Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 95242 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Maaike Ira Puspita
"Kebijakan naturalisasi pesepakbola asing dengan alasan kepentingan negara senantiasa digaungkan demi peningkatan prestasi jangka pendek. Namun nyatanya, peningkatan prestasi sepakbola Indonesia masih belum bisa memenuhi harapan. Karena itu, penelitian ini ditujukan untuk mengeksplorasi dalam rangka menggali lebih jauh implementasi kebijakan naturalisasi dalam perspektif ketahanan nasional. Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif dengan jenis studi kasus, dengan pengambilan data melalui observasi secara terstruktur, in-depth interview kepada 9 informan kunci dan penguatan dari data dokumen terkait informasi naturalisasi. Hasil penelitian menunjukkan bahwa walaupun peningkatan prestasi melalui jalur naturalisasi belum signifikan, namun berdampak besar pada ketahanan nasional karena berkontribusi terhadap pemain lokal melalui transfer of knowledge dan membangun rasa nasionalisme. Pembinaan usia dini menjadi masalah klasik yang terus terjadi sehingga Indonesia tetap stagnan berada di bawah negara-negara ASEAN seperti Vietnam, Thailand, Malaysia dan Filipina. Penelitian ini juga menemukan bahwa untuk peningkatan prestasi jangka panjang, dibutuhkan sumber daya manusia yang mumpuni, terlebih Indonesia akan menghadapi bonus demografi menuju generasi unggul dan Indonesia emas tahun 2045.

The naturalization policy for foreign footballers is often utilized to increase a short-term football achievement. However, in reality, Indonesia’s football achievement is still far from expectation. Therefore, this research is aimed at exploring in order to find out more on the implementation of naturalization policy in the perspective of national resilience. This research is using qualitative approach with study case methods, by using samples through a structured observation, in-depth interview on 9 key informants as well as gathering documented data on naturalization information. This research shows that although there is no significant increase in football achievement, it has proven to strengthen the national resilience due to the contribution of transfer of knowledge and the development of nationalism among players. Early childhood development is still a classic problem that restrain Indonesia to surpass the achievement of other ASEAN countiries such as Vietnam, Thailand, Malaysia and the Philippines. This research also finds that in order to increase sports achievement in the long term, Indonesia needs qualified human resources. Moreover, Indonesia will face a demographic bonus in building a high-competence generation towards the development of “Indonesia Emas” in 2045."
Jakarta: Sekolah Kajian Stratejik dan Global Universitas Indonesia, 2024
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Muhammad Taufiqurrohman
"This paper examines the unsettling stories of poverty from rural Indonesia in two films, Siti (2014) and Turah (2016). The concept of structural poverty enables a thorough analysis of these films’ depictions of poverty and the main characters’ reactions to the poverty they experience. This paper also employs the concept of gendered poverty to highlight how gender injustice perpetuates the poverty of women, as depicted in the films. Both structural and gendered poverty are propagated by the interpellation of ideological state apparatuses. This paper argues that the poverty of the rural people depicted in both films results from structural engineering by the elite, not from natural or inevitable conditions. This poverty is further intensified by the patriarchal culture of rural communities, which perpetuates gender inequality and results in deeper poverty for women. Every woman in these two films seems to have accepted, or at least resigned herself to, the patriarchal system and the gendered poverty it produces. The sole exception is Siti, who struggles against the double burden of being both housewife and breadwinner, resisting the naturalization of poverty and thereby revealing the role that ideological state apparatuses play in perpetuating oppression in society writ large as well as in individuals’ minds and souls."
Kyoto : Nakanishi Printing Company, 2022
050 SEAS 11:2 (2022)
Artikel Jurnal  Universitas Indonesia Library
cover
Korompot, Riryanti
"Keamanan maritim merupakan isu keamanan krusial bagi negara kepulauan seperti Indonesia, karena negara kepulauan rentan akan berbagai potensi ancaman yang datangnya dari laut. Untuk mengantisipasi dan mengatasi ancaman yang terjadi di laut, maka penting untuk memiliki kebijakan keamanan maritim. Dalam merumuskan kebijakan keamanan maritim, salah satu lembaga yang memiliki peran penting yaitu Dewan Kelautan Indonesia (DEKIN). Dalam melaksanakan tugas dan fungsinya, DEKIN bekerjasama dengan beberapa stakeholder guna menjaga stabilitas keamanan maritim Indonesia. Hal inilah yang kemudian mendorong terjadinya tumpang tindih dalam pengambilan keputusan kebijakan keamanan maritim. Melihat permasalahan tersebut di atas, maka menjadi penting untuk mengetahui rumusan kebijakan keamanan maritim nasional di era SBY jilid II (periode 2009-2014) dan peran Dewan Kelautan Indonesia dalam perumusan kebijakan keamanan maritim nasional serta implikasinya terhadap ketahanan nasional. Untuk menganalisis permasalahan penelitian, peneliti menggunakan beberapa pendekatan teori, yaitu teori kebijakan publik, teori analisis kebijakan, konsep negara kepulauan, konsep keamanan maritim, teori kelautan dan maritim, serta teori ketahanan nasional. Dalam penelitian ini peneliti menggunakan metode kualitatif.
Melalui metode ini diperoleh sejumlah data dari narasumber berupa data primer melalui wawancara mendalam kepada Sekjen DEKIN Dr. Ir. Dedy H. Sutisna, MS, Ketua Pokja Kebijakan Hankam dan Keselamatan di laut DEKIN Laksdya TNI (Purn) Abu Hartono, Anggota Pokja Kebijakan Hankam dan Keselamatan di laut DEKIN Laksma (TNI) Pranyoto, serta akademisi ahli hukum laut internasional Prof. Dr. Hasjim Djalal, dan data sekunder. Ada dua rumusan kebijakan keamanan maritim era SBY Jilid II periode 2009-2014 yakni UU No. 32 Tahun 2014 tentang Kelautan dan Kebijakan Kelautan Indonesia (ocean policy), dengan isu sentralnya yakni pembentukan suatu badan yang sifatnya one command multifunction yaitu Badan Keamanan Laut (BAKAMLA). Dalam merumuskan kebijakan keamanan maritim, Dewan Kelautan Indonesia melibatkan institusi-institusi terkait dengan isu yang diangkat, dari sinilah kemudian setelah dibahas kebijakan keamanan maritim akan diajukan kepada Presiden. Kebijakan keamanan maritim nasional berpengaruh secara signifikan terhadap ketahanan nasional Indonesia. Ketahanan nasional di laut erat kaitannya dengan kedaulatan negara, sementara untuk menjaga kedaulatan NKRI dibutuhkan kebijakan keamanan maritim yang tepat sasaran dan memadai, sehingga ketahanan nasional Indonesia di laut bisa terwujud."
Depok: Universitas Indonesia, 2015
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Nyoman Asta Brata
"Penelitian ini berfokus pada implementasi kebijakan penolakan masuk orang asing yang terjadi di Tempat Pemeriksaan Imigrasi Soekarno Hatta. Dalam penelitian ini akan menggambarkan implementasi kebijakan yang telah berjalan dan menemukan kendala-kendala yang menyebabkan implementasi belum berhasil dengan baik. Implementasi kebijakan ini kemudian dipandang dari aspek ketahanan nasional. Penelitian ini adalah penelitian kualitatif dengan desain deskriptif. Metode yang digunakan adalah dengan pengamatan langsung di lapangan, wawancara dan studi kepustakaan. Teori yang digunakan untuk menganalisis adalah teori George C. Edward III yang menganalisis implementasi kebijakan berdasarkan aspek komunikasi, aspek sumber daya, aspek disposisi dan aspek struktur birokrasi. Teori yang dijadikan analisis perspektif ketahanan nasional yaitu aspek kesejahteraan dan aspek keamanan. Dari hasil penelitian, dapat disimpulkan bahwa : komunikasi dalam implementasi sudah berjalan cukup baik; sumber daya dalam implementasi masih belum berjalan baik masih ditemukan kendala atau kekurangan; disposisi dalam implementasi sudah berjalan cukup baik; dan struktur birokrasi dalam implementasi juga belum berhasil dengan baik. Hasil kesimpulan berikutnya bahwa aspek ketahanan nasional mempengaruhi setiap penolakan yang dilaksanakan.

This study focuses on the implementation of entry denied policy for foreigner that occurred at Immigration Checkpoint Soekarno Hatta Airport. In this study will describe the implementation of policies that have been run and find the constraints that lead to implementation have not been successful. Implementation of this policy is then seen from the aspect of national resilience. This study is a descriptive qualitative research design. The method used is by direct observation, interviews and literature study. The theory is used to analyze the theory of George C. Edward III who analyze policy implementation based on the communication aspects, resource aspects, aspects of the disposition, and aspects of the bureaucratic structure. The theory is used as analytical national resilience perspective are prosperity aspects and security aspects. From the results, it can be concluded that: communication in the implementation has been running enough well; resources in the implementation is still not running good still found problems or deficiencies; disposition of the implementation has been going enough well; and bureaucratic structures in the implementation has not worked well. The results of subsequent conclusion that aspect of national resilience affects every implemented refusal.
"
Jakarta: Program Pascasarjana Universitas Indonesia, 2014
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Rosalyn Theodora
"Perjanjian Status of Visiting Forces Agreement (SoVFA) adalah model perjanjian yang baru bagi Indonesia sedangkan pada negara-negara maju model perjanjian ini sudah banyak diadopsi baik yang bersifat bilateral maupun multilat- eral. Perjanjian ini diinisiasi oleh Filipina tahun 2006 kepada Indonesia, namun karena tidak ada respon akhirnya Filipina kembali mengirimkan tahun 2013. Hal ini dikarenakan dalam proses penyusunan dalam negeri selalu mengalami dead- lock. Sementara itu, semakin memanasnya dinamika ancaman keamanan non tradisional seperti terorisme tahun 2016 di laut Sulu, Sulawesi dan makin kuat ser- ta meluasnya ancaman terorisme hingga ke wilayah perbatasan tiga negara (Indo- nesia-Malaysia-Filipina) menyebabkan Menteri Pertahanan Indonesia pada per- temuan Trilateral berinisiatif untuk mengadakan latihan bersama baik di laut maupun di darat dengan membentuk posko militer bersama. Inisiatif tersebut di- sepakati oleh Menhan Malaysia dan Menhan Filipina namun hal tersebut tidak dapat terealisasi karena terkendala oleh Parlemen Filipina yang mensyaratkan bahwa ketika Filipina hendak menjalin kerjasama dengan negara lain harus sudah memiliki SoVFA yang harus disepakati secara bilateral. Penelitian ini menggunakan metode penelitian kualitatif dengan pendekatan studi kasus SoVFA. Teknik pengumpulan data melalui wawancara mendalam dengan memilih nara- sumber yang terlibat langsung dalam proses penyusunan SoVFA, observasi lang- sung pada saat penyusunan perjanjian dan mendapatkan data dari instansi pemerintah. Penelitian ini bertujuan untuk menganalisa hubungan diplomasi In- donesia-Filipina yang selama ini telah berjalan dengan baik dikaitkan dengan penyusunan perjanjian SoVFA kurun waktu tahun 2013-2019 ditinjau dari per- spektif Ketahanan Nasional. Penelitian ini mempergunakan konsep diplomasi per- tahanan, teori perjanjian internasional dan ketahanan nasional sebagai pisau ana- lisis dalam penelitiannya. Hasil penelitian memperlihatkan bahwa adanya perbe- daan sistem hukum kedua negara yang mengakibatkan perjanjian ini lama untuk dicapai kata kesepakatan terutama di internal Indonesia.

The Status of Visiting Forces Agreement (SoVFA) agreement is a new model agreement for Indonesia while in developed countries this model of agree- ment has been adopted both bilaterally and multilaterally. This agreement was ini- tiated by the Philippines in 2006 to Indonesia, but because there was no response, the Phil-ippines finally sent it back in 2013. It happened because in the domestic drafting process there is always a deadlock. Meanwhile, the increasing dynamics of non traditional security threats such as terrorism in 2016 in the Sulu sea, Sula- wesi and the increasing and widespread threat of terrorism to the three-state bor- der region (Indonesia-Malaysia-Philippines) caused the Indonesian Defense Min- ister at the Trilateral meeting to take the initiative together both at sea and on land by forming joint military posts. The initiative was agreed upon by the Malaysian Defense Min-ister and the Defense Minister of the Philippines, but this could not be realized because it was constrained by the Philippine Parliament which requires that when the Philippines wants to establish cooperation with other countries it must have SoVFA that must be agreed bilaterally. This study used a qualitative research method with the SoVFA case study approach. The technique of collect- ing data is through in-depth interviews by selecting speakers who are directly in- volved in the process of drafting the SoVFA, direct observation during the prepa- ration of agreements and obtaining data from government agencies. This study aims to ana-lyze the diplomatic relations between Indonesia and the Philippines which have been running well so far related with the preparation of the SoVFA agreement in the period 2013-2019 from the perspective of National Resilience. This study uses the concept of defense diplomacy, the theory of international agreements and na-tional resilience as a knife of analysis in his research. The re- sults of the study show that there are differences in the legal systems of the two countries which resulted in this agreement being long to reach an agreement word especially in Indonesia
"
Depok: Sekolah Kajian Stratejik dan Global Universitas Indonesia, 2019
T53738
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Sa`dan Mubarok
"Skripsi ini membahas Ketahanan migas dalam perspektif kebijakan energi dan strategi NOC periode 1970-2010 melalui studi perbandingan Indonesia dan Malaysia. Penelitian ini adalah penelitian eksplanatif yang menggunakan metode kualitatif. Dengan menggunakan teori developmental state, konsep ketahanan energi (energy security), konsep desentralisasi, dan konsep paradigma kebijakan energi, hasil analisis dari penelitian ini menunjukkan bahwa ketahanan migas di Malaysia lebih baik dibandingkan Indonesia.
Hasil tersebut didasarkan atas kebijakan energi Malaysia yang mampu merespon dengan baik faktor karakteristik cadangan migas, karakteristik supply-demand migas, relasi pemerintah pusat dan daerah dalam pengelolaan sumber migas, dan relasi NOC dengan Pemerintah yang berperan terhadap ketahanan migas nasional. Selain itu, Petronas lebih unggul dalam jumlah kepemilikian cadangan migas baik di dalam negeri maupun luar negeri yang terlihat dari tingkat produksi migas yang mencapai dua juta barel setara minyak setiap hari. Keunggulan dari kebijakan energi dan strategi NOC Malaysia tidak terlepas dari perencanaan kebijakan energi yang lebih terkoordinasi, paradigma kebijakan energi supply demand dengan pendekatan demand side management yang mengkonstruksi kebijakan energi berdasarkan kondisi cadangan migas, dan model relasi pembagian tanggung jawab antara Petronas dengan Pemerintah Malaysia.

This thesis discusses oil and gas security in perspective of energy policy and NOC?s strategies period 1970-2010 through comparative study in Indonesia and Malaysia. this is an explanative research using a qualitative method. In this research, the writer used the developmental state theory, the concept of energy security, decentralization concept, and the paradigm of energy policy concept, where the result of the analysis showed that oil and gas security in Malaysia is better compared to Indonesia.
That result is based on Malaysia?s energy security policy that responds better to the following factors: characteristics of oil and gas reserves, characteristics of oil and gas supply-demand, the relationaship between central government and regional government, and the relationship between NOC and the government that contributed to national oil and gas security. Beside that, Petronas is superior in oil and gas ownership, both within and outside country. This is proven by their oil and gas production, which reaches two million boepd (barrel oil equivalent per day). The superior of Malaysia?s energy policy and NOC strategies cannot be separated from their more coordinated energy policy planning, a supply-demand energy policy paradigm using a demand side management approach that construct energy policy based on the condition of oil and gas reserves, and a relationship of shared responsibilities between Petronas and the Malaysian Government."
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2013
S47678
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Andriani Mutia Diah Pratiwi
"Latar belakang penelitian ini adanya peningkatan prevalensi penyalahguna narkotika selama pandemi Covid-19 dari 1,8% menjadi 1,95% di tahun 2021 dan masih terbatasnya fasilitas rehabilitasi yang sesuai standar (155 lokasi). Adanya pandemi mengakibatkan perubahan pemberian layanan ke arah digitalisasi yaitu diperkenalkannya rehabilitasi berbasis bauran untuk meningkatkan akses klien terhadap layanan rehabilitasi. Namun belum ada studi mengenai bagaimana efektivitas rehabilitasi berbasis bauran dalam mencapai tujuan rehabilitasi, yaitu penyalahguna menjadi pulih, produktif dan berfungsi sosial diantaranya dengan meningkatkan kualitas hidup klien. Tujuan dari penelitian ini antara lain menganalisis a) efektivitas kebijakan layanan rehabilitasi berbasis bauran, b) implementasi kebijakan dengan SWOT, c) peran pemangku kepentingan. Metode penelitian dengan kualitatif deskriptif dengan menggali informasi data primer dengan wawancara kepada Direktur Rehabilitasi BNN, klien dan keluarga penerima layanan rehabilitasi, penanggung jawab klinik rehabilitasi di wilayah DKI Jakarta (BNN, Dinas Kesehatan, Lembaga Rehabilitasi Komponen Masyarakat). Sedangkan data sekunder didapatkan dari analisis terhadap data laporan di lapangan dan penelitian terkait. Hasil Penelitian menunjukkan bahwa rehabilitasi berbasis bauran efektif dalam meningkatkan kualitas hidup penyalahguna narkotika karena terjadi peningkatan skor WHOQoL-BREF di 4 domain (fisik, psikologis, hubungan sosial, lingkungan) selama awal dan akhir masa rehabilitasi. Skor WHOQoL BREF diukur saat klien masuk layanan dan diulangi setelah selesai menjalani layanan. Klien juga merasa bahwa keyakinan untuk pulih, kepercayaan dirinya meningkat, dan dimudahkan dalam mengakses layanan rehabilitasi. Selain itu, indeks kepuasan masyarakat hasilnya sangat baik (>3,26), alur layanan sesuai dengan pedoman, dan terdapat SDM yang kompeten dalam melakukan layanan rehabilitasi berbasis bauran. Implementasi berdasarkan SWOT menunjukkan optimalisasi layanan dengan mengadopsi rehabilitasi berbasis bauran menjadi modalitas layanan ke klien serta perlunya sosialisasi yang masif kepada pemangku kepentingan dan masyarakat luas mengenai keberadaan layanan ini. Diperlukan kolaborasi dan pembagian peran yang jelas antar pemangku kepentingan yang terlibat dalam mendukung keberhasilan kebijakan rehabilitasi bauran antara lain pemerintah, masyarakat sipil/ LSM/ organisasi profesi, sektor swasta, akademisi, media, dan klien beserta keluarga sebagai penerima layanan.

The background to this research is an increase in the prevalence of narcotics abusers during the Covid-19 pandemic from 1.8% to 1.95% in 2021. Moreover there are still limited rehabilitation facilities that meet standards (155 locations). The pandemic has resulted in changes in service delivery towards digitalization, such as the introduction of hybrid narcotics rehabilitation to increase client access to rehabilitation services. However, there have been no studies regarding the effectiveness of hybrid rehabilitation in achieving rehabilitation goals, namely improving the client's quality of life. The objectives of this research include analyzing a) the effectiveness of hybrid rehabilitation policy, b) implementation using SWOT, c) the role of stakeholders. The research method is descriptive qualitative by exploring primary data information by deep interviewing the BNN Rehabilitation Director, clients and families receiving rehabilitation services, and those in charge of narcotics rehabilitation clinics in the DKI Jakarta area (BNN, Health Service, Private Rehabilitation Institutions). Meanwhile, secondary data is obtained from analysis of field report data and related research. The research results show that hybrid rehabilitation increase in WHOQoL scores in 4 domains (physical, psychological, social relations, environment) during the beginning and end of the rehabilitation period. Clients feel that their self confident increases and easier to access rehabilitation services. Beside that, customer satisfaction index is very good (>3.26), the service flow is in accordance with guidelines, there are competent human resources in providing hybrid narcotics rehabilitation services. Implementation based on SWOT shows the optimization of hybrid rehabilitation services by adopting it as a service modality for clients and the need for massive outreach to stakeholders and the wider community regarding the existence of this service. Collaboration and clear roles are needed between stakeholders involved in supporting the success of mixed rehabilitation policies, including government, civil society/NGOs/professional organizations, the private sector, academics, media, and clients and their families as service recipients."
Jakarta: Sekolah Kajian Stratejik dan Global Universitas Indonesia, 2024
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Bayu Nurpatria
"Penelitian ini bertujuan untuk dapat memahami serta mendapatkan manfaat dalam menjawab permasalahan maupun kendala – kendala Indonesia dalam merealisasi penguasaan teknologi pembuatan dan pengembangan program kendaraan taktis bagi kepentingan pembangunan ekonomi, pertahanan dan keamanan nasional Indonesia dengan menggunakan beberapa sudut pandang teori dari persaingan supply chain global dari Porter, teori keamanan kawasan (Regional Security Complex Theory) Barry Buzan, teori strategi Ketahanan Nasional dan berdasarkan pada konsep Pancagatra dan teori sistem dunia oleh Wallerstein. Penelitian ini disusun dengan metode kualitatif eksploratif. Temuan dari penelitian ini ternyata terdapat kendala – kendala yang dihadapi oleh para pelaku industri swasta dan BUMN dalam melakukan produksi dan mengembangkan kendaraan taktis. Kendala yang dimaksud adalah pengembangan kendaraan taktis masih berfokus pada desain dan persenjataan, sedangkan untuk penguasaan akan teknologi, pengembangan mesin masih sangat bergantung terhadap teknologi impor yang dikembangkan dari negara lain, hal ini juga disebabkan oleh kurangnya Riset dan Development (R&D) di industri pertahanan nasional. Selain itu kendala berikutnya adalah kendaraan taktis memerlukan sumber daya teknologi yang tinggi. Kemudian masih rendahnya kemampuan sumber daya manusia dan sumber daya produk pada industri komponen dalam negeri. Teknologi kendaraan taktis yang dinamis juga membuat Indonesia semakin jauh tertinggal. Terakhir, belum adanya dukungan dan upaya pemerintah yang nyata terhadap perkembangan industri komponen kendaraan taktis dalam negeri. Begitu pentingnya penguasaan teknologi industri terdapat sejumlah cara untuk dapat meningkatkan kemandirian, salah satu cara dengan melakukan Industrialisasi Substitusi Impor (ISI). Kebijakan ISI dianggap cara tepat untuk meningkatkan daya saing industri nasional dalam menghadapi dinamika tantangan di era globalisasi saat ini dari perdagangan bebas yang semakin kompetitif

This study aims to be able to understand and get benefits in answering Indonesia's problems and constraints in realizing mastery of technology for the manufacture and development of tactical vehicle programs for the interests of Indonesia's economic development, defense and national security by using several theoretical points of view from global supply chain competition from Porter, Regional Security Complex Theory Barry Buzan, theory of the National Resilience strategy and based on the concept of Pancagatra and the theory of world systems by Wallerstein. This research was compiled using an exploratory qualitative method. The findings of this study turned out to be obstacles faced by private industry players and SOEs in producing and developing tactical vehicles. The obstacle in question is that the development of tactical vehicles still focuses on design and weaponry, while for mastery of technology, engine development is still very dependent on imported technology developed from other countries, this is also due to the lack of Research and Development (R&D) in the national defense industry. In addition, the next obstacle is that tactical vehicles require high technological resources. Then there is still a low ability of human resources and product resources in the domestic component industry. The dynamic tactical vehicle technology also makes Indonesia even further behind. Finally, there is no real government support and efforts for the development of the domestic tactical vehicle component industry. So important is the mastery of industrial technology there are a number of ways to be able to increase independence, one way is by industrializing import substitution (ISI). The ISI policy is considered the right way to increase the competitiveness of national industries in the face of the dynamics of challenges in the current era of globalization from increasingly competitive free trade."
Jakarta: Sekolah Kajian Stratejik dan Global Universitas Indonesia, 2022
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Cindejayanimitta Dwi Anggaramurti
"Indonesia dan Filipina merupakan dua negara kepulauan yang bertetangga. Kedua negara menjalin hubungan diplomatik secara resmi sejak tahun 1949. Kedua negara telah berhasil melakukan penetapan batas Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE) melalui persetujuan batas ZEE yang ditandatangani oleh menteri luar negeri kedua negara pada tanggal 23 Mei 2014. Apabila dilihat dari jangka waktu penyelesaian batas laut yang diawali dengan penjajakan sejak tahun 1973 menunjukkan bahwa kedua pemerintah membutuhkan waktu lebih dari 40 tahun, hal ini mengindikasikan bahwa terdapat berbagai masalah selama proses perundingan baik itu dalam aspek teknis maupun aspek hubungan politis kedua negara. Penelitian ini bermaksud untuk mengetahui proses penetapan batas ZEE antara Indonesia dengan Filipina dan menganalisis dinamika hubungan politik dalam penetapan batas ZEE Indoesia-Filipina perspektif ketahanan nasional. Teori yang digunakan antara lain : teori kedaulatan negara, kerjasama, diplomasi dan negosiasi serta ketahanan nasional Penelitian ini dilakukan dengan metode kualitatif, data yang digunakan dalam penelitian bersumber dari hasil studi literatur dan hasil wawancara. Narasumber wawancara terdiri 7 orang yaitu Prof. Hasjim Djalal, pakar hukum laut internasional yang terlibat langsung dalam diplomasi penetapan batas maritim Indonesia 1973-1994 dan sebagai tim penasehat delegasi Indonesia dalam perundingan batas maritim; Dubes Arif Havas Oegroseno, Diplomat Indonesia sekaligus sebagai Ketua Tim Perunding Batas ZEE Indonesia Filipina 2003-2007, Oktavino Alimudin Dirpolkamwil Kementerian Luar Negeri sebagai Ketua Tim Perunding Batas ZEE Indonesia Filipina 2012-2014, Prof. Dr. Sobar Sutisna, M.Surv.Sc, ahli teknis penetapan batas laut sekaligus sebagai Ketua Tim Teknis Perundingn Penetapan Batas ZEE Indonesia-Filipina 2003-2014 serta beberapa narasumber yang berasal dari beberapa instansi yang terlibat langsung dalam perundingan penetapan batas ZEE Indonesia-Filipina. Proses penetapan batas yang dilakukan antara lain : penjajakan awal pada tahun 1973-1994, perundingan intensif pada tahun 2003-2007 dan 2011-2013, serta proses perumusan perjanjian pada Januari 2014-Mei 2014. Pola hubungan kedua negara dalam penetapan garis batas ZEE dilakukan melalui proses politik dalam bentuk kerjasama. Dinamika hubungan politik kedua negara dalam penetapan batas ZEE dipengaruhi oleh beberapa faktor diantaranya : faktor sejarah, kondisi politik internal pemerintah Filipina dan penyesuaian terhadap hukum internasional. Proses penetapan batas ZEE menyebabkan perubahan paradigma teori kedaulatan yang dianggap sebagai kekuasaan tertinggi dimiliki oleh negara, namun dalam penetapan batas dan pemanfaatan ZEE, kedaulatan negara dipengaruhi oleh hukum laut internasional. Diplomasi batas ZEE yang telah dilaksankan dapat memperkuat ketahanan nasional karena mempererat hubungan baik antara dua negara yang bertetangga dan dapat menjadi contoh bagi negera-negara di dunia bahwa Indonesia dan Filipina dapat menyelesaikan sengketa penetapan batas secara damai sehingga mendukung terciptanya stabilitas keamanan kawasan. Apabila dilihat dari aspek geopolitik yaitu sebagai upaya suatu negara dalam mempertahankan kelangsungan hidupnya bahwa Indonesia berusaha mempertahankan keberlangsungan hidupnya dengan mempertahankan prinsip-prinsip negara kepulauan pada proses penetapan batas ZEE dan kejelasan batas ZEE yang telah disepakati dapat memberikan kepastian hukum bagi pengelolaan wilayah maritim khususnya dalam melaksanakan hak berdaulat sehingga dapat dimanfaatkan bagi kepentingan bangsa Indonesia.

Indonesia and the Philippines are two neighboring archipelagic states. The two countries formally established diplomatic relations since 1949. The two countries have managed to conduct the delimitation of the Exclusive Economic Zone (EEZ) boundary through the EEZ boundary agreement signed by the foreign ministers of both countries on May 23, 2014. When viewed from the period of time the sounding out of maritime boundaries since 1973 shows that the two governments took more than 40 years, this indicates that there are a variety of issues during the negotiation process both in technical aspects as well as political relations aspects between the two countries. This study intends to determine the process of the delimitation of the EEZ boundary between Indonesia and the Philippines and analyze the dynamics of political relations in the delimitation of the EEZ boundary between Indonesia and the Philippines, national resilience perspective. The theory used, among others: the theory of sovereignty, cooperation, diplomacy and negotiations as well as national resilience. The research was conducted using qualitative method, the data used in the study came from the study of literature and interviews. Formal Interviewee comprising seven members, namely Prof. Hasjim Djalal, international maritime law expert who directly, involved in Indonesia maritime boundary delimitation diplomacy 1973-1994; Arif Havas Oegroseno, Diplomat Indonesian Ambassador, as a Chairman of the Joint Permanent Working Group on Maritime and Ocean Concern between Indonesia- the Philippines 2003-2007, Oktavino Alimudin, the Director for Political, Security and Territory Treaties Ministry of Foreign Affairs as Chairman of the Maritime Boundary Delimitation Discussions between Indonesia-the Philippines 2012- 2014, Prof. Dr. Sobar Sutisna, M.Surv.Sc, a technical expert of maritime delimitation, as Chairman of the Joint Technical Team Meeting of the delimitation of the EEZ boundary between Indonesia-the Philippines 2003-2014, as well as some of the interviewee who come from several agencies who involved in negotiating the delimitation of the EEZ boundary between Indonesia and the Philippines. The process of setting the boundaries is carried out, among others: the early probes in 1973-1994, the intensive negotiations in 2003-2007 and 2011- 2013, as well as the process of formulating an agreement in January 2014 to May 2014. The pattern of relationship of the two countries in setting the EEZ boundary lines is done through the political process in the form of cooperation. The dynamics of political relations between the two countries in the delimitation of the EEZ boundary is influenced by several factors such as : historical factors, internal political conditions of the Philippines government and the adjustment to the international law. The process of delimitation of the EEZ boundary led to a paradigm shift theory of sovereignty which is regarded as the highest authority owned by the state, but in the delimitation of the EEZ and utilization, state sovereignty is influenced by international law. The diplomacy of the delimitation of EEZ boundary that have are conducted to strengthen national resilience because it could strengthen the good relations between the two neighboring countries and may become a model for other countries in the world. Indonesia and the Philippines can resolve disputes peacefully thus supporting the creation of regional security and stability. When viewed from the geopolitical aspects of a country's attempt to maintain their life, that Indonesia is trying to sustain his life by maintaining the principles of the archipelagic state in the process of the delimitation of the EEZ boundary. The EEZ boundary between two countries has been agreed, it can provide legal certainty for management of maritime areas, especially in existing sovereign rights so that it can be utilized for the Indonesian interest."
Depok: Program Pascasarjana Universitas Indonesia, 2015
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Nurul Husni
"ABSTRACT
Pada bulan September 2015, Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) mengadopsi pembangunan global yang bertujuan untuk mempromosikan pembangunan holistik dengan tiga prinsip: universal, integrasi, dan leave no one behind yaitu Sustainable Development Goals (SDGs) mencakup 17 tujuan untuk menggantikan Millenium Development Goals (MDGs) yang sebelumnya diadopsi oleh masing-masing negara dari tahun 2000 hingga 2015. Pencapaian SDGs membutuhkan partisipasi semua pihak sehingga memerlukan mekanisme koordinasi yang tepat. Oleh karena itu, pemerintah Indonesia dipimpin oleh Presiden Joko Widodo mengeluarkan Keputusan Presiden dan membentuk Tim Koordinasi Nasional yang dipimpin langsung oleh Presiden Joko Widodo. Skripsi ini menggunakan pendekatan post positivis dengan wawancara mendalam dan studi kepustakaan sebagai metode pengumpulan data. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa terdapat banyak permasalahan terkait dengan koordinasi antar para pemangku kepentingan yang menghambat pendayagunaan Tim Koordinasi Nasional SDGs. Oleh karena itu, sebagai koordinator dan aktor utama, Kementerian Perencanaan dan Pembangunan Nasional/BAPPENAS perlu untuk membangun mekanisme koordinasi yang tepat dan partisipatif untuk memastikan setiap partisipasi pemangku kepentingan.

ABSTRACT
In September 2015, The United Nations (UN) adopted a global development which aims to promote a hollistic development with three principles: universal, integration, and leave no one behind. Reffered to as the 2030 Agenda for Sustainable Development, this agenda encompasses 17 Sustainable Development Goals (SDGs) that built on the previously adopted Millenium Development Goals (MDGs) by individual countries from 2000 to 2015. Needless to say, achieving SDGs requires coordination mechanism that ensure participation. Following the adoption of the 2030 Agenda for Sustanable Development, Indonesian government under President Joko Widodo issued Presidential Decree and form National Coordination Team (NCT)  led by President Joko Widodo. This thesis uses post positivist approach with in-depth interview and literature review as data collection method. The result shows there are many problems related to coordination within stakeholders in the team. Therefore, as a coordinator National Ministry of Planning and Development needs to build a coordination to ensure every stakeholder participation."
2019
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>