Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 188859 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Januar Chrisant Fladimir Makabori
"Pendahuluan: Defek tulang kritis adalah hilangnya struktur tulang yang melebihi ukuran kritis kemampuan tulang untuk beregenerasi. Pencangkokan tulang autologus sebagai terapi standar diperlukan pada defek tulang yang luas. Namun, hal ini dikaitkan dengan berbagai morbiditas. Penggunaan eksosom dari sel punca mesenkimal tali pusat (SPM- TP) dan PRF cukup menjanjikan dan berpotensi menjadi alternatif untuk mencapai penyembuhan defek tulang kritis.
Metode: Penelitian ini merupakan penelitian eksperimental post-test only control group design dengan menggunakan 30 ekor tikus Sprague Dawley yang berusia 8-12 minggu dengan berat badan sekitar 250-300 gram. Tikus-tikus tersebut kemudian dibagi menjadi 5 kelompok perlakuan, yaitu hidroksiapatit (HA) dan cangkok tulang (kelompok I), HA, cangkok tulang, dan PRF (kelompok II), HA, cangkok tulang, dan eksosom dari UC-MSC (kelompok III), HA, cangkok tulang, PRF, dan eksosom dari UC-MSC (kelompok IV), serta HA, PRF, dan eksosom dari UC-MSC (kelompok V). Pada setiap tikus, defek tulang femur 5mm dibuat dan difiksasi secara internal menggunakan ulir kawat K 1,0-1,2 mm. Pada minggu keempat masa tindak lanjut, pemeriksaan RT-PCR dilakukan untuk menilai kadar BMP-2 dan chordin, serta pemeriksaan histomorfometri untuk mengukur persentase area osifikasi, area fibrosis, dan area void. Analisis statistik dilakukan dengan menggunakan uji ANOVA satu arah dan uji post-hoc untuk menentukan signifikansi hasil.
Hasil: Pada pemeriksaan RT-PCR, ekspresi gen BMP-2 tertinggi ditemukan pada kelompok I (1,0 - 1,5; median 1,2), diikuti oleh kelompok II (0,2 - 1,2; median 0,5), kelompok IV (0,3 - 0,7; median 0,4), kelompok III dan kelompok V. Sementara itu, ekspresi gen chordin tertinggi terdapat pada kelompok III (0 - 50), diikuti oleh kelompok lainnya dengan nilai yang sama. Namun, analisis deskriptif menunjukkan tidak ada korelasi yang signifikan antara tingkat BMP-2 dan chordin pada defek tulang kritis, dengan nilai p masing-masing 0,096 dan 0,690. Analisis statistik menunjukkan hasil yang signifikan untuk BMP-2 (p = 0,017) sementara chordin (p = 0,269) dan analisis histomorfometri untuk area osifikasi, fibrosis, dan inflamasi kronis (jaringan granulasi), dan area kosong tidak menunjukkan signifikansi statistik (p = 0,591, p = 0,581, p = 0,196).
Diskusi: Penggunaan PRF dan eksosom dari SPM-TP secara terpisah menunjukkan hasil yang berbeda, dimana PRF menunjukan hasil yang baik pada osteogenesis dan
eksosom dari SPM-TP menunjukan hasil lebih tinggi dalam pembentukan jaringan fibrosis, dan inflamasi kronis (jaringan granulasi). Pada beberapa penelitian, PRF terbukti meningkatkan kadar BMP-2 dan diferensiasi osteoblas, sehingga mempercepat proses osteogenesis. Namun, penggunaan eksosom dan PRF secara bersamaan belum diteliti pengaruhnya terhadap defek tulang kritis. Dalam penelitian ini, hasil yang berlawanan ditemukan daripada hasil yang diharapkan, dengan kadar BMP-2 yang relatif rendah pada kelompok perlakuan kombinasi dibandingkan dengan kelompok lain, dan adanya peningkatan kadar chordin pada kelompok perlakuan kombinasi. Hal ini menunjukkan bahwa kombinasi PRF dan eksosom dari SPM-TP dapat menghasilkan efek negatif pada osteogenesis.
Kesimpulan: Secara terpisah, PRF telah terbukti memiliki efek positif pada osteogenesis, sedangkan eksosom dari SPM-TP menunjukan hasil lebih tinggi dalam pembentukan jaringan fibrosis, dan inflamasi kronis (jaringan granulasi). Kombinasi keduanya dalam penelitian ini, tidak memberikan efek positif terhadap regenerasi defek tulang kritis.

Introduction: Critical bone defect is a loss of bone structure that exceeds the critical size of the bone's ability to regenerate. Autologous bone grafting as the standard therapy is needed in extensive bone defects. However, it is associated with various morbidities. The use of exosome from umbilical cord mesenchymal stem cell (UC-MSC) and PRF is promising and has the potential to be an alternative to achieve healing of critical bone defects.
Methods: This study was an experimental post-test only control group design using 30 Sprague Dawley rats aged 8-12 weeks, weighing about 250-300 grams. They were then divided into 5 treatment groups, namely hydroxyapatite (HA) and bone graft (group I), HA, bone graft, and PRF (group II), HA, bone graft and exosome from UC-MSC (group III), HA, bone graft, PRF, and exosome from UC-MSC (group IV), and HA, PRF, and exosome from UC-MSC (group V). In each rat, a 5mm femoral bone defect was created and internally fixated using a 1.0-1.2 mm K-wire threaded. At the fourth week of follow- up, RT-PCR examination was performed to assess BMP-2 and chordin levels, as well as histomorphometry examination to measure the percentages of ossification area, fibrotic area, and void area. Statistical analysis was conducted using one-way ANOVA and post- hoc tests to determine the significance of the results.
Results: In the RT-PCR examination, the highest BMP-2 gene expression was found in group I (1.0 - 1.5; median 1.2), followed by group II (0.2 - 1.2; median 0.5), group IV (0.3 - 0.7; median 0.4), group III and group V. Meanwhile, chordin gene expression was highest in group III (0 - 50), followed by the other groups with similar values. However, descriptive analysis showed no significant correlation between BMP-2 and chordin levels in critical bone defects, with p values of 0.096 and 0.690 each. Statistical analysis showed significant results for BMP-2 (p = 0.017) while chordin (p = 0.269) and histomorphometry analysis for ossification, fibrotic, and void area showed no statistical significance (p = 0.591, p = 0.581, p = 0.196, respectively).
Discussion: The use of PRF and exosomes from SPM-TP separately showed different results, where PRF showed good results in osteogenesis and exosomes from SPM-TP showed higher results in fibritic tissue formation. However, the use of both exosomes and PRF together has not been studied for their effect on critical bone defects. In this study, the opposite results were found instead of the expected results. This may indicate that the combination of PRF and exosome from UC-MSC could possibly yield a negative effect on osteogenesis.
Conclusion: The combination of PRF and exosome from UC-MSC did not yield positive effect on the outcomes examined in this study.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2023
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Fahresa Hilmy
"Defek kritis tulang panjang adalah kondisi bagian tulang yang hilang dengan ukuran lebih dari 2 cm dan atau 50% diameter tulang, sehingga sulit untuk mengalami regenerasi. Salah satu penatalaksanaan yang dapat dilakukan adalah tindakan transplantasi autologous namun peningkatan risiko morbiditas pada pendonor menyebabkan diperlukannya tata laksana alternatif untuk defek kritis tulang panjang. Penggunaan eksosom sel punca mesenkimal adiposa atau PRF telah menunjukkan hasil yang menjanjikan pada penelitian sebelumnya. Kami bertujuan untuk mengevaluasi efek penggunaan eksosom sel punca mesenkimal adiposa dan PRF terhadap defek kritis tulang panjang pada tikus Sprague-Dawley. Penelitian ini merupakan penelitian quasi eksperimental post-test only control group design pada hewan coba tikus Sprague Dawley. Sampel diambil secara acak dari tikus putih spesies Sprague Dawley jantan yang berusia 8-12 minggu, dengan berat sekitar 250 – 350 gram. Sebanyak 30 ekor tikus dibagi ke dalam 5 kelompok, yaitu kelompok perlakuan hidroksiapatit (HA) dan bone graft (BG) (kelompok I), kelompok perlakuan HA, BG, dan PRF (kelompok II), kelompok perlakuan HA, BG dan eksosom sel punca mesenkimal adiposa (kelompok III), kelompok perlakuan HA, BG, PRF, dan eksosom sel punca mesenkimal adiposa (kelompok IV), dan kelompok perlakuan HA, PRF, dan eksosom sel punca mesenkimal adiposa (kelompok V). Setiap tikus kemudian dibuat defek tulang femur sebesar 5mm yang difiksasi interna menggunakan K-wire ukuran 1,4 mm. Histomorfometri dan BMP-2 dilakukan untuk menilai proses penyembuhan tulang pada setiap kelompok perlakuan. Pada analisis RT-PCR, kelompok IV (HA + BG + eksosom sel punca mesenkimal adiposa) memiliki ekspresi gen BMP-2 tertinggi dibandingkan dengan kelompok lainnya. Sebaliknya, kelompok III (HA + BG + eksosom sel punca mesenkimal adiposa + PRF) memiliki tingkat chordin tertinggi dibandingkan dengan kelompok lainnya. Secara umum, kelompok yang diintervensi dengan eksosom sel punca mesenkimal adiposa atau PRF memiliki ekspresi BMP-2 yang lebih tinggi dibandingkan dengan kontrol. Namun, kami tidak menemukan perbedaan yang signifikan antar kelompok dalam analisis statistik. Pembentukan jaringan ikat pada penyembuhan tulang predominan dibandingkan pembentukan jaringan tulang untuk semua kelompok. Kelompok dengan pemberian kombinasi eksosom sel punca mesenkimal adiposa, PRF, HA menunjukkan hasil yang setara/ekuivalen dengan HA+ BG. Dalam penelitian ini, penggunaan eksosom sel punca mesenkimal adiposa dan/atau PRF telah menunjukkan peningkatan aktivitas osteogenic yang ditunjukkan dengan peningkatan laju penyembuhan tulang. Kuantifikasi BMP-2 dapat menunjukkan aktivitas osteogenic pada tikus yang ditatalaksana dengan eksosom sel punca mesenkimal adiposa, bone graft dan HA. Selain itu, penggunaan eksosom sel punca mesenkimal adiposa yang dikombinasikan dengan PRF menunjukkan efek yang saling mendukung. Hal ini tampak pada kombinasi eksosom sel punca mesenkimal adiposa, PRF, HA tanpa BG menunjukkan hasil yang setara/ekuivalen dengan HA+ BG. Hasil histomorfometri menunjukkan aktivitas osteogenic yang baik pada tikus yang ditatalaksana dengan eksosom sel punca mesenkimal adiposa dan/atau PRF. Namun, efek ini tidak terlalu tampak pada kombinasi eksosom sel punca mesenkimal adiposa, PRF, HA dan BG meskipun hasil ini memiliki tren yang lebih tinggi dibandingkan dengan kelompok kontrol. Hal ini mendukung sinergi antara eksosom sel punca mesenkimal adiposa dan PRF. Penggunaan PRF dan eksosom sel punca mesenkimal adiposa memiliki luaran histomorfometri dan molekular (BMP-2 dan Chordin) yang sebanding dengan penggunaan bone graft pada defek tulang kritis pada tikus Sprague Dawley.

Critical long bone defects is defined as a defect of over 2 cm or 50% of the bone diameter that leads to a small chance of healing. Autologous bone graft has been proposed as a treatment for critical bone defects in prior studies. However, unreliable results and donor-site morbidity call for an alternative treatment in critical long bone defect. Biological augmentation with ASCs exosome and PRF has shown promising results in bone regeneration in prior studies. We aimed to evaluate the efficacy of ASCs exosome and PRF in treating critical long bone defect in Sprague-Dawley rats. This study was a quasi-experimental post-test only control group design on Sprague-Dawley rats. Samples were taken randomly from male Sprague-Dawley white rats aged 8 to 12 weeks, weighing approximately 250 to 350 grams. A total of 30 rats were divided into 5 groups: hydroxyapatite (HA) and bone graft (BG) treatment group (group I); HA, BG, and PRF treatment group (group II); HA, BG, PRF and ASCs exosome treatment group (group III); HA, BG, and ASCs exosome treatment group (group IV); and HA, PRF, and ASCs exosome treatment group (group V). A 5 mm femur bone defect was created that was internally fixed using a 1.4 mm K-wire threaded. Histomorphometry and BMP-2 was performed to evaluate bone healing process in each group. On RT-PCR analysis, group IV (HA+BG+ASCs exosome) had the highest BMP-2 gene expression compared to other groups. In the contrary, group III (HA+BG+ASCs exosome+PRF) has the highest chordin level compared to other groups. In general, the group intervened by ASCs exosome or PRF has a higher BMP-2 expression compared to control. However, we did not find any significant difference between groups in statistical analysis. Histomorphometry examination showed increased bone healing progression in groups with ASCs or PRF. The use of biological augmentation to increase the speed and rate of bone healing especially in critical bone defect has been shown in previous study. In this study, the use of ASCs exosome and/or PRF has shown increased osteogenic activities that translates into increased rate of bone healing. The quantification of BMP-2 could show the osteogenic activities in rats treated with ACSs exosome with BG and HA. In addition, the use of adipose mesenchymal stem cell exosomes in combination with PRF showed a mutually supportive effect. This was seen in the combination of adipose mesenchymal stem cell exosomes, PRF, HA without BG showed equivalent results with HA + BG. Histomorphometric results showed good osteogenic activity in rats treated with adipose mesenchymal stem cell exosomes and/or PRF. However, this effect was less pronounced in the combination of adipose mesenchymal stem cell exosomes, PRF, HA and BG although this result had a higher trend compared to the control group. This supports the synergy between adipose mesenchymal stem cell exosomes and PRF. The ASCs exosome showed a positive effect on osteogenesis in critical long bone defects in Sprague-Dawley rats."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2023
SP-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Daffa Raditya Fernanda
"Tendinopati Achilles diabetes merupakan penyakit degeneratif akibat perubahan homeostasis jaringan tendon yang disebabkan oleh diabetes melitus tipe 2. Penyembuhan tendinopati Achilles diabetes sulit untuk dicapai karena terbatasnya kapasitas regenerasi tendon. Eksosom asal sel punca mesenkimal (SPM) sumsum tulang memiliki kemampuan dalam menghambat degenerasi jaringan sehingga berpotensi untuk mengatasi tendinopati Achilles diabetes. Efek eksosom SPM sumsum tulang terhadap tendon Achilles dapat diinvestigasi melalui perubahan ekspresi relatif gen a disintegrin and metalloproteinase domain 12 (ADAM12). Gen ADAM12 merupakan gen pendegradasi matriks yang terekspresi tinggi pada tendinopati Achilles diabetes. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh injeksi 0,8 mL eksosom asal SPM sumsum tulang pada tendinopati Achilles tikus diabetes berdasarkan analisis histologi dan ekspresi gen ADAM12. Sebanyak 12 ekor tikus putih jantan galur Sprague Dawley dikelompokkan menjadi dua kelompok yang terdiri atas kelompok kontrol tendinopati (KK) dan kelompok eksosom (KE). Analisis histologi tendon Achilles posmortem hari ke-21 dilakukan dengan metode semikuantitatif skor Bonar dan histomorfometri kuantitatif luas area kolagen melalui pulasan Hematoksilin-Eosin, Alcian Blue, dan Masson’s Trichrome. Perubahan ekspresi gen ADAM12 diperiksa secara kuantitatif menggunakan qRT-PCR. Berdasarkan hasil penelitian, rata-rata skor Bonar KE (1,67 ± 1,282) ditemukan lebih rendah daripada KK (6,40 ± 2,195) secara signifikan (P = 0,001; P < 0,05). Analisis histomorfometri juga menunjukkan rata-rata luas area kolagen KE (85,15 ± 7,023) yang cenderung lebih tinggi dibandingkan KK (76,64 ± 9,237), tetapi tidak berbeda nyata (P = 0,103; P ≥ 0,05). Ekspresi gen ADAM12 KE mengalami perubahan sebesar 0,9 kali lipat lebih tinggi daripada KK, meskipun secara statistik tidak signifikan (P = 0,421; P ≥ 0,05). Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa injeksi 0,8 mL eksosom asal SPM sumsum tulang terbukti memiliki potensi dalam memicu perbaikan tendinopati Achilles diabetes pada hari ke-21.

Diabetic Achilles tendinopathy is a degenerative disease resulting from changes in tendon tissue homeostasis caused by type 2 diabetes mellitus. The cure of diabetic Achilles tendinopathy is difficult to achieve due to the limited regeneration capacity of the tendon. Exosomes from bone marrow-derived mesenchymal stem cells (MSC) can inhibit tissue degeneration so they have the potential to treat diabetic Achilles tendinopathy. The effect of exosomes from bone marrow-derived MSC on the Achilles tendon can be investigated through changes in the relative expression of a disintegrin and metalloproteinase domain 12 (ADAM12) gene. The ADAM12 gene is a matrix-degrading gene that is highly expressed in diabetic Achilles tendinopathy. This study aims to determine the effect of injection of 0.8 mL of exosomes from bone marrow-derived MSC on Achilles tendinopathy in diabetic rats based on histology analysis and ADAM12 gene expression. A total of 12 male white Sprague Dawley rats were grouped into two groups consisting of the tendinopathy control group (KK) and the exosome group (KE). Postmortem Achilles tendon histology analysis on day 21 was carried out using the semiquantitative Bonar score method and quantitative histomorphometry of collagen area using Hematoxylin-Eosin, Alcian Blue, and Masson's Trichrome staining. Changes in ADAM12 gene expression were examined quantitatively using qRT-PCR. Based on the research results, the mean score of Bonar KE (1.67 ± 1.282) was found to be significantly lower than KK (6.40 ± 2.195) (P = 0.001; P < 0.05). The histomorphometric analysis also showed that the average collagen area of KE (85.15 ± 7.023) tended to be higher than KK (76.64 ± 9.237) but was not significantly different (P = 0.103; P ≥ 0.05). ADAM12 KE gene expression changed 0.9-fold higher than KK, although it was not statistically significant (P = 0.421; P ≥ 0.05). Thus, the injection of 0.8 mL of exosomes from bone marrow-derived MSC was proven to have the potential to trigger improvement in diabetic Achilles tendinopathy on day 21."
Depok: Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Indonesia, 2024
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Rustadi Sosrosumihardjo
"ABSTRAK
Bayi dengan berat badan lahir rendah (BBLR) dan retardasi perkembangan
intrauterin (IUGR) masih merupakan masalah, khususnya di Indonesia, karena
menunjukkan angka kejadian yang tinggi dan pertu diturunkan. Malnutrisi pada
anak kurang dan 1 tahun terbanyak pada bayi BBLR. Penyebab gagal tumbuh
terbanyak pada bayi adalah masalah saluran cerna, terutama maldigesti,
malabsorpsi, dan diare kronik.
Pada penelitian dengan menggunakan hewan coba, didapatkan mukosa
usus halus hipotrofi dan normoplasi pada tikus malnutrisi. Keadaan normoplasi
tercermin dari kandungan DNA mukosa usus halus yang menetap pada
malnutrisi. Keadaan ini selain memperlihatkan bahwa usus halus dapat
mempertahankan jumlah selnya dalam menghadapi pembatasan nutrien, juga
memberi petunjuk bahwa akan dapat berkembang apabila mendapatkan
masukan nutrien yang cukup.
Apakah reatimentasi dapat memulihkan mukosa yang hipotrofi normoplasi
menjadi normotroti normoplasi? Apabila keadaan tersebut terjadi, apakah respon
pemulihan itu berbeda antara tikus yang diinduksi pada masa pranatal dan yang
diinduksi malnutrisi pada masa pascasapih? Penelitian ini berusaha menjawab
pertanyaan tersebut.
Metodologi
Penelitian eksperimental dengan desain post test-control group dilakukan
dengan menggunakan anak tikus jantan jenis Sprague-Dawley, dalam kurun
waktu April 2003 - Desember 2004. Delapan puluh ekor anak tikus jantan yang
dilahirkan dari 10 induk tikus berumur 8 minggu dengan berat badan antara 250-
300 gram, diberikan makanan baku yang lazim digunakan untuk penelitian.
Penelitian dibagi dalam 2 tahap : (1) induksi malnutrisi pranatal yaitu 3 minggu
pada masa gestasi, 3 minggu masa laktasi dan 3 minggu pascalaktasi, dan
induksi malnutrisi pascasapih selama 9 minggu dimulai segra setelah disapih;
dilanjutkan dengan tahap (2) Realimentasi selama 8 minggu. Pada setiap akhir
tahapan dilakukan nekropsi untuk memperoteh data. Data tersebut adalah (1)
kadar albumin serum, (2) ukuran badan (berat badan, panjang badan, Iingkar
dada), (3) ukuran usus (berat usus, panjang usus, diameter usus dan berat
mukosa), (4) morfologi usus halus (tebat mukosa, tinggi vilus, kedalaman kripta,
nisbah vitus/kripta, jumlah virus, kandungan protein, kandungan DNA, dan nisbah
protein/DNA), dan (5) aktivitas disakaridase (laktase, maltase, sukrase).
Hasil Penelitian
Berat badan tikus malnutrisi pranatal dan pascasapih yang direalimentasi lebih
tinggi dari tikus malnutrisi yang tidak direalimentasi, tetapi Iebih rendah dari tikus
kontrol. Semua parameter yang digunakan untuk menilai morfologi pada tikus
malnutrisi pranatal dan pascasapih yang direalimentasi lebih tinggi dari tikus
malnutrisi yang tidak direalimentasi, tetapi lebih rendah dibandingkan tikus
kontrol. Aktivitas spesifik disakaridase pada tikus malnutrisi pranatal yang
direalimentasi lebih tinggi dari tikus malnutrisi yang tidak direalimentasi, tetapi
lebih rendah dari nilai kontro. Sedangkan aktivitas spesifik disakaridase pada
tlkus malnutrisi pascasapih yang direalimentasi lebih rendah dari tikus malnutrisi
yang tidak direalimentasi, tetapi lebih tinggi dari nilai kontrol. Persentase
peningkatan beberapa parameter terhadap kontrol yaitu berat usus, berat
mukosa, dan kandungan protein mukosa usus halus tikus malnutrisi pascasapih
yang direalimentasi lebih tinggi dari tikus malnutrisi pranatal yang direalimentasi.
Kesimpulan
Malnutrisi tidak mengurangi populasi enterosit usus halus tikus. Realimentasi
dapat meningkatkan berat badan tikus malnutrisi pranatal dan pascasapih, tetapi
tidak mencapai berat badan tikus normal. Realimentasi pada tikus malnutrisi
pranatal dan pascasapih dapat memperbaiki hipotrotl mukosa usus halus tetapi
tidak mencapai nonnotroti Realimentasi pada tikus malnutrisi pranatal dapat
meningkatkan aktivitas disakaridase tetapi tidak mencapai nilai normal.
Realimentasi pada tikus malnutrisi pascasapin dapat me-ngaklbatkan perubahan
aktivitas disakaridase tetapi tldak mencapai nilai normal. Realimentasi pada tikus
malnutrisi pranatal dan pascasapih dapat memperbaiki maturitas mukosa usus
halus, tetapi tidak mencapai normal. Realimentasi pada tikus malnutrisi
pascasapih memberikan respon yang lebih baik daripada tikus malnutrisi
pranatal.

Abstract
Background
Low birth-weight infant and intrauterine growth retardation (lUGR) are still a
health problem, especially in Indonesia due to high prevalence and need to be
reduced. Malnutrition in infants are most common occur in low birth-weight
infants. The most common etiology of failure to thrive in infants is due to
gastrointestinal origin, particularly nutrient maldigestion and malabsorption, and
chronic diarrhea.
Malnutrition in rats resulted in hypotrophic and norrnoplastic mucosa of the
small intestine. The nomioplasia was reflected from persistent DNA content of
the intestinal mucosa in malnutrition. The finding was not only showed that small
intestine was able to maintain its cell number in condition with restriction nutrient,
however also suggested the posibility of epithelial regeneration if given the
adequate nutrient intake.
Did realimentation recover the hypotrophic normoplastic mucosa to
nonnotrophic normoplastic? lf so, will the recovery response be different between
rats with malnutrition induced in prenatal period and post-weaning period. The
study aim to answer the above question.
Methodology
Experimental animal study with post test-control group design was perfomied
using male litter of Sprague-Dawley rats, from April 2003 to December 2004.
Eighty male Sprague-Dawley rats bom from 10 female rats which were 8 week
old and body weight of 250-300 grams, was fed standard chow. The study was
divided into 2 phases: (1) prenatally-induced malnutrition, i.e. 3 weeks gestation
period, 3 weeks lactation period, and 3 weeks post-weaning period, and post-
weaning-induced malnutrition for 9 weeks starting right after weaning, continued
with phases (2) realimentation for 8 weeks. At the end of each phase, the rats
were sacrilied to obtain data. The data include (1) serum albumin level, (2)
physical parameters (body weight, body length, chest cirouimstance), (3) small
intestinal parameters (intestinal weight, length, diameter, and mucosal weight),
(4) small intestinal morphology (mucosal thickness, villus height, cryptus depth,
ratio of villus/crypt, number of villi, protein content, DNA content, ratio of
protein/DNA), and (5) disaocharidases (lactase, maltase, sucrase) activities.
Results
Both in pranatally and postweaning-induced malnutrition, the body weight of rats
in realimentation group was higher than non-realimentation group, but lower than
control group. All parameters to evaluate the morphology of rats with prenatally
and postweanlng-induced malnutrition in realimentation group were higher than
those of non-realimentation, but lower than control group. Specihc activity of
disaocharidases in rats with prenatally-induced malnutrition in realimentation
group was higher than those without realimentation, but lower than control. While
specific activity of disaccharidases in postweaning-induced malnutrition rats in
realimentation group was lower than those without realimentation, but higher
than control. After relimentation, percentage of increase from control values in
some parameters in realimentation rats (intestinal and mucosal weight, protein
content of intestinal mucosa) in postweaning-induced malnutrition rats was
higher compared to prenatally-induced malnutrition rats.
Conclusions
Malnutrition did not reduced the population of small intestinal enterocytes.
Realimentation was able to increase the body weight of rats in prenatally and
post-weaning-induced malnutrition, but the increase did not reach the nom1al
body weight. Realimentation in rats in prenatally and postweaning-induced
malnutrition was able to improve the hypotrophy of small intestinal mucosa but
not fully recover to nomiotrophic state. Realimentation in rats in prenatally-
induced malnutrition was able to increase the disacxsharidases activities but not
to the nom'|al values. Realimentation in rats of postweaning-induced malnutrition
was able to decrease the disaccharidases activities, but not to nom1al values.
Realimentation was able to improve the maturity of small intestinal mucosa of
rats in prenatally and postweaning-induced malnutrition, but did not reach the
nomtal values. Realimentation in rats of postweaning-induced malnutrition
showed better responses than rats of prenatally-induced malnutrition."
2005
D715
UI - Disertasi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Risti Sifa Fadhillah
"Telah dilakukan penelitian yang bertujuan untuk mengetahui pengaruh pemberian fortifikan Fe fumarat dalam susu kedelai terhadap kadar zat besi plasma darah tikus (Rattus norvegicus L.) jantan galur Sprague-Dawley. Metode penelitian menggunakan Rancangan Acak Lengkap (RAL), terdiri atas 25 ekor tikus putih jantan yang dibagi ke dalam 5 kelompok perlakuan, yaitu KK 1 yang diberi larutan CMC 0,5%; KK 2 yang diberi larutan CMC 0,5% dan susu kedelai tanpa fortifikan; dan KP 1, 2, dan 3 yang diberi larutan CMC 0,5% dan susu kedelai dengan fortifikan Fe fumarat dosis 1,35 mg Fe/ kgBB, 2,7 mg Fe/ kg BB, dan 5,4 mg Fe/ kgBB selama 21 hari berturut-turut. Pengambilan darah dilakukan pada hari ke-0 dan setelah pencekokan hari ke-21. Darah dipreparasi menggunakan destruksi basah lalu ditentukan kadar zat besinya dengan AAS (Atomic Absorption Spectrophotometer). Hasil uji ANAVA satu arah (P < 0,05) menunjukkan pengaruh nyata pemberian fortifikan Fe fumarat dalam susu kedelai terhadap kadar zat besi antar kelompok perlakuan. Peningkatan kadar zat besi tertinggi terjadi pada KP 1 yaitu sebesar 27,90% terhadap KK 1 dan 17,49% terhadap KK 2.

The effect of Fe fumarate fortificant addition in soy milk intake on plasma iron concentration of male Sprague-Dawley rats (Rattus norvegicus L.) had been studied. By using Complete Random Design (CRD), twenty five rats were divided into five groups, consist of normal control group (KK 1) which was administered with CMC 0.5% solution, treatment control group (KK 2) which was administered with CMC 0.5% solution and unfortified soy milk, and three treatment groups which were administered with soy milk added with fortificant Fe fumarate 1.35 mg Fe/kgbw (KP 1); 2.7 mg Fe/kgbw (KP 2); and 5.4 mg Fe/kgbw (KP 3). All of the five groups were treated for consecutive 21 days. The plasma iron concentration was measured by Atomic Absorption Spectrophotometer (AAS). One way ANOVA test and post-hoc LSD test (P < 0.05) showed significant effect of fortificant Fe fumarate addition in soy milk intake on plasma iron concentration in all treatment groups. The highest increase of plasma iron concentration was detected on KP 1, which is 27.90% to KK 1 and 17.49% to KK 2."
Depok: Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Indonesia, 2016
S65436
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Twidy Tarcisia
"ABSTRAK
Penyembuhan luka adalah peristiwa kompleks yang meliputi kemotaksis,
angiogenesis, pembelahan sel, sintesis matriks ekstraseluler, pembentukan dan
remodeling jaringan parut. Angiogenesis, densitas kolagen, kontraksi luka, epitelisasi
dan luas area luka adalah beberapa parameter yang dapat digunakan untuk menilai
baiknya penyembuhan luka. Pemberian ADSC-CM pada penelitian terdahulu terbukti
meningkatkan proses penyembuhan luka melalui mekanisme parakrin ADSC.
Penelitian ini menilai efek pemberian ADSC-CM monolayer dalam inkubasi normoxia
selama tiga hari terhadap angiogenesis, kontraksi luka, epitelisasi dan kualitas
penyembuhan luka kulit tikus Sprague Dawley. Adanya konsentrasi growth factor
seperti VEGF dan EGF dinilai melalui pemeriksaan ELISA. Efek angiogenesis,
densitas kolagen, kontraksi luka, epitelisasi dan luas area luka dinilai dengan
pemeriksaan histologi menggunakan pewarnaan Hematoksilin-Eosin dan Masson?s
Trichome. Dua puluh sembilan tikus dibalurkan ADSC-CM pada bagian punggung
(full thickness wound) dan dinilai gambaran histologinya pada hari ke-3, 7, 14, 21 dan
28. Konsentrasi VEGF dan EGF ditemukan dalam ADSC-CM dengan 5052,698 ± 0,31
pg/mL dan 0,233 ± 0,08 pg/mL. Gambaran histologi pada parameter angiogenesis,
densitas koalgen, kontraksi luka, epitelisasi dan luas area luka menunjukkan perbedaan
tidak bermakna antara kelompok luka yang dibalurkan ADSC-CM dan kelompok
kontrol namun secara klinis dan epidemiologis pembaluran ADSC-CM meningkatkan
proses penyembuhan luka.

ABSTRACT
Wound healing is a complex event that consist chemotaxis, angiogenesis, proliferation,
synthesis of matrix extracellular, formation and remodeling scar tissue. Angiogenesis,
colagen density, wound contraction, epithelialization and wound area is a several
parameter to analyze wound healing. Previous studies have shown that ADSC-CM are
able to accelerate wound healing due to paracrine effect. This study investigate the
effect of monolayer ADSC-CM on angiogenesis, colagen density, wound contraction,
epithelialization and wound area in a rat full thickness wound. Consentration of growth
factor such as EGF and VEGF were assessed with ELISA examination. Angiogenesis,
colagen density, wound contraction, epithelialization and wound area were analyzed
histologically with Hematoxylin-Eosin and Masson?s Trichome staining. Twenty nine
rats were administered topically with ADSC-CM. Histological examination was
measured on day 3, 7, 14, 21 and 28. Amount of VEGF and EGF is 5052,698 pg/mL
dan 0,233 pg/mL. Histology examination angiogenesis, colagen density, wound
contraction, epithelialization and wound area show there is no significant difference
between ADSC-CM group and control group but meaningful difference to accelerate
wound healing."
2016
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Rustadi Sosrosumihardjo
"ABSTRAK
Latar Belakang
Bayi dengan berat badan lahir rendah (BBLR) dan retardasi perkembangan
intrauterin (IUGR) masih merupakan masalah, khususnya di Indonesia, karena
menunjukkan angka kejadian yang tinggi dan pertu diturunkan. Malnutrisi pada
anak kurang dan 1 tahun terbanyak pada bayi BBLR. Penyebab gagal tumbuh
terbanyak pada bayi adalah masalah saluran cema, terutama maldigesti,
malabsorpsi, dan diare kronik.
Pada penelitian dengan menggunakan hewan coba, didapatkan mukosa
usus halus hipotrofi dan normoplasi pada tikus malnutrisi. Keadaan normoplasi
tercermin dari kandungan DNA mukosa usus halus yang menetap pada
malnutrisi. Keadaan ini selain memperlihatkan bahwa usus halus dapat
mempertahankan jumlah selnya dalam menghadapi pembatasan nutrien, juga
memberi petunjuk bahwa akan dapat berkembang apabila mendapatkan
masukan nutrien yang cukup.
Apakah reatimentasi dapat memulihkangmukosa yang hipotrofi normoplasi
menjadi normotroti normoplasi? Apabila keadaan tersebut terjadi, apakah respon
pemulihan itu berbeda antara tikus yang diinduksi pada masa pranatal dan yang
diinduksi malnutrisi pada masa pascasapih? Penelitian ini berusaha menjawab
pertanyaan tersebut.
Metodologi
Penelitian eksperimental dengan desain post test-control group dilakukan
dengan menggunakan anak tikus jantan jenis Sprague-Dawley, dalam kurun
waktu April 2003 - Desember 2004. Delapan puluh ekor anak tikus jantan yang
dilahirkan dari 10 induk tikus berumur 8 minggu dengan berat badan antara 250-
300 gram, diberikan makanan baku yang lazim digunakan untuk penelitian.
Penelitian dibagi dalam 2 tahap : (1) induksi malnutrisi pranatal yaitu 3 minggu
pada masa gestasi, 3 minggu masa laktasi dan 3 minggu pascalaktasi, dan
induksi malnutrisi pascasapih selama 9 minggu dimulai segra setelah disapih;
dilanjutkan dengan tahap (2) Realimentasi selama 8 minggu. Pada setiap akhir
tahapan dilakukan nekropsi untuk memperoteh data. Data tersebut adalah (1)
kadar albumin serum, (2) ukuran badan (berat badan, panjang badan, Iingkar
dada), (3) ukuran usus (berat usus, panjang usus, diameter usus dan berat
mukosa), (4) morfologi usus halus (tebat mukosa, tinggi vilus, kedalaman kripta,
nisbah vitus/kripta, jumlah virus, kandungan protein, kandungan DNA, dan nisbah
protein/DNA), dan (5) aktivitas disakaridase (laktase, maltase, sukrase).
Hasil Penelitian
Berat badan tikus malnutrisi pranatal dan pascasapih yang direalimentasi lebih
tinggi dari tikus malnutrisi yang tidak direalimentasi, tetapi Iebih rendah dari tikus
kontrol. Semua parameter yang digunakan untuk menilai morfologi pada tikus
malnutrisi pranatal dan pascasapih yang direalimentasi lebih tinggi dari tikus
malnutrisi yang tidak direalimentasi, tetapi lebih rendah dibandingkan tikus
kontrol. Aktivitas spesifik disakaridase pada tikus malnutrisi pranatal yang
direalimentasi lebih tinggi dari tikus malnutrisi yang tidak direalimentasi, tetapi
lebih rendah dari nilai kontro. Sedangkan aktivitas spesifik disakaridase pada
tlkus malnutrisi pascasapih yang direalimentasi lebih rendah dari tikus malnutrisi
yang tidak direalimentasi, tetapi lebih tinggi dari nilai kontrol. Persentase
peningkatan beberapa parameter terhadap kontrol yaitu berat usus, berat
mukosa, dan kandungan protein mukosa usus halus tikus malnutrisi pascasapih
yang direalimentasi lebih tinggi dari tikus malnutrisi pranatal yang direalimentasi.
Kesimpulan
Malnutrisi tidak mengurangi populasi enterosit usus halus tikus. Realimentasi
dapat meningkatkan berat badan tikus malnutrisi pranatal dan pascasapih, tetapi
tidak mencapai berat badan tikus normal. Realimentasi pada tikus malnutrisi
pranatal dan pascasapih dapat memperbaiki hipotrotl mukosa usus halus tetapi
tidak mencapai nonnotroti Realimentasi pada tikus malnutrisi pranatal dapat
meningkatkan aktivitas disakaridase tetapi tidak mencapai nilai normal.
Realimentasi pada tikus malnutrisi pascasapin dapat me-ngaklbatkan perubahan
aktivitas disakaridase tetapi tldak mencapai nilai normal. Realimentasi pada tikus
malnutrisi pranatal dan pascasapih dapat memperbaiki maturitas mukosa usus
halus, tetapi tidak mencapai normal. Realimentasi pada tikus malnutrisi
pascasapih memberikan respon yang lebih baik daripada tikus malnutrisi
pranatal.

Abstract
Background
Low birth-weight infant and intrauterine growth retardation (lUGR) are still a
health problem, especially in Indonesia due to high prevalence and need to be
reduced. Malnutrition in infants are most common occur in low birth-weight
infants. The most common etiology of failure to thrive in infants is due to
gastrointestinal origin, particularly nutrient maldigestion and malabsorption, and
chronic diarrhea.
Malnutrition in rats resulted in hypotrophic and norrnoplastic mucosa of the
small intestine. The nomioplasia was reflected from persistent DNA content of
the intestinal mucosa in malnutrition. The finding was not only showed that small
intestine was able to maintain its cell number in condition with restriction nutrient,
however also suggested the posibility of epithelial regeneration if given the
adequate nutrient intake.
Did realimentation recover the hypotrophic normoplastic mucosa to
nonnotrophic normoplastic? lf so, will the recovery response be different between
rats with malnutrition induced in prenatal period and post-weaning period. The
study aim to answer the above question.
Methodology
Experimental animal study with post test-control group design was perfomied
using male litter of Sprague-Dawley rats, from April 2003 to December 2004.
Eighty male Sprague-Dawley rats bom from 10 female rats which were 8 week
old and body weight of 250-300 grams, was fed standard chow. The study was
divided into 2 phases: (1) prenatally-induced malnutrition, i.e. 3 weeks gestation
period, 3 weeks lactation period, and 3 weeks post-weaning period, and post-
weaning-induced malnutrition for 9 weeks starting right after weaning, continued
with phases (2) realimentation for 8 weeks. At the end of each phase, the rats
were sacrilied to obtain data. The data include (1) serum albumin level, (2)
physical parameters (body weight, body length, chest cirouimstance), (3) small
intestinal parameters (intestinal weight, length, diameter, and mucosal weight),
(4) small intestinal morphology (mucosal thickness, villus height, cryptus depth,
ratio of villus/crypt, number of villi, protein content, DNA content, ratio of
protein/DNA), and (5) disaocharidases (lactase, maltase, sucrase) activities.
Results
Both in pranatally and postweaning-induced malnutrition, the body weight of rats
in realimentation group was higher than non-realimentation group, but lower than
control group. All parameters to evaluate the morphology of rats with prenatally
and postweanlng-induced malnutrition in realimentation group were higher than
those of non-realimentation, but lower than control group. Specihc activity of
disaocharidases in rats with prenatally-induced malnutrition in realimentation
group was higher than those without realimentation, but lower than control. While
specific activity of disaccharidases in postweaning-induced malnutrition rats in
realimentation group was lower than those without realimentation, but higher
than control. After relimentation, percentage of increase from control values in
some parameters in realimentation rats (intestinal and mucosal weight, protein
content of intestinal mucosa) in postweaning-induced malnutrition rats was
higher compared to prenatally-induced malnutrition rats.
Conclusions
Malnutrition did not reduced the population of small intestinal enterocytes.
Realimentation was able to increase the body weight of rats in prenatally and
post-weaning-induced malnutrition, but the increase did not reach the nom1al
body weight. Realimentation in rats in prenatally and postweaning-induced
malnutrition was able to improve the hypotrophy of small intestinal mucosa but
not fully recover to nomiotrophic state. Realimentation in rats in prenatally-
induced malnutrition was able to increase the disacxsharidases activities but not
to the nom'|al values. Realimentation in rats of postweaning-induced malnutrition
was able to decrease the disaccharidases activities, but not to nom1al values.
Realimentation was able to improve the maturity of small intestinal mucosa of
rats in prenatally and postweaning-induced malnutrition, but did not reach the
nomtal values. Realimentation in rats of postweaning-induced malnutrition
showed better responses than rats of prenatally-induced malnutrition."
2005
D753
UI - Disertasi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Azhoma Gumala
"ABSTRAK
Nanopartikel emas telah diteliti untuk sistem penghantaran tertarget obat sitotoksik.
Penelitian ini dilakukan untuk mendapatkan hasil karakterisasi dan biodistribusi dari
konjugat trans-resveratrol-PEG-Asam Folat-Nanopartikel Emas. Nanopartikel emas
disintesis dengan reduksi HAuCl4 menggunakan natrium sitrat. Nanopartikel emas
dikonjugasikan dengan PEG-FA dan resveratrol membentuk konjugat resveratrol-PEGAsam Folat-Nanopartikel Emas (rsv-PEG-FA-AuNP). Karakterisasi konjugat rsv-PEG-FAAuNP dilakukan dengan pengukuran partikel, zeta potensial, FTIR, UV, dan TEM. Studi biodistribusi pada tikus Sprague Dawley betina sehat dilakukan setelah 90 menit pemberian injeksi konjugat rsv-PEG-FA-AuNP melalui vena ekor. Hasil karakterisasi rsv-PEG-FAAuNP diperoleh nilai diameter rata-rata nanopartikel dan zeta potensial rsv-PEG-FA-AuNP 249,03 ± 10,31 nm dan -36,33 ± 3,12 mV. Pada uji biodistribusi ditemukan konjugat rsv-PEG-FA-AuNP di ginjal (1,90 ± 0,20 μg/g) dan limfa (2,65 ± 1,18 μg/g) setelah 90 menit pemberian iv, namun resveratrol bebas tidak ditemukan di darah, ginjal, dan limfa setelah 90 menit pemberian iv. Konjugat rsv-PEG-FA-AuNP pada sirkulasi sistemik ditemukan pada waktu yang lebih lama dibandingkan dengan resveratrol bebas dan distribusinya tersebar pada organ otak, ginjal, limpa, hati, dan paru.

ABSTRACT
Gold nanoparticles had been studied for active targeting purpose of cytotoxic agent. This study was presenting the result of characterization and biodistribution of trans resveratrol-PEG-Folic Acid-Gold Nanoparticle conjugates rsv-PEG-FA-AuNP. Gold nanoparticles were generated by reduction of HAuCl4 using sodium citric. Rsv-PEG-FA-AuNPs were produced by conjugation of gold nanoparticles with PEG-folic acid and resveratrol.
Characterization of rsv-PEG-FA-AuNP conjugates were held by examination of particle size, zeta potential, FTIR, and TEM. Biodistribution study in female Sprague-Dawley rats conducted after 90 minutes i.v tail vein delivery of rsv-PEG-FA-AuNP conjugates. The mean particle size and zeta potential of rsv-PEG-FA-AuNP were 249.03 10.31 and -36.33
3.12 respectively. Transmission electron microscopy showed almost spherical shape of rsv-PEG-FA-AuNP conjugates. Rsv-PEG-FA-AuNP conjugates were found in kidney 1.90 0.20 μg/g and spleen 2.65 1.18 μg/g after 90 minutes i.v. delivery in female Sprague-Dawley rats. Resveratrol-PEG-FA-AUNP conjugates have longer systemic circulation than free resveratrol and restrained throughout brain, spleen, kidney, lung, and liver after distribution.
"
2019
T54536
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Astheria Eryani
"Latar Belakang: Luka bakar memerlukan alternatif terapi selain silversulfadiazin SSD karena bersifat sitotoksik. Conditioned medium dari kultur selpunca mesenkimal asal jaringan lemak ADSC-CM disingkat CM kaya akansejumlah sitokin, vascular endothelial growth factor VEGF dan epidermalgrowth factor EGF yang berperan dalam re-epitelisasi. Proses ini didominasioleh migrasi, proliferasi dan diferensiasi keratinosit. Protein K19 merupakanpenanda sel progenitor keratinosit. ADSC-CM diharapkan mampu menjadialternatif SSD dalam terapi luka bakar.
Metode: Penelitian dilakukan pada tikus model luka bakar Sprague dawley empat luka per ekor yaitu kontrol K , CM, medium complete MC dan SSDyang diberikan secara topikal. Penutupan luka secara makroskopis diukurmenggunakan visitrak digital pada hari ke-6, 12, 18 dan 24. Re-epitelisasi,ekspresi dan distribusi K19 diamati dengan pewarnaan hematoksilin-eosin danimunohistokimia.
Hasil: Luas luka makroskopis menunjukkan bahwa kelompok CM mengalamipengurangan luas paling cepat, berbeda bermakna dengan kelompok K dan tidakbermakna dengan kelompok SSD. Hal tersebut sebanding dengan ekspresi K19pada epidermis. Secara mikroskopis, re-epitelisasi dimulai dari tepi luka,kelompok CM paling efektif daripada K, MC dan SSD.
Kesimpulan: Penelitian ini menunjukkan bahwa CM paling efektif untuk reepitelisasidan ekspresi K19 sebagai progenitor sel keratinosit Aplikasi CMtopikal berpotensi sebagai alternatif terapi pada penyembuhan luka bakar.Kata kunci: Luka bakar, Mesenchymal Conditioned Medium, Keratin 19 K19 ,Re-epitelialisasi, Penutupan Luka.

Background Burns require alternative therapies other than silver sulfadiazine SSD for cytotoxic. Conditioned medium from adpose derived stem cell ADSCCMabbreviated CM is rich in a number of cytokines, vascular endothelialgrowth factor VEGF and epidermal growth factor EGF , which play a role inre epithelialization. This process is dominated by migration, proliferation anddifferentiation of keratinocytes. K19 protein is a marker of keratinocyteprogenitor cells. ADSC CM is expected to be an alternative SSD in the treatmentof burns.
Methods The study was conducted on rats models of burns Sprague dawley four wounds per animal, control K , CM, complete medium MC and the SSD isadministered topically. Macroscopic wound closure was measured using a digitalvisitrak on days 6, 12, 18 and 24. Re epithelialization, and distribution K19expression was observed by hematoxylin eosin staining andimmunohistochemistry.
Results As a macroscopic indicates that the CM group were reduced of thefastest wide, a significant difference with the group K, meaningless with SSD.This is comparable with the expression of K19 in the epidermis. Microscopically,re epithelialization starts from the edge of the wound, the group CM mosteffectively than K, MC and SSD.
Conclusion This study shows that the most effective CM to re epithelializationand K19 expression as keratinocyte progenitor cells CM topical applicationpotential as an alternative therapy in the healing of burns."
Depok: Universitas Indonesia, 2016
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Nadia Rahmadiani Nugrahadi
"Myasthenia gravis merupakan penyakit auto-antibodi yang menyebabkan gangguan pada transmisi neuro-muskular. Pengobatan saat ini hanya untuk jangka pendek, tidak memberikan efek yang cukup pada gejala, atau memiliki efek berbahaya. Acalypha indica merupakan tanaman herbal yang telah terbukti memiliki efek neuroprotektif. Penelitian ini mengidentifikasi efek terapeutik ekstrak akar Acalypha indica pada Sprague Dawley yang telah diinduksi rocuronium bromide. Tikus dibagi menjadi kelompok normal, kontrol negatif, kontrol positif, serta Acalypha indica. Efek diukur dengan mengidentifikasi perubahan denyut jantung serta kuantitas reseptor asetilkolin. Perubahan denyut jantung pada masing-masing kelompok, perubahan denyut jantung antar kelompok, serta perbedaan jumlah reseptor asetilkolin dianalisa untuk signifikansi. Kelompok Acalypha indica mengalami perubahan denyut jantung yang tidak signifikan (p>0.05), kecuali pada sepuluh menit pertama hari pertama percobaan dimana denyut jantung meningkat secara signifikan (p<0.05). Perubahan denyut jantung kelompok kontrol positif secara signifikan lebih tinggi pada sepuluh menit pertama hari kedua jika dibandingkan dengan kelompok Acalypha indica (p<0.05). Tidak ada perbedaan yang signifikan dalam jumlah reseptor asetilkolin antara Acalypha indica dan semua kelompok lainnya (p>0.05). Ekstrak akar Acalypha indica memiliki kemampuan untuk melawan efek positif kronotropik rocuronium setelah beberapa lama. Namun, tidak ada perbedaan yang signifikan dalam jumlah reseptor asetilkolin bila dibandingkan dengan kelompok lainnya.

Myasthenia gravis is an autoantibody disease that causes disruption in the neuromuscular junction transmission. Current treatment is either short termed, have inadequate effect on the symptoms, or have harmful effects. Acalypha indica is an herbal plant that have been shown to have a neuroprotective effect. This research identifies therapeutic effects of Acalypha indica root extract in rocuronium-bromide induced Sprague Dawley. The rats are divided into normal, negative control, positive control, and 0, 0) Acalypha indica group. Effects are measured by identifying the heart rate (HR) changes as well as the quantity of acetylcholine receptors (AchR). Result of the HR measurement of each group, HR changes between groups, and the amount of AchR are analised for significance. Acalypha indica group had an insignificant change of HR (p>0.05), except for the first ten minutes of day one experiment in which the HR increased significantly (p<0.05). Change in HR of positive control group was significantly higher (p<0.05) in the first ten minutes of day 2 when compared to Acalypha indica group. There were no significant differences (p>0.05) in the amount of AchR between Acalypha indica and all other groups. Acalypha indica root extract has the ability to counterract the positive chronotropic effect of rocuronium after some time. However, it does not have a significant difference in the amount of AchR when compared to other control groups."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2017
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>