Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 142595 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Safira Novia Safitry
"Kerja sama antara Uni Eropa dan Belarusia telah mengalami perkembangan sejak tahun 1995. Akan tetapi, relasi tersebut mengalami berbagai dinamika dengan pemutusan, penangguhan, maupun rekonsiliasi kerja sama karena perbedaan kepentingan dan prinsip dari kedua pihak. Hingga pada akhirnya, Uni Eropa dan Belarusia kembali menjalin kerja sama dalam penanganan migran sejak 2020. Berdasarkan kondisi tersebut, penelitian ini berupaya menjawab pertanyaan mengenai “Mengapa Uni Eropa dan Belarusia tidak mencapai keberhasilan dalam kerja sama penanganan migran pada tahun 2020?”. Pengumpulan data-data penelitian dilakukan dengan metode dokumentasi serta melalui reduksi dan pengolahan data. Penelitian ini dianalisis melalui jenis-jenis hambatan kerja sama dari Hale, Held, dan Young (2013) yang menganalisis fenomena peningkatan multipolaritas, kelambanan institusional, perkembangan masalah, dan fragmentasi yang memengaruhi keberlangsungan pada kerja sama. Hasil analisis yang didapatkan dari penelitian ini adalah masing-masing dari jenis hambatan memiliki pengaruh yang merujuk kepada kurangnya efektivitas dan signifikansi hasil dari kerja sama penanganan migran bagi Uni Eropa dan Belarusia yang dipengaruhi oleh faktor dari segi internal maupun eksternal. Sehingga kegagalan kerja sama dalam penanganan migran sulit untuk dihindari dan menjadi permasalahan yang masih belum dapat diselesaikan oleh kedua belah pihak secara lebih lanjut.

The collaborative endeavors between the European Union (EU) and Belarus, inaugurated in 1995, have witnessed a nuanced trajectory characterized by intermittent disruptions and reconciliations. These fluctuations have emerged from discordant interest and principles. Notably, in 2020, both parties recommenced cooperation specifically concerning migrants management. In light of these circumstances, this research aims to address the question: "Why did the European Union and Belarus encounter challenges in achieving success in migrant handling cooperation in 2020?". The research methodology involved the meticulous collection of data through the scrutiny of pertinent documentation, followed by systematic data reduction and analysis. The investigative framework draws upon the taxonomy of cooperation barriers delineated by Hale, Held, and Young in 2013, which encompasses the dynamics of escalating multipolarity, institutional inertia, problem amplification, and fragmentation, all of which impact the sustainability of collaborative efforts. The findings of this research reveal that each identified obstacle exerts a discernible influence contributing to the suboptimal efficacy and significance of collaborative outcomes in migrant management between the EU and Belarus. These influences emanate from both internal and external dimensions. Consequently, the challenges encountered in migrant cooperation persist as an unresolved issue, presenting a conundrum for both parties involved."
Depok: Fakultas Ilmu Sosial Dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2024
TA-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Yosia Yeremia Harianja
"Isu keamanan dan pertahanan di Uni Eropa mulai muncul ke permukaan pasca periode Perang Dingin. Sistem internasional yang berubah menjadi unipolar, menghadirkan tantangan dan dinamika ancaman yang baru. Adanya upaya untuk dapat bertindak secara independen dan mengurangi ketergantungan terhadap NATO dalam menentukan arah kebijakan pertahanannya, membuat Uni Eropa mulai berusaha mengembangkan kerjasama pertahanan secara internal. Sejumlah literatur kemudian mencatat progres secara kelembagaan dan pembentukan sejumlah inisiatif untuk meningkatkan struktur dari operasionalisasi kerjasama pertahanan. Tulisan ini bertujuan untuk meninjau perkembangan literatur mengenai kerjasama pertahanan Uni Eropa. Dalam tulisan ini juga terdapat sejumlah 37 literatur yang digunakan untuk peninjauan pustaka. Berdasarkan metode taksonomi, literatur-literatur tersebut terbagi ke dalam enam kategori yang terdiri dari (1) fungsi kerangka kerjasama pertahanan, (2) proses evolusi kerjasama pertahanan, (3) proses pengambilan keputusan, (4) pengerahan pasukan, (5) relasi terhadap NATO, dan (6) relasi terhadap PBB. Tulisan ini akan berusaha dalam melihat perdebatan, konsensus, dan sintesis dalam literatur yang membahas kerjasama pertahanan Uni Eropa. Tulisan ini menyimpulkan bahwa kerjasama pertahanan Uni Eropa memiliki relevansi dalam studi keamanan terutama dalam melihat kontribusi Uni Eropa melalui sejumlah operasi dan misi yang telah dan sedang dijalankan. Meskipun demikian, penulis melihat perluasan perspektif literatur yang tidak terbatas hanya pada akademisi yang berasal dari Uni Eropa dan Amerika Utara, akan dapat memperkaya dan meningkatkan kualitas dan relevansi penelitian.

Security and defense issues in the European Union began to surface after the Cold War period. The international system turned unipolar, presenting new challenges and threat dynamics. The effort to be able to act independently and reduce dependence on NATO in determining the direction of its defense policy, made the European Union begin to try to develop defense cooperation internally. A number of literatures then note the institutional progress and the establishment of a number of initiatives to improve the structure of the operationalization of defense cooperation. This paper aims to review the growing literature on EU defense cooperation. In this paper, a total of 37 literatures are used for the literature review. Based on the taxonomy method, the literature is divided into six categories consisting of (1) the function of the defense cooperation framework, (2) the evolutionary process of defense cooperation, (3) the decision-making process, (4) deployment of troops, (5) relations to NATO, and (6) relations to the UN. This paper will attempt to look at the debates, consensus, and synthesis in the literature discussing EU defense cooperation. This paper concludes that EU defense cooperation has relevance in security studies, especially in looking at the EU's contribution through a number of operations and missions that have been and are being carried out. However, the author believes that broadening the perspective of the literature beyond academics from the European Union and North America would enrich and improve the quality and relevance of the research."
Depok: Fakultas Ilmu Sosial Dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2024
TA-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Djarot Purwoko Putro
"ABSTRAK
Lima belas negara Eropa bergabung dalam sebuah union, mencoba saling mengerti segala perbedaan budaya, kebiasaan, dan pengalaman. Mereka menyatukan keinginan untuk dapat hidup damai serta memainkan peran dan pengaruhnya dalam percaturan politik dan keamanan internasional.
Cita-cita Uni Eropa (UE) menjadi salah satu aktor politik internasional jelas membutuhkan suatu Common Foreign and Security Policy (CFSP) dari kelima belas anggotanya, sehingga pada akhirnya kelak terwujud suatu foreign and security policy identity.
Berakhirnya Perang Dingin serta munculnya kembali konflik-konflik di Eropa dan kawasan sekitarnya makin menambah pentingnya bagi UE untuk segera mewujudkan CFSP. Hal ini bukan saja penting bagi eropa untuk mengembangkan dan meningkatkan pengaruh mereka di panggung politik dunia, tetapi juga bagi struktur politik internasional itu sendiri.
Tujuan penelitian ini selain berusaha mendeskripsikan permasalahan yang ada, ada juga menjelaskan CFSP berdasarkan perjanjian Masstricht dan/atau Perjanjian Amsterdam, serta segala hal yang menyangkut dengan kepentingan nasional dan sen-timen kedaulatan nasional Negara anggotanya. Pada akhirnya tampak bahwa sejak semula permasalahan utama pembentukan kerjasama politik dan keamanan di Eropa ternyata ialah bagaimana menurunkan sensivitas kedaulatan nasional Negara-negara anggotanya, sehingga jika setiap Negara anggota mampu menurunkannya maka akan lebih mudah bagi UE untuk melaksanakan setiap keputusan dan mewujudkan keberhasilan CFSP yang efektif dan efisien di masa depan.
Permasalahan mengenai kedaulatan Negara ini antara lain tampak nyata dan dapat diidentifikasikan dalam berbagai hal antara lain sebagai berikut: (1) bagai-mana menyelaraskan politik luar negeri Negara-negara anggota secara efektif di dalamnya; (2) masalah instrument atau alat pelaksana kebijakan; dan tidak kalah pentingnya (3) bagaimana UE menyikapi dan mengatasi prosedur pencapaian suatu posisi, tindakan, dan deklarasi bersama dalam lingkup CFSP yang dirasakan belum sempurna.
"
1999
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Khusnul Laili Marwansyah
"Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui alasan di balik kerja sama Turki dan Uni Eropa dalam mengatasi pengungsi Suriah. Selain beberapa alasan yang mendasari terjadinya kerja sama antar keduanya, penelitian ini juga memaparkan mengenai bentuk-bentuk kerja sama yang dilakukan oleh Turki dan Uni Eropa untuk menanggulangi permasalahan pengungsi Suriah tersebut. Berdasarkan data UNHCR tahun 2018, Turki menjadi negara yang menerima pengungsi Suriah paling banyak dibandingkan negara tetangga Suriah lainnya. Akibat penerapan kebijakan pintu terbuka (Open Door Policy) yang dilakukan Turki, jumlah pengungsi Suriah semakin bertambah setiap tahun hingga akhirnya masuk ke negara-negara di kawasan Uni Eropa. Untuk mengatasi permasalahan tersebut, Turki menjalin kerja sama bilateral dengan Uni Eropa salah satunya dengan cara meminta bantuan luar negeri kepada Uni Eropa. Kesediaan Uni Eropa memberikan bantuan kepada Turki disertai dengan beberapa motif demi menguntungkan pihak Uni Eropa. Penjabaran mengenai alasan dan bentuk kerja sama antara Turki dan Uni Eropa dianalisis menggunakan metode penelitian kualitatif dengan pendekatan deskriptif analisis. Untuk mengetahui apa saja bentuk bantuan yang diberikan sebagai upaya kerja sama antara Turki dan Uni Eropa, maka digunakan teori kerja sama internasional (international cooperation). Sementara untuk mengetahui alasan di balik kerja sama tersebut digunakan konsep pendekatan berupa motif (motives). Data diperoleh melalui literatur yang sudah tersedia karena termasuk dalam penelitian kepustakaan. Penelitian ini menemukan hasil bahwa bentuk kerja sama Turki dan Uni Eropa dalam upaya mengatasi pengungsi Suriah meliputi dikeluarkannya kebijakan untuk mengontrol laju arus pengungsi Suriah yang masuk ke wilayah Turki dan Uni Eropa. Selain itu, bentuk kerja sama lainnya ialah pemberian bantuan luar negeri oleh Uni Eropa kepada Turki untuk para pengungsi Suriah. Sementara alasan dilakukannya kerja sama di antara keduanya ialah mencakup enam kategori motif: kemanusiaan, ekonomi, stratejik, identitas, ideologi, dan kondisi lingkungan.

The aim of this study is to find out the motives behind Turkey and European Union cooperation in dealing with Syrian refugees. In addition, this study also explained the forms of cooperation carried out by Turkey and European Union in dealing with the problems of Syrian refugees. Based on UNHCR data in 2018, Turkey was the country that hosted Syrian refugees the most, compared to other neighboring Syrian countries. As a result of the implementation of the Open Door Policy carried out by Turkey, the number Syrian refugees continued to increase every year as they finally reached some other countries in the European Union. To overcome this problem, Turkey has made a bilateral cooperation with the European Union one of which is by requesting foreign aid to the European Union. The willingness of the European Union to provide assistance to Turkey is accompanied by several motives to benefit the European Union. The description of the reasons and forms of cooperation between Turkey and the European Union is analyzed using qualitative research methods with a descriptive analysis approach. To find out what forms of assistance are provided as collaborative efforts between Turkey and the European Union, the theory of international cooperation is used. While to find out the reasons behind this cooperation, the concept of approach is used in the form of motives. Data is obtained through literature that is already available because it is included in library research. This study found results that form the cooperation of Turkey and the European Union in an effort to overcome Syrian refugees including the issuance of policies to control the flow of Syrian refugees entering the territory of Turkey and the European Union. In addition, another form of cooperation is the provision of foreign aid by the European Union to Turkey for Syrian refugees. While the reason for the cooperation between both of them contained six categories of motives: humanitarian, economical, strategic, ideology, identity, and environment."
Depok: Sekolah Kajian Stratejik dan Global Universitas Indonesia, 2019
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Novi Ratna Cahyani
"Tesis ini bertujuan untuk memahami gugatan Uni Eropa terhadap kebijakan pemberhentian ekspor bijih nikel Indonesia tahun 2020, meski kebijakan pemberhentian dan pelarangan ekspor bijih nikel yang dijalankan oleh Indonesia tidak secara khusus ditujukan untuk mendiskriminasi Uni Eropa dalam perdagangan internasional dan rata-rata kuantitas impor bijih nikel Uni Eropa dari Indonesia relatif kecil. Pertanyaan penelitian yang diajukan adalah “mengapa Uni Eropa menggugat kebijakan pemberhentian ekspor bijih nikel Indonesia tahun 2020?”. Pertanyaan tersebut dibahas dengan teori analisis kebijakan luar negeri Eropa dari Brian White (2004) dengan menekankan variabel aktor dan proses pembuatan kebijakan, kapabilitas dan instrumen, serta konteks yang melatarbelakangi kebijakan. Tesis ini berkesimpulan bahwa gugatan Uni Eropa terhadap kebijakan pemberhentian ekspor bijih nikel Indonesia tahun 2020 dipengaruhi oleh pandangan Komisi Eropa dan Dewan Uni Eropa bahwa Indonesia telah mendukung Tiongkok dalam sektor nikel, sehingga pengaruh Uni Eropa terhadap Indonesia melemah. Uni Eropa juga memiliki kapabilitas dan instrumen penggunaan penyelesaian sengketa melalui WTO dalam menggugat Indonesia. Selain itu, gugatan Uni Eropa terhadap Indonesia juga dilatarbelakangi oleh kepentingan Uni Eropa dalam industri baja dan dominasi Tiongkok di sektor nikel Indonesia.

This thesis aims to understand the European Union's lawsuit against Indonesia's nickel ore export ban policy in 2020, even though the policy of halting and banning nickel ore exports implemented by Indonesia was not specifically intended to discriminate against the European Union in international trade, and the average quantity of nickel ore imports by the European Union from Indonesia is relatively small. The research question posed is "why did the European Union file a lawsuit against Indonesia's nickel ore export ban policy in 2020?". This question is addressed using Brian White's (2004) theory of European foreign policy analysis, emphasizing the variables of actors and policy-making processes, capabilities and instruments, and the context underlying the policy. This thesis concludes that the European Union's lawsuit against Indonesia's nickel ore export ban policy in 2020 was influenced by the perception of the European Commission and the Council of the European Union that Indonesia had supported China in the nickel sector, thereby weakening the European Union's influence over Indonesia. The European Union also has the capability and instruments to use dispute resolution through the WTO in challenging Indonesia. Additionally, the European Union's lawsuit against Indonesia was also motivated by the European Union's interests in the steel industry and China's dominance in Indonesia's nickel sector."
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2024
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Nisrina Nur Aathif
"Tesis ini membahas mengenai preferensi kerja sama maritim terhadap isu kekerasan maritim di perairan Sulu-Sulawesi antara Indonesia dan Filipina pada tahun 2016-2020. Sebagai dua negara yang sama-sama berada di kawasan Asia Tenggara, berbentuk kepulauan-maritim, memiliki kepentingan di Laut Sulu-Sulawesi, dan memiliki identitas independen dalam politik luar negerinya, Indonesia dan Filipina faktanya memiliki preferensi kerja sama yang berbeda dalam menangani isu kekerasan maritim tersebut. Di satu sisi, Indonesia lebih memilih kerangka kerja sama maritim yang berdasarkan pada diplomasi maritim guna menghindari adanya dominasi, sedangkan Filipina di sisi lain lebih cenderung pragmatis dalam menginisiasi kerja sama dengan siapapun yang memang berpotensi memberikan kontribusi bagi pencapaian kepentingan nasional Filipina. Perbedaan preferensi kerja sama maritim kedua negara ini dianalisis dengan menggunakan Teori Peran milik Breuning, yang memiliki asumsi bahwa perilaku kebijakan luar negeri dilatarbelakangi oleh konsepsi peran nasional oleh para pembuat kebijakan yang mana dipengaruhi oleh faktor ideasional dan material. Penelitian ini menggunakan metode kualitatif dengan studi kasus komparatif. Sumber data yang digunakan dalam penelitian ini adalah dokumentasi, dokumen arsip, dan wawancara. Tesis ini menemukan bahwa konsepsi peran nasional mempengaruhi perbedaan preferensi kerjasama maritim di antara kedua negara yang faktanya memiliki karakteristik yang hampir sama. Dengan mengkaji seluruh faktor pembentuk konsepsi peran nasional, ditemukan bahwa Indonesia memiliki peran nasional sebagai negara independen-aktif, negara maritim, dan pemimpin kawasan, sedangkan Filipina memiliki peran nasional independen-pragmatis, negara maritim, dan kolaborator.

This thesis discusses the preferences for maritime cooperation on the issue of maritime violence in Sulu-Sulawesi waters between Indonesia and the Philippines in 2016-2020. As two countries that are both located in the Southeast Asia region, having archipelagic-maritime nature, having interests in the Sulu-Sulawesi Sea, and having independent identities in their foreign policy, Indonesia and the Philippines, in fact, possess different preferences for maritime cooperation in dealing with the issues of maritime violence. On the one hand, Indonesia prefers a maritime cooperation framework based on maritime diplomacy to avoid domination, while the Philippines, on the other hand, tends to be pragmatic in initiating cooperation with anyone who has potential to contribute to the achievement of the Philippine‟s national interest. Differences in maritime cooperation preferences between the two countries are analyzed using Breuning's Role Theory, which assumes that foreign policy behavior of a country is driven by particular national role conceptualized by its policy makers which is influenced by both the ideational and material factors. This thesis used a qualitative method with a comparative case study. Sources of data used in this thesis are documentation, archival documents, and interview. This thesis finds that the conception of the national role affects the differences in preferences for maritime cooperation between the two countries, although both have almost the same characteristics. By examining all the factors influencing the national role conception, it is found that national role conception of Indonesia are independent-active, maritime country, and regional leader, while the national role conception of Philippines are independent-pragmatic, maritime country, and collaborator."
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Politik Universitas Indonesia, 2021
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
"Kajian bertujuan untuk mereview pelaksanaan kerjasama antara pemerintah dengan Uni Eropa (UE) & IFAD selama ini, serta menyusun rekomendasi krbijakan tentang upaya optimalisasi pemanfaatan kerjasama ke depan . Optimalisasi dlm kajian dilihat dlm tataran yg luas, tdk hanya diarahkan pd peningkatan kuantitas , namun juga kualitas kerjasama. . Kuantitas maupun kualitas kerjasama dimonitor menggunakan 3 (tiga) pendekatan, yaitu kerangka kerjasama siklus proyek , & deklarasi Parsi. Kerjasama dianggap lebih mengarah pd optimalisasi jika mampu memaksimalkan kekuatan & peluang sekaligus meminimalkan kelemahan & ancaman yg ada pd tiap aspek/pendekatan secara bersama-sama. Data kajian diperoleh melalui desk study, penyebaran kuesioner, interview serta hasil seminar & diskusi . Kuesioner di tujukan kpd lembaga donor (diwakili oleh EC Delegation Jakarta & Country Programme Manager IFAD untuk Indonesia) & executing/ implementing agency. Pemilihan responden executing / implementing agency didasarkan pd keterlibatannya secara instansi & personal dlm pelaksanaan proyek - proyek on going UE & IFAD di Indonesia . Data yg terkumpul dialisis menggunakan teknik analisis SWOT untuk mendapatkan faktor keberhasilan & strategi prioritas bagi optimalisasi kerjasama Pemerintah dengan UE & IFAD. Dr hasil analisis, kajian mendapatkan temuan bahwa kerjasama Pemerintah dengan UE & IFAD masih berpotensi utk dioptimalkan ke arah yg diharapkan. Dlm kerjasama Pemerintah dengan UE & IFAD terdapat beberapa kekuatan & peluang & peluang yg dpt diarahkan utk mendukung optimalisasi . Namun di sisi lain terdapat juga beberapa kelemahan & kendala /ancaman yg berpotensi menghambat optimalisasi. Kajian memberikan rekomendasi berupa strategi & rencana tindak utk optimalisasi kerjasama Pemerintah dengan UE & IFAD di masa mendatang. Dlm kerjasama dengan UE, strategi perlu diprioritaskan pd strategi W-O yg mencakup sinkronisasi prosedur, penerapan kriteria kesiapan proyek & perencanaan joint monitoring & evaluation. Dlm kerjasama dengan IFAD, positioning strategi yg dipilih juga W-O yg mencakup perbaikan struktur legal strategi bantuan IFAD dr pendekatan jangka menengah hingga level proyek mengupayakan peningkatan perwakilan representatif IFAD di Indonesia & meningkatkan koordinasi pengelolaan proyek-proyek IFAD."
Artikel Jurnal  Universitas Indonesia Library
cover
Daltrop, Anne
England: Longman, 1982
327.17 DAL p
Buku Teks SO  Universitas Indonesia Library
cover
Aderia Rintani
"ABSTRAK
Implementasi kebijakan kerja sama pelayanan darah (Quickwins) merupakan strategi
pemerintah menyelesaikan masalah tingginya kematian ibu dan terbatasnya ketersediaan
darah di Indonesia. Sejak diimplementasikan tahun 2015, masih terdapat kesenjangan
implementasi antar kabupaten/kota di Banten. Tesis ini membahas bagaimana dan apa yang
terjadi dalam implementasi kebijakan kerja sama pelayanan darah di Provinsi Banten Tahun
2018 ditinjau dari kemampuan petunjuk teknis dalam Permenkes no 92 tahun 2015
menstrukturisasi proses implementasi, mudah-sulitnya masalah teknis untuk dikendalikan,
lingkungan eksternal kebijakan, faktor pendukung dan penghambat implementasi.
Penelitian ini adalah penelitian kualitatif menggunakan metode wawancara mendalam,
diskusi kelompok terarah dan telaah dokumen. Kriteria informan penelitian adalah unsur
pimpinan dan petugas pengelola kebijakan yang ada di Kementerian Kesehatan, Dinas
Kesehatan Provinsi Banten, Dinas Kesehatan Kota Cilegon, Puskesmas, UTD, dan RS.
Hasil penelitian menemukan bahwa hanya 1 dari 8 kabupaten/ kota di Banten yaitu Cilegon
yang memiliki nota kesepahaman (MoU) sesuai Permenkes No 92 Tahun 2015. Hal ini
karena belum dipahaminya urgensi nota kesepahaman oleh implementor, dan ada benturan
kepentingan dengan kebijakan lain. Hambatan teknis implementasi adalah kompleksitas
struktur implementor, anggaran untuk rekrutmen donor, mispersepsi di masyarakat, dan
kesulitan koordinasi akibat fragmentasi organisasi. Dari hasil disimpulkan bahwa ada
modifikasi dalam implementasi kebijakan kerja sama pelayanan darah di Provinsi Banten
menyesuaikan dengan kondisi dan kapasitas masing-masing kabupaten/kota. Perlu
dilakukan monitoring terhadap seberapa jauh modifikasi yang dilakukan, seberapa besar
efektivitasnya dan ada tidaknya penyimpangan dari tujuan. Implementasi kebijakan kerja
sama pelayanan darah perlu didukung dengan penguatan sistem rujukan dan pelayanan
kesehatan ibu yang adekuat agar dapat berdampak langsung terhadap penurunan AKI.

ABSTRACT
The policy implementation on blood service cooperation (Quickwins) is a government
strategy to solve the problem of high maternal mortality and limited blood availability in
Indonesia. Since it was implemented in 2015, there are still implementation gaps between
districts / cities in Banten. This study discusses how and what happened in the
implementation of blood service cooperation policy in Banten Province in 2018 in terms of
the ability of technical instructions in Minister of Health Regulation No. 92 of 2015 to
structure the implementation process, tractability of the problems, external policy
environment, supporting factors and barriers. This research is a qualitative study using indepth
interviews, focus group discussions and document review. The criteria of the research
informants were elements of the leadership and policy management officers in the Ministry
of Health, Banten Provincial Health Office, Cilegon City Health Office, CHC, BTC, and
Hospital. The study found that only 1 out of 8 regencies / cities in Banten, namely Cilegon,
had a memorandum of understanding (MoU) in accordance with Minister of Health
Regulation No. 92 of 2015. This was because the urgency of the MoU was not yet
understood, and there were conflicts of interest with other policies. Technical barriers to
implementation are the complexity of the implementor structure, the budget for donor
recruitment, misperception in the community, and coordination difficulties due to
organizational fragmentation. The result concluded that there was a modification in the
implementation of the blood service cooperation policy in Banten Province in accordance
with the conditions and capacities of each district / city. It is necessary to monitor how far
the modifications are made, how effective and whether there is a deviation from the goal.
The implementation of a blood service cooperation policy needs to be supported by
strengthening the referral system and maternal health services.

"
2019
T53120
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Muhammad Rifqi Daneswara
"Kerja sama keamanan Eropa mengalami perkembangan terbaru dengan aktivasi Permanent Structured Cooperation tahun 2017 oleh Uni Eropa. Aktivasi PESCO dilakukan pada waktu yang unik setelah United Kingdom memilih untuk keluar dari Uni Eropa melalui referendum di tahun 2016. Skripsi ini berusaha mencari tahu mengapa Uni Eropa mengaktivasi PESCO di tahun 2017. Tulisan ini menggunakan teori legitimasi yang ditulis oleh Tallberg dan Zurn dengan melihat legitimasi institusi berdasarkan fitur-fitur yang dimiliki institusi yaitu otoritas, prosedur dan performa. Teori tersebut digunakan karena terdapat permasalahan legitimasi yang dihadapi oleh Uni Eropa ketika PESCO diaktifkan. Menggunakan teori legitimasi, tulisan menemukan bahwa aktivasi PESCO dilakukan sebagai salah satu upaya Uni Eropa untuk melanjutkan integrasi sekaligus meningkatkan legitimasi yang dimiliki oleh institusi. Berdasarkan fitur otoritas, di dalam PESCO Uni Eropa memiliki otoritas yang rendah bila dibandingkan dengan bentuk kerja sama di bidang lainnya seperti Euro Area sebagai upaya mengurangi defisit legitimasi Uni Eropa. Sementara itu, berdasarkan fitur prosedur, pengambilan keputusan yang ada di dalam PESCO berpusat dalam Dewan Uni Eropa memiliki tujuan meningkatkan legitimasi di mata pemerintah negara anggota. Terakhir, berdasarkan fitur Performa, PESCO dibentuk untuk meningkatkan kapabilitas keamanan Uni Eropa dan legitimasi di mata audiens, namun lambatnya penyelesaian proyek menghalangi peningkatan legitimasi di fitur ini. Berdasarkan ketiga fitur tersebut, ditemukan bahwa PESCO dibentuk berdasarkan permasalahan legitimasi yang melanda Uni Eropa yaitu tingginya defisit legitimasi yang dihadapi, rendahnya kepercayaan dari negara anggota serta ketidakmampuan Uni Eropa untuk menyelesaikan masalah keamanan di lingkungan mereka. Dengan mengatasi ketiga hal tersebut, diharapkan aktivasi PESCO dapat meningkatkan legitimasi yang sebelumnya mengalami penurunan diakibatkan berbagai krisis.

European security cooperation underwent the latest development by the activation of Permanent Structured Cooperation (PESCO) in 2017 by the European Union. The PESCO activation was carried out in a unique time after the United Kingdom chose to leave the European Union through a referendum in 2016. This study seeks to find out why the European Union activated PESCO in 2017 and adopted the theory of legitimacy written by Tallberg and Zurn by looking at the legitimacy of the institutions based on the features of the institution, namely authority, procedure, and performance. Such theory was used because there were legitimacy problems faced by the European Union at the time when PESCO was activated. Using the theory of legitimacy, this study found that PESCO activation is carried out as one of the European Union's efforts to continue the integration while at the same time increasing the legitimacy of the institution. Based on the feature of the authority in PESCO, the European Union has low authority compared with forms of cooperation in other fields, as an effort to reduce the EU's legitimacy deficit. Meanwhile, based on the features of the procedure, the decision-making in PESCO is centered on the Council of the European Union with the aim of increasing legitimacy for its member state governments. Lastly, based on the feature of the performance, PESCO was activated to increase the EU security capabilities and legitimacy for the audience, however, the slow pace of project completion prevented the increase of legitimacy in this feature. Based on these three features, it was found that PESCO was formed on legitimacy problems that plagued the European Union, namely the high deficit of legitimacy, low trust from the member countries and the European Union's inability to resolve security problems in their environment. By overcoming those three things, it is hoped that PESCO activation may increase the legitimacy which has previously decreased due to various crises."
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2021
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>