Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 196747 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Inayah Syafitri
"Tujuan: Mengetahui dosis terapi vitamin D yang optimal untuk ibu hamil dengan defisiensi dan insufisiensi vitamin D
Metode: Uji klinis acak terkontrol dilakukan Juni 2019–Desember 2022 di RSUPN Cipto Mangunkusumo dan RSUD Koja, Jakarta. Subjek adalah wanita hamil usia kehamilan ≤14 minggu dengan defisiensi atau insufisiensi vitamin D (25(OH)D<30 ng/ml). Subjek dibagi menjadi 2 kelompok, kelompok pertama mendapatkan terapi vitamin D3 50.000 IU/minggu dan kelompok kedua mendapatkan terapi vitamin D3 5.000 IU/hari. Intervensi diberikan selama 4 minggu. Pengukuran kadar 25(OH)D dan 1,25(OH)2D dilakukan pada awal dan akhir intervensi.
Hasil: Subjek awal berjumlah 60 orang, dan 8 subjek mengalami drop out. Karakteristik dasar subjek pada kedua kelompok setara. Kadar awal 25(OH)D tidak menunjukkan perbedaan bermakna di antara kedua kelompok (p=0,552). Pemberian terapi vitamin D3 50.000 IU/minggu selama 4 minggu meningkatkan kadar 25(OH)D secara signifikan (dari 14,5±4,3 menjadi 27,9±9,3 ng/mL, p<0,001) dan meningkatkan kadar 1,25(OH)2D namun secara statistik tidak signifikan (p=0,257). Pemberian terapi vitamin D3 5.000 IU/hari selama 4 minggu meningkatkan kadar 25(OH)D secara signifikan (dari 15,3±4,7 ng/mL menjadi 26,9±6,1 ng/mL, p<0,001) dan juga meningkatkan kadar 1,25(OH)2D secara signifikan (p=0,042). Namun tidak didapatkan perbedaan yang bermakna baik pada delta 25(OH)D (p=0,694), maupun delta 1,25(OH)2D di antara kedua kelompok dosis (p=0,641).
Kesimpulan: Terapi vitamin D3 50.000 IU/minggu selama 4 minggu sama efektifnya dengan vitamin D3 5.000 IU/hari dalam meningkatkan kadar 25(OH)D serum pada wanita hamil dengan defisiensi dan insufisiensi vitamin D. Kedua dosis tersebut juga aman dan dapat ditoleransi oleh ibu hamil.

Objective: To determine the optimal therapeutic dose of vitamin D for pregnant women with insufficiency or deficiency of Vitamin D
Methods: A randomized controlled trial was conducted from June 2019 to December 2022 at Cipto Mangunkusumo National Center General Hospital and Koja District Hospital in Jakarta, Indonesia. Subjects were ≤14 weeks gestation pregnant women with insufficiency or deficiency of Vitamin D (25(OH)D<30 ng/ml]. Two intervention groups were randomly assigned: 5,000 IU vitamin D3 daily or 50,000 IU weekly. Maternal blood samples were collected before and after four weeks of interventions to assess changes in serum concentrations of 25(OH)D and 1,25(OH)2D).
Result: Sixty subjects were randomized into two groups, and eight subjects were dropped out. The basic demographics of subjects in both groups were equivalent. There were no differences in baseline levels of 25(OH)D between two groups (p=0.552). In the 50,000 group, 25(OH)D levels increased from 15.3 ± 4.7 ng/mL to 26.9 ± 6.1 ng/mL (p<0.001). The 1,25(OH)2D levels increased however, the increase is not statistically significant. While in the 5,000 group, the 25(OH)D levels increased from 14.5 ± 4.3 ng/mL to 27.9 ± 9.3 ng/mL (p<0.001) and the 1,25(OH)2D levels increased significantly (p=0.042). However, the increment 25(OH)D and 1,25(OH)2D were not statistically significant between two groups.
Conclusion: Vitamin D3 50,000 IU weekly is equally effective and safe as 5,000 IU daily in increasing 25(OH)D serum levels in pregnant women with insufficiency or deficiency of Vitamin D.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2023
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Raissa
"Latar belakang: Alopesia androgenetik (AAG) merupakan jenis kebotakan rambut paling umum pada laki-laki yang menyebabkan gangguan estetik sehingga memengaruhi kualitas hidup dan dapat berkaitan dengan kondisi sistemik. Tata laksana yang ada seringkali belum memuaskan. Vitamin D sebagai salah satu mikronutrien yang telah dikenal memiliki banyak manfaat juga diduga berperan dalam kejadian kelainan rambut termasuk AAG.
Tujuan: Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis hubungan antara kadar 25(OH)D serum dan status kecukupan vitamin D dengan derajat keparahan AAG pada laki-laki.
Metode: Penelitian ini merupakan suatu studi observasional analitik dengan desain potong lintang. Subjek penelitian dipilih menggunakan metode consecutive sampling berdasarkan kriteria penelitian. Diagnosis AAG ditegakkan secara klinis berdasarkan klasifikasi Hamilton-Norwood lalu dibagi menjadi derajat ringan dan sedang-berat. Dilakukan pula fotografi 7 posisi kepala serta pemeriksaan trikoskopi dan Trichoscan®. Pemeriksaan kadar 25(OH)D serum diambil dari darah vena sebanyak 3 mL dan menggunakan metode chemiluminescent microparticle immunoassay (CMIA). Klasifikasi status kecukupan vitamin D ditetapkan menjadi defisiensi dan nondefisiensi berdasarkan Endocrine Society Guideline. Nilai p<0,05 dianggap bermakna secara statistik.
Hasil: Di antara 74 SP dengan rerata usia 37,4(8,89) tahun yang berpartisipasi dalam penelitian, sebanyak 29 orang (39,2%) mengalami AAG ringan dan 45 orang (60,8%) mengalami AAG sedang hingga berat. Rerata kadar 25(OH)D serum untuk seluruh SP adalah 18,9(5,89) ng/mL yang termasuk ke dalam kategori defisiensi vitamin D. Rerata kadar 25(OH)D serum pada SP dengan AAG ringan adalah 21,8(6,39) ng/mL dan pada AAG sedang hingga berat sebesar 17,1(4,79) ng/mL. Terdapat hubungan bermakna secara statistik antara kadar 25(OH)D serum dan status kecukupan vitamin D dengan derajat keparahan AAG (p=0,01; p<0,001). Sebagai data tambahan, ditemukan pula hubungan bermakna secara statistik antara diameter rambut (p=0,036) dengan derajat keparahan AAG.
Kesimpulan: Terdapat hubungan bermakna antara status kecukupan vitamin D dengan kadar 25(OH)D serum dengan derajat keparahan AAG pada laki-laki.

Background: Androgenetic alopecia (AGA) is the most common type of hair loss in men which causes aesthetic disturbances that affect quality of life and can be associated with systemic conditions. Existing management is often not satisfactory. Vitamin D, as a micronutrient that is known to have many benefits, is also thought to play a role in the incidence of hair disorders including AGA.
Objective: This study aims to analyze the association between serum 25(OH)D levels and vitamin D sufficiency status with the severity of AGA in men.
Method: This research is an observational analytic study with a cross-sectional design. The study subjects were selected using consecutive sampling. The diagnosis of AGA was established clinically according to the Hamilton-Norwood classification and then categorized into mild and moderate-severe degrees. Photographs of the head in seven positions were taken, and trichoscopy and Trichoscan® examinations were performed. Serum 25(OH)D levels were measured from 3 mL of venous blood using the chemiluminescent microparticle immunoassay (CMIA) method. Vitamin D status was classified as deficient or non-deficient according to the Endocrine Society Guideline. Statistical significance were set at p<0.05.
Results: Among the 74 subjects with a mean age of 37.4 (8.89) years, 29 (39.2%) had mild AGA and 45 (60.8%) had moderate to severe AGA. The mean serum 25(OH)D level for all participants was 18.9 (5.89) ng/mL, indicating vitamin D deficiency. For those with mild AGA, the mean serum 25(OH)D level was 21.8 (6.39) ng/mL, while for those with moderate to severe AGA, it was 17.1 (4.79) ng/mL. There was a statistically significant association between serum 25(OH)D levels and vitamin D status with AGA severity (p=0.01; p<0.001). Additionally, a significant association was found between hair diameter and AGA severity (p=0.036).
Conclusion: This study found significant association between vitamin D status and serum 25(OH)D levels with AGA severity in men
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2024
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Winda Kusumadewi
"Latar Belakang. Defisiensi vitamin-D dapat terjadi pada sklerosis multipel MS dan neuromielitis optik (NMO), dan dapat berpengaruh terhadap proses imunologi. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui kadar serum vitamin-D-25 (OH) pada orang dengan penyakit demielinisasi sistem saraf pusat dibandingkan dengan kontrol sehat.
Metode. Penelitian potong lintang ini dilakukan di Rumah Sakit Umum Pusat Nasional Cipto Mangunkusumo Jakarta pada November 2016 sampai Mei 2017. Pada sampel dikumpulkan data kebiasaan makan, suplementasi vitamin-D, paparan sinar matahari, terapi medikamentosa, jumlah relaps per tahun, dan expanded disability status scale (EDSS). Kadar serum vitamin-D-25(OH) diukur menggunakan metode direct competitive chemiluminescence immunoassay (CLIA).
Hasil. Tiga puluh dua pasien (18 MS dan 14 NMO) dan 33 kontrol diikutsertakan dalam penelitian ini. Jumlah laki-laki pada kelompok studi dan kontol adalah 12,5% dan 15,2%. Insufisiensi dan defisiensi vitamin-D-25(OH) (<30ng/mL) didapatkan pada 90,6% pasien di kelompok studi. Tidak didapatkan perbedaan kadar vitamin-D-25(OH) yang bermakna antara kelompok studi dan kontrol dengan median rentang adalah 17(5.2-71.6)ng/ml dan 15.7(5.5-34.4)ng/ml. Hasil tersebut tidak diduga, karena 50 pasien mendapatkan suplementasi vitamin D lebih dari 400IU. Terapi kortikosteroid juga ditemukan berpengaruh terhadap kadar vitamin-D-25(OH). Kadar vitamin-D-25(OH) tidak berhubungan dengan EDSS.
Kesimpulan. Insufisiensi dan defisiensi vitamin-D didapatkan pada orang dengan MS dan NMO di Jakarta, namun kadarnya tidak berhubungan dengan EDSS. Tenaga kesehatan juga perlu mewaspadai rendahnya kadar vitamin-D pada pasien yang menggunakan kortikosteroid. Kontrol normal juga memiliki kadar vitamin-D yang rendah walaupun tinggal di negara dengan paparan sinar matahari yang cukup. Temuan ini menunjukkan risiko kekurangan vitamin-D pada masyarakat yang tinggal di Jakarta.

Introduction. Vitamin-D-25(OH) deficiency is common in Multiple Sclerosis (MS) and Neuromyelitis Optic (NMO) patients and can affect the immunological process. We performed study to evaluate serum vitamin-D-25(OH) levels in MS and NMO patients compared to healthy control.
Methods. This is a cross sectional study done in Cipto Mangunkusumo Hospital Jakarta from November 2016 May 2017. We reviewed dietary recall, vitamin-D supplementation, sun exposure, medication, annual relapse rate and expanded disability status scale (EDSS). Vitamin-D-25(OH) level was measured using direct competitive chemiluminescence immunoassay (CLIA).
Results. Thirty two patients (18 MS and 14 NMO) and 33 controls were enrolled. Male patients and controls were 12,5% and 15,2%, respectively. Vitamin-D insufficiency and deficiency (<30ng mL) among patients reached 90,6% and not associated with EDSS. It was not significantly different between patients and control, with median (range) 17(5.2-71.6)ng/ml and 15.7(5.5-34.4)ng/ml respectively. The result was unexpected because 50 patients received vitamin-D supplementation. Corticosteroid used also influenced the vitamin-D levels.
Conclusion. Vitamin-D insufficiency and deficiency was common in MS and NMO patients in Jakarta but not associated with EDSS. Practitioners need to be alert to vitamin-D low level particularly in patients using corticosteroid. Healthy control also had low vitamin-D concentrations though they lived in a sufficient sun exposure country. This finding suggests a risk of vitamin-D deficiency among community living in Jakarta.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2017
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Raihanah Suzan
"Tujuan: Tujuan penelitian ini adalah mengetahui korelasi antara asupan vitamin D dengan kadar 25(OH)D serum pada pasien lupus eritematosus sistemik perempuan usia dewasa.
Metode: Peneltian ini merupakan penelitian potong lintang pada 36 pasien SLE perempuan dewasa dari Poliklinik Reumatologi di RS Dr. Cipto Mangunkusumo. Pengambilan data subyek meliputi usia, klasifikasi penyakit SLE, obat-obatan yang digunakan, tipe kulit, penggunaan tabir surya, bagian tubuh yang tertutup pakaian, lama terpajan sinar matahari, indeks massa tubuh (IMT), asupan vitamin D, dan kadar 25(OH)D serum.
Hasil: Sebagian besar (41,7%) subyek berusia antara 36–45 tahun, tergolong klasifikasi SLE ringan (52,8%), selalu menggunakan tabir surya (63,9%), tipe kulit IV (69,4%), dan memakai pakaian yang menutupi seluruh/sebagian besar tubuh (69,4%), serta tidak terpajan dan terpajan sinar matahari <30 menit (77,8%). Semua subyek menggunakan kortikosteroid. Separuh subyek memiliki berat badan normal berdasarkan IMT, sebagian besar (55,6%) subyek mempunyai asupan vitamin D cukup berdasarkan AKG 2012, dan 28 subyek (77,8%) menderita defisiensi vitamin D ( kadar 25(OH)D serum <50 nmol/L). Didapatkan korelasi positif yang sedang antara asupan vitamin D dengan kadar 25(OH)D serum pada subyek penelitian (r = 0,52; P <0,01).
Kesimpulan: Terdapat korelasi positif yang sedang antara asupan vitamin D dengan kadar 25(OH)D serum pada pasien SLE perempuan dewasa (r = 0,52; P <0,01).

Objective: the aim of the study is to investigate the correlation between vitamin D intake and serum 25(OH)D concentration of adult woman SLE patients.
Methods: A cross-sectional study was conducted in 36 adult woman patients with SLE from Rheumatology Clinic of the Departemen of Internal Medicine Dr. Cipto Mangunkusumo hospital. Data collection included age, SLE classification, drugs, skin type, use of sunscreen, part of the body covered by clothes, length of sun exposure, body mass index (BMI), vitamin D intake, and serum 25(OH)D concentration.
Results: Most of the subjects (41.7%) aged 36–45 years old, classified as mild SLE (52.8%), always used sunscreen (63.9%), skin type IV (69.4%), wearing clothes that covered all or almost of the body (69.4%), and not exposed or had sun exposure less than 30 minute (77.8%). All subjects used corticosteroid. Based on BMI half of the subjects had normal body weight, Based on AKG 2012 most (55.6%) had adequate vitamin D intakes, and 28 subjects (77.8%) were in vitamin D-deficient (serum 25(OH)D concentration <50 nmol/L). There were moderate positive correlation between vitamin D intake and serum 25(OH)D concentration in subjects (r = 0.52; P <0.01).
Conclusion: There were moderate positive correlation between vitamin D intake and serum 25(OH)D concentration of adult woman SLE patients (r = 0.52, P <0.01).
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2014
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Yohanes Handoko
"Tujuan: Penelitian ini membandingkan kadar 25- OH -vitamin D3 pada serum maternal, darah tali pusat dan jaringan plasenta pada ibu hamil normal dan preeklamsia. Metode: Penelitian ini merupakan studi potong lintang dengan jumlah sampel 86 pasien yang melakukan persalinan di RS Cipto Mangunkusumo dan RSUD Tangerang. Setelah itu data disajikan dalam tabel dan dianalisis dengan uji parametrik, yaitu uji-t berpasangan bila sebaran data normal atau uji non parametrik, yaitu uji Mann-Whitney bila sebaran data tidak normal Hasil: Didapatkan kadar 25- OH -vitamin D3 serum maternal kelompok preeklamsia sebesar 16.30 6.20-49.00 ng/mL sedangkan pada sampel kelompok tidak preeklamsia, sebesar 13.50 4.80 ndash; 29.20 ng/mL di mana didapatkan nilai p = 0,459, dengan tidak ada perbedaan bermakna secara statistik. Didapatkan kadar 25- OH -vitamin D3 tali pusat kelompok preeklamsia sebesar 11.80 3.50 ndash; 38.60 ng/mL sedangkan kelompok tidak preeklamsia sebesar 11.70 1.00 ndash; 28.80 ng/m, di mana didapatkan nilai p = 0.964, dengan tidak ada perbedaan bermakna secara statistik. Didapatkan kadar 25- OH -vitamin D3 jaringan plasenta kelompok preeklamsia sebesar 49.00 22.00 ndash; 411.00 ng/mL. sedangkan kelompok tidak preeklamsia, sebesar 43.40 11.80 ndash; 153.00 ng/mL, di mana didapatkan nilai p 0.354 dengan tidak ada perbedaan bermakna secara statistik Didapatkan hasil kadar 25- OH -vitamin D3 serum kelompok preeklamsia awitan dini sebesar 10.80 6.20 ndash; 41.90 ng/mL sedangkan kelompok preeklamsia awitan lanjut sebesar 18.00 7.00 ndash; 49.00 ng/mL dengan nilai p = 0,133, di mana tidak didapatkan perbedaan bermakna secara statistik. Didapatkan hasil kadar 25- OH -vitamin D3 tali pusat kelompok preeklamsia awitan dini sebesar 10.65 3.50 ndash; 38.60 ng/mL. sedangkan pada kelompok preeklamsia awitan lanjut, sebesar 12.65 6.40 ndash; 33.20 ng/mL. di mana didapatkan nilai p = 0.377 dengan tidak didapatkan perbedaan bermakna secara statistik. Didapatkan kadar 25- OH -vitamin D3 pada jaringan plasenta kelompok preeklamsia sebesar 79.00 36.00 ndash; 411.00 ng/g. sedangkan pada kelompok tidak preeklamsia sebesar 40.00 22.00 ndash; 171.00 ng/g. di mana didapatkan nilai p 0.006, dengan didapatkan perbedaan bermakna secara statistik pada rerata kadar 25- OH -vitamin D3 jaringan plasenta Kesimpulan: Tidak terdapat perbedaan bermakna secara statistik pada rerata kadar 25- OH -vitamin D3 pada darah serum, tali pusat dan jaringan maternal pada wanita preeklamsia dan tidak preeklamsia. Tidak terdapat perbedaan bermakna secara statistik pada rerata kadar 25- OH -vitamin D3 pada darah serum dan tali pusat pada wanita preeklamsia dan tidak preeklamsia Terdapat perbedaan bermakna secara statistik pada rerata kadar 25- OH -vitamin D3 pada plasenta wanita preeklamsia dan tidak preeklamsiaKata kunci: 25- OH -vitamin D3, preeklamsia, serum, tali pusat, jaringan plasenta

Abstract Objective: This study is designed for comparing 25- OH -vitamin D3 levels in maternal serum, cord blood and placental tissue in non preeclampsia and preeclampsia pregnant women.Methods: This study is a cross sectional study with the number of samples of 86 patients who deliver in Cipto Mangunkusumo Hospital and Tangerang District Hospital. After that the data is presented in the table and analyzed by parametric test, ie paired t-test when the distribution of normal data or non parametric test, ie Mann-Whitney test when the data distribution is not normal..Results: The serum maternal 25- OH -vitamin D3 levels of preeclampsia group were 16.30 6.20-49.00 ng / mL while in the non-preeclamptic sample group, 13.50 4.80 - 29.20 ng / mL were obtained p = 0.459, with no statistically significant difference . The umbilical cord 25- OH -vitamin D3 levels of preeclampsia group were 11.80 3.50 - 38.60 ng / mL while the preeclampsia group was 11.70 1.00 - 28.80 ng / m, where p = 0.964 was obtained, with no statistically significant difference. Obtained 25- OH -vitamin D3 levels of placental tissue in the preeclampsia group by 49.00 22.00 - 411.00 ng / mL. while the group did not preeclampsia, amounting to 43.40 11.80 - 153.00 ng / mL, where p value of 0.354 was obtained with no statistically significant difference Earning serum 25- OH -vitamin D3 serum pre-eclampsia group onset was 10.80 6.20 - 41.90 ng / mL whereas the onset of pre-eclampsia group was 18.00 7.00 - 49.00 ng / mL with p value = 0.133, where no statistically significant difference was obtained. The results of the umbilical cord 25- OH -vitamin D3 levels of early onset preeclampsia group were 10.65 3.50 - 38.60 ng / mL. whereas in the onset of pre-eclampsia group, it was 12.65 6.40 - 33.20 ng / mL. where obtained p value = 0.377 with no statistically significant difference. Obtained 25- OH -vitamin D3 levels in placental tissue preeclampsia group of 79.00 36.00 - 411.00 ng / g. while in the pre-eclampsia group was 40.00 22.00 - 171.00 ng / g. where obtained p value of 0.006, with statistically significant difference in mean 25- OH -vitamin D3 levels of placental tissueConclusion: There was no statistically significant difference in mean serum 25- OH -vitamin D3 levels in serum, cord blood and maternal tissue in women with preeclampsia and not preeclampsia. There was no statistically significant difference in mean 25- OH -vitamin D3 levels in serum and umbilical blood in pre-eclampsia and non-preeclampsia women. There were statistically significant differences in mean 25- OH -vitamin D3 levels in female placenta preeclampsia and not preeclampsia Keywords: 25- OH -vitamin D3, preeclampsia, serum, umbilical cord, placental tissue "
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2018
T57669
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Nita Nurul Rachman
"Vitamin D memiliki efek mempertahankan fungsi endovaskular dan mengatur aktivitas inflamasi dalam dinding pembuluh darah. Lemak viseral, disebutkan sebagai prediktor risiko yang baik untuk penyakit vaskular karena berperan aktif secara metabolik serta bersifat meningkatkan pengeluaran sitokin proinflamasi Kedua hal ini berpengaruh dalam peningkatan risiko kejadian stroke akut. Sampai saat ini penelitian yang membahas korelasi antara kedua faktor tersebut masih inkosisten. Studi potong lintang dilakukan pada subyek berusia >18 tahun dengan stroke akut yang menjalani perawatan di RSUPN Dr. Cipto Mangunkusumo dan RS Universitas Indonesia. Pengukuran kadar lemak viseral menggunakan bioelectrical impedance analysis bedridden multifrekuensi. Penilaian kadar serum vitamin D (25 (OH)D) menggunakan metode chemiluminescent immunoassay. Terdapat total 73 subyek penelitian, sebanyak 55 subyek (75,3%) dengan insufisiensi dan 15 subyek (20,5%) mengalami defisiensi vitamin D, dengan nilai rerata di 17,08±7,85 ng/mL. Sejumlah 78,1% subyek memiliki kadar lemak viseral yang tinggi. Terdapat korelasi negatif (r= -0,271) yang signifikan (p <0,021) antara kadar lemak viseral dan kadar vitamin D serum pada stroke akut. Dilakukan analisis multivariat lanjutan, didapatkan kadar lemak viseral dan jenis pakaian (pakaian tertutup) menjadi faktor paling signifikan dalam menilai kadar vitamin D serum.Terdapat korelasi yang signifikan antara kadar lemak viseral dengan kadar vitamin D 25 (OH) pada pasien stroke akut.

Vitamin D has effects in maintaining endovascular function and regulating inflammatory activity in the vascular wall. Visceral fat is said to be a good risk predictor for vascular disease because it plays a metabolically active role and increases the release of pro-inflammatory cytokines, both of which are influential in increasing the risk of acute stroke events. Studies that discuss the correlation between these two factors are still inconsistent.  A cross-sectional study was conducted on subjects aged >18 years with acute stroke who underwent treatment at Dr. Cipto Mangunkusumo Hospital and University of Indonesia Hospital. Measurement of visceral fat levels using bioelectrical impedance analysis bedridden multifrequency. Assessment of serum vitamin D (25(OH)D) levels using chemiluminescent immunoassay method.  In a total of 73 subjects, 55 (75.3%) subjects had vitamin D insufficiency and 15 (20,5%) subject had deficiency, with mean values at 17.08±7.85 ng/mL. A total of 78.1% of subjects had high visceral fat levels. There was a significant (p<0.021) negative correlation (r= -0.271) between visceral fat and serum vitamin D levels in acute stroke. In a further multivariate analysis, visceral fat content and type of clothing (concealing clothing) was found to be the most significant factor in assessing serum vitamin D levels. There is a significant correlation between visceral fat levels and 25 (OH) vitamin D levels in acute stroke patients."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2024
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Nita Nurul Rachman
"Latar Belakang: Vitamin D memiliki efek non-skeletal dalam mempertahankan fungsi endovaskular dan mengatur aktivitas inflamasi dalam dinding pembuluh darah. Lemak viseral, disebutkan sebagai prediktor risiko yang baik untuk penyakit vaskular karena berperan aktif secara metabolik serta bersifat meningkatkan pengeluaran sitokin proinflamasi Kedua hal ini berpengaruh dalam peningkatan risiko kejadian stroke akut. Sampai saat ini penelitian yang membahas korelasi antara kedua faktor tersebut masih inkosisten. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui korelasi antara kadar lemak viseral dan kadar vitamin D serum pada pasien stroke akut.
Metode: Studi potong lintang dilakukan pada subyek berusia >18 tahun dengan stroke akut yang menjalani perawatan di RSUPN Dr. Cipto Mangunkusumo dan RS Universitas Indonesia selama bulan November -Desember 2023. Pengukuran kadar lemak viseral menggunakan bioelectrical impedance analysis (BIA) bedridden multifrekuensi. Penilaian kadar serum vitamin D (25 (OH)D) menggunakan metode chemiluminescent immunoassay (CMIA). Analisis bivariat dan multivariat digunakan untuk menilai korelasi dan hubungan antara variable bebas dan terikat, serta mengidentifikasi faktor perancu lain yang berhubungan dengan kadar vitamin D serum.
Hasil: Terdapat total 73 subyek penelitian, sebanyak 55 subyek (75,3%) dengan insufisiensi dan 15 subyek (20,5%) mengalami defisiensi vitamin D, dengan nilai rerata di 17,08±7,85 ng/mL. Sejumlah 78,1% subyek memiliki kadar lemak viseral yang tinggi. Terdapat korelasi negatif (r= -0,271) yang signifikan (p <0,021) antara kadar lemak viseral dan kadar vitamin D serum pada stroke akut. Dilakukan analisis multivariat lanjutan dengan regresi linear untuk faktor perancu lain, hanya didapatkan kadar lemak viseral dan jenis pakaian (pakaian tertutup) yang menjadi faktor paling signifikan dalam menilai kadar vitamin D serum.
Kesimpulan: Terdapat korelasi yang signifikan antara kadar lemak viseral dengan kadar vitamin D 25 (OH) pada pasien stroke akut.

Background: Vitamin D has non-skeletal effects in maintaining endovascular function and regulating inflammatory activity in the vascular wall. Visceral fat is said to be a good risk predictor for vascular disease because it plays a metabolically active role and increases the release of pro-inflammatory cytokines, both of which are influential in increasing the risk of acute stroke events. Until now, studies that discuss the correlation between these two factors are still inconsistent. This study aims to determine the correlation between visceral fat levels and serum vitamin D levels in acute stroke patients.
Methods: A cross-sectional study was conducted on subjects aged >18 years with acute stroke who underwent treatment at Dr. Cipto Mangunkusumo Hospital and University of Indonesia Hospital during November - December 2023. Measurement of visceral fat levels using bioelectrical impedance analysis (BIA) bedridden multifrequency. Assessment of serum vitamin D (25(OH)D) levels using chemiluminescent immunoassay (CMIA) method. Bivariate and multivariate analyses were used to assess the correlation and relationship between independent and dependent variables, as well as identify other confounding factors associated with serum vitamin D levels.
Results: In a total of 73 subjects, 55 (75.3%) subjects had vitamin D insufficiency and 15 (20,5%) subject had deficiency, with mean values at 17.08±7.85 ng/mL. A total of 78.1% of subjects had high visceral fat levels. There was a significant (p<0.021) negative correlation (r= -0.271) between visceral fat and serum vitamin D levels in acute stroke. In a further multivariate analysis with linear regression for other confounding factors, only visceral fat content and type of clothing (concealing clothing) was found to be the most significant factor in assessing serum vitamin D levels.
Conclusion: There is a significant correlation between visceral fat levels and 25 (OH) vitamin D levels in acute stroke patients.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2024
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Arieska Felicia
"Infeksi pada pasien sakit kritis umum terjadi. Hal ini menyebabkan tingginya morbiditas dan mortalitas pada pasien ICU. Peran mikronutrien terutama vitamin D pada sistem imun terus berkembang, penelitian yang ada menghubungkan defisiensi vitamin D dengan tingginya kejadian infeksi pada pasien sakit kritis. Penelitian ini bertujuan untuk melihat hubungan antara defisiensi vitamin D saat masuk ICU dengan kejadian infeksi pada pasien sakit kritis. Rancangan penelitian menggunakan kohort prospektif pada subjek berusia ≥18 tahun yang dirawat di ICU RSCM dan RSUI. Pada penelitian ini dilakukan analisis interim, diperoleh 31 subjek dengan rerata usia 50,52±15,79, jumlah laki-laki 61,3%, sebesar 45,1% subjek mengalami malnutrisi dan diagnosis pembedahan sebesar 46,2%. Diperoleh hasil pasien dengan defisiensi vitamin D sebanyak 62,5% mengalami infeksi ditandai dengan peningkatan kadar leukosit ≥ 12.000/µL. Pada penelitian ini secara statistik tidak terdapat hubungan bermakna antara kadar vitamin D dengan kejadian infeksi pada pasien sakit kritis (P=0,17, CI 95% 3,12(1,06 – 9,12)). Diperlukan penelitian lanjutan hingga jumlah sampel terpenuhi, menganalisis faktor-faktor lain yang dapat memengaruhi kejadian infeksi dan dapat menggunakan modalitas pemeriksaan laboratorium yang lebih sensitive seperti CRP dan PCT.

Infection in critically ill patients is common, leading to high morbidity and mortality in ICU patients. The role of micronutrients, especially vitamin D, in the immune system is evolving. Existing research links vitamin D deficiency with higher infection rates in critically ill patients. This study examines the relationship between vitamin D deficiency at ICU admission and infection in critically ill patients. The study design involves a prospective cohort of subjects aged ≥18 years treated at RSCM and RSUI ICUs.  An interim analysis involved 31 subjects with a mean age of 50.52 ± 15.79 years. Of these, 61,3% were male, 45,1% were malnourished and 46,2% had surgical diagnoses. Results showed that 62,5% of patients with vitamin D deficiency experienced infection, indicated by leukocyte counts ≥ 12,000/µL. Statistically, there was no significant association between vitamin D levels and infection incidence in critically ill patients (P = 0.17, 95% CI 3.12 (1.06 – 9.12)). Further research with a sufficient sample size is needed to analyze other factors influencing infection incidence. More sensitive laboratory tests such as CRP and PCT could also be utilized."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2024
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Chika Dewi Haliman
"Latar belakang: Wanita hamil berisiko lebih tinggi mengalami defisiensi vitamin D karena peningkatan kebutuhan kalsium dan vitamin D selama kehamilan. Meningkatnya kekhawatiran akan paparan sinar matahari dan kanker kulit, banyak orang menghindari paparan sinar matahari atau menggunakan pelindung sinar matahari. Makanan yang kaya akan vitamin D menjadi sumber potensial untuk memenuhi kebutuhan vitamin D. Hanya ada beberapa sumber makanan alami yang baik untuk memenuhi kebutuhan vitamin D. Di antara sumber makanan tersebut, ikan memiliki kandungan vitamin D yang paling tinggi dan merupakan sumber makanan alami yang paling banyak dikonsumsi oleh masyarakat. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk memetakan ketersediaan ikan kaya vitamin D di daerah penelitian, membandingkan asupan nutrisi dan pola makan, serta menyusun Panduan Gizi Seimbang berbasis Pangan Lokal (PGS-PL) bagi ibu hamil di daerah dengan ketersediaan ikan kaya vitamin D yang rendah dan tinggi.
Bahan dan Metode: Penelitian ini merupakan studi potong lintang komparatif dengan menggunakan data primer dan sekunder. Data sekunder meliputi data karakteristik dan pola makan yang diperoleh dari Action Against Stunting Hub (AASH) Indonesia Cohort Study. Data primer dilakukan untuk memetakan ketersediaan ikan yang kaya akan vitamin D. Perangkat lunak QGIS digunakan untuk memetakan ketersediaan ikan kaya vitamin D, dan perangkat lunak WHO Optifood digunakan untuk mengembangkan PGS-PL. Analisis statistik dilakukan dengan SPSS 20. Hasil: Usia rata-rata subjek adalah 28 (23-33) tahun. Lebih dari separuh (51,3%) dari mereka berada di tingkat pendidikan SMA ke atas. Sekitar sepertiga (33,1%) dari mereka berada dalam kategori indeks kekayaan 'Menengah'. Sebagian besar dari mereka tidak bekerja (74,3%) dan memiliki setidaknya satu pantangan makanan (67,8%). Tidak ada perbedaan asupan vitamin D di antara ibu hamil pada kelompok HD dan LD (p=0,633). Terdapat problem nutrient Folat, Vitamin D, dan Fe pada kedua kelompok, ditambah dengan Ca pada kelompok HD yang mungkin disebabkan oleh kurangnya asupan ikan kering pada kelompok HD. PGS-PL berhasil memenuhi kecukupan kalsium, zat besi, seng, vitamin A, B1, B2, B3, B6, dan B12 pada kelompok HD, dan zat besi, seng, folat, vitamin A, B1, B2, B3, B6, dan B12 pada kelompok LD. Namun, masih terdapat selisih problem nutrient. Secara rata-rata, pengembangan makanan padat gizi berbahan dasar ikan berhasil menutupi kesenjangan zat gizi baik pada kelompok HD maupun LD. Kesimpulan: PGS-PL berhasil dikembangkan untuk ibu hamil pada kedua kelompok tersebut. PGS-PL dapat memenuhi kebutuhan nutrisi untuk ibu hamil pada kelompok HD dan LD, tetapi hanya jika resep padat nutrisi dimasukkan dalam makanan sehari-hari. Penelitian lebih lanjut untuk menilai efektivitas PGS-PL dalam memastikan asupan vitamin D yang cukup dan mengeksplorasi metode baru untuk pemetaan ketersediaan ikan yang mempertimbangkan posisi pasar yang tidak statis (pedagang keliling) sangat direkomendasikan.

Background: Pregnant women are at a higher risk of vitamin D deficiency due to increased calcium and vitamin D requirements during pregnancy. Due to increasing concern about sun exposure and skin cancer, many people avoid sun exposure or use sun protection. Foods rich in vitamin D become the potential source to fulfill the requirement of vitamin D. There are only a few good natural dietary sources of vitamin D. Among those, fish has the highest content of vitamin D and is the major natural food source in many populations. The objectives of this study are to map the availability of vitamin D rich fish in the study area, to compare nutrient intakes and dietary pattern and develop food-based recommendations for pregnant women in the low and high availability of vitamin D rich fish area.
Materials and Methods: This study is a comparative cross-sectional study using both primary and secondary data. Secondary data includes the characteristics and dietary data that was obtained from Action Against Stunting Hub (AASH) Indonesia Cohort Study. Primary data was conducted to map the availability of vitamin D rich fish. QGIS software was used to map the availability of vitamin D rich fish, and WHO Optifood software was used to develop the FBRs. Statistical analysis was performed with SPSS 20. Results: The median age of the subjects was 28 (23-33) years old. More than half (51.3%) of them were in the educational level high school and above. About one-third (33.1%) of them were in the ‘Middle’ HWI category. Most of them were not working (74.3%) and had at least one food taboo (67.8%). There was no difference of vitamin D intake among pregnant women in the HD and LD group (p=0.633). The problem nutrients were folate, vitamin D, and iron in both groups, plus calcium in HD group possibly because of less intake of dried fish in HD group. The final FBRs would ensure the adequacy of calcium, iron, zinc, vitamins A, B1, B2, B3, B6, and B12 in HD group, and of iron, zinc, folate, vitamins A, B1, B2, B3, B6, and B12 in LD group. However, the gaps of problem nutrient remain. In average, the development of fish-based nutrient-dense foods successfully covers the nutrient gap both in HD and LD group.
Conclusion: FBRs were successfully develop for pregnant women in the two groups. FBRs can meet nutrient needs for pregnant women in HD and LD group but only when the nutrient-dense recipes were included in daily diets. Future studies to assess effectiveness of the FBRs in ensuring adequate vitamin D intake and to explore new methods for fish availability mapping which considers non-static position of market (mobile vendor) are recommended."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2024
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Tities Anggraeni Indra
"Latar Belakang: Seiiring dengan bertambahnya jumlah pasien diabetes melitus tipe 2 maka angka kejadian nefropati diabetik juga ikut meningkat. Berbagai faktor telah diidentifikasi turut memperberat kejadian nefropati diabetik salah satunya status vitamin D 25(OH)D. Vitamin D memiliki efek non-kalsemik yang dapat memengaruhi sistem renin-angiotensin sehingga turut berperan dalam kejadian albuminuria. Studi sebelumnya menunjukan tingginya prevalensi defisiensi vitamin D 25(OH)D pada pasien diabetes melitus tipe 2 dan defisiensi vitamin D diduga berhubungan dengan kejadian albuminuria.
Tujuan: Mengetahui asosiasi antara status vitamin D 25(OH)D dengan albuminuria pada pasien diabetes melitus tipe 2 di Indonesia.
Metodologi: Dilakukan studi potong lintang pada 96 pasien diabetes melitus tipe 2 yang berobat ke poliklinik Metabolik-Endokrin RSUPN-CM. Pemeriksaan kadar vitamin D 25(OH)D menggunakan kit Diasorin dengan metode CLIA dan albuminuria dinilai berdasarkan kadar albumin pada sampel urine sewaktu. Analisis bivariat menggunakan metode chi square dan analisis multivariat menggunakan teknik regresi logistik.
Hasil: Prevalensi defisiensi vitamin D 25(OH)D pada pasien diabetes melitus tipe 2 sebesar 49% dengan nilai median kadar vitamin D 25(OH)D pada pasien diabetes melitus tipe 2 adalah 16,35 ng/mL (4,2-41,4 ng/mL). Tidak didapatkan adanya hubungan yang bermakna antara defisiensi vitamin D dengan albuminuria baik pada analisa bivariat maupun multivariat (OR 0,887;IK95% 0,335-2,296). Faktor perancu seperti kontrol gula darah yang buruk dan berat badan lebih sangat mempengaruhi hubungan antara defisiensi vitamin D dengan kejadian albuminuria pada pasien diabetes melitus tipe 2.
Simpulan: Studi ini belum dapat menyimpulkan adanya hubungan antara defisiensi vitamin D 25(OH)D dengan albuminuria pada pasien diabetes melitus tipe 2 di Indonesia.

Background: In line with the increasing number of patients with diabetes mellitus type 2, the incidence of diabetic nephropathy is also increased. Various factors aggravating diabetic nephropathy have been identified, among others vitamin D 25(OH)D level. Vitamin D has a non-calcemic effect on renin-angiotensin system, causing albuminuria. Previous studies showed a high prevalence of vitamin D deficiency in patients with type 2 diabetes mellitus and it was related to the incidence of albuminuria.
Aim: To know the association between vitamin D 25(OH)D level with albuminuria in patients with type 2 diabetes mellitus in Indonesia.
Methods: A cross-sectional study was conducted in 96 patients with type 2 diabetes mellitus at outpatient clinic of Metabolic-Endocrine Cipto Mangunkusumo Hospital. Serum vitamin D level was assessed using Diasorin kit with CLIA method. Albuminuria was assessed using random urine sample. For bivariate analysis using chi square and multivariate analysis using regression logistic method.
Results: The prevalence of vitamin D 25(OH)D deficiency in patients with type 2 diabetes mellitus was 49% with a median value 16,35 ng / mL (4,2 - 41,4 ng /mL). There was no significant correlation between vitamin D deficiency with the severity of albuminuria (OR 0,887; 95% CI 0,335 to 2,296). Confounding factors such as poor blood glucose control and overweight strongly influenced the association between vitamin D deficiency with the incidence of albuminuria in patients with type 2 diabetes mellitus.
Conclusion: The results of this study have not been able to show an association between vitamin D deficiency with the severity of albuminuria in patients with type 2 diabetes mellitus in Indonesia.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2013
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>