Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 148712 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Shavira Azzahra Gisni Daryono
"Skripsi ini membahas bentuk perlindungan hukum bagi Perusahaan Pembiayaan atas dikabulkannya permohonan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (“PKPU”) yang diajukan oleh Kreditornya dalam Putusan Nomor 01/Pdt.Sus-PKPU/2019/PN.Niaga.JKT.PST. Adapun salah satu syarat yang harus dipenuhi untuk mengajukan permohonan PKPU adalah syarat legal standing yang sah oleh pemohon berdasarkan Pasal 223 jo. Pasal 2 ayat (3) jo. ayat (4) jo. ayat (5) Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (“UU KPKPU”). Sejak terbitnya UU OJK, OJK merupakan satu-satunya pihak yang mengawasi kegiatan jasa keuangan di sektor pembiayaan sesuai dengan Pasal 6 jo. Pasal 55 ayat (1) jo. Pasal 30 ayat (1) Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2011 tentang Otoritas Jasa Keuangan (“UU OJK”). Namun, pada praktiknya, Majelis Hakim telah mengabulkan permohonan PKPU terhadap PT Mandiri Finance Indonesia (“PT MFI”) yang diajukan oleh salah satu Kreditornya, yaitu PT Bank Oke. Secara jelas, Majelis Hakim tidak mempertimbangkan adanya kesalahan kewenangan pengajuan permohonan PKPU terhadap PT MFI oleh Bank Oke sebagai Kreditor Bank PT MFI. Tidak hanya itu, apabila permohonan PKPU a quo diajukan oleh pihak yang tidak berwenang, panitera pengadilan negeri a quo harus menolak permohonan PKPU a quo. Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis pertimbangan Majelis Hakim Putusan Nomor 01/Pdt.Sus-PKPU/2019/PN.Niaga.Jkt.Pst dalam menerapkan kewenangan mengajukan permohonan PKPU oleh OJK terhadap PT Mandiri Finance Indonesia atas Dikabulkannya permohonan PKPU yang diajukan oleh PT Bank Oke. Adapun penelitian ini merupakan penelitian yuridis normatif dengan tipologi penelitian deskriptif. Hasil dari penelitian menunjukkan bahwa kewenangan untuk mengajukan permohonan pernyataan pailit dan PKPU terhadap Perusahaan Pembiayaan hanya berada pada OJK sejak diundangkannya UU OJK. Dasar pertimbangan Majelis Hakim a quo dalam mengabulkan permohonan PKPU dalam Putusan Nomor 01/Pdt.Sus-PKPU/2019/PN.Niaga.Jkt Pst bertentangan dengan syarat formil pengajuan permohonan PKPU. Kemudian, panitera juga telah keliru dalam menerapkan prosedur pemeriksaaan berkas perkara.

This thesis discusses the form of legal protection for the Financing Company upon the granting of the Debt Payment Obligation Postponement ("PKPU") application filed by its Creditors in Decision Number 01/Pdt.Sus-PKPU/2019/PN.Niaga.JKT.PST. One of the requirements that must be met to file a PKPU application is a valid legal standing requirement by the applicant based on Article 223 jo. Article 2 paragraph (3) jo. paragraph (4) jo. paragraph (5) of Law Number 37 of 2004 concerning Bankruptcy and Suspension of Debt Payment Obligations ("KPKPU Law"). Since the issuance of the OJK Law, OJK is the only party that supervises financial services activities in the financing sector in accordance with Article 6 jo. Article 55 paragraph (1) jo. Article 30 paragraph (1) of Law Number 21 Year 2011 on the Financial Services Authority ("OJK Law"). However, in practice, the Panel of Judges has granted the PKPU application against PT Mandiri Finance Indonesia ("PT MFI") filed by one of its Creditors, namely PT Bank Oke. Clearly, the Panel of Judges did not consider that there was an error in the authority to file a PKPU application against PT MFI by Bank Oke as a Creditor of PT MFI. Not only that, if the a quo PKPU application is filed by an unauthorized party, the clerk of the district court must reject the a quo PKPU application. This study aims to analyze the regulation and application of legal protection of Financing Companies for the granting of PKPU applications in Decision Number 01/Pdt.Sus-PKPU/2019/PN. Niaga. Jkt Pst. This research is a normative juridical research with descriptive research typology. The results of the research show that the authority to submit applications for bankruptcy and PKPU statements against Financing Companies can only be submitted by OJK since the enactment of the OJK Law. The reasoning of the Panel of Judges a quo in granting the PKPU application in Decision Number 01/Pdt.Sus-PKPU/2019/PN.Niaga.Jkt Pst is contrary to the formal requirements for filing a PKPU application. Then, the clerk has also been wrong in applying the procedure for examining the case file."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2024
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Tamba, Sangap Jonathanis
"Abstrak Penulisan tesis ini mengenai perlindungan hukum debitor termohon PKPU terhadap permohonan PKPU yang diajukan kreditor separatis berdasarkan UU Kepailitan dan PKPU No. 37 Tahun 2004 serta menganalisis putusan PKPU No. 113/Pdt.Sus-PKPU/2017/PN.Niaga-Jkt.Pst, dengan menggunakan metode kepustakaan, data yang diperlukan adalah data sekunder dengan pendekatan yuridis normatif.
Hasil penulisan berdasarkan analisis data, bahwa pengaturan terhadap pengajuan PKPU tidak merujuk bagi kreditor separatis karena adanya pemisahan dari jaminan agunan yang dipegang dan dapat dieksekusi untuk pelunasan piutangnya, sesuai dengan UU Hak Tanggungan No.4 Tahun 1996 pasal 6 jo. pasal 20 ayat 1 huruf a mengenai hak eksekutorial kreditor separatis. Pasal 244 huruf a UU No. 37 Tahun 2004 merupakan instrument perlindungan hukum debitor termohon PKPU bahwa pengajuan PKPU tidak berlaku terhadap tagihan yang dijamin dengan gadai, jaminan fidusia, hak tanggungan, hipotek, atau hak agunan atas kebendaan lainnya.
Dalam menganalisis putusan PKPU No. 113/Pdt.Sus-PKPU/2017/PN.Niaga-Jkt.Pst., bahwa majelis hakim pengadilan niaga dinilai kurang-cermat, putusannya didasarkan atas pemenuhan syarat formil dan materiil permohonan saja konsep simply doesn rsquo;t pay tanpa menilai aspek-aspek hukum lainnya.

The writing is concerning the legal protection of the debtor PKPU rsquo s petition against PKPU 39 s proposal filed by separatist creditor pursuant to the Act of Bankruptcy and PKPU No. 37 of 2004 and analyzing the decision of PKPU. 113 Pdt.Sus PKPU 2017 PN.Niaga Jkt.Pst, using library method, the required data is secondary data with normative juridical approach.
The result of writing based on data analysis, that the arrangement of PKPU submission does not refer to separatist creditor because of separation from collateral assurance held and can be executed for the settlement of its receivables, in accordance with the Insurance Rights Act No.4 of 1996 article 6 jo. Article 20 paragraph 1 letter a regarding the right of the executor of the separatist creditor. Article 244 letter a of Law No. 37 of 2004 is a legal instrument of the debtor PKPU rsquo s petition that PKPU 39 s application does not apply to bills secured by pledge, fiduciary guarantee, mortgage rights, or collateral right on other properties.
In analyzing the decision of PKPU. 113 Pdt.Sus PKPU 2017 PN.Niaga Jkt.Pst., that the judges of the commercial court are judged to be inadequate, the ruling is based on formal compliance and request material only simply doesn rsquo t pay concept regardless of aspect other legal aspect.
"
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2018
T51467
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Andi Setiawan
"Skripsi ini membahas Pemberian pinjaman oleh kreditor kepada debitor didasarkan pada
asumsi bahwa kreditor percaya debitor dapat mengembalikan utang tepat pada waktunya.
Pelunasan utang oleh debitor kepada kreditor tidak selalu dapat berjalan dengan lancar
adakalanya debitor tidak membayar utangnya kepada kreditor walaupun telah jatuh
tempo. Bagi debitor yang tidak mampu melunasi utangnya, maka harta kekayaan debitor
yang bergerak maupun tidak bergerak dan baik yang telah ada maupun yang akan ada
dikemudian hari menjadi jaminan atas utangnya. Apakah Putusan Majelis Hakim
Pengadilan Niaga telah sesuai dengan bab III Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004
tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (PKPU) dalam kasus
PT. Indo Plus dengan PT. Argo Pantes Tbk? Bagaimana kewenangan Pengadilan Niaga
dalam penetapan PKPU sehingga mengakibatkan permohonan pailit kreditor lain dari PT.
Argo Pantes Tbk?. Proses PKPU dalam kasus ini telah dilaksanakan dengan tidak
memperhatikan asas keseimbangan dan asas keadilan. Dimana dalam hal ini, Judex facti
tidak memberikan waktu yang cukup kepada kreditor-kreditor yang bersikap abstain
(dalam hal ini adalah pemohon kasasi dan PT. Putra Mandiri Finance) dan kreditor yang
bersikap menolak (dalam hal ini adalah Indo Plus B.V.) dalam pemungutan suara atas
rencana perdamaian final untuk memberikan alasan-alasan sehubungan dengan sikapsikap
tersebut sebagaimana diatur dalam Pasal 284 ayat (1) UUK. Majelis hakim juga
tidak mempedulikan usul kreditor yang menghendaki legal opinion dan auditor
independen."
Depok: [Fakultas Hukum Universitas Indonesia;;, ], [2008;2009;2009, 2009]
S24858
UI - Skripsi Open  Universitas Indonesia Library
cover
Muhammad Faqih
"Utang merupakan salah satu opsi untuk Perseroan yang ingin mengembangkan usahanya, tetapi memiliki keterbatasan dana. Meskipun, terkadang utang itu tidak dapat dilunasi oleh debitornya. Sehingga, memaksa kreditor menempuh upaya hukum, di antaranya adalah gugatan wanprestasi, gugatan perbuatan melawan hukum, permohonan pernyataan pailit, dan permohonan penundaan kewajiban pembayaran utang (PKPU) yang masing-masing memiliki tujuan dan akibat hukum yang berbeda. Menjadi masalah ketika para kreditor menghendaki untuk memberikan kesempatan bagi debitor untuk melunasi utangnya serta menlanjutkan usahanya, tetapi Pengadilan justru menolak dengan alasan nilai tagihan utang terlalu kecil. Hal tersebut ditemui pada kasus Putusan No. 446/Pdt.Sus-PKPU/2021/PN Niaga Jkt Pst. Berdasarkan analisis hukum yang diuraikan, Majelis Hakim menyatakan bahwa seluruh syarat PKPU dalam Undang-Undang No. 37 Tahun 2004 (UUK-PKPU) telah terpenuhi. Namun, Majelis Hakim menolak permohonan tersebut dengan alasan UUK-PKPU tidak mengatur jumlah minimum tagihan, tetapi terdapat Perma No. 4 Tahun 2019 yang mengatur mengenai tata cara gugatan sederhana. Sehingga, oleh karena nilai tagihan pada kasus ini di bawah Rp500.000.000,00, Majelis Hakim menolak permohonan PKPU. Atas putusan tersebut, terdapat dissenting opinion yang menyatakan pemberian PKPU Sementara beralasan hukum untuk dikabulkan. Oleh karena itu, penulis membahas fenomena ini dengan tujuan untuk memberikan pengetahuan kepada masyarakat mengenai upaya hukum yang tepat berdasarkan tujuan yang ingin dicapai. Selain itu, pembahasan ini menjadi suatu hal yang memiliki urgensi karena dapat menjadi preseden atas kasus serupa. Dalam menganalisis kasus tersebut, penulis menyusun penelitian yang menerapkan metode yuridis normatif dengan pendekatan kualitatif, di mana penulis menganalisis kedudukan Perma No. 4 Tahun 2019 terhadap UUK-PKPU dan analisis penolakan PKPU yang ditinjau dari Asas Kelangsungan Usaha. Hasil dari penilitian ini adalah Perma No. 4 Tahun 2019 bukanlah peraturan pelengkap dan tidak relevan terhadap permohonan PKPU. Selain itu, pemberian PKPU merupakan implementasi dari Asas Kelangsungan Usaha yang mana dapat memberikan kesempatan bagi debitor untuk melanjutkan usahanya, serta melunasi utang-utangnya.

Debt is an option for companies that want to expand their business, but have limited funds. Although, sometimes the debt cannot be repaid by the debtor. Thus, forces creditors to take legal action, including lawsuits for default, lawsuits against the law, requests for bankruptcy statements, and requests for suspension of payment (PKPU), each of which has a different purpose and legal consequences. It becomes a problem when the creditors want to allow the debtor to pay off his debts and continue his business, but the Court refuses because the value of the debt invoice is too small. This was found in the case of Decision No. 446/Pdt.Sus-PKPU/2021/PN Niaga Jkt Pst. Based on the legal analysis described, the Panel of Judges stated that all PKPU requirements in Law no. 37 of 2004 (UUK-PKPU), have been fulfilled. However, the Panel of Judges rejected the request because UUK-PKPU does not regulate the minimum amount of bills, but there is Perma No. 4 of 2019 which regulates the procedures for simple lawsuits. So, because the value of the invoice, in this case, was below IDR 500,000,000.00, the Panel of Judges rejected the PKPU request. Regarding this decision, there was a dissenting opinion that stated that the temporary PKPU had legal reasons to be granted. Therefore, the author discusses this phenomenon to provide information to the public regarding appropriate legal remedies based on the objectives to be achieved. In addition, this discussion becomes a matter of urgency because it can set a precedent for similar cases. In analyzing the case, the authors compiled a study using normative juridical methods with a qualitative approach, in which the authors analyzed the position of Perma No. 4 of 2019 against UUK-PKPU and an analysis of PKPU rejection in terms of the Going Concern Principle. The result of this research is Perma No. 4 of 2019 is not a complementary regulation and is irrelevant to the PKPU application. In addition, PKPU is an implementation of the Going Concern Principle which can provide opportunities for debtors to continue their business and pay off their debts.
"
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2023
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Diandry Adityaputri
"Pasal 2 ayat (5) UU KPKPU menjadikan BUMN sebagai Debitor yang hanya dapat diajukan permohonan pernyataan pailit dan PKPU oleh Menteri Keuangan. Penjelasan Pasal 2 ayat (5) menyatakan bahwa ketentuan ini berlaku pada BUMN yang seluruh modalnya adalah milik negara dan tidak terbagi atas saham. Persero merupakan BUMN dalam bentuk perseroan terbatas yang modalnya terbagi atas saham. Terhadap BUMN Persero terdapat beberapa putusan yang menyatakan bahwa Persero merupakan bagian dari BUMN yang dimaksud pada Pasal 2 ayat (5) UU KPKPU, seperti putusan permohonan pernyataan pailit PT Merpati Nusantara Airlines (PT MNA) dan putusan permohonan PKPU PT Angkasa Pura II (PT AP II). Namun, apabila merujuk kepada Pasal 1 angka 2 UU BUMN maka terjadi ketidaksinkronan antara pengertian Persero dengan penjelasan BUMN yang dimaksud dalam Pasal 2 ayat (5) UU KPKPU. Pada skripsi ini akan membahas mengenai kedudukan hukum dari Persero dalam kepailitan serta kewenangan kreditor dalam melakukan permohonan pailit maupun PKPU terhadap Persero. Metodologi yang digunakan dalam skripsi ini adalah yuridis normatif yakni analisis permasalahan akan berdasarkan pada undang-undang yang berkaitan. Secara singkat, kedudukan hukum dari Persero adalah sama dengan perseroan terbatas lainnya sehingga terhadap Persero dapat diajukan permohonan pernyataan pailit maupun permohonan PKPU. Pihak yang dapat melakukan permohonan pernyataan pailit atau permohonan PKPU ini adalah Debitor itu sendiri maupun Para Kreditornya.

SOEs as special debtors as stipulated in Article 2 paragraph (5) of the KPKPU Law make it only possible to apply for bankruptcy and suspension of payment by the Minister of Finance. This provision applies to SOEs engaged in the public interest only, namely SOEs whose entire capital is state-owned and not divided into shares. Persero SOEs is a SOE in the form of a limited liability company whose capital is divided into shares whose entire or at least 51% of the shares are owned by the state with the aim of pursuing profits. Against Persero SOEs, there are several rulings stating that Persero is part of the SOEs referred to in Article 2 paragraph (5) of the KPKPU Law. However, when referring to Article 1 number 2 of the SOEs Law, there is a synchrony between the definition of Persero and the explanation of SOEs referred to in Article 2 paragraph (5) of the KPKPU Law. This thesis will discuss the legal position of Persero, in the application for bankruptcy and suspension of payment as well as the authority of creditors in making applications against both. The methodology used in this thesis is normative juridical, namely the analysis of problems will be based on related laws. In short, the legal position of Persero is the same as other limited liability companies so that against Persero, an application for bankruptcy statement or suspension of paymentapplication can be filed. The parties who can apply for a bankruptcy statement or suspension of payment application are the Debtor himself and his Creditors."
Jakarta: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2023
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Ananda Fathima Awanis
"Penulisan Skripsi ini dilatarbelakangi oleh adanya permasalahan mengenai kewenangan (legal standing) Pemegang Polis dalam hal pengajuan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (PKPU). Pasal 223 UUK-PKPU hanya memberikan kewenangan untuk mengajukan permohonan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (PKPU) kepada Menteri Keuangan. Namun sejak lahirnya Undang-Undang tentang Otoritas Jasa Keuangan (OJK), sesuai dengan amanat Pasal 55 ayat (1) UU OJK, kewenangan Menteri Keuangan beralih seluruhnya ke Otoritas Jasa Keuangan, termasuk untuk hal-hal yang berkaitan dengan masalah kepailitan dan PKPU. Penegasan kewenangan OJK untuk mengajukan kepailitan dan/atau PKPU tersebut juga diatur dalam ketentuan Pasal 50 ayat (1) Undang-Undang Perasuransian jo. Pasal 52 ayat (1) POJK Nomor 28 Tahun 2015. Dalam Putusan Pengadilan Niaga Nomor 389.Pdt.Sus-PKPU/2020/PN.Niaga.Jkt Pst, diketahui bahwa Termohon PKPU merupakan PT. Asuransi jiwa Kresna yang merupakan perusahaan asuransi dan Pemohonnya adalah Pemegang Polis Asuransi PT. Asuransi Jiwa Kresna. Namun, Majelis Hakim dalam amar putusannya menyatakan mengabulkan permohonan Penundaan Kewajiban Pemayaran Utang (PKPU) yang diajukan oleh Pemohon. Oleh karena hal tersebut, skripsi ini akan membahas mengenai kewenangan (legal standing) Pemegang Polis dalam mengajukan permohonan PKPU terhadap perusahaan asuransi sekaligus menganalisis dasar pertimbangan Majelis Hakim dalam menjatuhkan putusan PKPU PT. Asuransi Jiwa kresna melalui analisis Putusan Pengadilan Niaga Nomor 389.Pdt.Sus-PKPU/2020/PN.Niaga.Jkt Pst.

This thesis is motivated by the existence of problems regarding the authority (legal standing) of the Policyholder in terms of submitting a Suspension of Debt Payment Obligations (PKPU). Article 223 UUK-PKPU only grants permission to apply for a Suspension of Debt Payment Obligation (PKPU) to the Minister of Finance. However, since the enactment of the Law on the Financial Services Authority (OJK), in accordance with the mandate of Article 55 paragraph (1) of the OJK Law, the authority of the Minister of Finance has shifted entirely to the Financial Services Authority, including matters relating to bankruptcy and PKPU. Article 50 paragraph (1) of the Insurance Law juncto also regulates the affirmation of OJK's authority to file for bankruptcy or PKPU. Article 52 paragraph (1) of POJK Number 28 of 2015. In the Decision of the Commercial Court Number 389.Pdt.Sus-PKPU/2020/PN.Niaga.Jkt Pst, it is known that the Respondent for PKPU is PT. Kresna life insurance is an insurance company, and the applicant is the owner of the insurance policy of PT. Krishna Life Insurance. However, the Panel of Judges stated in their judgment that the Petitioner's application for the Suspension of Debt Payment Obligations (PKPU) was granted. Therefore, this thesis will discuss the authority (legal standing) of the Policyholder in submitting a PKPU application to an insurance company as well as analyzing the basis for the consideration of the Panel of Judges in the PKPU decision of PT. Krishna Life Insurance through the analysis of the Commercial Court Decision Number 389.Pdt.Sus-PKPU/2020/PN.Niaga.Jkt Pst."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2021
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Muhammad Faisal Radithya Putra
"Dalam dunia kepailitan, tidak semua debitur dapat diajukan pailit hanya dengan orang-perorangan, melainkan membutuhkan persyaratan khusus terkait pihak yang memiliki kewenangan untuk mengajukan permohonan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (“PKPU”) atau pailit terhadap debitur tertentu, dimana Salah satunya adalah usaha yang bergerak di sektor perasuransian. Dalam Pasal 2 Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiaban Pembayaran Utang diatur lebih lanjut syarat-syarat dan pihak yang dapat mengajukan permohonan pailit, termasuk debitur, kreditur, dan instansi tertentu seperti Otoritas Jasa Keuangan (“OJK”). Adapun Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2014 tentang Perasuransian dan Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2011 tentang OJK, memperkuat peran OJK dalam mengawasi lembaga keuangan dan mengajukan permohonan pailit. Peran OJK sangat penting dalam menjaga stabilitas sektor jasa keuangan, yang mempengaruhi kepercayaan investor dan efektivitas kebijakan moneter. Studi kasus PT Adisara Wanaartha menunjukkan pentingnya peran OJK dalam mengawasi dan menegakkan hukum. Namun, di sisi lain, keputusan OJK untuk menjaga kestabilan ekonomi mengesampingkan efektivitas tuntutan pembayaran utang melalui proses kepailitan/PKPU sebagaimana dalam Putusan Nomor 240/Pdt.Sus-PKPU/2020/PN Niaga Jkt.Pst. Dari sini, Penulis menekankan pada implikasi yang timbul dari pencabutan izin usaha dengan kepailitan perusahaan asuransi, dengan menitikberatkan pada kesesuaian konsep kepailitan umum dengan kepailitan yang diterapkan OJK. Lebih lanjut, metode penelitian yang digunakan bersifat doktrinal, dimana pokok permasalahan akan dianalisis dan diteliti berdasarkan bahan pustaka dalam rangka memberikan penjelasan dan menarik kesimpulan atas permasalahan tersebut. Setelah melakukan penelitian, Penulis memperoleh kesimpulan bahwa implikasi yang timbul dari pencabutan izin usaha dan kepailitan perusahaan asuransi memiliki ujung yang sama, yakni penghapusan badan hukum.

In the realm of bankruptcy, not all debtors can be declared bankrupt by individuals alone; specific requirements must be met regarding the authority to file for Suspension of Debt Payment Obligations (“PKPU”) or bankruptcy against certain debtors, including businesses in the insurance sector. Article 2 of Law Number 37 of 2004 concerning Bankruptcy and Suspension of Debt Payment Obligations further regulates the conditions and parties that can file for bankruptcy, including debtors, creditors, and certain institutions such as the Financial Services Authority (“OJK”). Additionally, Law Number 40 of 2014 concerning Insurance and Law Number 21 of 2011 concerning OJK strengthen OJK's role in supervising financial institutions and filing for bankruptcy. OJK's role is crucial in maintaining the stability of the financial services sector, which affects investor confidence and the effectiveness of monetary policy. The case study of PT Adisara Wanaartha highlights the importance of OJK's role in oversight and law enforcement. However, on the other hand, OJK's decisions to maintain economic stability can undermine the effectiveness of debt payment demands through bankruptcy/PKPU processes, as seen in Decision Number 240/Pdt.Sus-PKPU/2020/PN Niaga Jkt.Pst. Here, the author emphasizes the implications arising from the revocation of business licenses and the bankruptcy of insurance companies, focusing on the alignment between general bankruptcy concepts and the bankruptcy applied by OJK. Furthermore, the research method used is doctrinal, where the main issues will be analyzed and examined based on literature to provide explanations and draw conclusions on these issues. After conducting the research, the author concludes that the implications of business license revocation and the bankruptcy of insurance companies lead to the same end, namely the dissolution of the legal entity.
"
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2024
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Muhammad Faisal Radithya Putra
"Dalam dunia kepailitan, tidak semua debitur dapat diajukan pailit hanya dengan orang-perorangan, melainkan membutuhkan persyaratan khusus terkait pihak yang memiliki kewenangan untuk mengajukan permohonan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (“PKPU”) atau pailit terhadap debitur tertentu, dimana Salah satunya adalah usaha yang bergerak di sektor perasuransian. Dalam Pasal 2 Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiaban Pembayaran Utang diatur lebih lanjut syarat-syarat dan pihak yang dapat mengajukan permohonan pailit, termasuk debitur, kreditur, dan instansi tertentu seperti Otoritas Jasa Keuangan (“OJK”). Adapun Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2014 tentang Perasuransian dan Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2011 tentang OJK, memperkuat peran OJK dalam mengawasi lembaga keuangan dan mengajukan permohonan pailit. Peran OJK sangat penting dalam menjaga stabilitas sektor jasa keuangan, yang mempengaruhi kepercayaan investor dan efektivitas kebijakan moneter. Studi kasus PT Adisara Wanaartha menunjukkan pentingnya peran OJK dalam mengawasi dan menegakkan hukum. Namun, di sisi lain, keputusan OJK untuk menjaga kestabilan ekonomi mengesampingkan efektivitas tuntutan pembayaran utang melalui proses kepailitan/PKPU sebagaimana dalam Putusan Nomor 240/Pdt.Sus-PKPU/2020/PN Niaga Jkt.Pst. Dari sini, Penulis menekankan pada implikasi yang timbul dari pencabutan izin usaha dengan kepailitan perusahaan asuransi, dengan menitikberatkan pada kesesuaian konsep kepailitan umum dengan kepailitan yang diterapkan OJK. Lebih lanjut, metode penelitian yang digunakan bersifat doktrinal, dimana pokok permasalahan akan dianalisis dan diteliti berdasarkan bahan pustaka dalam rangka memberikan penjelasan dan menarik kesimpulan atas permasalahan tersebut. Setelah melakukan penelitian, Penulis memperoleh kesimpulan bahwa implikasi yang timbul dari pencabutan izin usaha dan kepailitan perusahaan asuransi memiliki ujung yang sama, yakni penghapusan badan hukum.

In the realm of bankruptcy, not all debtors can be declared bankrupt by individuals alone; specific requirements must be met regarding the authority to file for Suspension of Debt Payment Obligations (“PKPU”) or bankruptcy against certain debtors, including businesses in the insurance sector. Article 2 of Law Number 37 of 2004 concerning Bankruptcy and Suspension of Debt Payment Obligations further regulates the conditions and parties that can file for bankruptcy, including debtors, creditors, and certain institutions such as the Financial Services Authority (“OJK”). Additionally, Law Number 40 of 2014 concerning Insurance and Law Number 21 of 2011 concerning OJK strengthen OJK's role in supervising financial institutions and filing for bankruptcy. OJK's role is crucial in maintaining the stability of the financial services sector, which affects investor confidence and the effectiveness of monetary policy. The case study of PT Adisara Wanaartha highlights the importance of OJK's role in oversight and law enforcement. However, on the other hand, OJK's decisions to maintain economic stability can undermine the effectiveness of debt payment demands through bankruptcy/PKPU processes, as seen in Decision Number 240/Pdt.Sus-PKPU/2020/PN Niaga Jkt.Pst. Here, the author emphasizes the implications arising from the revocation of business licenses and the bankruptcy of insurance companies, focusing on the alignment between general bankruptcy concepts and the bankruptcy applied by OJK. Furthermore, the research method used is doctrinal, where the main issues will be analyzed and examined based on literature to provide explanations and draw conclusions on these issues. After conducting the research, the author concludes that the implications of business license revocation and the bankruptcy of insurance companies lead to the same end, namely the dissolution of the legal entity.
"
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2024
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Azri Athirah Puteri Gathmir
"Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (PKPU) merupakan prosedur hukum yang memberikan hak untuk mengajukan rencana perdamaian kepada debitor yang tidak dapat memperkirakan kelanjutan pembayaran utangnya yang sudah jatuh tempo dan dapat ditagih, sehingga debitor dapat merestrukturisasi utang-utangnya. Dalam praktiknya, debitor yang awalnya dimohonkan PKPU oleh kreditornya dapat juga dipailitkan. Kepailitan yang dialami debitor ini tidak sesuai dengan tujuan awal PKPU, yakni untuk memberikan kesempatan kepada debitor dalam melanjutkan usahanya. Awalnya, menurut Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan PKPU (UUK & PKPU), debitor yang dipailitkan atas putusan PKPU tidak dapat mengajukan upaya hukum apapun. Hal ini menyebabkan adanya perlindungan hukum yang tidak seimbang untuk debitor karena tujuan kreditor mengajukan permohonan PKPU terhadap debitornya dianggap bukan untuk melanjutkan usaha debitor, melainkan untuk mendapatkan pembayaran utang yang lebih cepat. Dengan demikian, akhirnya dikeluarkan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 23/PUU-XIX/2021, yang mana pada amar putusannya menyatakan bahwa Pasal 235 ayat (1) UUK & PKPU bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Tahun 1945 dan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat, sepanjang tidak dimaknai diperbolehkannya upaya hukum kasasi terhadap putusan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (PKPU) yang diajukan oleh kreditor dan ditolaknya tawaran perdamaian dari debitor. Pada dasarnya, dengan dikeluarkannya putusan tersebut, Mahkamah Konstitusi memperbolehkan adanya upaya hukum kasasi terbatas terhadap putusan PKPU. Namun, akibat dikeluarkannya putusan tersebut malah akan menyebabkan siklus utang yang tidak sehat baik untuk debitor maupun untuk kreditor.

Suspension of Debt Payment Obligations (PKPU) is a legal procedure that gives the right to submit a settlement plan to debtors who cannot predict the continuation of payment of their debts that are past due and collectible, so that debtors can restructure their debts. In practice, the debtor whose PKPU was originally requested by the creditor can also be bankrupt. The bankruptcy experienced by the debtor is not in accordance with PKPU's original purpose, namely to provide opportunities for debtors to continue their business. Initially, according to Statute Law Number 37 of 2004 concerning Bankruptcy and PKPU (UUK & PKPU), debtors who are bankrupt by PKPU decision cannot submit any legal remedies. This causes an unequal legal protection for debtors because the purpose of creditors submitting PKPU requests to their debtors is considered not to continue the debtor's business, but to obtain faster debt payments. Thus, finally the Constitutional Court Decision Number 23/PUU-XIX/2021 was issued, which in its ruling stated that Article 235 paragraph (1) UUK & PKPU contradicted the 1945 Constitution and did not have binding legal force, as long as it was not interpreted as the permissibility of cassation against the decision on Suspension of Debt Payment Obligations (PKPU) submitted by the creditor and the rejection of the debtor's offer of composition plan. Basically, with the issuance of this decision, the Constitutional Court allowed limited cassation efforts against the PKPU decision. However, the result of the issuance of this decision will actually lead to unhealthy debt cycles for both debtors and creditors."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2023
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Anne Aprina Priskila
"Kepailitan mengenal tiga unsur penting dan saling terkait yang harus dipenuhi yaitu adanya kreditor, debitor, dan utang yang telah jatuh tempo dan dapat ditagih. Secara teoritis, pada umumnya debitur yang memiliki masalah untuk memenuhi kewajibannya dalam membayar utang akan menempuh berbagai alternatif penyelesaian. Dalam sebuah hubungan utang-piutang, terkadang disadari maupun tidak disadari terjadi hal-hal yang dapat menghapuskan utang. Salah satu alasan penghapusan utang tersebut adalah perjumpaan utang. Perjumpaan utang merupakan salah satu cara hapusnya sebuah perikatan yang diatur dalam Kitab Undang-undang Hukum Perdata dan secara khusus pula diatur dalam Undangundang Nomor 37 Tahun 2004. Perjumpaan utang dalam kepailitan menjadi salah satu konsep yang menentukan keberadaan utang sehingga juga menentukan putusan pailit dapat dijatuhkan atau tidak.

Bankruptcy recognize three essential and interrelated elements that must be accomplished, namely the creditor, debtor, and the debt which is due and payable. Theoretically, the debtor who has problem with the ability to meet its obligations to pay the debt will take various alternative settlement. In debt relation, consciously or unconsciously, sometimes things that can eliminate debt happen. One of those reason to remove the debt is compensation. Compensation is one way to abolish an engagement that stipulated in the Civil Code and also specifically regulated in Law Number 37 Year 2004. Compensation in bankruptcy is one of the concepts that define the existenc.
"
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2013
S46249
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>