Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 103101 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Raden rara Tarizza Andra Brameswari
"Tulisan ini menganalisis bagaimana perselisihan pemutusan hubungan kerja yang diakibatkan oleh penolakan mutasi dan tindakan mangkir beserta pengaturan kompensasinya terhadap pekerja/buruh dalam analisis Putusan Mahkamah Agung Nomor 713K/Pdt.Sus-PHI/2021. Tulisan ini disusun dengan metode penelitian doktrinal. Pemutusan hubungan kerja merupakan bentuk pengakhiran hubungan kerja karena suatu hal tertentu yang mengakibatkan berakhirnya hak dan kewajiban antara pekerja/buruh dan pengusaha. Terdapat banyak penyebab dari pemutusan hubungan kerja salah satunya yang disebabkan oleh pekerja/buruh yang menolak mutasi lalu mangkir terhadap pekerjaannya. Tindakan mangkir merupakan suatu kondisi dimana seseorang tidak datang ke tempat kerja atau dapat dikatakan absen dari kehadirannya. Dalam praktiknya, pekerja/buruh yang menolak mutasi dan mangkir dapat diputus hubungan kerjanya karena dikualifikasikan mengundurkan diri dari perusahaan sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan. Akibat pemutusan hubungan kerja tersebut, terdapat hak yang diperoleh bagi pekerja/buruh yang mengalami pemutusan hubungan kerja karena mangkir dimana pekerja/buruh hanya memperoleh uang penggantian hak dan uang pisah namun tidak dengan uang pesangon.

This paper analyzes how a dispute over termination of employment caused by refusal to transfer and absenteeism and its compensation arrangements for workers in the analysis of Supreme Court Decision Number 713K/Pdt.Sus-PHI/2021. This paper is prepared using doctrinal research method. Termination of employment is a form of termination of employment relations for a certain reason which results in the end of rights and obligations between workers/laborers and employers. There are many causes of termination of employment, one of which is caused by workers who refuse mutations and then default on their jobs. Absenteeism is a condition where a person does not come to the workplace or can be said to be absent from his presence. In practice, workers who refuse mutations and are absent can have their employment terminated because they are qualified to resign from the company in accordance with the provisions of the legislation. As a result of the termination of employment, there are rights obtained for workers who experience termination of employment due to absenteeism where workers only get compensation pay and separation pay but not severance pay."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2024
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Adela Disa Maharani Putri
"Klausul syarat objektif menjadi ketentuan wajib dalam membuat perjanjian kerja yang dibuat pekerja dan pemberi pekerja. Tulisan ini mencakup segala analisis mengenai perjanjian kerja yang bertentangan dengan syarat objektif yaitu perundang-undangan terdapat memuat dalam Putusan Mahkamah Agung Nomor 732K/PDT.SUS-PHI/2021. Penulisan ini menggunakan metode penelitian doktrinal. Dalam putusan ini pemenuhan klausul syarat objektif merupakan hal penting yang tidak dapat ditinggalkan. Mengenai ketentuan perjanjian kerja yang salah satu klausul melanggar syarat objektif akan batal demi hukum dan tidak berlaku, maka pada Putusan Mahkamah Agung Nomor 732K/PDT.SUS-PHI/2021 akan mengangkat seluruh prosedur perjanjian kerja dengan benar dan ketentuan prosedur dari tahap adanya pemutusan hubungan kerja sampai ke tahap penyelesaian perselisihan dalam hubungan kerja.

The objective condition clause is a mandatory provision in making a work agreement made by workers and employers. This paper covers all the analysis of employment agreements that are contrary to the objective requirements, namely the legislation contained in Supreme Court Decision Number 732K/PDT.SUS-PHI/2021. This writing uses doctrinal research methods. In this decision, the fulfillment of the objective requirement clause is an important thing that cannot be abandoned. Regarding the provisions of an employment agreement in which one of the clauses violates the objective conditions, it will be null and void, so the Supreme Court Decision Number 732K/PDT.SUS-PHI/2021 will appoint the entire employment agreement procedure correctly and the provisions of the procedure from the stage of termination of employment to the stage of resolving disputes in labor relations."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2024
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Sinurat, Maria Ekklesia
"Kompensasi merupakan hak yang wajib diterima oleh pekerja saat terjadi Pemutusan Hubungan Kerja (PHK). Namun, hal tersebut sering kali diabaikan oleh pemberi kerja dengan berbagai alasan, salah satunya PHK dengan alasan efisiensi yang diakibatkan menurunnya stabilitas keuangan perusahaan. Sebelumnya, UU Ketenagakerjaan menyatakan bahwa PHK dengan alasan efisiensi hanya dapat dilakukan apabila perusahaan akan tutup secara permanen,namun melalui Peraturan Pemerintah Nomor 35 Tahun 2021 pengaturan tentang efisiensi telah berubah, dimana bertujuan untuk memberikan fleksibilitas lebih kepada pengusaha dalam mengelola PHK dengan alasan efisiensi. Pasca perubahan, tekananan ekonomi dan perubahan strategis sering menjadi justifikasi untuk melakukan PHK dan mengakibatkan ketidaksetaraan kedudukan pengusaha dan pekerja. Akan tetapi, penting untuk diperhatikan tindakan PHK dengan alasan efisiensi harus melalui pembuktian yang transparan dan objektif. Hal tersebut berimplikasi pada dilanggarnya hak pekerja yang salah satunya dalam hal kompensasi. Atas dasar tersebut, penelitian ini menggunakan pendekatan doktrinal dengan menganalisis menggunakan data hukum primer, sekunder, dan tersier. Penelitian ini berfokus untuk menganalisis dan menelaah regulasi ketenagakerjaan terkait PHK secara khusus dengan alasan efisiensi.Simpulan dari penelitian ini, PHK dengan alasan efisiensi karena kerugian menjadi alasan yang tidak dilarang. Penelitian bertujuan untuk memahami perubahan regulasi dan dampaknya terhadap hak-hak pekerja, serta menganalisis bagaimana pengaturan kompensasi terhadap kepentingan pekerja yang terkena PHK. Penelitian ini diharapkan dapat memberikan rekomendasi untuk perbaikan regulasi dan pelaksanaan yang lebih adil bagi kedua belah pihak. Dengan demikian, penelitian ini memberikan kontribusi penting dalam upaya meningkatkan kesejahteraan dan keadilan bagi pekerja di Indonesia yang di PHK dengan alasan efisiensi.

Compensation is a right that workers must receive when a Termination of Employment (PHK) occurs. However, this is often ignored by employers for various reasons, one of which is efficiency due to the decline in the company's financial stability. Previously, the Employment Law stated that layoffs for efficiency reasons could only be carried out if the company was about to close permanently. However, through Government Regulation Number 35 of 2021, regulations regarding efficiency have changed, which aims to provide more flexibility to employers in managing layoffs. After change, economic pressure, market competition, or strategic changes often become justifications for layoffs and result in unequal positions of employers and workers. This has implications for violating workers' rights, one of which is in terms of compensation. On this basis, this research uses a doctrinal approach by analyzing primary, secondary and tertiary legal sources. This research focuses on analyzing and reviewing labor regulations related to layoffs specifically for efficiency reasons due to company losses. The research aims to understand regulatory changes and their impact on workers' rights, as well as analyze how compensation arrangements affect the interests of workers affected by layoffs. It is hoped that this research can provide recommendations for improving regulations and fairer implementation for both parties. Thus, this research makes an important contribution in efforts to improve welfare and justice for workers in Indonesia who are laid off for efficiency reasons."
Jakarta: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2024
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Pasha Fatika Putri
"Penelitian ini membahas tentang perselisihan yang terjadi akibat pemutusan hubungan kerja (PHK). Pekerja dianggap mangkir karena menolak perintah mutasi dari pengusaha dan penyelesaiannya. Pembahasan dilakukan berdasarkan teori-teori yang dikemukakan para ahli serta ketentuan undang-undang nasional yang berlaku, serta analisis terhadap peraturan perusahaan yang digunakan dalam penelitian ini. Penelitian ini menggunakan metode yuridis-normatif karena menirikberatkan pada ketentuan undang-undang, teori-teori, asas-ass, konsep-konsep, sertai akidah hukum dengan cara menganalisisnya. Data yang diperoleh dari studi kepustakaan dan studi dokumen dianalisis dengan menggunakan metode deskriptif-kualitatif. Ketentuan terkait mutasi diatur dalam perjanjian kerja atau peraturan perusahaan yang merupakan hasil dari kesepakatan pengusaha dan pekerja, demi mencegah kesewenang-wenangan, pengusaha harus mengacu pada Pasal 32 Undang-Undang Ketenagakerjaan dalam memberikan perintah mutasi, agar seimbang, pengusaha juga berhak untuk melakukan PHK terhadap pekerja yang menolak mutasi dengan alasan mangkir. Pekerja berhak untuk mengajukan penolakan terhadap perintah mutasi namun masih berkewajiban untuk menjalankan perintah mutasi sembari melakukan upaya-upaya yang diperlukan untuk menunda atau membatalkan perintah mutasi.

This study discusses disputes that occur due to termination of employment (LAYOFFS) because a worker is considered absent from work because of refusing work transfer orders from employers and how to resolve the disputes. The studies are performed based on theories put forward by experts and applicable national laws and regulations, as well as an analysis of company regulations used in this study. This research uses a juridical-normative method because it focuses on laws and regulations, theories, principles, concepts, and legal principles by analyzing them. The data obtained from literature studies and document studies are analyzed using descriptive-qualitative methods. General requirements related to work transfer are regulated in employment agreements or company regulations, which are the result of the agreements between employers and workers. To prevent arbitrariness, employers must refer to Article 32 of the Manpower Law in providing work transfer orders. To balance it, employers also have the right to lay off workers who refuse transfer because workers are considered absent from work. Workers have the right to reject a transfer order, but are still obliged to carry out the transfer order while making the necessary efforts to postpone or cancel the transfer order.

"
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2023
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Tri Velna Elvisa
"Alasan mendesak sebagai dasar pemutusan hubungan kerja sering kali menimbulkan perdebatan hukum yang kompleks. Dalam konteks hukum ketenagakerjaan, penting untuk mendefinisikan alasan mendesak secara jelas dan sesuai dengan ketentuan yang berlaku agar tidak terjadi penafsiran yang beragam atau penyalahgunaan oleh para pihak. Alasan mendesak biasanya mencakup situasi tak terduga dan di luar kendali kedua belah pihak, seperti krisis ekonomi, keadaan darurat, atau situasi lain yang diatur dalam peraturan perundang-undangan. Dalam kasus Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia No. 1088 K/PDT.SUS-PHI/2022, terjadi perbedaan pendapat antara pekerja, yang beranggapan tidak melakukan kesalahan, dan pengusaha, yang menyatakan bahwa pemutusan hubungan kerja (PHK) dilakukan karena pelanggaran oleh pekerja sebagaimana diatur dalam Perjanjian Kerja Bersama. Tulisan ini bertujuan untuk menganalisis kriteria alasan mendesak dan prosedur pemutusan hubungan kerja, serta penerapan kedua aspek tersebut dalam kasus Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia No. 1088 K/PDT.SUS-PHI/2022. Penelitian ini menggunakan metode doktrinal dengan pendekatan Deskriptif-Analitis dan menganalisis data secara kualitatif dari data sekunder yang berfokus pada bahan hukum primer, sekunder, dan tersier yang diperoleh melalui studi pustaka.

Urgent reasons as a basis for termination of employment often lead to complex legal debates. In the context of labor law, it is important to clearly define urgent reasons in accordance with applicable regulations to prevent diverse interpretations or misuse by the parties involved. Urgent reasons usually include unforeseen situations and circumstances beyond the control of both parties, such as economic crises, emergencies, or other situations regulated by law. In the case of the Supreme Court of the Republic of Indonesia's Decision No. 1088 K/PDT.SUS-PHI/2022, there was a disagreement between the worker, who believed they had not committed any wrongdoing, and the employer, who stated that the termination of employment (PHK) was due to a violation by the worker as regulated in the Collective Labor Agreement. This paper aims to analyze the criteria for urgent reasons and the procedures for employment termination, as well as the application of these aspects in the case of the Supreme Court of the Republic of Indonesia's Decision No. 1088 K/PDT.SUS-PHI/2022. This research uses a doctrinal method with a Descriptive-Analytical approach, analyzing qualitative data from secondary sources focusing on primary, secondary, and tertiary legal materials obtained through literature study."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2024
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Tambunan, Rafael Hansen
"Berakhirnya hubungan hukum antara pekerja dengan perusahaan dapat terjadi sewaktu-waktu karena adanya pemutusan hubungan kerja (PHK). PHK merupakan bentuk pengakhiran hubungan kerja yang disebabkan oleh suatu hal tertentu dan berdampak pada pengakhiran hak beserta kewajiban antara pekerja dan perusahaan. Akan tetapi, pelaksanaan dari PHK sering kali menimbulkan perselisihan, khususnya bagi pekerja yang tidak mendapatkan kompensasi PHK secara penuh. Skripsi ini bertujuan untuk menganalisis praktik pemotongan kompensasi PHK akibat dugaan pekerja melakukan penggelapan uang hasil penjualan produk oleh perusahaan, serta praktik PHK dengan alasan efisiensi, berdasarkan Putusan Pengadilan Hubungan Industrial Pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat No. 136/Pdt.Sus-PHI/2020/PN.Jkt.Pst.. Metode penelitian yang digunakan adalah penelitian doktrinal dengan pendekatan undang-undang dan kasus, kemudian alat pengumpulan data menggunakan studi dokumen. Hasil analisis dalam skripsi ini menunjukkan bahwa pemotongan kompensasi PHK memerlukan bukti yang cukup atas dugaan pelanggaran oleh pekerja, yang dalam kasus ini tidak terbukti. Dengan demikian, untuk menghindari ketidakpastian hukum, diperlukan kontribusi perusahaan dalam menyusun peraturan perusahaan dan pemerintah dalam merumuskan peraturan perundang-undangan yang komprehensif untuk melindungi hak-hak kompensasi pekerja dalam praktik perselisihan PHK.

The end of the working relationship between workers and companies can offcur at any time due to termination of employment (PHK). PHK is a form of termination of working relation caused by a certain matter and has an impact on the termination of rights and obligations between workers and companies. However, the implementation of PHK often causes disputes, especially for workers who do not get full PHK compensation. This thesis aims to analyze the practice of PHK compensation deduction due to allegations of workers embezzling money from product sales by the company, as well as the practice of PHK on the grounds of efficiency, based on the Decision of the Industrial Relations Court at the Central Jakarta District Court No. 136/Pdt.Sus-PHI/2020/PN.Jkt.Pst.. The research method used is doctrinal research with a statutory and case approach, then the data collection tool uses document study. The results of the analysis in this thesis show that withholding compensation for PHK requires sufficient evidence of alleged violations by workers, which in this case was not proven. Therefore, the panel of judges decided that the company was obliged to fulfill the workers' termination compensation as a form of legal consequence of the implementation of the termination. Therefore, to avoid legal uncertainty, the contribution of companies in drafting company regulations and the government in formulating comprehensive laws and regulations is required for protect workers compensation rights in the practice of PHK disputes.
"
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2024
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Dinda Lofina
"Pengusaha dapat melakukan Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) secara sepihak terhadap pekerja/buruh yang terbukti melakukan pelanggaran peraturan perusahaan setelah memberikan Surat Peringatan (SP) berkelanjutan. SP merupakan bentuk pembinaan pengusaha kepada pekerja/buruh yang melakukan pelanggaran peraturan perusahaan. SP tidak wajib apabila pengusaha melakukan PHK terhadap pekerja/buruh yang terbukti melakukan pelanggaran bersifat mendesak. Peraturan perusahaan merupakan aturan tertulis yang dibuat oleh pengusaha, memuat ketentuan selama hubungan kerja berlangsung serta hak, kewajiban, dan bentuk kesalahan yang dapat dikenakan PHK. PHK secara sepihak ini menimbulkan suatu perselisihan hubungan industrial. Penelitian ini disusun menggunakan metode penelitian doktrinal. Penelitian ini menganalisis keabsahan PHK tanpa adanya SP dan akibat hukum terjadinya PHK karena alasan berat yang tercantum dalam peraturan perusahaan berdasarkan Putusan Mahkamah Agung Nomor 916 K/Pdt. Sus-PHI/2023. Dalam putusan Mahkamah Agung terdapat pembuktian pelanggaran bersifat mendesak. Namun dalam peraturan perusahaan  terdapat ketidaksesuaian besaran hak terhadap PHK karena pekerja/buruh terbukti melakukan pelanggaran bersifat mendesak dengan Pasal 52 ayat (3) Peraturan Pemerintah Nomor 35 Tahun 2021. Dalam peraturan perusahaan pekerja/buruh yang melakukan pelanggaran bersifat mendesak hanya diberikan uang pisah. Selain itu Majelis Hakim juga kurang tepat dalam memperhitungkan uang pisah yang diterima oleh pekerja/buruh.

The employer can unilaterally terminate the employment of workers who are proven to have violated provisions of company regulations after giving continuous warning letters. Warning letter is a form of guidance from the employer to workers who violate the provisions of company regulations. Warning letters is not mandatory if the employer wants to terminate workers are proven committed urgent violations. The company regulation is a written by the employer, containing provisions during the employment relationship as rights, obligations, and forms of misconduct that can be subject to termination. This unilateral dismissal gives to industrial relations dispute. This article is prepared by using doctrinal research method. This research analyses the validity of layoffs without a warning letter and the legal consequences of layoffs due to serious reasons stated in company regulations based on Supreme Court Decision Number 916 K/Pdt.Sus-PHI/2023. There was evidence of urgent violations committed by workers. In the company regulation, there are discrepancies with Article 52 paragraph (3) of Government Regulation Number 35 of 2021 because workers are only given separation money. In addition, the Judges also incorrect calculating the separation pay received by workers."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2024
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Lutfiah Ariani
"Pekerja harian lepas merupakan pekerja yang melakukan pekerjaan dengan menerima upah harian. Peraturan perundang-undangan yang mengatur tentang perlindungan pekerja di Indonesia sebagian besar berfokus pada pekerja dengan perjanjian kerja waktu tertentu. Hal ini menyebabkan kurangnya ketentuan yang tegas mengenai hak-hak pekerja harian lepas ketika mengalami pemutusan hubungan kerja. Penelitian ini dilakukan dengan metode doktrinal atau yang biasa disebut dengan metode penelitian hukum kepustakaan untuk memperoleh data sekunder. Berupa bahan hukum primer yakni, peraturan perundang-undangan dan Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia No. 392 K/Pdt.Sus-PHI/2023. Hasil penelitian menyimpulkan bahwa pemutusan hubungan kerja bagi pekerja lepas dengan alasan mangkir harus dilakukan secara hati-hati dan berdasarkan kriteria yang jelas, dengan bukti ketidakhadiran yang sah sesuai dengan peraturan yang berlaku. Selain itu, status pekerja harian lepas dalam kontrak kerja juga perlu dinyatakan secara eksplisit guna menghindari sengketa, utamanya dengan adanya putusan Mahkamah Agung yang menyatakan bahwa pekerja yang bekerja lebih dari 21 (dua puluh satu hari) hari dalam 1 (satu) bulan dapat dianggap sebagai Pekerja Waktu Tidak Tertentu, sehingga pengusaha harus mematuhi ketentuan yang berlaku untuk melindungi hak-hak pekerja dengan menghindari potensi sengketa hukum.

Casual daily workers are workers who do work and receive daily wages. The laws and regulations governing worker protection in Indonesia mostly focus on workers with fixed-term work agreements. This causes a lack of strict provisions regarding the rights of casual daily workers when their employment is terminated. This research was conducted using a doctrinal method or what is usually called a library legal research method to obtain secondary data. In the form of primary legal materials, namely, statutory regulations and the Decision of the Supreme Court of the Republic of Indonesia No. 392 K/Pdt.Sus-PHI/2023. The research results concluded that termination of employment for freelance workers for reasons of absenteeism must be carried out carefully and based on clear criteria, with valid proof of absence in accordance with applicable regulations. Apart from that, the status of casual daily workers in work contracts also needs to be stated explicitly to avoid disputes, especially with the Supreme Court decision which states that workers who work more than 21 (twenty one) days in 1 (one) month can be considered as Indefinite Time Workers, so employers must comply with applicable regulations to protect workers' rights by avoiding potential legal disputes."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2024
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Uswah Amelia
"ABSTRAK
Penelitian ini membahas mengenai perlindungan buruh atas Pemutusan
Hubungan Kerja yang didasarkan atas tindakan efisiensi perusahaan. Para tenaga
kerja saat ini selalu dibayangi kekhawatiran dan kecemasan ditambah dengan
krisis ekonomi yang terjadi hingga saat ini, banyak perusahaan di Indonesia harus
melalukan restrukturisasi sehingga perusahaan harus mengurangi karyawannya
dengan alasan efisiensi. Isu yang selalu mengiringi kekhwatiran para tenaga kerja
yaitu mengenai keabsahan kegiatan pemutusan hubungan kerja atas tindakan
efisiensi dan kesesuaian pemberian kompensasi berdasarkan ketentuan Undang-
Undang sebagai bentuk perlindungan hukum yang diberikan perusahan.
Pemutusan Hubungan Kerja dengan alasan efisiensi terjadi pula pada PT.
Newmont Nusa Tenggara. Penelitian yang dilakukan oleh peneliti dalam
penulisan penelitian ini berbentuk penelitian yuridis normative, yaitu penelitian
yang dilakukan dengan meneliti bahan pustaka atau data sekunder. alat
pengumpulan data yang akan digunakan adalah studi dokumen, bahan pustaka,
dan pengamatan/observasi. Yang selanjutnya penulisan ini disebut sebagai
Penulisan Hukum Normatif. Dalam rangka penyusunan skripsi ini, penulis akan
melakukan penelitian kualitatif sehingga prosedur penelitian akan menghasilkan
data yang bersifat deskriptif. Berdasarkan penelitian penulis, alasan efisiensi PT.
Newmont Nusa Tenggara dapat dibenarkan atau sah menurut hukum. Hal ini
dikarenakan telah sesuai dengan ketentuan Pasal 164 ayat (3) Undang-Undang
Nomor 13 Tahun 2003 yang merujuk ke Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor
19/PUU-IX/2011. Begitu pula dengan kompensasi yang diberikan PT. Newmont
Nusa Tenggara untuk karyawan yang terkena Pemutusan Hubungan Kerja dengan
alasan efisiensi telah sesuai dengan ketentuan Pasal 164 ayat (3) Undang-
Undang Nomor 13 Tahun 2003.

ABSTRACT
This research discuss about the protection of labour from employment
termination on basis of company eficiency. Recently, All labour are worried and
anxious about the economic crisis that emerging today, many company in
Indonesia must done a restructurisation so company must cut the amount of its
employee down by the reason of eficiency. The issue that worry the employee
most is the legality of employment termination by the reason of such efficiency
and the conformity of compensation based on the laws and regulations as a form
of legal protection by the company. The employment termination by reason of
efficiency also happened in PT. Newmont Nusa Tenggara. The research
conducted by researcher in this writing is juridisch normative research form,
namely the research is conducted with the literature research or secondary data.
Data collection methods being used is documents review, literature, and
observation. Hereinafter referred to as Normative legal research. With respect of
this thesis, writer will conduct qualitative research, accordingly the research
procedure will result descriptive data. Pursuant to the writer?s research, efficiency
reason used by PT. Newmont Nusa Tenggara can be legalised or legal by law.
Because, it has been consistent with the provision of Article 164 paragraph (3)
Law No.13 of 2003 which referred to judgment of constitusional court number
19/PUU-IX/2011. So then the compensation given by PT. Newmont Nusa
Tenggara to the terminated employee on the basis of efficiency has been
consistent with the provision of Article 164 paragraph (3) Law No.13 of 2003."
2017
S65985
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Theodore Manggala Amarendra
"The recent study on environmental change shows alarming concerns that in the upcoming 50 to 100 years, some States, particularly Small Island States, such as Maldives, Kiribati, and Tuvalu are in dangers of losing all of its territories due to the rise of sea levels. The loss of territories as a result of rising sea level poses concerns to the very existence of the affected States under International Law. This is because territory has been one of the elements of Statehood as codified in the 1931 Montevideo Convention on the Rights and Duties of States, aside from the element of a permanent population, government, and capacity to enter into relation with other States. However precedence have shown that there is a presumption of State continuity; that after a State has been established, the loss of an element of Statehood would not necessarily dissolve such State. Hence, the more important issue that should be addressed, in these turn of event is the plight of the citizens of the affected State. This thesis made particular analysis towards the issues relating to the citizen?s right to nationality. The thesis argues that nationality would be preserved in the event of territorial submersion, as the State would continue to exist, and there would not necessarily be any infringement of the citizens right to nationality. But having a nationality does not necessarily mean that the citizens then acquire effective protection from the State. The thesis further proposes arrangement that could be made by the affected States in order to protect their citizens; the affected State could arrange for a cession agreement to acquire a new territory or to create a free-association regime (similar to those made by Marshal Island, Niue or Cook Island) which basically seeks other State to give assistance in the exercise of several State functions.

Studi terkini mengenai perubahan kondisi lingkungan menunjukkan kekhawatiran bahwa dalam jangka waktu 50 sampai 100 tahun kedepan, ada kemungkinan bahwa beberapa negara, terutama negara kepulauan, seperti Maladewa, Kiribati dan Tuvalu akan kehilangan seluruh wilayahnya karena kenaikan tinggi laut. Hilangnya wilayah akibat kenaikan tinggi laut menimbulkan isu mengenai eksistensi negara tersebut dalam hukum internasional. Ini dikarenakan, wilayah merupakan salah satu unsur kenegaraan yang dikodifikasikan di dalam Konvensi Montevideo tentang Hak dan Kewajiban Negara 1931, selain unsur lainnya yang mencakup populasi permanen, pemerintah, dan kapasitas untuk berhubungan dengan negara lain. Namun, preseden telah menunjukkan bahwa dalam hukum internasional dikenal asumsi keberlanjutan negara; bahwa sebuah negara yang telah terbentuk tidak akan langsung hilang hanya karena gagal memenuhi unsur kenegaraan. Maka, isu lebih penting yang harus diperhatikan pada insiden hilangnya wilayah negara akibat naiknya tinggi laut adalah mengenai nasib para penduduk negara yang terkena dampak. Skripsi ini berfokus pada analisis mengenai isu yang berhubungan dengan hak atas nationalitas dari para penduduk. Skripsi ini melihat bahwa dalam insiden tenggelamnya wilayah negara, nationalitas dari penduduk akan tetap terjaga, and pada dasarnya tidak akan terjadi pelanggaran terhadap hak atas nationalitas dari para penduduk. Namun memiliki nationalitas tidak berarti para penduduk mendapat perlindugan yang efektif dari Negaranya. Skripsi ini lebih lanjut memberikan gagasan mengenai pengaturan yang dapat dilakukan oleh negara yang terkena dampak agar dapat memberikan perlindungan kepada penduduknya; negara yang terkena dampak dapat membuat perjanjian penyerahan wilayah dengan negara lain atau dapat membuat perjanjian free-association (seperti yang dilakukan oleh Marshal Island, Niue atau Cook Island), dimana negara lain akan memberikan bantuan dalam menjalankan fungsifungsi kenegaraan."
Depok: Universitas Indonesia, 2014
S53813
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>