Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 87664 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Nabila Putri Azizah
"Penelitian yang mengkaji pertanyaan kutub dalam bahasa isyarat belum dilakukan secara mendalam. Oleh sebab itu, penelitian ini bertujuan untuk mendeskripsikan bentuk penanda nonmanual dan manual, serta pola urutan kata dalam kalimat pertanyaan kutub pada bahasa isyarat Indonesia (Bisindo) yang berpedoman pada teori Sandler dan Lillo-Martin (2006). Dalam bahasa lisan, pertanyaan kutub dikenal dengan pertanyaan ya/tidak. Data penelitian ini adalah 60 kalimat pertanyaan kutub yang dihasilkan oleh penutur jati Bisindo. Data yang telah dihasilkan melalui rekaman video kemudian ditranskripsikan secara manual dan diberikan kode cakupan penyebaran penanda nonmanual dan manualnya. Setelah itu, peneliti menganalisis cakupan penyebaran penanda nonmanual dan manual yang digunakan, serta mendeskripsikan pola urutan kata yang terbentuk dalam pertanyaan kutub berdasarkan jenis predikatnya. Hasil penelitian menunjukkan bahwa (1) penanda nonmanual yang signifikan dalam pertanyaan kutub adalah gerakan alis dan kepala ke depan dengan cakupan penyebarannya meliputi kata, sebagian kalimat, bahkan keseluruhan kalimat; (2) bentuk penanda manual yang digunakan dalam pertanyaan kutub adalah ya/tidak, betul/salah, pernah/tidak, mau/tidak, dan belum/sudah yang muncul di akhir kalimat; dan (3) berdasarkan jenis predikat yang digunakan, pola urutan kata dalam kalimat pertanyaan kutub menghasilkan sembilan variasi, yaitu SOP, OSP, OPS, SPO, POS, SOPS, SPOS, SP, dan PS.

Research examining polar questions in sign languages ​​has not been conducted in depth. Therefore, this research aims to describe the non-manual and manual markers, as well as word order patterns in polar question sentences in Indonesian Sign Language (Bisindo) which are guided by the theory of Sandler and Lillo-Martin (2006). In spoken language, polar questions are known as yes/no questions. The data for this research are 60 polar question sentences produced by Bisindo native speakers. The data that has been generated through video recordings is then transcribed manually and coded for the scope of occurrence of non-manual and manual markers. After that, the researcher analyzed the scope of distribution of non-manual and manual markers used, and described the word order patterns formed in polar questions based on the type of predicate. The results of the research show that (1) significant non-manual markers in polar questions are forward movements of the eyebrows and head with a scope of distribution including words, parts of sentences, even the whole sentences; (2) the manual markers used in polar questions are yes/no, true/false, ever/don't never, want to/don't want, and haven't/already which appear at the end of the sentence; and (3) based on the type of predicate used, the word order pattern in the polar question sentence produces nine variations, namely as follows SOP, OSP, OPS, SPO, POS, SOPS, SPOS, SP, and PS."
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia, 2024
MK-pdf
UI - Makalah dan Kertas Kerja  Universitas Indonesia Library
cover
Helma Rizkiana
"Penelitian mengenai negasi dalam bahasa isyarat belum banyak dilakukan di Indonesia. Memperhatikan situasi tersebut, penelitian ini bertujuan untuk mendeskripsikan negasi dalam bahasa isyarat Indonesia (Bisindo) yang berfokus pada analisis terhadap bentuk penanda manual dan nonmanual serta pola susunan kata dari satu jenis kalimat, yaitu kalimat pernyataan. Penelitian ini menggunakan data berupa rekaman video berbahasa isyarat informan tuli yang berisi 60 kalimat pernyataan negasi dalam Bisindo. Data yang sudah dikumpulkan, selanjutnya ditranskripsi terlebih dahulu untuk mengetahui bentuk penanda manual, penanda nonmanual, serta pola susunan kata dalam kalimat pernyataan negasi Bisindo. Hasil penelitian memperlihatkan bahwa (1) kalimat pernyataan negasi pada Bisindo dominan menggunakan penanda manual untuk menyatakan negasi; (2) penanda manual yang digunakan untuk menegasikan kalimat adalah TIDAK/BUKAN, BELUM, TIDAK-ADA, TIDAK-MENGERTI, TIDAK-PERNAH/BELUM-PERNAH, TIDAK-SUKA, dan TIDAK-MAU yang cenderung muncul di akhir kalimat; (3) jenis gerakan penanda nonmanual yang digunakan dalam kalimat pernyataan negasi adalah alis naik, alis turun, dan kepala menggeleng, (4) gerakan nonmanual yang paling banyak muncul adalah alis naik, sedangkan penanda manual negasi yang paling banyak digunakan adalah TIDAK/BUKAN; (5) untuk pola susunan kata, ditemukan sebanyak 10 jenis/tipe dan pola SP-Neg muncul dengan jumlah yang paling signifikan.
Research on negation in sign language has not been extensively conducted in Indonesia. Recognizing this gap, this study aims to describe negation in Indonesian Sign Language (Bisindo) which focuses on analyzing the forms of manual and nonmanual markers, as well as word order patterns in one type of sentence: statement sentences. This study utilizes data in the form of video recordings of deaf informants using sign language, comprising 60 negation statement sentences in Bisindo. The collected data is transcribed to identify the forms of manual markers, nonmanual markers, and word order patterns in Bisindo negation statement sentences. The findings show that (1) negation statement sentences in Bisindo predominantly employ manual markers to express negation; (2) manual markers such as NOT/NOT, NOT-YET, NOTHING, NOT-UNDERSTAND, NEVER, NOT-LIKE, and NOT-WANT are used to negate sentences, often appearing at the end of the sentence; (3) the types of nonmanual marker gestures used in negation statement sentences include raising eyebrows, lowering eyebrows, and shaking the head; (4) the most prevalent nonmanual gesture is raising eyebrows, while the most frequently used negation manual marker is NOT/NOT; (5) concerning word order patterns, 9 types are identified, with the SP-Neg pattern being the most significant."
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia, 2024
MK-pdf
UI - Makalah dan Kertas Kerja  Universitas Indonesia Library
cover
Andhika Pratama
"Setiap bahasa, dalam perkembangannya, pasti akan memunculkan variasi bahasanya dalam setiap penggunaannya, termasuk juga Bahasa Isyarat Indonesia (BISINDO). Warna merupakan salah satu konsep abstrak dan mendasar yang selalu kita temukan dalam kehidupan keseharian kita, temasuk juga dalam Masyarakat Tuli. Akan tetapi, kurangya penelitian lanjutan mengenai proses produksi isyarat yang merepresentasikan istilah warna dasar menjadi salah satu permasalahan yang ditemukan peneliti. Dalam penelitian ini, kami akan fokus untuk meihat kemunculan variasi bahasa isyarat yang digunakan dalam 5 wilayah di Yogyakarta. Variabel dan Subjek penelitian ini adalah isyarat dari kata warna hitam, putih, merah, hijau, biru, dan kuning dari individu Tuli dalam rentang umur dari 19—48 tahun. Variabel-variabel tersebut akan didokumentasikan melalui penelitian lapangan dan dikonversikan ke dalam korpus data dan akan dianalisis kemunculan varian dan aspek-aspek yang membedakan satu varian dengan yang lainnya menggunakan metode kualitatif. Temuan kami membuktikan bahwa dalam 5 wilayah Yogyakarta, ada beberapa varian isyarat yang muncul dalam satu konsep warna dasar. Aspek yang membedakan satu varian dengan lainnya terletak di seluruh aspek fonologi bahasa isyarat seperti bentuk tangan, orientasi, lokasi, dan gerakan isyarat.

Every language, in its development, will certainly appear its language variation in its usage, including the Indonesian Sign Language (BISINDO). Colors are one of the ab-stract and fundamental concepts that we found in our daily lives, including the Deaf Society. But, the lack of further research about the process of sign production that rep-resents the basic color terms is one of the few problems that I found. In this research, we will focus on looking for the appearances of sign language variations that are used in 5 regional areas of Yogyakarta. the variables and subjects of this research are signs from the word colors black, white, red, green, blue, and yellow from Deaf people rang-ing from 19--48 years old. The variables will be documented through field research and converted into corpus data and will be analyzed for the variation that appears and the aspects that differ one variation from another using the qualitative method. Our (author and corresponding author) findings prove that in the 5 regional areas of Yogyakarta, there are several variations in sign language in one concept of the basic colors. The aspects that differ one sign from another are in all aspects of sign language phonology such as handshapes, locations, orientations, and movement of the sign."
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan dan Budaya Universitas Indonesia, 2021
MK-pdf
UI - Makalah dan Kertas Kerja  Universitas Indonesia Library
cover
Andhika Pratama
"Setiap bahasa, dalam perkembangannya, pasti akan memunculkan variasi bahasanya dalam setiap penggunaannya, termasuk juga Bahasa Isyarat Indonesia (BISINDO). Warna merupakan salah satu konsep abstrak dan mendasar yang selalu kita temukan dalam kehidupan keseharian kita, temasuk juga dalam Masyarakat Tuli. Akan tetapi, kurangya penelitian lanjutan mengenai proses produksi isyarat yang merepresentasikan istilah warna dasar menjadi salah satu permasalahan yang ditemukan peneliti. Dalam penelitian ini, kami akan fokus untuk meihat kemunculan variasi bahasa isyarat yang digunakan dalam 5 wilayah di Yogyakarta. Variabel dan Subjek penelitian ini adalah isyarat dari kata warna hitam, putih, merah, hijau, biru, dan kuning dari individu Tuli dalam rentang umur dari 19—48 tahun. Variabel-variabel tersebut akan didokumentasikan melalui penelitian lapangan dan dikonversikan ke dalam korpus data dan akan dianalisis kemunculan varian dan aspek-aspek yang membedakan satu varian dengan yang lainnya menggunakan metode kualitatif. Temuan kami membuktikan bahwa dalam 5 wilayah Yogyakarta, ada beberapa varian isyarat yang muncul dalam satu konsep warna dasar. Aspek yang membedakan satu varian dengan lainnya terletak di seluruh aspek fonologi bahasa isyarat seperti bentuk tangan, orientasi, lokasi, dan gerakan isyarat.

Every language, in its development, will certainly appear its language variation in its usage, including the Indonesian Sign Language (BISINDO). Colors are one of the abstract and fundamental concepts that we found in our daily lives, including the Deaf Society. But, the lack of further research about the process of sign production that represents the basic color terms is one of the few problems that I found. In this research, we will focus on looking for the appearances of sign language variations that are used in 5 regional areas of Yogyakarta. the variables and subjects of this research are signs from the word colors black, white, red, green, blue, and yellow from Deaf people ranging from 19--48 years old. The variables will be documented through field research and converted into corpus data and will be analyzed for the variation that appears and the aspects that differ one variation from another using the qualitative method. Our (author and corresponding author) findings prove that in the 5 regional areas of Yogyakarta, there are several variations in sign language in one concept of the basic colors. The aspects that differ one sign from another are in all aspects of sign language phonology such as handshapes, locations, orientations, and movement of the sign.
"
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia, 2021
MK-pdf
UI - Makalah dan Kertas Kerja  Universitas Indonesia Library
cover
Innova Safitri Suprapto Putri
"Skripsi ini membahas struktur wacana naratif dan unsur penghubung yang menjadi faktor keutuhan wacana bahasa Isyarat. Penelitian ini menggunakan metode deskriptif kualitatif dengan menganalisis video bahasa Isyarat tentang tuturan dongeng Kelinci dan Kura-kura yang disampaikan oleh dua informan Tuli penutur jati bahasa Isyarat Jakarta. Tujuan penelitian ini adalah menguraikan struktur wacana naratif dan unsur penghubung wacana dari unsur kohesif dan unsur topik komen atas data yang sudah diambil dan ditranskripsikan. Berdasarkan variabel struktur yang diberikan oleh Labov dan Waletzky 1967 , wacana naratif bahasa Isyarat memiliki kesesuaian dari segi strukturnya. Dalam hal keutuhan wacana, terdapat kesesuaian dengan aspek-aspek yang diajukan oleh Schembri dan Johnston 2007 dalam menganalisis unsur kohesif dan topik komen. Unsur topik komen sebagai keutuhan wacana naratif terlihat dalam kesinambungan topik. Unsur kohesif dan topik komen dalam wacana naratif oleh penutur Isyarat ditandai dengan gerakan manual dan gerakan nomanual.

This study deals with the narrative structure and connecting elements of narrative discourse in Jakarta Sign Language JakSL . There are two methods used in this study, descriptive and qualitative. This study aims to describe the narrative superstructure and connecting elements of narrative discourse mdash focusing on cohesive and topic comment mdash from the data. The data are taken from transcription of two narrative signing videos about fable mdash The Hare and The Tortoise mdash narrated by JakSL signers. Between the theories about narrative structure by Labov dan Waletzky 1967 , research by Schembri dan Johnston 2007 and analysis of the data, there are compatibility of aspects in narrative superstructure. Moreover, it appears that manual and non manual sign are used to mark the connecting elements of narrative discourse in cohesive aspects and topic comment. Topic comment aspect is constantly delivered in topic continuity to demonstrate the unity of narrative discourse.
"
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan dan Budaya Universitas Indonesia, 2016
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Ronaldi Tjaidianto
"Perbedaan media komunikasi yang digunakan antara komunitas tuli dengan masyarakat normal menjadi pembatas dalam menjalin komunikasi antar keduanya. Untuk mengatasi hal ini, diperlukan suatu alat penerjemah yang dapat menerjemahkan bahasa isyarat Indonesia (Bisindo) yang biasa digunakan oleh komunitas tuli di Indonesia ke bahasa lisan dan sebaliknya. Penelitian ini akan berkontribusi pada pembentukan alat penerjemah tersebut dengan menerjemahkan kalimat dalam format Bisindo menjadi kalimat bahasa Indonesia secara satu arah. Penerjemahan dilakukan dengan dua metode berbeda, yaitu penerjemahan berbasis statistik menggunakan model neural machine translation (NMT) dan penerjemahan berbasis aturan. Khusus untuk penerjemahan berbasis aturan, penelitian ini hanya akan berfokus pada sebuah tahapan saja yaitu penambahan preposisi. Selain itu, penelitian ini juga memaparkan metode pembentukan dataset yang menyerupai karakteristik Bisindo dari dataset Indonesia menggunakan aturan-aturan sederhana untuk mengatasi minimnya ketersediaan dataset tersebut. Model NMT terbaik pada eksperimen ini memperoleh peningkatan nilai SacreBLEU sekitar 56%, serta penurunan nilai WER sekitar 7% dari nilai awal yang diperoleh pada dataset testing secara langsung. Di sisi lain, penerjemahan berbasis aturan memperoleh peningkatan nilai SacreBLEU sekitar 1.1% serta penurunan nilai WER sekitar 9.7% dari nilai awal. Sebagai tambahan, model tersebut memperoleh nilai precision sebesar 0.436 dan nilai recall sebesar 0.340 pada performanya dalam menambahkan preposisi secara spesifik.

The difference of communication methods used by the deaf community and the society becomes a boundary that limits the communication between the two. In order to tackle this issue, we need a tool that can translate sign language (especially bahasa isyarat Indonesia or Bisindo which is commonly used by the deaf community in Indonesia) to oral language and vice versa. This experiment will contribute to such tool by building a tool to translate sentences in Bisindo format to Bahasa Indonesia in one direction. Translation is done using two different methods: statistic-based translation using neural machine translation (NMT) models and rule-based translation. Specific to the rule-based approach, we will only focus on one step of the translation process which is adding prepositions. Aside of that, we also propose a method in building Bisindo-like dataset from Bahasa Indonesia dataset in order to handle the low availability of it. The best NMT model in this experiment achieved an improvement around 56% in SacreBLEU and a decrease around 7% in WER compared to the initial metrics value that we got directly from the testing dataset. On the other side, rule-based translation achieved an improvement around 1.1% in SacreBLEU and a decrease around 9.7% in WER compared to the initial metrics value. In addition, the model achieved 0.436 precision score and 0.340 recall score specific to its performance in adding preposition."
Depok: Fakultas Ilmu Komputer Universitas Indonesia, 2022
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Tambunan, Anggino
"Tulisan ini bertujuan mendeskripsikan pembentukan kalimat nondeklaratif, yaitu kalimat yang tidak mengungkapkan pernyataan atau proposisi, dalam Bahasa Isyarat Indonesia atau yang lebih dikenal dengan sebutan Bisindo. Kalimat nondeklaratif yang dibahas dalam tulisan ini adalah kalimat interogatif, kalimat imperatif, dan kalimat eksklamatif. Dua aspek kalimat nondeklaratif yang diperiksa adalah strukturnya dan unsur nonmanual yang menandainya. Berdasarkan analisis terhadap kalimat-kalimat nondeklaratif yang dihasilkan oleh dua penutur Bisindo ditemukan bahwa (1) kalimat nondeklaratif Bisindo cenderung diawali dengan topik yang dapat berupa subjek, pronomina, nomina atau pewatas frasa yang bermakna 'pemilik'; (2) dalam kalimat interogatif, kata tanya, apabila digunakan, cenderung muncul pada kata di akhir kalimat; (3) unsur nonmanual yang terdapat dalam kalimat nondeklaratif adalah alis (mengerut, menaik), mata (membesar, menyipit, tertutup), dan gerakan kepala (mengangguk); dan (4) unsur-unsur nonmanual tersebut dapat muncul pada keseluruhan kalimat, sebagain kalimat, dan pada kata tertentu.  

The Indonesian Sign Language, better known as Bisindo, is a sign language used by many deaf communities in Indonesia. Misconceptions about this language and its speakers are abound because little is known about it. This paper aims at describing the formation of non-declarative sentences-those that do not express statement or proposition in Indonesian Sign Language. Non-declarative sentences discussed in this research are interrogative, imperative, and exclamative sentences. Two aspects to be examined are the structure and non-manual elements. The data for this paper are collected through elicitation from two Bisindo speakers. From the analysis of the data, it is found that (1) nondeclarative sentences in Bisindo tends to be initially marked by topic-part of sentence which shows what the sentence is about; (2) in interogative sentences, the wh-question word tends to occur at the end of the sentence; (3) non-manual elements that occur in non-declarative sentences are eye brows (lowered, arisen), eyes (widened, narrowed, closed), and head movement (nodded); and (4) the nonmanual elements can occur in in a certain part of the sentence or in the whole sentence depending on the types of non-declarative sentence. "
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia, 2017
S70319
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Erdefi Rakun
"ABSTRAK
SIBI merupakan bahasa isyarat resmi bagi penyandang tunarungu di Indonesia. Dalam pembentukan isyarat, SIBI mengikuti aturan tata bahasa Indonesia. Untuk membentuk isyarat kata berimbuhan, maka isyarat imbuhan awalan, akhiran dan partikel ditambahkan ke isyarat kata dasar. Karena banyak isyarat SIBI merupakan isyarat kata berimbuhan dan belum ada penelitian tentang kata tersebut, maka penelitian ini fokus pada membangun sistem penerjemah kata berimbuhan SIBI ke teks. Gerakan isyarat ditangkap oleh kamera Kinect yang menghasilkan data color, depth dan skeleton. Data Kinect ini diolah menjadi fitur yang dipakai oleh model untuk mengenali gerakan. Sistem penerjemah memerlukan teknik ekstraksi fitur, yang dapat menghasilkan sebuah feature vector set dengan ukuran yang minimal. Penelitian ini berusaha untuk dapat memisahkan isyarat imbuhan dan kata dasar pada isyarat kata berimbuhan. Dengan kemampuan ini, sistem penerjemah menghasilkan 3 feature vector set: kata dasar, awalan dan akhiran. Tanpa pemisahan, feature vector set yang harus disediakan adalah sebanyak perkalian cartesian dari ketiga feature vector set tersebut. Perkalian ketiga set ini tentunya akan menghasilkan feature vector set total yang berukuran sangat besar. Model yang dicoba pada penelitian ini adalah Conditional Random Fields, Hidden Markov Model, Long Short-Term Memory Neural Networks LSTM dan Gated Recurrent Unit. Akurasi yang terbaik yang dicapai oleh untuk LSTM 2-layer 77.04 . Keunggulan dari LSTM terletak pada inputnya yang berupa sequence-of-frames dan setiap frame direpresentasi oleh fitur lengkap, bukan fitur hasil clustering. Model sequence-of-frames lebih cocok untuk SIBI, karena gerakan isyarat SIBI memiliki long-term temporal dependencies. Error hasil prediksi banyak terjadi pada kelompok awalan dan akhiran. Hal ini karena miripnya gerakan pada isyarat-isyarat imbuhan SIBI tersebut. LSTM 2-layer yang dipakai untuk mengenali kata dasar saja memberikan akurasi yang tertinggi 95.4 .

ABSTRACT
SIBI is the official sign language system for the Indonesian language. The formation of SIBI gestures follow Indonesian grammar rules, including inflectional words. Inflectional words are root words with prefixes, infixes, and suffixes, or a mix of the three. Inflectional gestures are made from root word gestures, with prefix, suffix and particle gestures added in the order in which they appear, all of which is unique to SIBI. This research aims to find a suitable model that can quickly and reliably perform SIBI to text translation on inflectional word gestures. The hand movement of the signer is captured by a Kinect camera. The Kinect data was then processed to yield features for the models to use recognize the gestures. Extant research have been able to translate the alphabet, root words, and numbers from SIBI to text, but none has been able to translate SIBI inflectional word gestures. In order for the translation system to work as efficiently as possible, this research developed a new method that splits an inflectional word into three feature vector sets root, prefix, suffix . This ensures that a minimally descriptive feature sets are used. Without using this, the feature sets would otherwise be as big as the Cartesian product of the prefixes, suffixes and root words feature sets of the inflectional word gestures. Four types of machine learning models were tested Conditional Random Fields, Hidden Markov Model, Long Short Term Memory Net, dan Gated Recurrent Unit. The 2 layer LSTM, with an accuracy of 77.04 , has been proven to be the most suitable. This model 39 s performance is due to the fact that it can take entire sequences as input and doesn 39 t rely on pre clustered per frame data. The 2 layer LSTM performed the best, being 95.4 accurate with root words. The lower accuracy with inflectional words is due to difficulties in recognizing prefix and suffix gestures."
2016
D2244
UI - Disertasi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Dhea Rizkie Liesya
"Terdapat dua bahasa isyarat di Indonesia, yaitu Sistem Isyarat Bahasa Indonesia (SIBI) dan Bahasa Isyarat Indonesia (Bisindo). SIBI telah diresmikan oleh pemerintah sebagai bahasa untuk Tuli di SLB-B pada tahun 2001. Padahal sebelumnya Tuli telah memiliki bahasa, yaitu bahasa isyarat yang berasal dari Tuli secara alami. Bahasa alami Tuli tersebut diresmikan oleh komunitas Tuli pada tahun 2008 dengan nama Bisindo. Penelitian ini bertujuan untuk menggambarkan bagaimana identitas Tuli ditunjukkan dalam Bisindo. Penelitian ini menggunakan metode etnografi dengan melakukan observasi partisipan dan wawancara mendalam di komunitas Tuli dan lembaga lainnya yang berperan mengembangkan Bisindo. Hasil penelitian dalam skripsi ini menunjukan bahwa Tuli lebih memilih untuk menggunakan Bisindo daripada SIBI karena Bisindo merupakan Identitas bagi Tuli. Penelitian ini lalu menemukan bahwa Tuli menggunakan Bisindo sebagai alat dalam pergerakan sosial menuju kesetaraan Tuli di masyarakat.

There are two sign languages in Indonesia, namely the Indonesian Sign Language System (SIBI) and the Indonesian Sign Language (Bisindo). The SIBI was formalized by the government as the language for the Deaf in SLB-B in 2001. Even though Deaf already has language, which is sign language that comes from Deaf naturally. The Deaf natural language was formalized by the Deaf community in 2008 under the name Bisindo.This study aims to illustrate how Deaf's identity is shown in Bisindo.This study uses ethnographic methods by conducting participant observation and in-depth interviews in the Deaf community and other institutions that play a role in developing Bisindo.The results of this study indicate that Deaf prefers to use Bisindo rather than SIBI because Bisindo is the Identity for the Deaf.This research then found that Deaf uses Bisindo as a tool in social movements towards Deaf equality in society."
Depok: Fakultas Ilmu Sosial Dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2020
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Sianipar, Igor Lestin author
"Sebagai bentuk interaksi sosial, komunikasi menjadi salah satu hal yang tidak dapat dihindari. Komunikasi menjadi metode yang paling mudah untuk diterapkan oleh setiap orang untuk saling bertukar informasi. Informasi yang diperoleh akan sangat bergantung pada proses komunikasi yang berlangsung. Bagi teman tuli, komunikasi menjadi hal yang cukup sulit dilakukan apabila hendak berinteraksi dengan teman dengar. Begitu juga sebaliknya, teman dengar akan kesulitan apabila melakukan hal yang serupa. Terdapat salah satu aplikasi yang dapat mengatasi kesulitan interaksi bagi teman tuli, yaitu sistem aplikasi SIBI. Sistem aplikasi SIBI mampu membantu penggunanya untuk berkomunikasi kepada sesama pengguna dengan menerjemahkan bahasa isyarat SIBI menjadi teks bahasa Indonesia begitu juga sebaliknya. Namun ternyata sistem aplikasi ini dirasa belum cukup membantu penggunanya ditinjau dari sisi desain interaksinya. Melalui permasalahan tersebut, penelitian ini hadir untuk meningkatkan kualitas desain interaksi sistem aplikasi SIBI yang diharapkan kan berdampak pada meningkatnya kualitas komunikasi bagi teman tuli. Penulis merancang suatu alternatif desain untuk menjawab permasalahan yang ada dengan menerapkan user centered design. Hasil dari desain alternatif tersebut akan ditinjau ulang hingga akhirnya menghasilkan suatu rekomendasi desain sistem aplikasi SIBI yang merupakan hasil akhir dari penelitian ini.

As a one of many forms of social interaction, communication is something that cannot be replaced. Communication is the easiest method for everyone to use to take and give the information. The information that obtained will be very useful based on the ongoing communication process before. For deaf peoples, communication becomes a difficult thing to do when they want to interact with a normal people and also a normal people will find it difficult to do the same thing. There is one application that can solve the difficulties, named SIBI application system. SIBI application system able to help the users to communicate with other users by translating the SIBI language into Indonesian text and vice versa. However, it turns out that this application system is not helpful enough to use in an interaction design point of view. Through this problem, this research is to improve the quality of the interaction design of the SIBI application system which is expected to have an impact on the quality of communication for deaf friends. The author will design an alternative design to answer the existing problems by implementing a user-centered design. The results of the alternative designs will be reviewed to finally produce a recommendation for the SIBI application system design which is the final result of this research."
Depok: Fakultas Ilmu Komputer Universitas Indonesia, 2021
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>