasil penelitiannya yaitu, terdapat perbedaan penafsiran antara pendapat ahli hukum dan putusan pengadilan tahun 2015 sampai tahun 2021. Karena terdapat perbedaan penafsiran tersebut, maka ditemukan tiga jenis putusan terkait perkara ini, yaitu putusan yang menyatakan perjanjian batal demi hukum, putusan yang menyatakan perjanjian berlaku sah dan mengikat, dan putusan yang menyatakan pengadilan tidak berwenang.

This paper analyzes the legal consequences of violating the obligation to use the Indonesian language in agreements involving Indonesian parties, based on Article 31 paragraph (1) of Law Number 24 of 2009 ("Law 24/2009") in the context of contract law. Both the Language Law and its implementing regulations do not specify the legal consequences of violating Article 31 paragraph (1) of this law. Therefore, the legal consequences depend on the judge's decision in court cases. This research is normative juridical and utilizes a qualitative approach. In the analysis, the legal consequences of the agreement are examined based on contract law, covering the nature of the contract, forms of the contract, valid conditions of the contract, the concept of voidable contracts, the principle of good faith, and the misuse of circumstances. The research findings indicate differences in interpretation between legal experts and court decisions from 2015 to 2021. Due to these differences in interpretation, three types of decisions related to this case are identified: decisions declaring the agreement void, decisions stating the agreement is valid and binding, and decisions asserting that the court lacks jurisdiction."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2024
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Rayendra Yustian Dvinanda
"Skripsi ini membahas mengenai Perjanjian Sewa Menyewa Gedung Perkantoran Di Jakarta. Pada Perjanjian tersebut hanya memuat Bahasa Inggris tanpa mencantumkan terjemahan dalam Bahasa Indonesia sehingga hal tersebut bertentangan dengan Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2009 tentang Bendera, Bahasa, Simbol Negara, dan Lagu Kebangsaan agar tidak mematuhi Ketentuan Hukum Perjanjian dalam Pasal 1320 UU. Hukum Perdata Itulah Syarat obyektif Dimana Perjanjian tidak dapat melanggar hukum dalam hal ini yaitu pasal 31 Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2009 tentang Bendera, Bahasa, Simbol Negara, Dan Lagu Kebangsaan sehingga perjanjian batal demi hukum, tetapi dengan efek dari Undang-Undang tersebut Pihak yang menyewakan dapat mengajukan gugatan terhadap Hukum dan meminta kompensasi jika penyewa dianggap Default karena tidak membayar sewa sampai dilunasi sebagaimana tercantum dalam kontrak.

This thesis discusses the Rental Lease Agreement Office Building In Jakarta. The Agreement contains only English without any translation in Indonesian so that it is contradictory to Law Number 24 Year 2009 regarding Flag, Language, State Symbol, and National Anthem so as not to comply with the Legal Terms of the Agreement in Article 1320 of the Law Civil Code That is the objective Terms Where the Agreement can not violate a law in this case that is article 31 of Law Number 24 Year 2009 on Flag, Language, State Symbol, And National Anthem so that the agreement null and void, but with the effect of such Law The leasing party may file a lawsuit against the Law and request a compensation in the event that the lessee is deemed Default for not paying the rent until it is paid off as set forth in the contract.
"
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2017
S69474
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Cokro Vera
"ABSTRAK
Tesis ini membahas kewajiban penggunaan Bahasa Indonesia dalam perjanjian
berdasarkan Pasal 31 Undang-Undang Nomor 24 tahun 2009 tentang Bendera,
Bahasa, dan Lambang Negara, serta Lagu Kebangsaan (“UU Nomor 24 Tahun
2009”) ditinjau dari Hukum Perjanjian. Penelitian ini adalah penelitian yuridis
normatif dengan menggunakan tipe penelitian preskriptif untuk dapat mengetahui
akibat hukum tidak dipenuhinya kewajiban penggunaan Bahasa Indonesia
sebagaimana diatur dalam Pasal 31 Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2009
ditinjau dari Hukum Perjanjian dan pada bagian akhir memberikan saran dan opini
hukum yang lebih spesifik untuk permasalahan seputar kewajiban penggunaan
Bahasa Indonesia dalam perjanjian yang melibatkan pihak asing. Hasil penelitian
menyatakan bahwa perjanjian yang tidak dibuat dalam Bahasa Indonesia adalah
bertentangan dengan Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2009. Undang-Undang
Nomor 24 Tahun 2009 tidak mengatur sanksi atau akibat hukum pelanggaran
kewajiban penggunaan Bahasa Indonesia dalam perjanjian dan apabila ditinjau
dari Hukum Perjanjian tidak dipenuhinya kewajiban penggunaan Bahasa
Indonesia dalam perjanjian sebagaimana diatur dalam Pasal 31 Undang-Undang
Nomor 24 tahun 2009 tidak masuk dalam kerangka akibat hukum yang batal demi
hukum jika syarat objektif sahnya perjanjian tidak terpenuhi. Dengan demikian
tidak dipenuhinya kewajiban penggunaan Bahasa Indonesia dalam perjanjian
tidak serta merta mengakibatkan perjanjian tersebut batal demi hukum seperti
dalam Keputusan Hakim Pengadilan Negeri Jakarta Barat Perkara Nomor
451/Pdt.G/2012/PN.Jkt.Bar.

ABSTRACT
This thesis specify obligation to use Bahasa Indonesia for agreement as stipulated
in Article 31 of Law Number 24 of 2009 in view of Legal Agreement (Agreement
Law). This is a normative judicial research by using prescriptive research to
ascertainable that it is not an obligation to the law to fulfill obligation to use
Bahasa Indonesia in agreement as stipulated in Article 31 Law Number 24 of
2009 in view of Legal Agreement (Agreement Law) and in the end of this thesis
able to provide a legal advice and opinion which is more specific to settle issues
around the obligation to use Bahasa Indonesia for agreement involving foreign
party. The results finally determine that in view of Legal Agreement (Agreement
Law) not fulfilling the obligation to use Bahasa Indonesia for agreement as
stipulated in Article 31 Law Number 24 of 2009 is not include as void by law if
objective requirement unfulfilled, therefore it does not necessarily lead the
agreement to be void by law as decided by Judge of West Jakarta District Court
Case number 451/Pdt.G/2012/PN.Jkt.Bar."
Jakarta: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2014
T43342
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Nadzira Boenzamin
" ABSTRAK
Skripsi ini membahas mengenai akibat hukum dari perjanjian pinjam-meminjam yang
batal demi hukum karena melanggar ketentuan Pasal 31 Undang-undang No. 24
Tahun 2009 tentang Bendera, Bahasa dan Lambang Negara serta Lagu Kebangsaan
terhadap pihak yang sudah berprestasi, berdasarkan Putusan 451 / PDT.G / 2013 /
PN.JKT.BRT. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui apakah kewajiban
menggunakan Bahasa Indonesia dalam perjanjian sebagaimana diatur Pasal 31 UU
Bahasa merupakan ketentuan formil perjanjian yang apabila dilanggar mengakibatkan
batal demi hukum dan bagaimana efek batal demi hukum tersebut terhadap pihak
yang sudah berprestasi dalam perjanjian. Penelitian ini adalah penelitian kualitatif
dengan bentuk penelitian hukum yuridis-normatif. Hasil penelitian ini menunjukkan
bahwa Pasal 31 UU Bahasa merupakan ketentuan formal yang bila dilanggar
mengakibatkan batal demi hukum dan efek terhadap pihak yang berprestasi adalah
Restitusi pinjaman pokok atas dasar doktrin Unjustified Enrichment dan 1359(1)
Kitab Undang-Undang Hukum Perdata.

ABSTRACT
The focus of this undergraduate thesis to discuss regarding the legal effect of nullity
on loan agreement due to violation of Article 31 of Law No. 24 of 2009 regarding
Flag, Language, State Symbol and National Anthem towards performing party based
on Case Decision No. 451 / PDT.G / 2013 / PN.JKT.BRT. The objective of this
research is to know whether or not an obligation to use Indonesian Language in
Agreements as stipulated by Article 31 of Language Law is a formal requirement that
would result in nullity if violated and the effect of nullity towards the performing
party. This research is a qualitative research in a form of juridical normative. The
result of this research shows that Article 31 of Language Law is a formal requirement
that would result in nullity if violated and the effect towards the performing party is
restitution of the outstanding loan based on the doctrine of Unjustified Enrichment
and 1359(1) of the Civil Code of Indonesia."
2016
S62741
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Nadzira Boenjamin
"Skripsi ini membahas mengenai akibat hukum dari perjanjian pinjam-meminjam yang batal demi hukum karena melanggar ketentuan Pasal 31 Undang-undang No. 24 Tahun 2009 tentang Bendera, Bahasa dan Lambang Negara serta Lagu Kebangsaan terhadap pihak yang sudah berprestasi, berdasarkan Putusan 451 / PDT.G / 2013 / PN.JKT.BRT.
Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui apakah kewajiban menggunakan Bahasa Indonesia dalam perjanjian sebagaimana diatur Pasal 31 UU Bahasa merupakan ketentuan formil perjanjian yang apabila dilanggar mengakibatkan batal demi hukum dan bagaimana efek batal demi hukum tersebut terhadap pihak yang sudah berprestasi dalam perjanjian. Penelitian ini adalah penelitian kualitatif dengan bentuk penelitian hukum yuridis-normatif.
Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa Pasal 31 UU Bahasa merupakan ketentuan formal yang bila dilanggar mengakibatkan batal demi hukum dan efek terhadap pihak yang berprestasi adalah Restitusi pinjaman pokok atas dasar doktrin Unjustified Enrichment dan 1359(1) Kitab Undang-Undang Hukum Perdata.

The focus of this undergraduate thesis to discuss regarding the legal effect of nullity on loan agreement due to violation of Article 31 of Law No. 24 of 2009 regarding Flag, Language, State Symbol and National Anthem towards performing party based on Case Decision No. 451 / PDT.G / 2013 / PN.JKT.BRT.
The objective of this research is to know whether or not an obligation to use Indonesian Language in Agreements as stipulated by Article 31 of Language Law is a formal requirement that would result in nullity if violated and the effect of nullity towards the performing party. This research is a qualitative research in a form of juridical normative.
The result of this research shows that Article 31 of Language Law is a formal requirement that would result in nullity if violated and the effect towards the performing party is restitution of the outstanding loan based on the doctrine of Unjustified Enrichment and 1359(1) of the Civil Code of Indonesia."
Depok: Universitas Indonesia, 2016
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
cover
Ida Nurul Widyastuti
"Hukum perdata Indonesia adalah salah satu bidang hukum yang mengatur hak dan kewajiban antara sesama subjek hukum baik Privat maupun Badan hukum. Salah satunya adalah Prinsip Kebebasan Berkontrak (Freedom of contract) yang sebenarnya sudah dikenal sejak menusia mengenal hukum. Prinsip kebebasan berkontrak didasarkan pada Pasal 1338 KUH Perdata yang berbunyi sebagai berikut: "Semua persetujuan yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang bagi mere yang membuatnya". Pada dasarnya para pihak dapat memperjanjikan apa saja yang dikehendaki. Perjanjian merupakan kesepakatan antara dua atau lebih pihak yang berisi prestasi hak dan kewajiban berdasarkan kebebasan berkontrak dan tanpa paksaan. Hanya saja prinsip Kebebasan Berkontrak ada batasannya. Batasan dari Kebebasan Berkontrak diatur dalam Pasal 1339 BW, dimana disebutkan bahwa batasannya adalah: Pertama, Kepatutan. Kedua, Kebiasaan; dan Ketiga, Undang-undang. Di sisi lain berdasarkan Pasal 31 Undang Undang No. 24 Tahun 2009 Tentang Bendera, Bahasa, Lambang Negara serta Lagu Kebangsaan mengatur bahwa bahasa Indonesia wajib digunakan dalam nota kesepahaman atau perjanjian yang melibatkan Lembaga Negara, Intansi pemerintah Republik Indonesia, Lembaga Swasta atau perseorangan Warga Negara Republik Indonesia. Berdasarkan uraian singkat diatas, maka penulis mencoba melakukan penelitian dengan mengambil judul : Aspek Hukum Prinsip Kebebasan Berkontrak Berkaitan dengan Penerapan Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2009 Tentang Bendera, Bahasa dan Lambang Negara serta Lagu Kebangsaan dihubungkan dengan Dalam skripsi ini akan penulis bahas mengenai dampak hukum penerapan UU Nomor 24 Tahun 2009 tentang Bendera, Bahasa dan Lambang Negara terhadap pelaksanaan prinsip kebebasan berkontrak di Indonesia dan bentuk solusi hukum yang dapat diterapkan dalam perjanjian kerjasama berbahasa asing di Indonesia terhadap pelaksanaan UU Nomor 24 Tahun 2009 tentang Bendera, Bahasa dan Lambang Negara. Metode yang dipergunakan dalam penelitian ini adalah metode penelitian deskriptif dan berdasarkan tujuannya, skripsi ini dapat digolongkan ke dalam penelitian hukum Kualitatif, yang menggunakan pendekatan sistematika hukum. Hasil dari penelitian tersebut dapat penulis uraikan dalam kesimpulan umum sebagai berikut; Dampak hukum penerapan UU Nomor 24 Tahun 2009 tentang Bendera, Bahasa dan Lambang Negara terhadap pelaksanaan prinsip kebebasan berkontrak di Indonesia, adalah dapat dinyatakan Batal Demi Hukum. Karena UU No. 24 Tahun 2009 seharusnya sudah berlaku pada tanggal 9 Juli 2009 sehingga terhadap perjanjian ini yang dibuat pada tanggal 20 Desember 2009 Wajib menggunakan bahasa Indonesia dan bila perjanjian tersebut melibatkan pihak asing maka selain wajib menggunakan bahasa Indonesia juga ditulis menggunakan bahasa nasional pihak asing tersebut dan/atau bahasa Inggris. Apabila perjanjianya tidak dibuat dalam bahasa Indonesia dapat memenuhi unsur kekhilafan, karena tidak begitu memahami apa yang dimaksudkan dalam perjanjian tersebut, sehingga alasan ketidakmengertian para pihak terhadap isi dari perjanjian dimaksud sebagai konsekuensi akibatnya adalah batal demi hukum.

Indonesian civil law is one area of law governing the rights and obligations of legal subjects among both Private and legal entities. One is the principle of freedom of contract (Freedom of contract) which is already known from the human family to know the law. The principle of freedom of contract is based on Article 1338 Civil Code, which reads as follows: "All approvals are made legally valid as a law for those who make it". Basically, the parties may portend anything you want. The agreement is an agreement between two or more parties that contain performance rights and obligations under freedom of contract and without coercion. It's just the principle of freedom of contract there is a limit. Limitation of freedom of contract under Article 1339 BW, which stated that the limitations are: First, Agree. Second, Habits, and Third Law. On the other hand based on Article 31 of Law No.. 24 Year 2009 on the Flag, Language, Emblem and Anthem Country set that the Indonesian language shall be used in the memorandum of understanding or agreement involving state agencies, intitution Indonesian republican government, private organizations or individual citizens of the Republic of Indonesia. Based on the brief description above, the writer tries to do research by taking the title: "The principle of freedom of contract Legal Aspects Related to Implementation of Law Number 24 Year 2009 on the flag, language and the State Emblem and Anthem associated with the use of a Foreign Language in an Arrangement". In this paper the authors will discuss the impact of the legal application of the Law No. 24 Year 2009 regarding Flag, Language and the State Emblem of the implementation of the principle of freedom of contract in Indonesia and other forms of legal solutions that can be applied in a foreign collaboration agreement in Indonesia on the implementation of Law No. 24 Year 2009 about Flag, Language and the State Emblem. The method used in this research is descriptive research method and based on objective, this thesis can be classified into qualitatif legal research, which uses a systematic approach to the law. The results of these studies can be authors describe in the following general conclusions: Implications judicial application of Law No. 24 Year 2009 regarding Flag, Language and the State Emblem of the implementation of the principle of freedom of contract in Indonesia, is to be deemed void. Since the Law. 2 of 2009 should have been effective on July 9, 2009 that the agreement that was made on December 20, 2009 Mandatory use Indonesian and when such agreements involving foreign parties in addition to the obligatory use the Indonesian language is also written in the national language of the foreign party and / or English. If agreement not made in the Indonesian language can meet the elements of an oversight, because it does not really understand what was intended in the agreement, so excuse ignorance of the parties to the contents of the agreement referred to as a consequence of the result is null and void."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2013
S44176
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Nova Helida
"Perkawinan poligami harus dilakukan sesuai dengan peraturan perundangundangan yang berlaku. Salah satu syaratnya adalah harus adanya izin dari isteri pertama dan izin dari Pengadilan Agama. Apabila syarat tersebut tidak dipenuhi, maka isteri pertama mempunyai hak untuk membatalkan perkawinan tersebut. Dari uraian tersebut timbul permasalahan diantaranya apakah Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan sudah cukup mengatur perlindungan hukum terhadap isteri pertama sebagai akibat dari perkawinan poligami, bagaimana aturan perundang-undangan berkaitan dengan pembatalan perkawinan dikaitkan dengan perkawinan poligami dan bagaimana kedudukan (status) isteri dan anak-anak yang terlanjur dilahirkan dari perkawinan yang dibatalkan. Untuk dapat mencari jawaban permasalahan ini, penulis menggunakan metode penelitian yang bersifat yuridis normatif dengan menggunakan data sekunder yaitu data yang diperoleh dari kepustakaan dan didukung dengan wawancara kepada narasumber. Dalam Putusan Pengadilan Agama Nomor 822/Pdt.G/2004/PA.Dpk telah dilakukan pembatalan perkawinan. Pembatalan tersebut terjadi karena adanya pelaksanaan perkawinan poligami yang dilakukan tanpa seizin isteri pertama dan izin dari Pengadilan Agama. Berdasarkan penelitian yang dilakukan dikatakan bahwa Undang-undang Perkawinan sudah cukup melindungi isteri pertama sebagai akibat dari perkawinan poligami. Poligami yang dilakukan tanpa memenuhi persyaratan yang ditentukan oleh Undang-undang, maka isteri sah dari perkawinan sebelumnya yang tidak setuju dengan adanya perkawinan poligami diberikan hak oleh Undang-undang untuk membatalkan perkawinan. Suami yang melakukan perkawinan poligami tanpa adanya izin dari pengadilan agama dapat menyebabkan perkawinan tersebut dapat dibatalkan. Adanya keputusan pembatalan perkawinan dari pengadilan, segala hak dan kewajiban antara suami isteri menjadi tidak ada dan keputusan pembatalan perkawinan tidak berlaku surut terhadap anak-anak yang dilahirkan dalam perkawinan tersebut, kedudukan status) adalah tetap sebagai anak sah. Dalam hal ini harus dilakukan penyuluhan hukum kepada masyarakat oleh universitas-universitas atau lembaga swadaya masyarakat yang berkecimpung dalam bidang perkawinan mengenai prosedur perkawinan termasuk mengenai penyebab terjadinya pembatalan perkawinan.

Polygamy marriages should be conducted in accordance with the legislation in force. One of the conditions have the permission of first wife and permission from the Religious Courts. If conditions are not met, then the first wife the right to cancel the marriage. From the description of which raised the question whether Law No. 1 Year 1974 on Marriage is enough to set the legal protection of the first wife as a result of polygamy marriages, how the rules of the legislation relating to the cancellation of marriage is associated with polygamy marriages and how the position wife and children already born from the marriage canceled. To be able to find answers to these problems, the author uses the method of juridical normative study using secondary data is data obtained from literature and supported by an interview to the informant. Religious Court in Decision No. 822/Pdt.G/2004/PA.Dpk has done annulment. Cancellation is due to implementation of polygamous marriages are performed without first wife's permission and consent of the Religious Courts. Based on research by saying that Marriage Act is sufficient to protect the first wife as a result of polygamy marriages. Polygamy is conducted without complying with the requirements stipulated by the Act without the permission of the first wife and the permission of religious courts, then lawful wife from a previous marriage who does not agree with the existence of polygamy marriages are granted the right by law to annul the marriage of her husband. Marriage can be canceled if there are terms are not being met in the hold of marriage. Husbands who do polygamous marriages without the permission of the court religion then it can lead to marriage be reversed. With the annulment of the court decision, all the rights and obligations between husband and wife become non-existent and the decision is retroactive annulment of the children born within marriage, the position as as his rights are fixed as a legitimate child. Should also be made to the community legal education by universities or non-governmental organizations engaged in the field of marriage about marriage procedures, including the cause of cancellation of marriage."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2011
T28874
UI - Tesis Open  Universitas Indonesia Library
cover
Adhi Eko Martantyo
"Kontrak adalah hal yang sangat penting di dalam kehidupan sehari-hari. Kontrak adalah hal yang mendasari sebuah tindakan yang mewajibkan seseorang untuk memberikan sesuatu kepada orang lain dan orang lain dapat memaksakan untuk mendapatkan haknya sesuai dengan perjanjian yang mengikat kedua belah pihak tersebut. Di dalam perjalanannya, terdapat undang-undang no 24 tahun 2009 yang mewajibkan kontrak yang dibuat untuk menggunakan hukum indonesia. Di dalam prakteknya, hal ini banyak menimbulkan masalah karena dianggap tidak sesuai dengan asas kebebasan berkontrak yang mendasari dibuatnya kontrak tersebut. Hal ini juga dapat menjadikan celah bagi pihak-pihak yang tidak mempunyai itikad baik untuk tidak menjalankan kewajibannya sesuai dengan apa yang diperjanjikannya di dalam kontrak.

Contract is very important in everyday life. Contract is an action that requires a person to give something to others and others are entitled to ask what for what is agreed in the contract. Within its development, Law No. 24 of 2009 requires a contract to be written based on Indonesian law. In practice, this is a big issue because it is not in accordance with the principle of freedom of contract which can be regarded as a fundamental principle for making a contract. It can also create a loophole for those who do not have a good faith to perform his obligations in accordance with what was agreed in the contract.
"
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2015
S58373
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Syarifah Dalilah Albar
"Adanya pemalsuan identitas dalam jual beli tanah, menjadikan perlu adanya suatu perlindungan hukum yang kuat bagi pemilik tanah. Permasalahan pemalsuan identitas saat dilakukannya pembuatan akta jual beli tanah dihadapan PPAT, membuat pihak sebenarnya yang identitasnya dipalsukan mengalami kerugian materiil dan immateriil. Seperti dalam Putusan Pengadilan Tinggi DKI Jakarta Nomor 317/Pdt/2020/PT DKI, hakim justru mengabulkan gugatan dari penggugat selaku pembeli dari tanah, yang sebelumnya merupakan milik dari tergugat yang identitasnya dipalsukan. Penelitian ini menggunakan metode penelitian Doktrinal, artinya penelitian ini dilihat dari keseluruhan data sekunder hukum untuk menjawab permasalahan mengenai perlindungan hukum bagi pemilik tanah yang kehilangan hak nya berdasarkan Peraturan Pemerintah 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah jo. Peraturan Pemerintah Nomor 18 Tahun 2021 dan Undang-Undang 27 Tahun 2022 tentang perlindungan data pribadi, dan pertimbangan hakim dalam putusan Nomor 317/Pdt/2020/PT DKI yang tidak membatalkan peristiwa jual beli yang berdasarkan pemalsuan identitas, serta peran dan tanggung jawab PPAT untuk mencegah terjadinya pemalsuan identitas. Hasil dari penilitian ini adalah bahwa Peraturan Pemerintan Nomor 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah, telah memberikan perlindungan hukum yang bersifat preventif, sehingga perlu adanya perubahan yang mengatur mengenai sanksi-sanksi yang tegas terhadap penyalahgunaan identitas dalam peralihan hak atas tanah. Hakim seharusnya dalam memutuskan suatu perkara tidak hanya melihat pada satu permasalahan dan alat bukti saja, melainkan seharusnya melihat kepada seluruh aspek yang ada dalam suatu perkara. PPAT dalam jabatannya juga berperan untuk memberikan penyuluhan hukum, dan mencocokan identitas para pihak dengan yang asli dalam pembuatan akta, serta menolak pembuatan akta, jika diketahui ada itikad tidak baik dari para  pihak yang akan ada dalam akta tersebut, sehingga permasalahan seperti ini tidak terjadi lagi dimasa yang akan datang.

Legal Protection for Landowners Due to IdentityFalsification Based on PP 24/1997 concerning Land Registration and Law Number 27 of 2022 concerning Protection of Personal Data (Analysis of DKI Jakarta High Court Decision Number 317/Pdt/2020/PT DKI) The existence of falsification of identity in buying and selling land, makes it necessary to have a strong legal protection for land owners. The problem of falsification of identity when the sale and purchase deed of land was carried out before the PPAT, caused the real party whose identity was falsified to suffer material and immaterial losses. As in the Decision of the DKI Jakarta High Court Number 317/Pdt/2020/PT DKI, the judge actually granted the plaintiff's claim as the buyer of the land, which previously belonged to the defendant whose identity was falsified. This study uses a doctrinal research method, meaning that this research is viewed from all legal secondary data to answer questions regarding legal protection for landowners who have lost their rights based on Government Regulation 24 of 1997 concerning Land Registration jo. Government Regulation Number 18 of 2021 and Law 27 of 2022 concerning personal data protection, and judges' considerations in decision Number 317/Pdt/2020/PT DKI which do not cancel buying and selling events based on identity falsification, as well as PPAT's roles and responsibilities for prevent identity fraud. The result of this research is that Government Regulation Number 24 of 1997 concerning Land Registration has provided preventive legal protection, so there is a need for changes to regulate strict sanctions against identity abuse in the transfer of land rights. Judges should not only look at one problem and evidence in deciding a case, but should look at all aspects of a case. The PPAT in his position also has the role of providing legal counseling, and matching the identity of the parties with the original in making the deed, and rejecting the making of the deed, if it is known that there is bad faith from the parties that will be in the deed, so that problems like this do not happen again in the future.

 

Key Words: Legal Protection of Land Owners, Deed of Sale and Purchase of Land, Officers who make Land Deeds, False Identity."

Jakarta: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2023
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>