Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 199276 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Dionisius Ardy
"Tanah merupakan aset yang penting bagi Masyarakat di Indonesia. Dalam pengalihan Tanah, akta autentik yang dibuat oleh seorang Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT) diperlukan sebagai dasar untuk pendaftaran tanah tersebut ke kantor pertanahan. Selain PPAT, Notaris juga berperan penting dalam pembuatan akta. Dalam tesis ini akan dilakukan penelitian dari peralihan tanah dan bangunan berstatus sebagai jaminan yang dilakukan bukan oleh pemilik yang dilakukan melalui Berita Acara Kesepakatan Pembayaran Hutang dalam Putusan Nomor 15 PK/Pdt.Sus-Pailit/2021. Metode penelitian dalam penelitian adalah metode penelitian doktrinal. Rumusan masalah yang diangkat adalah bagaimana pengalihan aset berstatus jaminan hutang yang dilakukan bukan oleh Pemilik aset melalui berita acara kesepakatan berdasarkan Putusan No. 15 PK/Pdt.Sus- Pailit/2021, dan bagaimana peran dan tanggung jawab PPAT dan Notaris dalam peralihan hak dengan Berita Acara Kesepakatan Pembayaran Hutang dalam putusan No. 15 PK/Pdt.Sus-Pailit/2021. Beberapa alternatif yang dapat digunakan dalam menyelesaikan permasalahan tersebut agar proses peralihan tanah dapat berjalan dengan baik sehingga tidak terjadi seperti pada kasus putusan tersebut, yaitu dengan menggunakan Akta Jual Beli (AJB), Perjanjian Pengikatan Jual Beli (PPJB), Cessie, atau menggunakan Hak Tanggungan yang dapat dilakukan dengan Akta Pembebanan Hak Tanggungan (APHT) dan Surat Kuasa Membebankan Hak Tanggungan (SKMHT). Pengalihan tanah dalam kasus ini yang dilakukan hanya menggunakan Berita Acara Kesepakatan Pembayaran Hutang seharusnya tidak dapat dilakukan, karena dalam proses pengalihan tanah dapat dilakukan dengan format akta dari seorang PPAT atau Notaris. Peran penting dari PPAT dan Notaris yaitu memberi penyuluhan hukum untuk menghindari masalah dalam pengalihan tanah. PPAT dapat berperan dalam pembuatan akta pengalihan tanahnya seperti akta AJB atau akta APHT maupun SKMHT serta berperan dalam pendaftaran tanah ke kantor pertanahan untuk memperoleh Sertipikat, dengan mendaftarkan akta yang dibuat oleh PPAT ke kantor Pertanahan. Bagi Notaris, ia dapat berperan dalam pembuatan akta cessie, akta PPJB, SKMHT notariil, dan pembuatan berita acara yang dibuat dalam bentuk notariil.

Land becomes an important asset for the people in Indonesia. In transferring the rights of land in Indonesia, an authentic deed created by a PPAT (Land Deed Official) is required as the basis for registering the land with the National Land Agency (BPN). Besides PPAT, Notary also play a crucial role in the making of deeds. This thesis will conduct research on the transfer of land and buildings used as collateral, not performed by the owner, but carried out through a Debt Payment Agreement in Verdict Number 15 PK/Pdt.Sus- Pailit/2021. The research method used in this study is a doctrinal research method. The formulation of the problem raised is how the transfer of assets with debt collateral status is carried out not by the asset owner through the minutes of agreement based on Decision No. 15 PK/Pdt.Sus-Pailit/2021, and what are the roles and responsibilities of the PPAT and Notary in the transfer of rights with the Minutes of Debt Payment Agreement in decision no. 15 PK/Pdt.Sus-Bankruptcy/2021. Several alternatives that can be used to resolve this problem to ensure that land transfer can proceed better so that it does not happen as in the case of the decision, namely by using a Deed of Sale and Purchase (AJB), a Sale and Purchase Agreement (PPJB), Cessie, or using Mortgage Rights, which can be done with a Deed of Encumbrance of Mortgage Rights (APHT) and a Power of Attorney to Encumber Mortgage Rights (SKMHT). The transfer of land in this case which was carried out only using the Minutes of Debt Payment Agreement should not have been carried out, because the land transfer process can be carried out using a deed format from a PPAT or Notary. The important role of PPAT and Notary is to provide legal education to avoid problems in land transfer. PPAT can play a role in making land transfer deeds such as AJB deeds or APHT or SKMHT deeds and also play a role in registering land at the land office to obtain a certificate, by registering the deed made by PPAT at the Land Office. For a Notary, he can play a role in making cessie deeds, PPJB deeds, notarial SKMHT, and making minutes in notarial form."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2024
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Nandy Rahman Pratama
"Pejabat pembuat akta tanah atau yang disebut dengan PPAT merupakan pejabat yang diangkat oleh Kepala Badan Pertanahan Nasional sehingga memiliki kewenangan penting dalam menjamin kepastian, ketertiban dan perlindungan hukum melalui akta otentik yang diterbitkan untuk dapat dijadikan alat bukti yang kuat di Pengadilan. Seperti tindakan hukum actio pauliana kepada PT. Jabatex yaitu debitur pailit yang digugat oleh tim kurator PT. Jabatex (dalam pailit), atas terbitnya akta jual beli yang merupakan aset PT. Jabatex (dalam pailit). Tindakan hukum ini seringkali terjadi dalam pelaksanaan perlindungan hak kreditur akibat dari PPAT yang tidak menerapkan prinsip kehati-hatian yang menjadikan kreditur ialah pihak yang dirugikan. Tujuan penelitian ini untuk menganalisis prinsip kehati-hatian yang tepat untuk dapat diterapkan PPAT dalam menjalankan tugas dan fungsinya dalam mencegah adanya tindakan hukum actio pauliana, sehingga penelitian ini menggunakan teori pertanggungjawaban untuk mendapatkan pertanggungjawaban PPAT dalam gugatan actio pauliana yang mana dapat menimbulkan sanksi bagi PPAT yang berupa sanksi administrasi, sanksi perdata, dan sanksi pidana. Bentuk penelitian ini adalah penelitian doktrinal dengan menggunakan metode pendekatan perundang-undangan, pendekatan konseptual, pendekatan historis, dan pendekatan kasus yang dijadikan studi kasus dalam penelitian ini.

Land Deed Making Officer or what is called PPAT is an official appointed by the Head of BPN so that it has an important authority to guarantee legal certainty, order and legal protection through authentic deeds that are issued or issued to be used as strong evidence in court. Like actio pauliana's legal action to PT. Jabatex is a bankrupt debtor sued by the creditor, for the issuance of the sale and purchase deed which is the asset of PT. Jabatex in bankruptcy. This legal action often occurs in the implementation of the protection of creditor rights as a result of PPAT that does not apply the principle of caution that makes the creditors who are harmed in the bankruptcy process. The purpose of this research is to find the appropriate precautionary principle that can be applied by PPAT in carrying out its duties and functions in preventing Actio Pauliana legal actions, so this research uses responsibility theory to obtain PPAT accountability in Actio Pauliana lawsuits which can give rise to sanctions for PPAT who in the form of administrative sanctions, civil law sanctions and criminal law sanctions. The form of this research is doctrinal research using the statutory approach, conceptual approach, historical approach, and case approach which are used as case studies in this research."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2024
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Maria Lourdesta Febriana
"ABSTRAK
Praktek jual beli yang dilakukan dengan menggunakan akta di bawah tangan yang dilegalisasi menyebabkan dilanggarnya ketentuan Pasal 37 ayat (1) Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 Tentang Pendaftaran Tanah yang mengatur bahwa peralihan ha katas tanah harus dibuktikan dengan akta jual beli yang dibuat oleh Pejabat Akta Tanah. Salah satu kasus terjadi pada P yang membeli sebidang tanah dari PT G yang dibuktikan dengan akta di bawah tangan yang dilegalisasi oleh Notaris X. Hal ini menyebabkan P kehilangan haknya. Oleh sebab itu, bagaimana pelaksanaan peralihan hak atas tanah dengan akta di bawah tangan yang dilegalisasi oleh Notaris yang masuk ke dalam boedel pailit. Bagaimana tanggung jawab Notaris terhadap pelaksanaan peralihan ha katas tanah dengan akta di bawah tangan yang dilegalisasi oleh Notaris yang masuk ke dalam boedel pailit. Penelitian ini  menggunakan metode penelitian yuridis normatif, tipologi penelitian deskriptif, dengan jenis data sekunder, berupa bahan hukum promer, sekunder, dan tersier, serta alat pengumpulan data menggunakan studi dokumen, dengan metode analisa data kualitatif dan hasil penelitian deskriptif analitis. Hasil penelitian, yaitu jual beli yang dilakukan dengan akta di bawah tangan yang dilegalisasi adalah tidak sah. Notaris juga memiliki tanggung jawab jabatan untuk menjaga kestabilan hukum dan menjamin terciptanya kepastian hukum dengan melakukan penyuluhan hukum.

ABSTRACT
It is common in Indonesia where sell-purchase activity is done under the privately made deeds signed before and attested by notary. This shows a violation which subsequently regulated in the Government Regulation Number 24 of 1997, regarding Land Registration, which stipulates that the sale of land must be proven by a deed made by and in front of the Land Drafting Officer (PPAT), as based on Article 37 paragraph (1) PP No. 24/1997. For example,  P who bought some property from PT. G has a privately made deed signed before and attested by notary X, will cause her to lose her right as an owner. Therefore, it is needed to understand the application as well as the implementation of the land use right transfer under the private deed signed by notary who gets involve with the boedel pailit. This research contains of the normative legal research which uses the law as foundation of norm, the author describes the case, seek, and process a variety of data from the document study to generate a report of research findings. The specifications of this study are descriptive analysts, because this study is expected to obtain data that clearly illustrate what is discussed in this research. While the data obtained from this research will be analyzed using qualitative methods, namely analysis of data without using statistical formulas because the data used are not in the form of numbers. Thus, what is used is only by logical explanation of the sentence based on the rules and opinions of experts. The results showed that the sell-purchase activity which privately made deed signed before and attested by notary is illegal. Furthermore, the notary has responsibilities to maintain and to ensure the concept of legal certainty by conducting legal counseling."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2020
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Muhammad Faisal Radithya Putra
"Dalam dunia kepailitan, tidak semua debitur dapat diajukan pailit hanya dengan orang-perorangan, melainkan membutuhkan persyaratan khusus terkait pihak yang memiliki kewenangan untuk mengajukan permohonan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (“PKPU”) atau pailit terhadap debitur tertentu, dimana Salah satunya adalah usaha yang bergerak di sektor perasuransian. Dalam Pasal 2 Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiaban Pembayaran Utang diatur lebih lanjut syarat-syarat dan pihak yang dapat mengajukan permohonan pailit, termasuk debitur, kreditur, dan instansi tertentu seperti Otoritas Jasa Keuangan (“OJK”). Adapun Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2014 tentang Perasuransian dan Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2011 tentang OJK, memperkuat peran OJK dalam mengawasi lembaga keuangan dan mengajukan permohonan pailit. Peran OJK sangat penting dalam menjaga stabilitas sektor jasa keuangan, yang mempengaruhi kepercayaan investor dan efektivitas kebijakan moneter. Studi kasus PT Adisara Wanaartha menunjukkan pentingnya peran OJK dalam mengawasi dan menegakkan hukum. Namun, di sisi lain, keputusan OJK untuk menjaga kestabilan ekonomi mengesampingkan efektivitas tuntutan pembayaran utang melalui proses kepailitan/PKPU sebagaimana dalam Putusan Nomor 240/Pdt.Sus-PKPU/2020/PN Niaga Jkt.Pst. Dari sini, Penulis menekankan pada implikasi yang timbul dari pencabutan izin usaha dengan kepailitan perusahaan asuransi, dengan menitikberatkan pada kesesuaian konsep kepailitan umum dengan kepailitan yang diterapkan OJK. Lebih lanjut, metode penelitian yang digunakan bersifat doktrinal, dimana pokok permasalahan akan dianalisis dan diteliti berdasarkan bahan pustaka dalam rangka memberikan penjelasan dan menarik kesimpulan atas permasalahan tersebut. Setelah melakukan penelitian, Penulis memperoleh kesimpulan bahwa implikasi yang timbul dari pencabutan izin usaha dan kepailitan perusahaan asuransi memiliki ujung yang sama, yakni penghapusan badan hukum.

In the realm of bankruptcy, not all debtors can be declared bankrupt by individuals alone; specific requirements must be met regarding the authority to file for Suspension of Debt Payment Obligations (“PKPU”) or bankruptcy against certain debtors, including businesses in the insurance sector. Article 2 of Law Number 37 of 2004 concerning Bankruptcy and Suspension of Debt Payment Obligations further regulates the conditions and parties that can file for bankruptcy, including debtors, creditors, and certain institutions such as the Financial Services Authority (“OJK”). Additionally, Law Number 40 of 2014 concerning Insurance and Law Number 21 of 2011 concerning OJK strengthen OJK's role in supervising financial institutions and filing for bankruptcy. OJK's role is crucial in maintaining the stability of the financial services sector, which affects investor confidence and the effectiveness of monetary policy. The case study of PT Adisara Wanaartha highlights the importance of OJK's role in oversight and law enforcement. However, on the other hand, OJK's decisions to maintain economic stability can undermine the effectiveness of debt payment demands through bankruptcy/PKPU processes, as seen in Decision Number 240/Pdt.Sus-PKPU/2020/PN Niaga Jkt.Pst. Here, the author emphasizes the implications arising from the revocation of business licenses and the bankruptcy of insurance companies, focusing on the alignment between general bankruptcy concepts and the bankruptcy applied by OJK. Furthermore, the research method used is doctrinal, where the main issues will be analyzed and examined based on literature to provide explanations and draw conclusions on these issues. After conducting the research, the author concludes that the implications of business license revocation and the bankruptcy of insurance companies lead to the same end, namely the dissolution of the legal entity.
"
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2024
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Pita Permatasari
"[Tesis ini bertujuan untuk melakukan analisa terhadap perlindungan hukum Pihak Ketiga akibat putusan pailit yang dalam Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 Tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang, dimana hal tersebut dibahas salah satunya di penjelasan Pasal 3 ayat (1) UUKPKPU tentang “hal lain-lain”. Tesis ini menggunakan metode analisa terhadap gugatan Pihak Ketiga kepada Kurator dengan berbagai dasar gugatan, yang meliputi : Pertama (1) Pihak Ketiga dalam Kasus kepailitan PT Panca Wiratama Sakti Tbk (Dalam Pailit) mengenai sewa menyewa tanah. Kedua (2) Pihak Ketiga dalam Kasus kepailitan PT Mitra Safir Sejahtera (Dalam Pailit), mengenai sertifikat tanah. Ketiga (3), Pihak Ketiga dalam Kasus kepailitan PT Bendi Oetama Raya (Dalam Pailit), mengenai kepemilikan tanah yang telah dijaminkan Hak Tanggungan. Keempat (4), Pihak Ketiga dalam Kasus kepailitan PT Sinar Central Rejeki (Dalam Pailit), mengenai sebagian tanah dan bangunan. Kelima (5), Pihak Ketiga dalam Kasus kepailitan PT Surabaya Agung Industri Pulp & Kertas (Dalam Pailit), mengenai jual beli barang yang dilakukan oleh Debitor Pailit. Hasil penelitian diperoleh kesimpulan bahwa Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 Tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang ternyata belum mampu menyelesaikan permasalahan kepailitan karena masih ada pihak yang mengajukan gugatan atas harta pailit Debitor Pailit. Hak dan kewajiban Pihak Ketiga yang diatur diluar maupun didalam UUKPKPU belum cukup melindungi segala hak-haknya, terlebih dalam kasus kepailitan karena banyaknya dampak yang terjadi setelah Debitor dinyatakan pailit oleh Pengadilan Niaga. Hal ini tidak cukup menyelesaikan permasalahan mengenai adanya perikatan yang dilakukan Pihak Ketiga dan Debitor Pailit sehingga diperlukannya peraturan perundang-undangan yang mendukung Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 Tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang yang mana bertujuan untuk pemberesan harta pailit Debitor Pailit;This Research purpose is to analyze legal protection for Third Party as a consequence of insolvency verdict on Statute number 37 year 2004 on Indonesia Bankruptcy Law (“UUKPKPU”), whereas it was covered on explanation of clause 3 paragraph (1) regarding “Other matters”. This research use analyzing method on several Third Party lawsuit to the Curator with variety of basis for the lawsuit, that includes : First (1) Third Party Vs PT Panca Wiratama Sakti Tbk (Bankrupt) Bankruptcy case, regarding land lease. Second (2) Third Party Vs PT Mitra Safir Sejahtera (Bankrupt) Bankruptcy case, regarding land sertificate. Third (3) Third Party Vs PT Bendi Oetama Raya (Bankrupt) Bankruptcy case, regarding land and building ownership that has being mortage. Fourth (4) Third Party Vs PT Sinar Central Rejeki (Bankrupt) Bankruptcy case, regarding partial land and building ownership. Fifth (5), Third Party Vs PT Surabaya Agung Industri Pulp and Kertas (Bankrupt) Bankruptcy case, regarding commodity selling by Bankrupt Debtor. Result of the research shows that Statute No 37 year 2004 on Indonesia Bankruptcy Law still unable to solve the problem of bankruptcy, because there are parties that still filed lawsuit against bankruptcy assets of Bankrupt Debtors. Third Parties rights and obligation that set on Statute No 37 year 2004 on Indonesia Bankruptcy Law are not sufficient enough to protect their rights, especially in the Bankruptcy case impact will be perceived after the debtor decided bankrupt by the commercial court. It is not enough solve the problems concerning of Third Party agreement with the Bankrupt Debtors and thus the need for legislation that supports Statute No 37 year 2004 on Indonesia Bankruptcy Law on settlement of bankruptcy assets Bankrupt Debtor.
, This Research purpose is to analyze legal protection for Third Party as a consequence of insolvency verdict on Statute number 37 year 2004 on Indonesia Bankruptcy Law (“UUKPKPU”), whereas it was covered on explanation of clause 3 paragraph (1) regarding “Other matters”. This research use analyzing method on several Third Party lawsuit to the Curator with variety of basis for the lawsuit, that includes : First (1) Third Party Vs PT Panca Wiratama Sakti Tbk (Bankrupt) Bankruptcy case, regarding land lease. Second (2) Third Party Vs PT Mitra Safir Sejahtera (Bankrupt) Bankruptcy case, regarding land sertificate. Third (3) Third Party Vs PT Bendi Oetama Raya (Bankrupt) Bankruptcy case, regarding land and building ownership that has being mortage. Fourth (4) Third Party Vs PT Sinar Central Rejeki (Bankrupt) Bankruptcy case, regarding partial land and building ownership. Fifth (5), Third Party Vs PT Surabaya Agung Industri Pulp and Kertas (Bankrupt) Bankruptcy case, regarding commodity selling by Bankrupt Debtor. Result of the research shows that Statute No 37 year 2004 on Indonesia Bankruptcy Law still unable to solve the problem of bankruptcy, because there are parties that still filed lawsuit against bankruptcy assets of Bankrupt Debtors. Third Parties rights and obligation that set on Statute No 37 year 2004 on Indonesia Bankruptcy Law are not sufficient enough to protect their rights, especially in the Bankruptcy case impact will be perceived after the debtor decided bankrupt by the commercial court. It is not enough solve the problems concerning of Third Party agreement with the Bankrupt Debtors and thus the need for legislation that supports Statute No 37 year 2004 on Indonesia Bankruptcy Law on settlement of bankruptcy assets Bankrupt Debtor.
]"
Universitas Indonesia, 2015
T44700
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Inge Hanjani Putri
"Penulisan skripsi ini menggunakan metode penelitian pendekatan yuridis normatif dengan data sekunder sebagai sumber datanya. Adapun yang menjadi pokok permasalahan dalam penulisan ini adalah upaya hukum yang dapat diajukan terhadap penetapan imbalan jasa kurator dan aturan yang dipakai untuk menentukan besaran imbalan jasa kurator pada putusan No. 48PK/Pdt.Sus-Pailit/2013. Bahwa penetapan imbalan jasa kurator merupakan permohonan secara sepihak, tidak ada pihak lawan maka untuk pihak yang dirugikan (PT.Telkomsel) dapat melakukan pembatalan terhadap penetapan tersebut ke Mahkamah Agung. Dan untuk aturan imbalan jasa kurator yang diberlakukan dalam perkara ini yaitu tetap pada peraturan yang lama karena kepailitan PT. Telkomsel telah berakhir sebelum adanya peraturan yang baru.

This thesis was using a normative juridical approach as its research method with secondary data as the primary data source. As for the subject matter in writing this thesis was a remedy which may be brought against the determination of costs and compensation for services of curator and the prevailing laws and regulations used to determine such costs and compensation based on the Decision of the Supreme Court of (“Decision”). Whereas, the determination of such costs and compensation was a plea in a unilateral manner, where none of the parties opposed. Thus, the inflicted loss party (PT Telkomsel) may file cancellation against the Decision. The laws and regulations which prevail in this case were the preceding laws and regulations for the reason that this case has ended before the presence of the new regulation."
2014
S54362
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Ian Martin P.L.
"Kepailitan mempunyai akibat bagi seluruh kreditur, tidak terkecuali Kreditrur Penerima Jaminan Fidusia. Pengembalian uang Debitur kepada Kreditur dalam hal Debitur dinyatakan Pailit akan sangat tergantng pada kedudukan dari kreditur tersebut. Kedudukan Kreditur Penerima Jaminan Fidusia adalah sebagai Kreditur Preferen. Hak ini tidak hapus karena adanya Kepailitan atau likuidasi Debitur Pemberi Jaminan Fidusia. Kreditur Preferen (Secured Creditors) dalam Kepailitan biasanya disebut Kreditur Separatis. Kreditur Penerima Jaminan Fidusia sebagai Kreditur Separatis sangat berkepentingan agar tetap dapat mengeksekusi haknya seolah-oleh tidak terjadi Kepailitan.

Bankrupt has effect to all creditors, neither nor creditor fich receive guarantee fiducia. The debt returning of debtor to creditor, in the casa of debtor are nonis as bangkrupt, it's depend on the position of creditor itself. The position of creditors which receives gauarantee fiducia is as secure creditor, their rights are not vanished, because there are bangkrupting and liquidation of debtor guarantee fiducia receiver. Secure creditors are usually called as saparatish creditors. Debtor guarantee fiducia receiving as separatish creditors fas responsible in other to can still execute as if as there are not bangkrupting."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2013
S44836
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Alfredo Joshua Bernando
"Penerapan hukum kepailitan di Indonesia untuk menyatakan pailitnya seseorang atau suatu perusahaan membutuhkan pembuktian sederhana, dimana hanya membutuhkan syarat mempunyi dua atau lebih kreditur dan mempunyai setidaknya satu hutang yang telah jatuh tempo dan dapat ditagih. Pembuktian yang sangat sederhana ini tidak menyertakan insolvency test sebagai salah satu syarat untuk mendasari pertimbangan Majelis Hakim untuk memutus pailit dalam putusan pengadilan niaga. Hal ini cenderung tidak proporsional karena merugikan pihak debitur, dimana Prinsip Keadilan adalah salah satu Prinsip atau Asas yang mendasari Hukum Kepailitan di Indonesia yakni Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang. Adanya insolvency test dapat menunjukan bahwa seseorang atau suatu perusahaan sebagai debitur dalam keadaan solven atau insolven, sehingga dapat dipertimbangkan apakah aset-aset yang dimiliki oleh debitur dapat membayar utang-utangnya atau tidak. Tidak adanya penerapan insolvency test dalam proses kepailitan menutup kemungkinan untuk melihat hal-hal tersebut sehingga debitur dapat dengan mudah untuk dipailitkan. Sehingga, insolvency test perlu untuk diterapkan dalam proses kepailitan serta diperbaharui peraturannya agar tidak menciderai prinsip keadilan yang menjadi dasar dari hukum kepailitan di Indonesia.

The application of bankruptcy law in Indonesia to declare someone or a company bankrupt requires simple proof, where it only needs the condition of having two or more creditors and at least one debt that has matured and is demandable. This very simple proof does not include the insolvency test as one of the conditions to substantiate the consideration of the Judges' Panel to decide bankruptcy in a commercial court ruling. This tends to be disproportionate as it harms the debtor, where the Principle of Justice is one of the principles underlying Bankruptcy Law in Indonesia, namely Law Number 37 of 2004 concerning Bankruptcy and Postponement of Debt Payment Obligations. The existence of an insolvency test can show that an individual or a company as a debtor is in a solvent or insolvent condition, so it can be considered whether the assets owned by the debtor can pay off its debts or not. The lack of the application of the insolvency test in the bankruptcy process closes the possibility of examining these matters, making it easy to declare bankruptcy for debtors. Thus, the insolvency test needs to be applied in the bankruptcy process and its regulations need to be updated to avoid undermining the principle of justice that is the basis of bankruptcy law in Indonesia."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2024
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Dinda Anggiagita
"Dengan meningkatnya pembangunan yang bertitik berat pada bidang ekonomi, dibutuhkan penyediaan dana yang cukup besar, sehingga memerlukan lembaga hak jaminan yang kuat dan mampu memberikan kepastian hukum bagi pihak-pihak yang berkepentingan, yang dapat mendorong peningkatan partisipasi masyarakat dalam pembangunan, hal ini yang menjadi latar belakang lahirnya lembaga jaminan Hak Tanggungan. Skripsi ini menjelaskan mengenai adanya konflik norma di dalam Undang-Undang Hak Tanggungan No.4 Tahun 1996 dan juga di dalam Undang-Undang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang yang mengakibatkan perlindungan dan kepastian hukum bagi kreditor pemegang Hak Tanggungan sebagai Kreditor Separatis yang diatur didalam Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1996 dapat tidak terwujud. Perlindungan dan kepastian hukum yang diberikan undang-undang kepada kreditor pemegang Hak Tanggungan terdapat di dalam Pasal 1 angka 1 tentang hak preference seorang kreditor; Pasal 6, Pasal 14 ayat (1), (2), dan (3) serta Pasal 20 ayat (2) dan (3) tentang eksekusi Hak Tanggungan; Pasal 11 ayat (2) tentang janji yang harus dicantumkan dalam Akta Pemberian Hak Tanggungan (APHT) untuk melindungi kreditor ketika debitor wanprestasi, serta ketentuan Pasal 7 tentang asas droit de suite yang menyatakan bahwa Hak Tanggungan tetap menjamin objeknya sekalipun beralih kepada pihak ketiga sehingga akan tetap menjamin pelunasan piutang kreditor dan Pasal 21 mengenai “Apabila pemberi Hak Tanggungan dinyatakan pailit, pemegang Hak Tanggungan tetap berwenang melakukan segala hak yang diperolehnya menurut ketentuan undang-undang ini. Kesimpulan dalam penelitian mengenai perlindungan dan kepastian hukum dalam Pasal-Pasal tersebut dapat tidak terwujud dikarenakan adanya konflik norma dalam Pasal 6 UUHT tentang kewenangan menjual sendiri jaminan kebendaan (Parate Eksekusi) dan ketentuan pada Pasal 56 ayat (1) UUKPKPU tentang penangguhan eksekusi bagi kreditor separatis dalam hal kepailitan. Penelitian ini bermetodekan yuridis- normatif yang metode pengambilan data berfokus pada studi literatur hukum dan peraturan perundang-undangan terkait.

Along with the increasing development of economy, also required the provision of substantial funds that requires strong institutions which guarantee the rights and able to provide legal certainty for the concerned parties, in which also encourage the growth of community participation in the development, those are the background of the birth of mortgage guarantee agency. This thesis describes the conflict of norms in the Law No.4 of 1996 regarding Mortgage (UUHT) and also in the Law No 37 of 2004 regarding Bankruptcy Act and the Suspension of Payment (UUKPKPU) that may cause legal uncertainty to the protection of mortgage holder creditor as secure creditor based on Law No. 4 of 1996. The protection and legal certainty for mortgage holder creditor contains in Article 1 paragraph 1 regarding the preference right of a creditor; Article 6, Article 14 paragraph (1), (2), and (3) and Article 20 paragraph (2) and (3) of the mortgage execution; Article 11 paragraph (2) on the provision that must be included in the Deed of Granting Mortgage (APHT) to protect creditor when a debtor defaults, as well as the provision of Article 7 of the principle of droit de suite which states that the object remains guarantee, even if it will be switched to a third party, would still guarantee the repayment of creditors’ accounts and Article 21 that states “In the event of bankruptcy, the mortgage holder is authorized to perform any right acquired under the provisions of this law”. The elements of protection and legal certainty in these articles may not be realized due to conflict norms in Article 6 UUHT regarding the authority to sell collateral material (Parate Execution) and the provision of Article 56 paragraph (1) UUKPKPU regarding suspension of execution for the secure creditor in bankruptcy law. This study applies the juridical-normative method of data collection, focusing on the study of the literature of law and related legislation."
2014
S53488
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Sandra Dewi
"Tugas notaris dan Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT) seringkali menimbulkan persepsi yang sama dikalangan masyarakat. Padahal dilihat dari kewenangannya yang diatur dalam undang-undang, jelas berbeda. Permasalahan yang berkaitan dengan pertanahan terkadang membuat kewenangan notaris dan PPAT seolah saling tumpang tindih. Ruang lingkup pembuatan akta oleh PPAT memang sudah ditentukan oleh undang-undang, namun tidak banyak masyarakat yang mengetahui jika akta notaris dalam bidang pertanahan memiliki akibat hukum yang berbeda dengan akta PPAT. Untuk menemukan jawaban dari permasalahan dalam penelitian ini, penulis menggunakan bentuk penelitian yuridis normatif yang didasarkan data sekunder berupa studi dokumen dari perpustakaan juga dengan mewawancarai beberapa narasumber sehingga diperoleh gambaran komprehensif dari permasalahan yaitu bagaimana akibat hukum dari akta peralihan tanah yang dibuat dihadapan notaris serta tanggung jawab notaris terhadap kewenangan dalam membuat akta peralihan tanah tersebut. Akta peralihan tanah yang dibuat oleh notaris biasa disebut surat keterangan ganti rugi. Akibat hukum akta ini memiliki konsekuensi berbeda dengan akta peralihan yang dibuat oleh PPAT. Akta notaris ini tidak menyebabkan tanah beralih kepemilikannya, akta ini hanya sebagai salah satu syarat untuk mengajukan permohonan hak atas tanah ke kantor pertanahan. Banyak pihak yang karena ketidaktahuan akan hukum menyalahkan posisi notaris. Banyak pula notaris yang tidak menyampaikan penyuluhan hukum kepada penghadap yang datang kepadanya dalam pembuatan akta. Sehingga celah ketidaktahuan akan hukum inilah yang biasa digunakan penghadap untuk mengadukan notaris atas akta yang dibuatnya. Secara hukum akta notaris dibuat berdasarkan kehendak dari para pihak yang menghadapnya dan notaris hanya bertanggung jawab atas kebenaran formil dari aktanya tersebut.

Duties of the notary and Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT) often give rise to the same perceptions among the public. Whereas, judging from its regulated in legislation, clearly different. Problems relating to land issues sometimes create a notary and PPAT authority seems to overlap. The scope of the Act of creation by PPAT has indeed determined by law, but not many people know if the notary deed in land areas have different legal consequences by PPAT did. To find answers in this research, the author uses the form of juridical normative research based secondary data in the form of study documents from the library as well as with interviews of some interviewees so obtained a comprehensive overview of how the problems of the legal consequences of the transfer of right made before a notary and notary liability against the authority in making the transfer right of land. Transfer right of land made by notary is referred to Surat Keterangan Ganti Rugi (SKGR). Legal consequences of this land act have differences with made by PPAT. Notary deed is not causing the ground switch ownership, this deed, just as one of the conditions to apply for land rights to the land Office. Many parties that due to ignorance of the law blame the position of notary public. Many notary does not tell legal knowledge to the party that came to him or her in the making of deed. So this gap of ignorance of law is used by the party to sue the notary commonly. Legal notary deed is made based on the will of the parties that come before him or her and the notary responsible for formyl truth of it. "
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2019
T51802
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>