Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 71230 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Nainggolan, Nathasya Nauli
"Praktek perjanjian nominee masih seringkali dilakukan oleh Warga Negara Asing (WNA) untuk memperoleh objek tanah Indonesia, yaitu perjanjian tersembunyi dengan meminjam nama Warga Negara Indonesia (WNI) untuk perolehan Hak Milik. Perjanjian nominee dapat dilakukan secara tidak langsung dengan menggunakan pranata hukum nasional, dan sejauh ini belum ada pengaturan hukum Indonesia yang mengatur mengenai pencegahan nominee. Tesis ini mengangkat Putusan Mahkamah Agung Nomor 391/K/Pdt/2020 yang meliputi seorang WNA menggunakan nominee tidak langsung dengan menguasakan kepada WNI untuk melakukan PPJB untuk memperoleh tanah yang akan dipergunakan untuk investasi usaha. Sehingga PPJB sebagai salah satu bentuk pranata hukum nasional dibuat dengan unsur nominee. Penerima kuasa WNI lalu membuat pembatalan sepihak, dan WNA menganggap hal tersebut sebagai wanprestasi dan mengajukan kasus ini ke Pengadilan. Dalam kasus ini tercontoh bahwa bentuk pranata hukum nasional dapat digunakan sebagai perjanjian nominee secara tidak langsung, yang mempertanyakan status keabsahan perjanjian tersebut. Penelitian ini dilakukan dengan metode penelitian doktrinal dengan analisis berupa pendekatan kualitatif. Penelitian memiliki hasil bahwa terdapat beberapa bentuk pranata hukum nasional yang dapat digunakan dengan unsur nominee sehingga keabsahannya adalah batal demi hukum karena kausa pembuatannya tidak halal sehingga pemulihan hak seakan perjanjian tersebut pernah terlahir tetap harus terlaksana. Pencegahan dapat dilakukan untuk meminimalisir penggunaan nominee dengan mencatatkan PPJB ke kantor pertanahan sehingga jelas bahwa proses kepemilikan sedang dalam peralihan.

Foreign nationals (WNA) often want to invest in Indonesia, but when acquiring land they enter into a nominee agreement, namely a hidden agreement by borrowing the name of an Indonesian citizen (WNI) to obtain ownership rights. Nominee agreements can be carried out indirectly using national legal institutions, and by far there are no Indonesian legal regulations that regulate the prevention of nominees. The research raises the Supreme Court Decision Number 391/K/Pdt/2020 which includes a foreigner using an indirect nominee by authorizing the Indonesian citizen to carry out a PPJB to obtain land that will be used for business investment. So PPJB as a form of national legal institution is made with nominee elements. The Indonesian citizen's proxy then made a unilateral cancellation, and the foreigner considered this to be a breach of contract and submitted the case to the court. In this case, it is demonstrated that the form of a national legal institution can be used as a nominee agreement indirectly, which questions the legal status of the agreement. This research was conducted using a doctrinal research method with analysis in the form of a qualitative approach. Research has shown that there are several forms of national legal institutions that can be used with nominee elements so that their validity is null and void because the cause of its creation is non-halal so that the restoration of rights as if the agreement had never been born must still be implemented. Prevention can be done to minimize the use of nominees by registering the PPJB with the land office so that it is clear that the ownership process is being transferred."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2024
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Angel Fransisca Christy Manga
"Perjanjian hutang piutang dapat dibuat secara lisan maupun tertulis. Namun, yang kerap terjadi adalah para pihak mengikatkan diri ke dalam suatu perjanjian hutang piutang secara lisan membentuk suatu Perjanjian Pengikatan Jual Beli (PPJB) atas objek yang dijadikan jaminan perjanjian hutang piutang lisan yang bersangkutan, sebagaimana terjadi dalam Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor 2288/K/PDT/2020. Permasalahan utama yang diangkat adalah terkait dengan kedudukan hukum perjanjian hutang piutang lisan berdasarkan hukum pembuktian dan akibat penyelundupan hukum perjanjian hutang piutang lisan yang dibuat sebagai pendahuluan Akta PPJB dalam Putusan Mahkamah Agung Nomor 2288/K/PDT/2020. Guna menjawab permasalahan tersebut, digunakan metode penelitian doktrinal, dengan metode analisis kualitatif. Hasil penelitian menemukan bahwa perjanjian hutang piutang lisan in casu terbukti dengan alat bukti persangkaan hakim sebagaimana diatur dalam Pasal 173 HIR, yang ditarik dari alat bukti saksi, dan tertulis seperti Akta PPJB dengan klausul hak membeli kembali dan laporan appraiser atas objek sengketa yang menyatakan perbedaan nilai ril objek sengketa dengan harga yang diperjanjikan dalam Akta PPJB dan telah dibayar lunas 2,5 (dua setengah) bulan sebelum pembuatan Akta PPJB. Perjanjian hutang piutang lisan yang dibuat sebagai pendahuluan Akta PPJB yang memuat klausul hak membeli kembali adalah suatu penyelundupan hukum karena telah memenuhi unsur penyelundupan hukum dan telah melanggar syarat objektif sahnya perjanjian, yaitu kausa yang halal dalam Pasal 1320 KUHPerdata. Berangkat dari itu, Akta PPJB in casu harusnya batal demi hukum.

Debt agreements can be made either in an unwritten or written format. However, what often happens is that parties that bind themselves into an unwritten debt agreement would then form a Sales and Purchase Agreement Deed on the object used as a collateral in the previous unwritten debt agreement, as happened in the Supreme Court Decision Number 2288/K/PDT/2020. The main issues raised are related to the legal position of an unwritten debt agreement based on the law of evidence, and the consequences of legal evasion in an unwritten debt agreement made as a preliminary agreement to a Sales and Purchase Agreement Deed in the Supreme Court Decision Number 2288/K/PDT/2020. To provide answers for the issues above, a doctrinal research method is used, with a qualitative analysis method. The results found that the unwritten debt agreement in this case is proven by the judge’s presumption as stipulated in Article 173 of the HIR, that is drawn from witness evidence and written evidence, such as the Sales and Purchase Deed with the right to repurchase clause, and the appraiser’s report on the disputed object, which states the obvious difference between the real value and the agreed value that had been fully paid 2,5 (two and a half) months prior to making the Sales and Purchase Agreement Deed. The unwritten debt agreement made as a preliminary agreement to the Sales and Purchase Agreement Deed containing the right to repurchase clause is a form of a legal evasion, because it has fulfilled the elements of legal evasion and has violated one of the objective requirements for the validity of an agreement which is regulated in Article 1320 of the Civil Code. Therefore, the Sales and Purchase Agreement Deed in this case should be null and void."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2024
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Wita Jesiska
" ABSTRAK
Semakin maraknya pemasaran rumah susun yang masih belum dibangun atau masih dalam tahap pembangunan terutama yang belum mencapai keterbangunan minimal 20 menjadikan terhambatnya proses pemasaran jual beli satuan rumah susun antara pelaku pembangunan dengan konsumen melalui Perjanjian Pengikatan Jual Beli PPJB . Pemasaran satuan rumah susun tersebut dapat dilakukan berdasarkan pemesanan terlebih dahulu yaitu melalui Surat Pesanan Satuan Rumah Susun yang kemudian dilanjutkan dengan pelaksanaan Perjanjian Pengikatan Jual Beli PPJB . Skripsi ini membahas mengenai konsep Surat Pesanan Satuan Rumah Susun sebagai alternatif pelaksananan penjualan satuan rumah susun oleh perusahaan pengembang. Pembahasan pertama adalah mengenai kekuatan mengikat surat pesanan terhadap pelaksanaan perjanjian pengikatan jual beli satuan rumah susun. Kedua membahas mengenai status pemilikan satuan rumah susun dalam proses jual beli berdasarkan Surat Pesanan dan PPJB. Ketiga membahas mengenai kekuatan mengikat Surat Pesanan yang dilakukan antara Sdr. Ike Farida dan PT. Elite Prima Hutama terkait dengan ada tidaknya wanprestasi oleh PT. Elite Prima Hutama yang menjadi inti permasalahan dalam Putusan Pengadilan Negeri Jakarta Selatan No. 51/PDT.G/2015/PN.JKT.SEL. Dengan dilakukannya analisis berdasarkan metode penelitian yuridis normatif, Surat Pesanan Satuan Rumah Susun merupakan suatu bentuk perjanjian innominaat yang sifatnya baku dimana kewajiban yang lahir dari Surat Pesanan tersebut adalah pelaksanaan PPJB. Proses pelaksanaan jual beli satuan rumah susun melalui Surat Pesanan dan Perjanjian Pengikatan Jual Beli belum mengalihkan hak atas kepemilikan Satuan Rumah Susun dari perusahaan pengembang kepada pembeli. Surat Pesanan yang dilakukan antara Sdr. Ike Farida dan PT. Elite Prima Hutama dapat dikatakan sah dan mengikat sehingga PT. Elite Prima Hutama telah wanprestasi dalam melaksanakan PPJB.
ABSTRACT Proliferative marketing of the un built or under construction condominium which has not reached at least 20 of construction delays the implementation of making the Preliminary Sale and Purchase Agreement. The under construction condominiums were marketed by booking through Purchase Order Letter. This Purchase Order Letter is followed by the Preliminary Sale and Purchase Agreement in order to implement the Sale and Purchase Agreement of condominium unit. This thesis discusses about the concept of Purchasing Ordering Letter as an alternative sale of under construction condominium by the developer. First discussion describes the binding power of the Condominium Purchase Order Letter towards the implementation of Sale and Purchase Agreement. Second discussion describes the ownership right of condominium by buying and selling through Purchase Order Letter and Preliminary Sale and Purchase. Third discussion describes whether there is a breach of Purchase Order Letter which is made by Ike Farida and PT. Elite Prima Hutama based on South Jakarta State Court No. 51 PDT.G 2015 PN.JKT.SEL. By using normative legal research, this thesis also concludes that Purchase Order Letter is a form of innominate and standardized agreement. As an agreement, Purchase Order Letter creates legally binding obligation between two parties to implement the Preliminary Sale and Purchase Agreement of Condominium. The implementation process of buying and selling of Condominium unit through Purchase Order Letter and Preliminary Sale and Purchase Agreement have not transferred the Condominium Unit ownership rights of the developer to the buyer. The Purchase Order Letter between Ike Farida and PT. Elite Prima Hutama is valid and binding, so PT. Elite Prima Hutama has been in default or breach of contract by not implementing the Preliminary Sale and Purchase Agreement as agreed in the Purchase Order Letter."
Depok: Universitas Indonesia, 2017
S65765
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Yolanda Kusumawati
"Pengikatan jual beli sebagai pendahuluan dari transaksi jual beli tanah seharusnya didasarkan pada alas hak yang sah agar tidak menimbulkan kerugian bagi para pihak. Penelitian ini membahas mengenai keabsahan akta perjanjian pengikatan jual beli notariil yang didasari dengan akta kuasa menjual di bawah tangan yang dipalsukan serta peran dan tanggung jawab notaris dalam pembuatan perjanjian pengikatan jual beli dalam Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor 46 K/Pid/2017. Penelitian ini merupakan penelitian yuridis normatif yang menggunakan data sekunder dan tipologi penelitian eksplanatoris. Hasil penelitian ini yaitu keabsahan akta perjanjian pengikatan jual beli notariil yang didasari dengan akta kuasa menjual di bawah tangan yang dipalsukan adalah menjadi akta yang tidak memiliki kekuatan hukum karena melanggar syarat subjektif dan syarat objektif perjanjian. Peran notaris dalam pembuatan perjanjian pengikatan jual beli dalam Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor 46 K/Pid/2017 adalah membuat akta perjanjian pengikatan jual beli dengan dasar berupa akta di bawah tangan yang seharusnya dipersyaratkan legalisasi untuk mencegah pemalsuan tanda tangan para pihak dalam akta dan tanggung jawab yang dapat dikenakan kepada notaris secara pidana dan perdata adalah tidak ada karena Notaris MN tidak terlibat dalam pemalsuan akta kuasa menjual tersebut.

The binding sale and purchase as a prelude to the sale and purchase transaction of land should be based on legal rights so as not to cause harm to the parties. This research discusses the validity of the notarial sale and purchase binding agreement deed based on the forged under hand deed of authorization to sell and the role and responsibility of the notary in making the sale and purchase binding agreement  in the Supreme Court of The Republic of Indonesia Decision Number 46 K/Pid/2017. This research is a normative juridical research using secondary data and explanatory research typology. The results of this research are the validity of the notarial sale and purchase binding agreement deed based on the forged under hand deed of authorization to sell to become a deed that has no legal force beacuse it violates the subjective and objective terms of agreement. The role of the notary in making the sale and purchase binding agreement in the Supreme Court of The Republic of Indonesia Decision Number 46 K/Pid/2017 is making a deed of sale and purchase binding agreement based on an under hand deed which should require legalization to prevent falsification of the signatures of the parties in the deed and the responsibility that can be imposed on the notary in criminal and civil terms is non existent because Notary MN was not involved in the falsification of the deed of authorization to sell."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2022
TA-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Priska Faradina
"Dalam pembentukan suatu perjanjian, kesepakatan para pihak merupakan unsur yang mutlak untuk terjadinya suatu perjanjian. Kesepakatan ini dapat terjadi dengan berbagai cara, namun yang paling penting adalaha danya penawaran dan penerimaan atas penawaran tersebut. Perkembangan ekonomi menuntut masyarakat untuk bersaing sehingga perjanjian yang terjadi dalam masyarakat juga semakin meningkat dan kompleks. Mengenai hal ini, KUH Perdata memfasilitasinya dengan Pasal 1338 KUH Perdata yang dikenal dengan asas kebebasan berkontrak, dimana setiap orang diberikan kebebasan untuk membuat perjanjian. Dengan adanya asas kebebasan berkontrak serta perkembangan dunia bisnis, maka diperlukan suatu upaya pelayanan yang praktis, efisien dan juga efektif. Untuk merealisasikan hal ini dibuatlah suatu perjanjian yang sifatnya standar kontrak baku . Namun dengan penggunaan kontrak baku ini menyebabkan salah satu pihak dalam perjanjian tersebut memiliki kedudukan yang lebih lemah daripada pihak lainnya. Hal ini menimbulkan permasalahan hukum karena keadaan yang tidak seimbang diantara para pihak menyebabkan pihak yang kedudukannya lebih lemah menjadi tidak bebas cacat kehendak. Dalam perkembangannya, cacat kehendak juga dapat terjadi karena adanya penyalahgunaan keadaan yang menyangkut dengan keadaan yang berperan pada saat terjadinya kontrak yang menyebabkan kehendak yang disalahgunakan menjadi tidak bebas. Berdasarkan kondisi diatas, penulis melakukan penelitian dengan menggunakan metode penelitian kepustakaan, yang datanya bersumber dari bahan kepustakaan. Hasil dari penelitian ini menyatakan bahwa suatu kontrak baku dapat dikatakan sebagai suatu penyalahgunaan keadaan apabila memenuhi unsur-unsur dari penyalahgunaan keadaan itu sendiri, akibatnya kontrak baku tersebut dapat dimintakan pembatalannya.

In the formation of a treaty, the parties 39 agreement is an essential element of an agreement. This deal can happen in many ways, but the most important is the offer and acceptance of the offer. Economic development requires people to compete so that agreements that occur in society are also increasing and becoming more complex. Regarding this matter, the Civil Code facilitates it with Article 1338 which is known as the principle of freedom of contract, in which everyone is given the freedom to make agreements. With the principle of freedom of contract and the development of the business world, it is necessary a to have a form of agreement that is practical, efficient and also effective. To make this happen, a standard contract is made. However, with the use of this standard contract, one party in the agreement has a weaker position than the other. This creates a legal problem because the unbalanced state among the parties causes the weaker party to become non free defective will . In its development, defects of the will can also occur because of the abuse of circumstances that pertain to the circumstances that play a role at the time of the contract that causes the will to be abused becomes not free. Based on the above conditions, the authors conducted research using literature research methods, the data derived from literature materials. The results of this study indicate that a standard contract can be said as a abuse of circumstances if it meets the elements of the abuse of the condition itself, consequently the standard contract can be requested for cancellation.
"
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2018
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Novika Kholis Putri
"Sebagian besar masyarakat belum mampu membeli produk yang dibutuhkannya itu secara tunai karena mereka masih tergolong masyarakat berpenghasilan rendah, dalam hal ini PT X selaku pihak pertama adalah suatu perusahaan pembiayaan konsumen yang menyediakan penyediaan dana untuk pengadaan barang berdasarkan kebutuhan konsumen dengan pembayaran secara angsuran. RS selaku pihak kedua meminta suatu fasilitas dalam bentuk penyediaan dana kepada PT X untuk pembelian satu unit kendaraan dari Dealer PD. Y. Bagaimana pelaksanaan isi perjanjian pembiayaan konsumen antara PT X dengan RS serta bagaimana penyelesaian masalahnya.
Dalam penelitian ini metode penelitian bertipe penelitian hukum normatif, data yang dianalisis secara kualitatif, dan bersifat deskriptif analitis. Sumber data yang digunakan adalah data primer dan data sekunder yang dianalisis secara kualitatif. Hasil penelitian menunjukkan bahwa perjanjian pembiayaan konsumen telah sesuai dengan asas kebebasan berkontrak dan Pasal 1320 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata tetapi di dalam pelaksanaannya RS telah menunjukkan itikad tidak baik.

Most of consumers in Indonesia still do not afford to cash the products, since those people are classified as low-income communities. Hence, PT X as a first party in this case, is a consumer finance company which supports a cash of products that the consumers are going to buy by installment. RS as a second party, asked a facility by means of providing cash from PT X to buy one unit of vehicle from PDY as a dealer. How was the implimentation of consumer finance agreement among parties and also how to settle the dispute were the main problem in this research.
In this research, various methods were applied to gather qualitative data. The methods were normative legal and descriptive research. Primary and secondary data were used as a source of reference. The result shows that consumer finance agreement has met the principle of freedom of contract and has followed section 1320 of civil code. However, in the implementation of agreement, RS did not act in a good faith.
"
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2011
T28699
UI - Tesis Open  Universitas Indonesia Library
cover
Kurniastuti Putri Fikdiani
"Negara mempunyai kekuasaan untuk mengelola sumber daya alam demi mewujudkan keadilan sosial, kesejahteraan umum dan untuk kemakmuran rakyat. Instrumen hukum kontrak menjadi payung hukum sebagai upaya perlindungan hukum terhadap aset negara yang berupa minyak dan gas bumi. Kontrak Bagi Hasil menjadi pilar dasar dalam upaya pengelolaan dan pemanfaatan kegiatan usaha minyak dan gas bumi. Kontrak Bagi Hasil merupakan kontrak publik yang tidak sepenuhnya tunduk pada hukum privat. Dalam melakukan hubungan kontraktualnya, negara tidak boleh dirugikan (imunitas negara) dan harus memperhatikan klausula-klausula yang menitikberatkan pada perlindungan aset negara. Penelitian ini dilatarbelakangi oleh suatu persoalan bagaimana hak menguasai negara atas sumber daya minyak dan gas bumi sebagaimana diamanatkan UUD 1945 Pokok permasalahan dalam penelitian ini adalah hak menguasai negara atas sumber daya minyak dan gas bumi dalam pelaksanaan kontrak kerja sama minyak dan gas bumi dalam UU No. 22 Tahun 2001 tentang Migas yang telah diajukan pengujiannya berdasarkan UUD 1945 ke Mahkamah Konstitusi. apakah sudah tepat langkah pemerintah membentuk SKK Migas sebagai pengganti BP Migas berdasarkan putusan Mahkamah Konstitusi? Untuk menjawab permasalahan tersebut akan ditinjau mengenai putusan mahkamah konstitusi Republik Indonesia Nomor 36/PUU-X/2012 mengenai pengujian Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2001 tentang Minyak dan Gas Bumi terhadap UUD 1945.

Penelitian akan dilakukan dengan menggunakan metodologi penelitian Yuridis Normatif. Jadi data yang dikumpulkan adalah data sekunder (terdiri dari bahan hukum primer, sekunder dan tertier).Metode pengumpulan data dilakukan menggunakan studi dokumen atau penelusuran kepustakaan. Kesimpulan, Pergantian BP Migas yang telah dinyatakan inkonstitusional oleh Mahkamah Konstitusi ke SKK Migas bertentangan dengan Putusan Mahkamah Konstitusi. Keberadaan SKK Migas sebagai penerus BP Migas dalam skema KKS kegiatan hulu migas tetap tidak menganut skema perjanjian ”B to B” (Business to Business) tetapi ”B to G” (Business to Government). Model hubungan antara SKK Migas sebagai representasi negara dengan Badan Usaha/Badan Usaha Tetap dalam pengelolaan migas mendegradasi makna dari penguasaan negara atas sumber daya alam migas.


State has the power to manage natural resources for the sake of social justice, the general welfare and are used as much as possible the greatest benefit for the greatest welfare of people. Contract law is the main instrument used to protect the state assets including oil and gas. Production Sharing Contract as a legal safeguard for oil and gas, is a fundamental pillar in the effort and utilization management activities of oil and gas. In this Production Sharing Contract, which the contracts also involve the government and called government contract, has a unique characteristic which is not entirely subject to private law. In principle, the state should not be harmed, called as state immunity. This principle also applies universally in the interest of protecting the state assets. The research was distributed by a question of how the State's right to control the resources of oil and natural gas as the Principal problems of the Constitution mandated in this study was the right controlled the country over resources oil and gas contracts in the implementation of cooperation in the oil and gas law No. 22 of 2001 concerning oil and natural gas that has been done based on the proposed Constitution to the Constitutional Court. is it just a step the Government shape the SKK in lieu of BP Migas based on the ruling of the Constitutional Court? To answer these problems will be reviewed regarding the ruling of the Constitutional Court of the Republic of Indonesia No. 36/PUU-X/2012 about testing Act No. 22 of 2001 concerning oil and Gas against the Constitution. Research will be carried out using the methodology of Juridical Normative research. So the data collected is secondary data (consisting of the primary law, secondary materials and tertier). Method of data collection is done using the search library documents or studies. In conclusion, the turnover of BP Migas which has been declared unconstitutional by the Constitutional Court Verdict contradicts SKK Migas to the Constitutional Court. The existence of SKK Migas as successor to BP Migas in the oil and gas upstream activities KKS scheme still isn't embraced the scheme agreement "B to B" (Business to Business) but "B to G" (Business to Government). Models of the relationship between SKK Migas as country representation by business entities/business entity Remains in the management of oil and gas it degrades the meaning of State control over natural resources of oil and gas.

"
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2014
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Audita Kandi Putri Maharani
"Dalam perjanjian jual beli hak atas tanah para pihak harus memegang teguh asas itikad baik dan asas konsensualisme berdasarkan Pasal 1338 dan Pasal 1320 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata. Sering kali jual beli tidak berjalan dengan baik, yang mengakibatkan salah satu pihak mengalami kerugian. Adapun permasalahan yang diangkat dalam penelitian ini adalah mengenai perlindungan hukum ahli waris (pembeli) dari perbuatan melawan hukum ahli waris pemilik sebelumnya (penjual) yang telah menjual lagi tanah kepada pihak ketiga. Jual beli didasari atas Perjanjian Pengikatan Jual Beli yang dilakukan secara melawan hukum yang mengakibatkan pihak yang mengalami kerugian perlu diberi perlindungan hukum. Metode penelitian pada penulisan ini menggunakan metode penelitian yuridis normatif dengan menggunakan data sekunder berupa bahan-bahan hukum dan tipe penelitian ini menggunakan tipologi penelitian eksplanatoris dengan harapan penulis dapat melakukan penyempurnaan dalam penerapan teori dari hasil penelitian yang ada. Dalam pertimbangan Majelis Hakim terkait Putusan Mahkamah Agung Nomor04 Pk/Pdt/2020, menyatakan bahwa penjual dan pihak ketiga telah melakukan perbuatan melawan hukum terhadap tanah milik pembeli. Sehingga dalam hal ini pembeli selaku pembeli beritikad baik wajib dilindungi terhadap apa yang menjadi haknya untuk tanah tersebut. Diharapkan Notaris dalam melakukan pembuatan akta Perjanjian Pengikatan Jual Beli lebih berhati-hati dan saksama dalam melakukan pemeriksaan terhadap identitas serta kelengkapan dokumen para penghadap agar akta yang dibuatnya tidak menjadi permasalahan dikemudian hari.

In the sale and purchase agreement of land rights, the parties must uphold the principles of good faith and the principle of consensualism based on Article 1338 and Article 1320 of the Civil Code. Often the sale and purchase does not go well, which results in one party experiencing a loss. The problems raised in this study are regarding the legal protection of the heirs (buyers) from unlawful acts of the heirs of the previous owner (the seller) who have resold the land to a third party. The sale and purchase is based on a Sale and Purchase Binding Agreement which is carried out against the law which results in the party experiencing a loss that needs to be given legal protection. The research method at this writing uses a normative juridical research method using secondary data in the form of legal materials and this type of research uses an explanatory research typology with the hope that the author can make improvements in the application of theory from existing research results. In the consideration of the Panel of Judges regarding the Supreme Court's Decision Number 04 Pk/Pdt/2020, it was stated that the seller and a third party had committed an unlawful act against the buyer's land. So in this case the buyer as a buyer with good intentions must be protected against what is his right to the land. It is expected that the Notary in making the deed of the Sale and Purchase Binding Agreement is more careful and thorough in checking the identity and completeness of the documents of the appearers so that the deed he makes does not become a problem in the future."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2022
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Amira Khansa Rahmadita
"Pasal 1266 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata menentukan bahwa wanprestasinya salah satu pihak tidak otomatis mengakhiri perjanjian, melainkan pengakhiran perjanjian harus dimintakan kepada hakim. Namun, pada praktiknya para pihak lazim mengesampingkan Pasal 1266 KUH Perdata sehingga dalam hal terjadi wanprestasi perjanjian bisa diakhiri secara sepihak. Permasalahan yang akan dibahas dalam artikel ini meliputi pandangan ahli hukum terhadap pengesampingan Pasal 1266 KUH Perdata dan implementasi klausul pengesampingan 1266 KUH Perdata berdasarkan putusan-putusan pengadilan dengan menggunakan metode penelitian yuridis normatif. Artikel ini menjawab bahwa terdapat perbedaan pandangan di kalangan ahli hukum mengenai dapat atau tidaknya para pihak mengesampingkan Pasal 1266 KUH Perdata yang dilihat dari sifat kaidah hukumnya, kasus demi kasus, dan para pihak yang membuat perjanjian. Berdasarkan putusan-putusan pengadilan yang Penulis analisis, sebagian besar hakim menerima implementasi klausul pengesampingan Pasal 1266 KUH Perdata dengan menggunakan dasar hukum Pasal 1338 ayat (1) KUH Perdata. Sehingga kesepakatan para pihak mengenai pengesampingan Pasal 1266 KUH Perdata di dalam perjanjian harus ditaati oleh para pihak yang bersangkutan. Hakim yang menolak implementasi klausul pengesampingan Pasal 1266 KUH Perdata berpendapat bahwa pengesampingan Pasal 1266 KUH Perdata melanggar ketentuan Pasal 1266 KUH Perdata itu sendiri

Article 1266 of the Indonesian Civil Code stipulates that the event of default does not automatically terminate the contract, but termination of a contract shall be requested to the Judge. However, in practice, the parties usually set aside Article 1266 of the Indonesian Civil Code so one party entitles to terminate the contract unilaterally. The main issues discussed in this article are the opinion of legal experts about the waiver of Article 1266 of the Indonesian Civil Code and the implementation of the waiver clause of Article 1266 of the Indonesian Civil Code based on court decisions using a normative juridical research method. This article explains that there are different opinions from legal experts regarding whether or not the parties can waive Article 1266 of the Indonesian Civil Code, judging from the nature of the legal rule, the cases, and the parties of the contract. Based on the court decisions that have been analyzed, most of the judges accepted the implementation of such waiver clause using Article 1338 paragraph (1) of the Indonesian Civil Code as the legal basis. Judges who do not accept the implementation of such waiver clause considered it a violation of Article 1266 of the Indonesian Civil Code itself."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2023
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Chrisya Nadine Immanuela
"Proses jual beli seringkali didasari dengan pembuatan Perjanjian Pengikatan Jual Beli sebelum dilanjutkan dengan Akta Jual Beli. Para pihak tidak menyadari adanya ketentuan yang juga mengikat akibat pembuatan Perjanjian Pengikatan Jual Beli walaupun belum terjadinya peralihan hak. Penulisan ini terdiri dari dua rumusan masalah, yaitu mengenai akibat hukum terhadap perbuatan melawan hukum setelah penandatanganan Perjanjian Pengikatan Jual Beli dan mengenai pertimbangan hakim dalam memutus perkara perbuatan melawan hukum setelah penandatanganan Perjanjian Pengikatan Jual Beli. Penulisan ini menggunakan metode yuridis normatif dan tipologi penelitian eksplanatoris. Bahan hukum yang digunakan adalah bahan hukum primer berupa peraturan perundang-undangan yang mengatur terkait Perjanjian Pengikatan Jual Beli, Akta Pemberian Hak Tanggungan, perbuatan melawan hukum, dan juga kredit, sedangkan bahan hukum sekunder yang terdiri dari buku, jurnal, dan internet. Penulisan ini juga melakukan wawancara baik terhadap Notaris dan PPAT serta juga kepada Bank. Penulis menyimpulkan bahwa akibat adanya perbuatan melawan hukum setelah dilakukan penandatanganan Perjanjian Pengikatan Jual Beli, maka Akta Pemberian Hak Tanggungan dapat batal demi hukum karena tidak dibuat atas dasar sebab yang halal. Selain itu, pertimbangan majelis hakim dalam memutuskan perkara perbuatan melawan hukum setelah penandatanganan Perjanjian Pengikatan Jual Beli kurang tepat karena tidak mempertimbangkan mengenai hak dan kewajiban yang timbul akibat Perjanjian Pengikatan Jual Beli. Majelis hakim juga seharusnya mempertimbangkan tentang perbuatan Bank. Hal ini karena Bank tidak menerapkan prinsip kehati-hatian Bank dalam pemeriksaan sebelum pemberian kredit.

The buying and selling process is often based on the making of a Sale and Purchase Binding Agreement before proceeding with the Sale and Purchase Deed. The parties are not aware of the existence of provisions that are also binding due to the making of the Sale and Purchase Binding Agreement even though there has not been a transfer of rights. This writing consists of two problem formulations, namely regarding the legal consequences of unlawful acts after the signing of the Sale and Purchase Binding Agreement and regarding the judge's considerations in deciding cases of unlawful acts after the signing of the Sale and Purchase Binding Agreement. This writing uses a normative juridical method and an explanatory research typology. The legal materials used are primary legal materials in the form of laws and regulations relating to the Sale and Purchase Binding Agreement, Deed of Granting Mortgage Rights, unlawful acts, and also credit, while secondary legal materials consist of books, journals, and the internet. This writing also conducts interviews with both Notaries and PPAT as well as to Banks. The author concludes that as a result of an unlawful act after the signing of the Sale and Purchase Binding Agreement, the Deed of Granting Mortgage may be null and void because it was not made on the basis of a lawful cause. In addition, the consideration of the panel of judges in deciding cases of unlawful acts after the signing of the Sale and Purchase Binding Agreement is not appropriate because it does not consider the rights and obligations arising from the Sale and Purchase Binding Agreement. The panel of judges should also consider the actions of the Bank. This is because the Bank does not apply the prudential principle of the Bank in the examination before granting credit."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2022
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>