Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 172398 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Steven Zulkifly
"Latar Belakang. Lean NAFLD lebih sering ditemukan di negara Asia dan prevalensinya di Indonesia masih belum diketahui. Tingginya prevalensi, asimptomatik dan baru bergejala setelah timbul komplikasi, dan tingginya mortalitas lean NAFLD menjadikan perlunya deteksi dini pada populasi dewasa dengan IMT <23 kg/m2. Skrining pada populasi umum tidak direkomendasikan karena meningkatkan biaya kesehatan.
Tujuan. Membuat sistem skoring untuk penapisan lean NAFLD pada populasi dewasa di Jakarta.
Metode. Studi ini menggunakan desain potong lintang dari laporan pemeriksaan kesehatan individu dewasa >18 tahun dengan IMT <23 kg/m2 yang melakukan pemeriksaan kesehatan di klinik. Parameter yang dianalisis antara lain usia, jenis kelamin, lingkar pinggang, kadar GDP, kolesterol total, HDL, LDL, trigliserida, AST, ALT, dan asam urat. Variabel dengan nilai p <0,25 dilanjutkan ke analisis multivariat untuk pembuatan sistem skoring.
Hasil. Sebanyak 276 individu diikutsertakan pada penelitian ini dan didapatkan prevalensi lean NAFLD sebesar 9,8%. Lean NAFLD lebih banyak ditemukan pada laki-laki dan memiliki karakteristik usia lebih tua, IMT, lingkar pinggang, kadar GDP, ALT, dan trigliserida lebih tinggi dibanding lean tanpa NAFLD. Analisis bivariat mendapatkan jenis kelamin laki-laki, usia ≥45 tahun, kadar GDP ≥100 mg/dL, ALT ≥35 U/L, dan trigliserida ≥150 mg/dL berhubungan dengan lean NAFLD. Sistem skoring melibatkan 4 parameter yaitu laki-laki, kadar GDP ≥100 mg/dL, ALT ≥35 U/L, dan trigliserida ≥150 mg/dL dengan masing-masing bernilai 1 poin. Model skoring ini memiliki sensitivitas 44,4%, spesifisitas 84,3%, dan AUROC 0,74.
Kesimpulan. Parameter jenis kelamin, kadar GDP, ALT, dan trigliserida dapat digunakan sebagai sistem skoring dengan performans menengah untuk penapisan lean NAFLD dewasa.
.....Background. Lean NAFLD is commonly found in Asian countries and its prevalence in Indonesia is still unknown. The high prevalence, asymptomatic until complications occur, and the high mortality of lean NAFLD makes it necessary for early detection in adult with BMI <23 kg/m2. Screening in general population is not recommended due to the high cost burden.
Aim. To develop a scoring system for screening lean NAFLD in adults in Jakarta Methods. A cross-sectional study design was conducted from medical examination reports from individual >18 years old and BMI <23 kg/m2 who performed medical check up at the clinic. Several parameters including age, gender, waist circumference (WC), fasting blood glucose (FBG), total cholesterol (TC), HDL, LDL, triglycerides (TG), AST, ALT, and uric acid (UA) were analyzed in this study. Variabels with p-value <0.25 were included in multivariate analysis for the development of scoring systems.
Results. A total of 276 people were enrolled in this study. Prevalence of lean NAFLD is 9.8%. Lean NAFLD are more commonly found in men and have older age, higher BMI, WC, GDP, ALT, and TG levels than lean non-NAFLD. In bivariate analysis, male sex, age ≥ 45 years, FBG ≥100 mg/dL, ALT ≥35 U/L, and TG ≥150 mg/dL are associated with lean NAFLD. The scoring system involves four parameters including male, FBG ≥100 mg/dL, ALT ≥35 U/L, and TG ≥150 mg/dL, worth 1 point each. This model has sensitivity 44.4%, specificity 84.3%, and AUROC 0.74.
Conclusion. Parameters including gender, FBG, ALT, and TG levels can be used as a scoring system with moderate performance for screening lean NAFLD in adults."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2023
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Chyntia Olivia Maurine Jasirwan
"

Latar Belakang: Non alcoholic fatty liver disease (NAFLD) merupakan kondisi perlemakan hati yang merupakan salah satu faktor risiko karsinoma hepatoselular (KSH). NAFLD melibatkan berbagai faktor dalam patogenesisnya, salah satunya mikrobiota saluran cerna. Disbiosis mikrobiota saluran cerna dianggap sebagai faktor utama dalam peristiwa disregulasi sistem imun dan inflamasi pada patogenesis NAFLD.

Tujuan: Studi ini bertujuan untuk melihat profil dan konfigurasi mikrobiota saluran cerna pasien dengan NAFLD dan pengaruhnya terhadap nilai kondisi fibrosis dan stratosis hati yang tercermin dalam nilai controlled attenuation parameter (CAP) dan transient elastography (TE).

Metode: Dilakukan studi potong lintang analitik terhadap 37 pasien dengan NAFLD yang memenuhi kriteria inklusi di Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo pada Desember 2018 hingga Maret 2019. Dilakukan anamnesis, wawancara food recall, pemeriksaan fisik, pemeriksaan laboratorium, pemeriksaan CAP-TE, dan pengambilan sampel feses pada pasien subjek penelitian. Mikrobiota saluran cerna disekuensing dengan Next-Generation Sequencing (NGS) platform Miseq (Illumina).

Hasil: NAFLD lebih dominan pada wanita dan penderita penyakit sindrom metabolik. Firmicutes, Bacteroidetes, dan Proteobacteria berturut-turut merupakan filum dengan proporsi terbesar. Disbiosis mikrobiaota saluran cerna didapatkan pada separuh dari sampel subjek penelitian. Rasio Firmicutes/Bacteroidetes (RFB) pada setiap pasien berbeda-beda dan tidak berkorelasi secara signifikan terhadap variabel sindrom metabolik. Diversitas mikrobiota saluran cerna didapatkan menurun pada pasien NAFLD dengan trigliserida tinggi dan obesitas sentral.

Simpulan: Sejumlah mikrobiota saluran cerna pada tingkat taksonomi yang berbeda memiliki korelasi positif maupun negatif terhadap fibrosis dan steatosis.


Background: Non alcoholic fatty liver disease (NAFLD) is fatty liver condition that can lead to hepatocellular carcinoma (HCC). NAFLD is multifactorial component in its pathogenesis, one of which is gut microbiota. Dysbiosis of gut microbiota is considered as main factor in the dysregulation of immune system  and inflammatory condition in the pathogenesis of NAFLD.

Aim: This study aim to investigate the profile and configuration of gut microbiota in patient with NAFLD dan its correelation withfibrosis and steatosis condition as reflected in controlled attenuation parameter (CAP) dan transient elastography (TE) value.

Method: cross sectional study was done upon 37 NAFLD patients in Cipto Mangunkusumo National General Hospital from December 2018 to March 2019. All subjects undergone food recall examination, physical and laboratory examination, CAP-TE value measurement, and fecal sample examination. The gut microbiota was investigated through 16s RNA sequensing by Next-Generation Sequencing (NGS) platform Miseq (Illumina).

Result: NAFLD was predominant in female subjects and those with metabolic syndrome. Firmicutes, Bacteroidetes, dan Proteobacteria was the predominant phylum consecutively. Dysbiosis was appeared in half of the study subjects. The Ratio of Firmicutes/Bacteroidetes was different in each patients and has no significnat correlation with metabolic syndrome variables. The diversity of gut microbiota was decresed in NAFLD patients with high tryglicerides and central obesity.

Conclusion: Certain gut microbiota at different taxonomy level have positive and negative correlation with fibrosis and steeatosis.

"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2019
SP-Pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
London : Elsevier, 2005
616.33 SPE
Buku Teks SO  Universitas Indonesia Library
cover
Nico Gandha
"Latar belakang: Psoriasis adalah suatu penyakit inflamasi kulit yang kronik, ditandai oleh plak eritematosa dan skuama kasar berlapis. Psoriasis dihubungkan dengan berbagai penyakit penyerta. Penyakit perlemakan hati nonalkoholik (PPHNA) merupakan salah satu penyakit penyerta yang sering ditemukan dan dapat memengaruhi derajat keparahan psoriasis, begitu pula sebaliknya. Penelitian untuk mengetahui korelasi derajat keparahan psoriasis dan perlemakan hati nonalkoholik (PHNA) belum pernah dilakukan.
Tujuan: Mengetahui korelasi derajat keparahan psoriasis dan derajat PHNA.
Metode: Studi potong lintang ini dilakukan terhadap pasien psoriasis dewasa di Poliklinik Ilmu Kesehatan Kulit dan Kelamin Rumah Sakit dr. Cipto Mangunkusumo pada bulan Desember 2017-Februari 2018. Dilakukan anamnesis dan pemeriksaan fisis untuk mendapatkan nilai derajat keparahan psoriasis (psoriasis area and severity index; PASI) dan dicatat pula nilai body surface area (BSA). Penelitian dilanjutkan dengan pemeriksaan derajat PHNA pada semua pasien dengan menggunakan controlled attenuation parameter (CAP).
Hasil: Didapatkan total 36 subjek dengan rerata umur 49,08 tahun (+15,52 tahun). Proporsi psoriasis derajat ringan, sedang, dan berat berturut-turut adalah 50%, 27,8%, dan 22,2%. Median PASI 6,1 (2-38,4) dan median BSA 7,5 (2-93). Proporsi PPHNA berdasarkan CAP adalah 77,8%. Rerata skor CAP 250,03+45,64. Tidak terdapat korelasi yang bermakna secara statistik antara derajat keparahan psoriasis berdasarkan PASI dengan derajat PHNA berdasarkan CAP (r=0,258; p=0,128). Namun bila digunakan BSA pada penilaian derajat keparahan psoriasis, didapatkan hasil korelasi yang bermakna (r=0,382; p=0,021). Ditemukan bahwa indeks massa tubuh (IMT) dan lingkar perut berkorelasi positif secara bermakna dengan skor CAP (berturut-turut r=0,448, p=0,006 dan r=0,485, p=0,003).
Kesimpulan: Tidak ditemukan korelasi yang bermakna secara statistik antara derajat keparahan psoriasis berdasarkan PASI dengan derajat PHNA. Namun ditemukan korelasi yang bermakna antara derajat keparahan psoriasis berdasarkan BSA dengan derajat PHNA. Luas lesi kulit psoriasis berpengaruh terhadap derajat PHNA. Selain itu terdapat beberapa faktor, misalnya IMT dan lingkar perut, yang dapat memengaruhi derajat keparahan PHNA pada pasien psoriasis.

Background: Psoriasis is a chronic inflammatory skin disease, characterized by erythematous plaques and thick scales. Psoriasis is associated with various comorbidities. Nonalcoholic fatty liver disease (NAFLD) is one of the most common comorbidities that can affect the severity of psoriasis, vice versa. Research regarding the correlation of the severity of psoriasis and nonalcoholic fatty liver (NAFL) has never been done.
Objective: To measure the correlation of the severity of psoriasis and the degree of NAFL. Methods: A cross-sectional study of adult patients with psoriasis was conducted in Dermatovenereology outpatient clinic of Cipto Mangunkusumo Hospital from December 2017 through February 2018. Psoriasis severity (psoriasis area and severity index; PASI) and body surface area (BSA) were recorded and compared with NAFL severity by controlled attenuation parameter (CAP).
Results: A total of 36 subjects were enrolled with an average age of 49.08 years (+15.52 years). The proportions of mild, moderate, and severe psoriasis were 50%, 27.8%, and 22.2%, respectively. Median PASI was 6.1 (2-38.4) and BSA was 7.5 (2-93). The proportion of NAFLD was 77.8%. The mean of CAP score was 250.03+45.64. There was no statistically significant correlation between the severity of psoriasis based on PASI and CAP score (r = 0.258; p = 0.128). However, based on BSA, we found significant correlation (r = 0.382; p = 0,021). The body mass index (BMI) and abdominal circumference were significantly correlated with CAP score (r = 0.448, p = 0.006 and r = 0.485, p = 0.003, respectively).
Conclusion: There was no statistically significant correlation between the severity of psoriasis based on PASI and nonalcoholic fatty liver degree, but a statistically significant correlation was found when using BSA in measuring the severity of psoriasis. In psoriasis, the extent of skin lesions may be influential to the degree of nonalcoholic fatty liver. In addition there are several factors, such as BMI and abdominal circumference, which may affect the severity of nonalcoholic fatty liver in psoriasis patients."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2018
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Kemas Rakhmat Notariza
"Background: hypothyroidism is a common concomitant disease of non-alcoholic fatty liver disease (NAFLD). Previous studies regarding the relationship between subclinical hypothyroidism and NAFLD showed conflicting results, ranging from a strong association to not significant one. This case report aimed to investigate the risk of developing NAFLD in subclinical hypothyroidism patients. Methods: literature searching used ScienceDirect, PubMed, ProQuest, and Scopus. Filtering process of titles and abstracts by using inclusion and exclusion criteria yielded 4 eligible articles (1 systematic review, 1 prospective cohort, 1 retrospective cohort, and 1 case-control study) for answering the clinical question. Critical appraisal was conducted by using worksheets from Centre for Evidence-Based Medicine, University of Oxford. Results: the systematic review was considered invalid due to its less comprehensive search for relevant studies, inappropriate article selection to find a causal relationship between diseases, and statistical heterogeneity. The retrospective cohort was decided unimportant because it possessed a relative risk of 0.85 (95% confidence interval [CI], 0.72--1.00) which the upper limit of its CI included 1.00. The rest were valid and had important risk relative and odds ratio (1.27 [95% CI, 1.09--1.47], 3.41 [95% CI, 1.16--9.98]; respectively). The number needed to harm (5 - 17) indicated the clinically meaningful harm of the exposure since only a few patients with subclinical hypothyroidism is needed to obtain one additional NAFLD incidence. Those two articles were also suitable to be applied in our case.
Conclusion: patients with subclinical hypothyroidism, compared to euthyroid patients, are at higher risk of developing NAFLD.

Latar belakang: hipotiroidisme merupakan penyakit penyerta yang sering ditemukan pada pasien dengan penyakit perlemakan ati non-alkoholik (non-alcoholic fatty liver disease [NAFLD]). Penelitian-penelitian terdahulu mengenai hubungan antara hipotiroidisme subklinis dan NAFLD memperlihatkan hasil yang bertentangan, mulai dari hubungan kuat hingga asosiasi yang tidak signifikan. Laporan kasus ini bertujuan untuk menginvestigasi risiko berkembangnya NAFLD pada pasien hipotiroidisme subklinis.
Metode: penelusuran literatur menggunakan basis data ScienceDirect, PubMed, ProQuest, dan Scopus. Penapisan judul dan abstrak dengan kriteria inklusi dan eksklusi menghasilkan 4 artikel (1 telaah sistematis, 1 kohort prospektif, 1 kohort retrospektif, dan 1 studi kasus-kontrol) yang sesuai untuk menjawab pertanyaan klinis. Telaah kritis dilakukan dengan menggunakan lembar kerja dari Centre for Evidence-Based Medicine, University of Oxford.
Hasil: telaah sistematis dianggap tidak valid karena memiliki penelusuran yang kurang komprehensif terhadap studi-studi terkait, seleksi artikel yang kurang tepat untuk menyimpulkan hubungan kausal antarpenyakit, dan heterogenitas statistik. Kohort retrospektif dinilai tidak penting karena memiliki risiko relatif 0,85 (interval kepercayaan [IK] 95%, 0,72—1,00) yang batas atas IK-nya meliputi 1,00. Dua artikel lainnya valid serta memiliki risiko relatif dan rasio odds yang penting (1,27 [IK 95%, 1,09—1,47], 3,41 [IK 95%, 1,16—9,98]; berturut-turut). Number needed to harm (5—17) mengindikasikan bahaya yang bermakna secara klinis dari pajanan hipotiroidisme subklinis karena hanya sedikit pasien dengan hipotiroidisme subklinis yang dibutuhkan untuk memperoleh tambahan satu insidens NAFLD. Kedua artikel tersebut juga memiliki kemamputerapan yang baik untuk kasus ini. Kesimpulan: pasien dengan hipotiroid subklinis, dibandingkan dengan pasien eutiroid, berisiko lebih tinggi untuk mengalami NAFLD
"
Jakarta: University of Indonesia. Faculty of Medicine, 2019
610 UI-IJIM 51:2 (2019)
Artikel Jurnal  Universitas Indonesia Library
cover
Ahmad Hazim
"Latar Belakang. Keluarga derajat pertama (first degree relatives/FDR) dari Diabetes Melitus tipe 2 (DMT2) memiliki kecenderungan untuk memiliki gangguan metabolik dan vaskular lebih dini tanpa melaui resistensi insulin (RI) sebagai perantaranya seperti lebih tebalnya tunika intima media karotis. Penyakit perlemakan hati non-alkoholik (non-alcoholic fatty liver disease/NAFLD) adalah penyakit hati kronik yang banyak ditemukan pada pasien DMT2 yang dependen terhadap RI. Studi tentang hubungan FDR DMT2 dengan NAFLD masih sangat terbatas dan inkonklusif. Hubungan tersebut masih belum jelas apakah kejadian NAFLD pada FDR DMT2 dependen terhadap RI atau karena kerentanan genetik FDR DMT2.
Tujuan. Untuk mengetahui hubungan antara FDR DMT2 dengan NAFLD.
Metode. Sebanyak 118 dewasa muda (19-39 tahun) dengan toleransi glukosa normal (59 subjek FDR DMT2 dan 59 subjek non-FDR dengan matching usia dan jenis kelamin) diikutsertakan dalam penelitian potong lintang ini. Pengukuran antropometri (tinggi, berat badan, indeks massa tubuh (IMT) dan lingkar perut) dan analisis laboratorium (glukosa darah puasa, HbA1c, profil lipid, serum glutamic pyruvic transaminase (SGPT)), serum glutamic oxaloacetic transaminase (SGOT)) diperiksa pada penelitian ini. Perlemakan hati didiagnosis dengan ultrasonografi (USG) menggunakan kriteria standar.
Hasil Penelitian. Dua puluh enam subjek (22,03%) dengan NAFLD terdeteksi dengan USG dalam penelitian ini dengan proporsi yang sama pada kedua kelompok. Pada kelompok FDR DMT2 didapatkan jumlah subjek dengan angka HDL rendah dan sindrom metabolik lebih tinggi dibandingkan dengan kelompok tanpa FDR.
Kesimpulan. Pada penelitian ini tidak didapatkan hubungan antara FDR DMT2 dengan NAFLD.

Background. First degree relatives (FDR) of type 2 diabetes mellitus (T2DM) predisposes individuals to have earlier metabolic and vascular disorders independent of insulin resistance (IR) such as thicker carotid intima media thickness than that of non-FDR. Non-alcoholic fatty liver disease (NAFLD) is the most commonly found chronic liver disease in T2DM which is IR dependent. Studies about NAFLD in FDR of T2DM populations are very limited and inconclusive. It is unclear whether the occurrence of NAFLD in FDR of T2DM is IR dependent or due to genetic vulnerability.
Aim. to determine the association between NAFLD and FDR of T2DM.
Method. A total of 118 young adults (19-39 years old) with normal glucose tolerance (59 FDR of T2DM and age-sex matched 59 non-FDR subjects) were included in this cross-sectional study. Anthropometric measurement (height, weight, BMI and waist circumference) and routine laboratory analysis (fasting blood glucose, HbA1c, lipid profile, alanine aminotransferase (ALT), aspartate transaminase (AST)) were examined. Fatty liver was diagnosed by ultrasonography (US) using standard criteria.
Result. Twenty-six (22,03%) subjects with NAFLD were detected by US with similar proportion for each group. Low HDL level and metabolic syndrome were found higher in FDR group.
Conclusion. we couldn`t prove the association between FDR of T2DM and NAFLD in this research.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2019
SP-Pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Edi Mulyana
"Latar belakang dan Tujuan: Persentase pasien yang gagal dalam pengukuran kekakuan hati menggunakan transient elastography bervariasi antara 2-10%, umumnya disebabkan oleh obesitas. probe XL, diharapkan dapat meningkatkan keberhasilan pengukuran kekakuan hati pada pasien dengan obesitas. Tujuan penelitian ini adalah untuk menilai keberhasilan pengukuran kekakuan hati dengan menggunakan probe M dan XL serta faktor yang mempengaruhinya.
Metode Penelitian: Pasien yang memenuhi kriteria inklusi diikutsertakan dalam penelitian ini. Hasil pemeriksaan kemudian dianalisis dengan menggunakan uji statistik unpaired t-test atau Mann-Whitney dan uji statistik McNemar.
Hasil Penelitian: Dari 92 pasien NAFLD dengan obesitas yang diteliti, Proporsi keberhasilan pengukuran kekakuan hati menggunakan probe M adalah 57,6 %, sedangkan dengan probe XL 88,0%. Perbedaan ini bermakna secara statistik (p < 0,001). Faktor IMT, SCD dan lingkar toraks berhubungan dengan keberhasilan pengukuran kekakuan hati dengan menggunakan probe M, dengan nilai p masingmasing 0,007,0,001 dan 0,001. Variabel yang sama dengan probe XL tidak menunjukkan hubungan bermakna, dengan nilai p masing-masing 0,321, 0,817 dan 0,216. Hasil uji statistik Mann-Whitney didapatkan nilai median dari IMT dan SCD yang tidak berhasil dilakukan pengukuran kekakuan hati dengan menggunakan probe M adalah masing-masing 32,7Kg/m2 dan 2,6 cm. Hasil uji statistik T-test didapatkan nilai Mean dari lingkar toraks yang tidak berhasil dengan pengukuran kekakuan hati dengan menggunakan probe M adalah 97,8 cm.
Kesimpulan: Proporsi keberhasilan pengukuran kekakuan hati pada pasien NAFLD dengan obesitas dengan menggunakan probe XL lebih baik dibandingkan dengan probe M. Faktor IMT, SCD dan Lingkar Toraks berhubungan dengan keberhasilan pengukuran kekakuan hati dengan menggunakanan probe M. Variabel yang sama tidak berhubungan dengan probe XL.

Background and Aims: The percentage of patients who failed in liver stiffness
measurement (LSM) using transient elastography (Fibroscan®) varies between 2-
10%, generally caused by obesity. The new XL probe, with enhanced features to use in obesity patients, is expected to overcome the limitations and increase . The aims of this prospective study were to asses the success rate of liver stiffness measurement using M and XL probes and influencing factors.
Methods: Patients who fulfilled inclusion criteria were examined for transient elastography with both Fibroscan ® M and XL probe. The results of examination then were analyzed with unpaired t-test or Mann –Whitney and Mc Nemar test.
Results: A total of 92 patients were evaluated, The proportion of successful liver stiffness measurement using M probe was 57,6 %. while the proportion of XL probe was 88 %. ( p< 0,001 ). Skin to liver capsule distance ( SCD ), body mass index ( BMI ) and thoracic circumference was associated with the successfulness of liver stiffness measurement using probe M with respective p values were 0,007, 0,001 and 0,001. The same variables were not associated with successful examination using the XL probe with p values were 0,321, 0,817 and 0,216 respectively. T-test analysis showed mean thoracic circumference value of unsuccessfull liver stiffness measurement using M probe was 97,8 cm. Mann-Whitney test showed median BMI and SCD value of unsuccessfull liver stiffness measurement were 32,7 kg/m2 and 2,6 cm respectively.
Conclusion: The proportion of successful liver stiffness measurement using XL probe higher than M probe. BMI , SCD and thoracic circumference were associated with the successful of liver stiffness measurement using a M probe. The same variables were not associated with successful examination using the XL probe.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2013
SP-Pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Ayu Diandra Sari
"Obesitas merupakan masalah utama pada kesehatan masyarakat dunia yang diketahui juga sebagai salah satu faktor risiko penyakit perlemakan hati non alkoholik(NAFLD). Sistem penilaian untuk mendeteksi NAFLD telah dikembangkan dan divalidasi di Indonesia. Namun, pola makan orang obesitas yang mungkin memberikan pengaruh terhadap NAFLD masih belum diketahui. Penelitian ini mengevaluasi asupan sukrosa pada obesitas dewasa di Jakarta dan hubungannya dengan skor NAFLD. Ini adalah studi potong lintang berbasis komunitas di antara orang dewasa dengan indeks massa tubuh (BMI)>25 kg/m2 antara September dan Oktober 2018 di Jakarta, Indonesia. Asupan sukrosa dinilai menggunakan food recal l2x24 jam, dihitung berdasarkan tabel komposisi makanan Indonesia dan Amerika dengan menggunakan Nutrisurvey 2007.Skor NAFLD terdiri dari enam faktor risiko, yaitu BMI>25 kg/m2, jenis kelamin laki-laki, usia>35 tahun, trigliserida>150 mg/dL, kadar kolesterol lipoprotein kepadatan tinggi<40 mg/dL untuk pria atau <50 mg/dL untuk wanita, dan kadar alanin aminotrans feraseserum >35 U/L. Dari 102 subjek yang terdaftar, 75 orang(73,5%) adalah wanita. Median dari total skor NAFLD adalah 6,7 dengan rentang dari 3,6 hingga 10,2. Median asupan karbohidrat total adalah 179,6 (54,1-476,8) g/hari, dan median total asupan sukrosa adalah 47,0 (13,7-220,5) g/hari. Asupan sukrosa lebih tinggi signifikan pada responden dengan skor NAFLD >6,7 dibandingkan <6,7. (47,8 vs. 45,3 g; p=0,042; Mann-Whitney U test). Analisis multivariat mengonfirmasi adanya hubungan asupan sukrosa dan skor tinggi perlemakan hati non alkoholik.
Kesimpulan: Asupan sukrosa tidak memiliki hubungan bermakna dengan skor NAFLD pada penyandang obesitas dewasa, namun bermakna jika dikaitkan dengan skor tinggi perlemakan hati non alkoholik. Dibutuhkan penelitian lebih lanjut untuk pengembangan variabel tambahan pada skor NAFLD.

Obesity is a major problem in a world public health which is also known as one of the risk factors of non-alcoholic fatty liver disease (NAFLD). An assessment system for detecting NAFLD has been developed and validated in Indonesia. However, the diet pattern of obese people who might have an effect on NALFD is still unknown. This study evaluated sucrose intake among obese adults in Jakarta and ints association with NAFLD score. This was a community-based cross sectional study among adults with body mass index (BMI) >25 kg/m2 between September and Oktober 2018 in Jakarta, Indonesia. Sucrose intake was assessed using 2x24-hour food recall, calculated based on the Indonesian and American food composition tables using dietary software Nutrisurvey. The NAFLD score consists of six risk factors, i.e. BMI >25 kg/m2, male sex, age >35 years, triglycerides >150 mg/dL, high density lipoprotein cholesterol levels <40 mg/dL for men or <50 mg/dL for women, and serum alanine aminotransferase levels >35 U/L. A total of 102 subjects were recruited; 75 (73.5%) of them were women. The median of total NAFLD scores was 6.7, ranging from 3.6 to 10.2. Median total carbohydrate intake was 179.6 (54.1-476.8) g/day, while the median total sucrose intake was 47.0 (13.7-220.5) g/day. Sucrose intake was significantly higher in patients with NAFLD score >6.7 than <6.7 (47.8 vs. 45.3 g; p=0.042; Mann-Whitney U test). Multivariate analysis confirmed the association of sucrose intake and higher total NAFLD score.
Conclusions: Sucrose intake and NAFLD score have no significant association among obese adults. Further research is needed to develop additional variables on NAFLD score.
"
Depok: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2019
T57776
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Winda Permata Bastian
"Latar Belakang : Disbiosis mikrobiota usus dianggap berperan pada progresifitas NAFLD. Penelitian mengenai mikrobiota usus pada pasien NAFLD masih sedikit dan menunjukkan hasil yang berbeda.
Tujuan : Mengetahui profil mikrobiota usus pada pasien NAFLD dengan derajat fibrosis hati.
Metode : Penelitian menggunakan desain potong lintang, dengan menggunakan sampel pasien NAFLD di Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo, periode waktu Maret – Juli 2018. Pemeriksaan sampel feses secara konsekutif dilakukan dengan menggunakan alat isolasi DNA (Tiangen) dan quantitative real-time polymerase chain reaction (Fast 7500) untuk menghitung jumlah mikrobiota dinyatakan dalam copy number DNA/gram feses (Bacteroides, Lactobacillus and Bifidobacteria). Sedangkan pemeriksaan fibrosis hati dengan menggunakan alat transient elastography (FibroScan® 502 Touch). Analisis statistik dilakukan menggunakan analisis bivariat dengan menggunakan uji chi-square.
Hasil : Dari 60 pasien NAFLD, didapatkan 35 pasien dengan fibrosis non signifikan dan 25 pasien dengan fibrosis signifikan. Kebanyakan pasien merupakan penderita diabetes melitus (85%), dislipidemia (58,3%), obesitas (58,3%), dan obesitas sentral (90%). Didapatkan jumlah Bacteroides (483.000 kopi unit DNA/gram feses) paling banyak dibandingkan dengan Lactobacillus (100.800 kopi unit DNA/gram feses) dan Bifidobacteria  (12.110 kopi unit DNA/gram feses). Dari ketiga mikrobiota tersebut terdapat peningkatan bermakna proporsi Bacteroides pada kelompok fibrosis signifikan (81%) dibandingkan dengan fibrosis non signifikan (19%). Begitupula dengan Lactobacillus yang jumlahnya lebih banyak pada fibrosis signifikan. Sedangkan pada Bifidobacteria, proporsi pada fibrosis signifikan lebih rendah dibandingkan fibrosis non signifikan.
Simpulan : Terdapat perubahan komposisi mikrobiota usus pada pasien NAFLD. Proporsi Bacteroides juga meningkat pada kelompok fibrosis signifikan.

Background: Dysbiosis of the gut microbiota has been considered to have a role in NAFLD progression. However, there is still lack of studies regarding this phenomenon.
Aim of the study: To find the difference of gut microbiota profile in NAFLD patient based on the stages of liver fibrosis.
Patients and Methods: A cross sectional study was conducted at Dr. Cipto Mangunkusumo Hospital which is the largest tertiary refferal center hepatobiliary outpatient’s clinic. Human fecal samples from NAFLD patients who came to outpatient clinic were collected consecutively. The stool sample examination was performed using isolation DNA kit (Tiangen) and quantitative real-time polymerase chain reaction (Fast 7500) was used to measure total bacterial counts (Bacteroides, Lactobacillus and Bifidobacteria). Clinical and laboratory data, Food Frequency Questionare (FFQ) were also collected. The stage of fibrosis were diagnosed based on transient elastography (FibroScan® 502 Touch). Statistical analysis including bivariate analysis were performed using SPSS version 20.
Results: Of 60 human fecal samples, there are 35 patients had non significant fibrosis and 25 patients had significant fibrosis and consist of 46.7% male and 53.3% female with the median age is 56 years old. Most patient have diabetes (85%) dyslipidemia (58.3%), obesity (58.3%), and central obesity (90%).  The Bacteroides count (483000) was higher when compared to Lactobacillus (100800) and Bifidobacteria (12110). Of these three microbiota, the proportion of Bacteroides was higher in significant fibrosis group when compared to non significant fibrosis group. Patient with significant fibrosis was also has a higher proportion of Lactobacillus compared to non significant fibrosis group (7000 vs 2050). In contrast, the proportion of Bifidobacteria was lower in significant fibrosis group (22) when compared to non significant fibrosis group (95).
Conclusion: There is a dysbiosis of gut microbiota in NAFLD patients. Bacteroides as a gram-negative microbiota that produces LPS is significantly increased with fibrosis stage, that may play a role in NAFLD progression.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2018
SP-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Guntur Darmawan
"Background: non alcoholic fatty liver disease (NAFLD) is known to be associated with some metabolic disorders. Recent studies suggested the role of uric acid in NAFLD through oxidative stress and inflammatory process. This study is aimed to evaluate the association between serum uric acid and NAFLD. Methods: a systematic literature review was conducted using Pubmed and Cochrane library. The quality of all studies was assessed using the Strengthening the Reporting of Observational Studies in Epidemiology (STROBE). All data were analyzed using REVIEW MANAGER 5.3. Results: eleven studies from America and Asia involving 100,275 subjects were included. The pooled adjusted OR for NAFLD was 1.92 (95% CI: 1.66-2.23; p<0.00001). Subgroup analyses were done based on study design, gender, non-diabetic subjects, non-obese subjects. All subgroup analyses showed statistically significant adjusted OR and most of which having low to moderate heterogeneity. Two studies revealed relationship between increased serum uric acid levels and severity of NAFLD. No publication bias was observed.
Conclusion: our study demonstrated association between serum uric acid level and NAFLD. This finding brings a new insight of uric acid in clinical practice. Increased in serum uric acid levels might serve as a trigger for physician to screen for NAFLD.

Latar belakang: perlemakan hati non-alkoholik (PHNA) berhubungan dengan berbagai penyakit metabolik. Penelitian terbaru menunjukkan peranan asam urat pada PHNA melalui proses oksidatif dan inflamasi. Laporan ini bertujuan mengevaluasi hubungan antara kadar asam urat serum dengan PHNA.
Metode: tinjauan pustaka sistematik dilakukan dengan menggunakan Pubmed dan Cochrane library. Kualitas dari setiap studi dikaji dengan menggunakan the Strengthening the Reporting of Observational Studies in Epidemiology (STROBE). Semua data dianalisis dengan menggunakan REVIEW MANAGER 5.3.
Hasil: didapatkan 11 studi dari Amerika dan Asia yang secara keseluruhan melibatkan 100.275 subjek. Pooled adjusted OR untuk NAFLD adalah 1,92 (95% CI: 1,66-2,23; p<0,00001). Analisis subgroup dilakukan berdasarkan desain studi, gender, subjek non diabetes, subjek non obese. Semua analisa subgroup menunjukkan adjusted OR yang bermakna secara statistic dan heterogenitas yang rendah hingga sedang pada mayoritas analisis subgrup. Dua studi menunjukkan hubungan antara kenaikan serum asam urat dengan tingkat keparahan PHNA. Bias publikasi tidak ditemukan pada laporan ini.
Kesimpulan: laporan ini menunjukkan hubungan antara kadar serum asam urat dengan PHNA. Temuan ini dapat memberikan pandangan yang baru terhadap asam urat dalam praktik klinis. Peningkatan kadar serum asam urat dapat menjadi pemicu bagi dokter untuk melakukan skrining PHNA.
"
Jakarta: University of Indonesia. Faculty of Medicine, 2017
616 UI-IJIM 49:2 (2017)
Artikel Jurnal  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>