Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 56057 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Kamila Insani
"Pengaturan mengenai masa jabatan kepala desa sebaiknya bisa menyesuaikan periode ideal masa jabatan dengan tujuan mewujudkan tatanan pemerintahan desa yang demokratis sebagai upaya menghindari abuse of power. Masa jabatan kepala desa tidak diatur secara terperinci dalam konstitusi seperti halnya masa jabatan presiden dan wakil presiden yang diatur pada Pasal 7 UUD NRI 1945 selama 5 tahun dalam 2 periode. Masa jabatan kepala desa diatur dalam pasal 39 Undang-Undang No. 6 Tahun 2014 selama 6 tahun dalam 3 periode. Hal tersebut kemudian menimbulkan kontroversi di tengah masyarakat karena pengaturan masa jabatan kepala desa yang lebih panjang dibandingkan pengaturan masa jabatan presiden telah dianggap melanggar konstitusi dan prinsip demokrasi. Di sisi lain, ada juga usulan untuk lebih memperpanjang lagi masa jabatan kepala desa yang sudah dianggap sangat panjang tersebut. Penelitian ini menganalisis bagaimana konsep masa jabatan kepala desa berdasarkan UU No. 6 Tahun 2014 tentang desa yang dikaitkan dengan prinsip demokrasi dan bagaimanakah periodisasi masa jabatan kepala desa yang ideal di terapkan di Indonesia berdasarkan prinsip demokrasi sebagai upaya menghindari abuse of power. Penelitian doktrinal ini menggunakan studi kepustakaan yang dianalisis secara kualitatif. Dari hasil analisis dapat dijelaskan bahwa, pengaturan masa jabatan kepala desa dalam UU Desa tidak melanggar konstitusi karena pengaturan tersebut termasuk open legal policy dan telah menerapkan prinsip demokrasi melalui pembatasan masa jabatan dalam penerapannya. Maka dari itu, sudah tepat masa jabatan kepala desa diatur selama 6 tahun dalam 3 periode karena wilayah desa memiliki keistimewaan tersendiri yang tidak bisa disamakan dengan pengaturan masa jabatan pemimpin lain. Solusi yang ditawarkan ialah tetap mempertahankan pengaturan masa jabatan kepala desa selama 6 tahun dalam 3 periode serta memperbaiki tata kelola penyelenggaraan pemerintahan desa.

Arrangements regarding the term of office of village heads should be able to adjust the ideal period of office with the aim of realizing a democratic village government order as an effort to avoid abuse of power. The term of office of the village head is not regulated in detail in the constitution as well as the term of office of the president and vice president stipulated in Article 7 of the 1945 NRI Constitution for 5 years in 2 periods. The term of office of the village head is regulated in article 39 of Law No. 6 of 2014 for 6 years in 3 periods. This then caused controversy in the community because the arrangement of village tenure that was longer than the arrangement of the presidential term was considered to violate the constitution and democratic principles. On the other hand, there is also a proposal to further extend the term of office of the village head which has been considered very long. This study analyzes how the concept of village head tenure based on Law No. 6 of 2014 on villages is associated with democratic principles and how the ideal term of office of village heads is applied in Indonesia based on democratic principles as an effort to avoid abuse of power. This doctrinal research uses qualitatively analyzed literature studies. From the results of the analysis, it can be explained that the regulation of the term of office of the village head in the Village Law does not violate the constitution because the arrangement includes an open legal policy and has applied democratic principles through term limits in its application. Therefore, it is appropriate that the term of office of the village head is set for 6 years in 3 periods because the village area has its own privileges that cannot be equated with the arrangement of the term of office of other leaders. The solution offered is to maintain the arrangement of the village head's term of office for 6 years in 3 periods and improve the governance of village governance."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2024
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Octarica Sexio Aulya Ulfa
"ABSTRAK
Penelitian ini membahas mengenai Andal Ampatuan sebagai bos lokal di Provinsi Maguindanao yang mampu bertahan sebagai Gubernur Provinsi Maguindanao tahun 2001-2010 di era demokrasi Filipina. Teori yang digunakan dalam penelitian ini yaitu teori mengenai bossisme lokal, konsep kekuasaan dan teori pork barrel. Penelitian menggunakan metode penelitian kualitatif. Bos lokal merupakan broker kekuasaan melalui kepemilikan monopoli atas sumber daya kekerasan dan ekonomi dalam satu wilayah yang berada di bawah kekuasaannya. Kemunculan bos lokal di Filipina berkaitan erat dengan budaya bossisme yang telah terbentuk sejak era kolonial Spanyol dan Amerika Serikat serta terus bertahan hingga sekarang, di mana para keluarga kaya yang sebelumnya menjadi tuan tanah dan elit lokal tersebut kemudian terlibat dalam konteks politik. Dalam praktiknya, para bos lokal tersebut berupaya untuk menguasai politik di tingkat lokal dengan terlibat dalam pemilihan umum dan menjabat sebagai kepala pemerintahan di tingkat lokal seperti menjadi walikota atau gubernur. Andal Ampatuan merupakan bos lokal di Maguindanao. Andal Ampatuan menjadi Gubernur Provinsi Maguindanao tahun 2001-2010. Faktor-faktor bertahannya kekuasaan Andal Ampatuan sebagai Gubernur Provinsi Maguindanao adalah politik uang, kekerasan politik dan membangun dinasti politik. Keberadaan bos lokal menjadi tantangan bagi berlangsungnya demokrasi di Filipina.

ABSTRACT
This thesis aim to explore about Andal Ampatuan rsquo s role as a local boss in Maguindanao Province in the era of Philippines democracy. The theory used in this thesis are the theory of local bossism, the concept of power and theory of pork barrel. Furthermore, this thesis also use qualitative research method. The local boss is a power broker through the possession of a monopoly over the resources of violence and the economy in a territory under his control. The appearance of local bosses in Philippines is closely related to the culture of bossism that has been formed since the colonial era of Spain and the United States that continuesly survive until now, where the rich families who previously occupied the land and local elites are then involved in the political context. In practice, the local bosses seek to dominate politics at the local level by engaging in elections and serving as heads of government at the local level such as the mayor or governor. Andal Ampatuan is a local boss in Maguindanao. Andal Ampatuan became Governor of Maguindanao Province in 2001 2010. Thus, the survival factors of Andal Ampatuan as a Governor of Maguindanao for nine years are money politics, political violence and political dynasties. In another words, The presence of local bosses poses a challenge to democracy in Philippines.
"
2017
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
cover
Riris Devita Apriyanti
"ABSTRAK
Kebijakan desentralisasi yang melimpahkan kewenangan pada kepala daerah untuk melakukan mutasi jabatan Aparatur Sipil Negara ASN berpeluang pada penyalahgunaan wewenang. Hal yang menjadi tantangan adalah peran strategis dan kekuasaan kepala daerah seringkali berorientasi pada tindakan-tindakan untuk menerapkan kewenangan diskresi sebesar-besarnya. Dalam penelitian terhadap kasus yang sama, hal tersebut mencerminkan apa yang disebut sebagai discretionary corruption. Hal ini ditegaskan oleh Lord Acton yang menyebutkan bahwa ldquo;all power tends to corrupt and absolute power corrupts absolutely rdquo;. Penulisan ini mencoba untuk menjelaskan tentang kerentanan penyalahgunaan kewenangan diskresi oleh kepala daerah dalam kasus mutasi jabatan ASN yang berpotensi pada kejahatan. Penulis menggunakan bad apple and bad barrel theory untuk menganalisis faktor-faktor yang menyebabkan kerentanan penyalahgunaan wewenang oleh kepala daerah dalam kasus mutasi jabatan ASN.

ABSTRACT
The decentralization policy through which the authority is being delegated to the head of district to conduct the Civil Servant mutation could potentially trigger the abuse of authority. The challenging thing is that the strategic role and power of the head of district become increasingly focus on the implementation in which the power is manifested excessively. In a study of the same case, it reflects what is called discretionary corruption. This is confirmed by Lord Acton who mentions that all power tends to corrupt and absolute power corrupts absolutely . This paper attempts to explain the vulnerability of abuse of discretion authority by the district head in the case of civil servant mutation which could potentially become crime. The author uses bad apple and bad barrel theory to analyze the factors causing vulnerability of abuse of authority by the head of district in civil servant mutation case. "
2017
TA-Pdf;
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Erfan Karya Yudha
"ABSTRAK
Penelitian ini membahas tentang pertanggungjawaban penyalahgunaan wewenang. Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan dan Undang-Undang No. 31 tahun 1999 jo. Undang-Undang No. 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi mengatur larangan penyalahgunaan wewenang dan apabila terbukti dapat dikenakan sanksi administratif maupun sanksi Pidana. Dengan perbedaan penerapan sanksi yang diberikan, timbul permasalahan, 1. bagaimanakah ketentuan larangan penyalahgunaan wewenang berdasarkan Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan, 2. bagaimanakah pertanggungjawaban penyalahgunaan wewenang berdasarkan persfektif hukum administrasi negara, dan 3. bagaimana konsep penyalahgunaanwewenang hukum administrasi negara dapat dijadikan sebagai parameter unsur menyalahgunakan kewenangan Pasal 3 Undang-Undang No. 31 tahun 1999 jo. Undang-Undang No. 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Penulis dalam melakukan penelitian ini menggunakan metode penelitian yuridis normatif, yaitu dengan mengidentifikasi konsep penyalahgunaan wewenang. Aparatur negara melakukan tindakan pemerintah atas nama yang diwakili atau jabatan. Terhadap aparatur negara yang melakukan kesalahan objektif dalam menjalankan tugas dan kewenangannya, dibebani tanggungjawab jabatan dan dapat dikenakan sanksi administratif, sebaliknya aparatur negara dibebani tanggungjawab pribadi ketika ia melakukan kesalahan subjektif. Sanksi pidana baik berupa penjara maupun denda dapat diterapkan terhadap aparatur negara secara pribadi.

ABSTRACT
This research discusses the liability of abuse of power. Law number 30 of 2014 about Government Administration and Law No. 31 of 1999 jo. Law No. 20 of 2001 on the Eradication of Criminal Acts of Corruption regulates the prohibition of abuse of power and if it 39 s proven, then it will be subject to administrative sanctions or criminal sanctions. With the different sanctions implementation, problems arise, 1. how is the provision of abuse of power based on Law No. 30 of 2014 on Government Administration, 2. how is its legal liability abuse of power based on the administrative law perspective, and 3. how the abuse of power in Administration Law concept can be used as an element parameter to abuse of power Law No. 31 year 1999 jo. law no. 20 of 2001, on the Eradication of Corruption. The author in conducting this research using normative juridical research method, that is by identifying the concept of abuse of power. The state apparatus is acting as a government on behalf of the represented or position. On which the state apparatus who makes an objective mistake in carrying out his duties and authorities, is held responsible for office responsibilities and may be subject to administrative sanctions, otherwise the state apparatus is liable to personal responsibility when he makes a subjective mistake."
2017
T48853
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Septi Mustika Rini
"ABSTRAK
Undang-undang Nomor 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan seharusnya memberikan perlindungan bagi Pejabat Pemerintahan dari kriminalisasi terkait penyalahgunaan wewenang dalam pelaksanaan tugasnya. Karena di dalam ketentuan pasal 21 terdapat pengaturan mengenai pengujian penyalahgunaan wewenang yang dilakukan oleh pejabat pemerintahan melalui Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN). Selama ini jika ada dugaan penyalahgunaan wewenang dalam jabatan langsung ditarik ke ranah hukum pidana, padahal banyak kasus yang sudah diadili di pengadilan tindak pidana korupsi sejatinya hanyalah kesalahan administrasi. Penelitian ini merupakan penelitian normatif yang bersifat deskriptif dan menggunakan data sekunder. Pendekatan yang dipakai dalam penelitian ini adalah statute approach, conceptual approach, case approach. Hasil dari penelitian ini menunjukkan bahwa tidak semua perbuatan penyalahgunaan wewenang dalam hukum administrasi Negara bersifat melawan hukum pidana. Kemudian hakim telah keliru dalam menerapkan hukum pasal 3 Undang-undang Tipikor jo pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP jo pasal 64 ayat (1) KUHP dalam putusan Nomor 17/Pid.Sus/TPK/2015/PN.Jkt.Pst. Untuk itu saran yang diberikan penulis adalah terhadap kasus dugaan penyalahgunaan wewenang yang dilakukan oleh pejabat pemerintahan harus mengedepankan prinsip premium remidium yaitu dengan mendahulukan proses hukum dalam hukum administrasi Negara sebagaimana ditentukan oleh pasal 20 dan 21 UUAP. Sedangkan hukum pidana diletakkan sesuai dengan khittahnya yaitu sebagai senjata pamungkas yang harus dipergunakan dalam upaya penegakan hukum sesuai dengan asas ultimum remidium. Selain itu dalam proses pembuktian unsur menyalahgunakan kewenangan pasal 3 Undang-undang Tipikor hakim harus mempertimbangkan parameter-parameter penyalahgunaan wewenang dalam hukum administrasi Negara agar hakim tidak prematur menentukan bahwa suatu perbuatan yang melanggar ketentuan peraturan perundang-undangan sebagai perbuatan penyalahgunaan wewenang yang berujung pada jatuhnya pemidanaan, akan tetapi harus mempertimbangkan apakah ada unsur niat jahat (mens rea) yang mendahului perbuatan tersebut.

ABSTRACT
Law Number 30/2014 on Government Administration should provide protection for Government Officials from criminalization related to abuse of power in carrying duties out. Because in the Article 21, there are arrangements the authority to investigate abuse of power carried out by civil servants through the State Administrative Court (PTUN). To date, if there are alleged abuse of power in official, it is directly drawn to the realm of criminal law, even though many cases that have been tried in the corruption court are actually administrative errors. This study is a descriptive normative research using secondary data. The approach use statute approach, conceptual approach, and case approach. The result shows that not all acts of abuse of power in administrative law oppose criminal law. Then the judge has mistakenly applied the law of Article 3 of the Corruption Law in conjunction with article 55 paragraph (1) of the first Criminal Code in conjunction with article 64 paragraph (1) of the Criminal Code in the decision Number 17 / Pid.Sus / TPK / 2015 / PN.Jkt.Pst. For this reason, the author advises that cases of alleged abuse of power by civil servant must prioritize the premium remidium principle by prioritizing legal processes in state administrative law as determined by Article 20 and 21 Law No. 30/2014 on Government Administration (UUAP). Whereas the criminal law is placed in accordance with its principles as the ultimate weapon that must be used in law enforcement efforts in accordance with the principle of ultimum remidium. In addition, in the process of proving the element of abusing power Article 3 of the Law Corruption judge must consider the parameters of abuse of power in state administrative law so that the judge does not prematurely determine that an act violates the provisions of legislation as an act of abuse of power leading to the fall of punishment, but must consider whether there is a mental element of the crime (mens rea) that precedes the action."
2019
T54519
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Nuruddin Lazuardi
"Fenomena news trading yang dilakukan jurnalis dan media korporasi juga ditemukan terjadi di Indonesia. Penelitian ini bertujuan untuk mengidentifikasi pola bagaimana institusi media arus utama di Indonesia dan bagaimana peran ideologi, hegemoni, dan oligarki dalam perdagangan berita mengakibatkan penyalahgunaan kekuasaan media sebagai salah satu bentuk corporate misconduct. Penelitian ini bersifat kualitatif. Teknik pengumpulan data yang digunakan adalah studi literatur yang digunakan untuk mengumpulkan data melalui buku, jurnal internasional, dan dokumen, serta wawancara mendalam yang dilakukan terhadap sembilan informan untuk menggali pengalaman dan pengetahuan informan mengenai fenomena tersebut. Teknik analisis data dilakukan dengan menggunakan perangkat lunak pengolah data kualitatif Nvivo. Hasil penelitian menunjukkan bahwa kerugian sosial terjadi karena reproduksi ide-ide politik identitas, yang kemudian meminggirkan kelompok minoritas dalam masyarakat dan melanggengkan kekuasaan kelompok dominan. Dari konsep media kriminogenik, penyimpangan perilaku media dalam mengkonstruksi dan mentransmisikan konten kekerasan (verbal atau nonverbal) dapat mengubah perilaku mereka yang terpapar. Ketidakpedulian media arus utama terhadap kemungkinan ancaman disharmoni sosial akibat paparan konten yang menyesatkan dan sikap peserta yang memperjuangkan kepentingan tertentu, ditambah dengan transaksi jual beli berita, praktik AoMP ini dapat dilihat sebagai corporate misconduct. Serangkaian praktik penyalahgunaan kekuasaan media melalui perdagangan berita sebagai kesalahan korporasi yang memicu kepanikan moral dan kerusakan sosial melanggar etika jurnalistik dan juga merupakan bentuk "kejahatan dalam derajat tertentu".

The news trading phenomenon journalists and media commit is also found in Indonesia. This study aims to identify patterns of how mainstream media institutions in Indonesia and how the role of ideology, hegemony, and oligarchy in news trading results in the abuse of media power as a form of corporate misconduct. This research is qualitative. Data collection techniques used were literature studies which used to collect data through books, international journals, and documents, and in-depth interviews conducted with nine informants to explore the experiences and knowledge of the informants regarding the phenomenon. Data analysis techniques were performed using Nvivo qualitative data processing software. The results show that social harm occurs because of the reproduction of identity political ideas, which then marginalize minority groups in society and perpetuate the dominant group's power. From the concept of criminogenic media, media behavior deviations in constructing and transmitting violent content (verbal or nonverbal) can change the behavior of those exposed to it. The mainstream media's indifference to the possible threat of social disharmony due to exposure to misleading content and the participants' attitude fighting for specific interests, coupled with news trading transactions, this AoMP practice can be seen as corporate misconduct. The series of practices of abuse of media power through news trading as corporate misconduct that triggers moral panic and social harm violates journalistic ethics and is also a form of "crime to a certain degree.""
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2023
D-pdf
UI - Disertasi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Sembiring, Diamanty Meiliana, auhtor
"ABSTRAK
Tesis ini menganalisis secara normatif pelaksanaan Undang-undang
Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman terhadap Undang-undang
Nomor 40 Tahun 2002 tentang Pers dan membandingkannya dengan The Sixth
Amandement of United States of America sebagai dasar adanya pembatasan
peliputan di ruang sidang di Amerika Serikat. Peliputan ruang sidang yang
disiarkan secara langsung (live) merupakan fenomena baru yang makin marak
terjadi di ruang sidang di Indonesia dan sedikit demi sedikit telah menyampingkan
kekuasaan kehakiman dalam ruang sidang. Dalam penelitian ini, teori yang
dipakai adalah teori tentang negara hukum, teori tentang pers, dan teori tentang
kekuasaan kehakiman. Metode analisis dengan membandingkan undang-undang
lalu kemudian membandingkan tata cara peliputan di ruang sidang antara
Indonesia dan Amerika Serikat. Hasil penelitian membuktikan bahwa sistem
peradilan Indonesia belum mengatur secara tegas tentang tata cara peliputan di
ruang sidang sebagaimana halnya di Amerika Serikat padahal keduanya adalah
sama-sama negara demokrasi.

ABSTRACT
This study analyzed the normative implementation of Law No. 48 of 2009
of Judicial Power toward Law No. 40 of 2002 of the Press and comparing it to
The Sixth Amandement of the United States of America as a basis for reporting
restrictions in the courtroom in the United States. Coverage in the courtroom
which broadcast live is a new phenomenon that is increasingly rampant in the
courtroom in Indonesia and has set aside the judicial power in the courtroom. In
this study, the theory used is the theory of the state law, the theory of the press,
and the theory of judicial power. Methods of analysis by comparing the laws and
then compare the coverage in the courtroom between Indonesia and the United
States. The research proves that the Indonesian justice system has not been set
explicitly about reporting procedures in the courtroom as well as in the United
States even though both are equally democratic state."
Salemba: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2014
T39318
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Turusan, Salatiga: Pustaka Percik, 2006
321.8 ETI
Buku Teks SO  Universitas Indonesia Library
cover
Sarah Deby
"Tesis ini membahas mengenai penggelapan yang dilakukan oleh Notaris berdasarkan kasus di dalam Putusan Pengadilan Tinggi Jakarta Nomor 141/PID/2017/PT.DKI, dimana Notaris melakukan penggelapan sertipikat rumah milik klien untuk mendapatkan keuntungan. Perbuatan Notaris tersebut melanggar hukum pidana. Perbuatan Notaris tersebut bertentangan dengan Peraturan Jabatan Notaris dan Kode Etik Notaris yang menyebutkan bahwa seorang Notaris harus memiliki integritas tinggi, jujur, amanah, tidak berpihak, tidak dapat memiliki kepentingan terhadap akta yang dibuatnya. Penulis tertarik untuk meneliti permasalahan tersebut yaitu mengenai penyalahgunaan jabatan yang dilakukan oleh Notaris dalam tindak pidana penggelapan dan tanggung jawab hukum penyalahgunaan jabatan yang dilakukan oleh Notaris dalam tindak pidana penggelapan. Penelitian ini adalah penelitian normatif dengan sifat penelitian deskriptif analitis. Jenis data yang digunakan adalah data sekunder yang terdiri dari bahan bahan hukum primer, sekunder dan tersier. Analisis data dengan pendekatan kualitatif. Penggelapan yang dilakukan oleh Notaris melanggar hukum pidana dan juga melanggar ketentuan di dalam Peraturan Jabatan Notaris dan Kode Etik Notaris, sehingga Notaris bertanggung jawab atas perbuatannya baik secara administrasi, perdata dan secara pidana. Agar tidak menyalahgunakan jabatannya diperlukan pembinaan prefentif dari Majelis Pengawas Daerah, sanksi tegas dari Majelis Pengawas Notaris bagi Notaris yang melakukan tindak pidana dan tentunya integritas tinggi yang harus selalu dimiliki oleh Notaris.

This thesis discusses about embezzlement that was done by a Notary based on case in Jakarta High Court Decision No. 141 PID 2017 PT.DKI. The case is about a Notary who has embezzled his client rsquo s home certificate to get advantages. His action has violated criminal law. Furthermore his action conflicted with the requirement of a Notary according to Position of Notary Regulation and Code of Ethics of Notary that state a Notary must possess high integrity, honesty, trustworthy, independent and may not have interests to deeds that made by him. In regard to that case, therefore I am interested to research about the abuse of position by Notary in the criminal act of embezzlement and the liability of law from that action. This research is normative research and has characteristic as descriptive analytic. The type of data which is used is secondary data, consists of primary, secondary, and tertiary legal materials. Data analysis is done with qualitative approach. This thesis conclude that embezzlement by a Notary is infringement to criminal law and violate the Notary Position and Code of Ethics of Notary, therefore he must liable for his actions according to administration law, civil law, and criminal law. In order to prevent a Notary to do such matter, some actions are required such as preventive coaching from Regional Supervisory Board, strict penalty from Notary Supervisory Board to the Notary who does an offense, and obviously the capability of a Notary to preserve a high integrity."
Depok: Universitas Indonesia, 2018
T49728
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>