Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 211714 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Muhammad Fauzi Rachman
"Tugas akhir ini membahas perkembangan perbaikan sanitasi kota Bandung pada periode 1918-1929. Perbaikan sanitasi meliputi pembangunan infrastruktur pengadaan air bersih seperti pompa air dan pipa ledeng, penataan ulang tata kota, dan program perbaikan kampung-kampung pribumi oleh pemerintah kota Bandung. Meskipun pembangunan kota Bandung pada masa kolonial didasarkan terhadap pertimbangan pragmatis yaitu memberi kenyamanan bagi penduduk  “Eropa”, namun dalam penelitian ini akan diperiksa juga bagaimana dampaknya pembangunan sanitasi ini terhadap masyarakat pribumi kota Bandung. Penelitian menggunakan sumber primer berbentuk catatan resmi pemerintahan kolonial yang berupa Uitbreidingsplan Noord Bandoeng yang disusun oleh pemerintah kota Bandung, serta artikel-artikel yang berasal dari berbagai edisi De Preanger Bode dan Bataviaasch Nieuwsblad. Arsip didapatkan dari arsip yang disediakan oleh situs Delpher, KITLV dan Colonial Architecture EU, beserta sumber sekunder yang berbentuk penelitian terdahulu mengenai kota Bandung dan distribusi fasilitas air bersih di Hindia Belanda. Penelitian menemukan bahwa perjuangan yang dilakukan oleh tokoh-tokoh pribumi dalam perbaikan sanitasi untuk masyarakat pribumi berhasil dalam skala yang terbatas.

This thesis discusses the development of sanitation improvements in the city of Bandung in the period 1918-1929. improvements in sanitation includes the construction of water-procuring infrastructure such as water pumps and plumbing, reorganization of city planning, and a program to improve indigenous kampung by the Bandung city government. Although the development of the city of Bandung during the colonial period was based on pragmatic considerations, namely providing comfort for the "European" population, this research will also examine the impact of this sanitation development on the indigenous people of the city of Bandung. The research uses primary sources in the form of official colonial government records in the form of Uitbreidingsplan Noord Bandoeng compiled by the Bandung city government, and articles from various editions of De Preanger Bode and the Bataviaasch Nieuwsblad. Archives were obtained from archives provided by the online sites Delpher, KITLV and Colonial Architecture EU, along with secondary sources in the form of previous research regarding the city of Bandung and the distribution of clean water facilities in the Dutch East Indies. The research found that the struggle carried out by indigenous figures to improve sanitation for indigenous communities was successful on a limited scale."
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia, 2024
TA-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Irfal Mujaffar
"Tesis ini membahas peran masyarakat pribumi dalam kegiatan pariwisata di Garut pada masa kolonial. Selaku komunitas tuan rumah, masyarakat pribumi merupakan unsur penting dalam praktik pariwisata di Hindia Belanda. Akan tetapi kehadiran mereka cenderung terabaikan. Studi-studi yang sudah ada sejauh ini masih memosisikan masyarakat pribumi sebatas objek amatan para wisatawan, alih-alih menjadikannya subjek yang juga turut berkontribusi dalam membentuk proses pariwisata. Penelitian ini menelusuri keterlibatan masyarakat pribumi dalam kegiatan pariwisata pada masa kolonial dengan studi kasus masyarakat pribumi di Garut, Keresidenan Priangan dari tahun 1891 hingga 1942. Studi ini adalah penelitian kualitatif dengan menggunakan metode sejarah. Sumber-sumber yang digunakan bertumpu pada arsip-arsip kolonial, buku panduan wisata, majalah, surat kabar, foto-foto, dan catatan perjalanan sezaman. Secara kronologis perkembangan pariwisata di Garut terbagi dalam dua pembabakan waktu. Periode pertama (1891–1907) disebut sebagai era pariwisata domestik. Dicirikan dengan mengarusnya kunjungan turis-turis domestik yang didominasi oleh para pemukim Eropa dari kota-kota besar di Hindia yang hendak berekreasi dan tetirah. Sedangkan periode kedua (1908–1942) disebut sebagai era pariwisata internasional. Pada periode ini Garut mulai dipromosikan kepada wisatawan asing dan menjadi bagian dalam rencana perjalanan pariwisata internasional. Hasil dari penelitian ini menunjukkan bahwa masyarakat pribumi tampil menjadi elemen penting yang turut menggerakan pariwisata di Garut pada masa kolonial. Mereka terlibat aktif dalam melayani dan mengatur perjalanan para wisatawan, serta bernegosiasi dalam masalah pengembangan objek wisata. Kontribusi masyarakat pribumi dalam kegiatan pariwisata mula-mula digerakkan oleh sikap kepatuhan terhadap golongan (bupati) yang menjadi pemimpin mereka. Dorongan tersebut lalu bergeser seiring dengan manfaat ekonomi yang mereka peroleh. Kegiatan pariwisata hadir menawarkan alternatif pekerjaan baru ketika sebagian penduduk pribumi di Garut tidak bisa lagi hanya mengandalkan sektor pertanian sebagai sumber penghidupan.

The focus of this research is to examine the role of indigenous peoples in tourism activities in Garut during the colonial period. As the host community, the indigenous people were an important element in the practice of tourism in the Dutch East Indies. However, their contribution is often overlooked. So far, existing studies have often positioned indigenous peoples as tourism objects, rather than making them as subjects who also contribute to shaping the tourism process. This study traces the involvement of indigenous peoples in tourism activities during the colonial period with the case of indigenous peoples in Garut, Priangan Residency from 1891 to 1942. This research is a qualitative study using historical methods. The sources used rely on colonial archives, tourist guide books, magazines, newspapers, photographs, as well as travelogues from that time. The development of tourism in Garut during the colonial period is chronologically divided into two time periods. The first period (1891-1907) is referred to as the era of domestic tourism. This period was characterized by domestic tourist visits which were dominated by Europeans who came from big cities in the Dutch East Indies to rest and recover their health. While the second period (1908-1942) is referred to as the era of international tourism.  In this period Garut began to be promoted to foreign tourists and existed as part of the international tourism itinerary. The results of this study indicate that indigenous peoples were an important element that contributed to advancing tourism activities in Garut during the colonial period. They are actively involved in serving and organizing the trips of tourists, as well as negotiating in tourism attraction development issues. The contribution of the indigenous people in tourism activities was initially carried out to show their obedience to the regent (menak) as their leader. Their motivation to contribute then changes along with the economic benefits they get. Tourism activities is an alternative sector that provides new jobs for some indigenous people in Garut, when they can no longer depend solely on the agricultural sector for income."
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia, 2022
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Dian Sukmawati
"Realitas kehidupan masyarakat adalah realitas plural, berubah dan dinamis. Dinamika dapat didorong oleh pluralitas budaya, etnis, agama, ideologi, sosial politik, dan kepentingan ekonomi, dalam masyarakat majemuk ini, konflik sering terjadi. Oleh karena itu, diperlukan Relasi sosial yang baik antara etnis Tionghoa minoritas dengan Pribumi mayoritas. Etnis Tionghoa di Kota Tangerang sudah tinggal sejak abad ke 17, Etnis tionghoa di Kota Tangerang dikenal sebagai sebutan Cina Benteng.
Dari hasil analisis relasi sosial yang terjadi antara etnis tionghoa dengan pribumi di Kota Tangerang dapat berjalan dengan baik karena terjadi proses akulturasi antara dua kelompok etnis Tionghoa dan lokal yang berlangsung melalui relasi sosial yang panjang. Dalam konteks ini, etnis tionghoa mengadopsi nilai-nilai lokal akulturasi. Proses akulturasi merupakan salah satu cara penyesuaian diri untuk dapat diterima dan membangun relasi sosial yang baik antar etnis.
Relasi sosial yang terbentuk antara kelompok Cina benteng dan pribumi memiliki beberapa hal yang membentuknya, seperti ruang, agen, dan intensitas yang terjadi pada setiap kegiatan yang mereka lakukan. Dengan adanya ketiga hal ini maka keberlanjutan akan relasi sosial ini terus terjaga dan berlangsung berulang-ulang.Studi ini menggunakan metode wawancara mendalam, dan dikakukan di Kota Tangerang, Banten.

The reality of community life is plural reality, changing and dynamic. Dynamics can be driven by cultural plurality, ethnicity, religion, ideology, socio political, and economic interests, in this plural society, conflicts are common. Therefore, a good social relation is needed between ethnic Chinese minority and Native majority. The ethnic Chinese in Tangerang City have been living since the 17th century, ethnic Chinese in Tangerang City is known as Cina Benteng.
From the result of analysis of social relation that happened between ethnic Chinese with indigenous in Tangerang City can run well because there is an acculturation process between two ethnic groups Chinese and local that take place through long social relations. In this context ethnic Chinese adopt local values acculturation. The process of acculturation is one way of adjusting to acceptable and establishing good social relations among ethnic groups.
The social relationships formed between cina benteng and indigenous have some of the things that shape them, such as space, agents, and the intensity that occurs in every activity they do. With these three things, the continuity of social relationships is maintained and repeated. This study uses indepth interviews, and is tackled in Tangerang City, Banten.
"
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2017
MK-Pdf
UI - Makalah dan Kertas Kerja  Universitas Indonesia Library
cover
Muhammad Sayyid Nashrullah Rasmadi
"Kota Bandung yang pada awalnya merupakan sebuah wilayah tertutup mengalami kemajuan yang pesat pada era kolonial, banyak sekali tempat yang dibangun untuk menunjang kehidupan masyarakatnya seperti, sekolah, pasar, perumahan, pabrik, dan lain-lain, dengan demikian Karsten berencana untuk membangun jalur kereta api trem dan halte-haltenya sebagai penunjang kegiatan masyarakat Kota Bandung dalam beraktivitas setiap harinya. Sehingga permasalahan mengenai bagaimana lanskap perkeretaapian di Kota Bandung pada era kolonial dimaknai oleh masyarakat pada masa itu menjadi permasalahan penelitian ini menarik untuk dibahas. Dengan penelitian deskriptif-analitis, peneliti membagi data ke dalam dua jenis yaitu primer yang berupa hasil observasi lapangan dan sekunder yang merupakan data kepustakaan, menggunakan kerangka pemikiran arkeologi lanskap dan paradigma pasca prosesual mampu memecahkan masalah penelitian. Hasil penelitian mengemukakan bahwa adanya aspek kestrategisan dan keefektifan bagi para penumpang-penumpangnya yang merupakan masyarakat Kota Bandung maupun sekitar Kota Bandung. Halte-halte ini berpengaruh pada waktu tempuh masyarakat yang akan bepergian ke lokasi-lokasi tersebut menjadi lebih singkat dan memerlukan usaha yang lebih sedikit dibandingkan dengan jika tidak adanya halte yang berlokasi dekat dengan sarana-sarana publik tersebut. Kebaharuan pada penelitian ini adalah dalam interpretasinya yang berada dalam ranah pikiran para penduduknya, sehingga tidak hanya persoalan fungsionalnya saja.

Bandung which was originally an isolated area experienced a very rapid progress in the colonial era, many places were built to support the lives of its people such as schools, markets, housing, factories, etc., thus Karsten planned to build tram lines and its stops to support Bandung’s citizens in their daily activities. So that the problem of how the railroad system landscape in Bandung in colonial era interpreted by the community at that time for their daily lives becomes a very interesting research problem. With descriptive-analytical research, researchers divide the data into two types, namely primary in the form of field observations and secondary which constitute library data, using landscape archeological frameworks and post-processual paradigms capable of solving the problem of this research. The results of this study suggest that there are strategic and effectiveness aspects for the passengers who are residents of Bandung and around Bandung. The tram stops affect the travel time of the citizens who will travel to these locations to be shorter and require less effort compared to if there are no shelters located near the facilities these public facilities. The novelty of this research is in its interpretation which is in the realm of the minds of its inhabitants, so that it is not only a functional problem.

"
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia, 2020
TA-Pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Rahmia Nurwulandari
"Bandung di masa kolonial dikenal sebagai Parisnya Pulau Jawa atau yang populer dengan sebutan Parijs van Java. Sebutan itu memberikan kesan kota yang estetik dan dicintai oleh banyak orang bahkan hingga saat ini. Orang Belanda menyebut Bandung sebagai Een Western Enclave atau permukiman eksklusif bagi orang Barat yang membuat kota ini makin spesial. Penelitian ini berfokus pada perkembangan kota di Bandung pada awal abad ke 20, dari kota kecil di tengah perkebunan menjadi kota modern yang diakui dunia internasional. Bandung dicalonkan menjadi ibukota Hindia Belanda untuk menggantikan Batavia. Berbagai perubahan kota yang terjadi ikut berpengaruh pada tampilan estetika arsitektur dan kota. Namun, di balik gemerlap perkembangan yang pesat itu, terdapat sejumlah ide terkait estetika yang tidak saling berhubungan.
Penelitian ini mencoba menjawab apa aja citra estetik yang ingin ditampilkan di Bandung saat dipersiapkan menjadi ibukota baru beserta alasanalasannya yang dikaji melalui teori estetika Immanuel Kant dan teori metropolis karya Georg Simmel. Dengan menggunakan metode yang diperkenalkan oleh Iain Borden dan rekan-rekannya dalam buku The Unknown City, terungkap sejumlah pandangan terkait estetika yang membentuk citra kota Bandung, seperti potensi alam, ide keteraturan, eksotisme, ambisi terhadap hal-hal baru, imajinasi kenyamanan Eropa di kota tropis, sekaligus ketakutan akan wabah penyakit yang mengancam imajinasi kolonial.

Colonial Bandung was known as the Paris of Java (Parijs van Java). It gives an impression of aesthetic and is adored by the people until present day. The Dutch named Bandung as Een Western Enclave or an exclusive neighborhood for the European. This research focused on the development of the city in the early twentieth century, from a small town near the plantation to a modern city that is globally known, even to be prepared as a capital city of Dutch East Indies. The development also changed the visual of architecture and the city. However, behind the rapid development of the city, there are some ideas in aesthetics that was unrelated.
This research tried to answer what is the image of aesthetics that was appeared in Bandung as the future capital city of Dutch East Indies. I learn it through the Aesthetic theory of Immanuel Kant and Metropolis of Georg Simmel. With the method that is introduced by Iain Borden and friends in the book The Unknown City, I found some views that is related to the aesthetic and the city, such as nature beauty, the urban planning and design principle, ambition to the tecnology and innovation, exoticism, imagination of the ideal tropics, as well as fears that threatened colonial imagination.
"
Depok: Fakultas Teknik Universitas Indonesia, 2020
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Tri Ilham Pramudya
"ABSTRAK
Skripsi ini membahas sejarah Vrijmetselarij atau yang lebih dikenal Freemasonry
di Indonesia. Terutama hubungan Vrijmetselarij dengan elit pribumi di Jawa sejak
tahun 1908, ketika kemunculan organisasi modern pertama, Budi Utomo, sampai
dibubarkannya Vrijmetselarij di Indonesia pada tahun 1962. Perhatian
Vrijmetselarij terahadap bidang pendidikan, termasuk pendidikan untuk pribumi,
disinyalir menjadi salah satu faktor kemunculan elit modern Indonesia yang
mayoritas para tokohnya berlatar belakang pendidikan Barat. Mayoritas elit
pribumi yang bergabung dengan Vrijmetselarij pun mempunyai latar belakang
pendidikan yang baik. Ketika keanggotaan Vrijmetselarij dari kalangan elit
pribumi sudah mencapai suatu keadaan yang mapan setelah Indonesia merdeka,
maka didirikanlah Loji Agung Indonesia yang independen, meskipun umurnya
tidak panjang

ABSTRACT
This thesis discusses the history Vrijmetselarij or better known as Freemasonry in
Indonesia. Especially Vrijmetselarij relationship with the indigenous elites in Java
since 1908, when the emergence of the first modern organization, Budi Utomo,
until the dissolution of Vrijmetselarij in Indonesia in 1962. Vrijmetselarij
attention to education, including education for the natives, presumably be one
factor in the emergence of modern Indonesian elite that the majority of the
characters of Western educational backgrounds. The majority of the indigenous
elite who joined Vrijmetselarij also have a good educational background. When
membership Vrijmetselarij of indigenous elites had reached a steady state after
Indonesia's independence, the Indonesian Supreme Lodge founded an
independent, though its age is not long.
"
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia, 2012
S43747
UI - Skripsi Open  Universitas Indonesia Library
cover
Ayu Astiarini
"ABSTRAK
Kemajuan periklanan di Hindia-Belanda pada abad ke-20 memberikan dampak pada budaya visual periklanan masa itu. Dalam promosi periklanan abad 20, penggunaan visual masyarakat lokal di Hindia-Belanda marak digunakan untuk menarik simpati pribumi. Salah satu yang menggunakan teknik periklanan tersebut adalah produk Verkades Biscuit yang berasal dari Belanda. Terdapat hal yang menarik dalam iklan Verkades Biscuit periode 1928-1938 di Hindia-Belanda yaitu penggunaan figur pribumi yang berbeda-beda pada iklannya. Melalui simbol-simbol yang terdapat pada iklan, dapat dilihat perkembangan sosial yang terjadi dalam masyarakat di Hindia-Belanda. Penelitian ini membahas bagaimana citra pribumi dalam iklan Verkades biscuit periode 1928-1938 di Hindia-Belanda. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui dan memaparkan citra pribumi yang terdapat pada iklan Verkades Biscuit. Dalam menganalisa, peneliti menggunakan metode kualitatif deskriptif. Pendekatan semiotik dan sejarah akan digunakan juga dalam penelitian ini, sehingga penelitian ini akan memperlihatkan citra pribumi yang digambarkan dalam iklan Verkades Biscuit.

ABSTRACT
The progress of advertising in the Dutch East Indies in the 20th century had an impact on the visual culture of advertising at that time. In the 20th of advertising promotion, the use of local people in the Dutch East Indies was widely used to attract indigenous sympathy. One of the products which used this advertising technique is Verkades Biscuit from The Netherlands. The interesting thing on Verkades Biscuit ad from 1928-1938 in the Dutch East Indies was using different indigenous figures in their four ads. Through the symbols contained in the advertisement, it can be seen the social developments that occur in society in the Dutch East Indies. This study discusses how the indigenous image in the Verkades Biscuit advertisement from 1928-1938 in the Dutch East Indies. The purpose of this study was to find out and describe the indigenous image contained in the Verkades Biscuit ad. In analyzing, researcher used qualitative descriptive methods. Semiotic and historical approaches will also be used in this study, so this study will show the indigenous image depicted in Verkades Biscuit ad."
2019
MK-Pdf
UI - Makalah dan Kertas Kerja  Universitas Indonesia Library
cover
Fitriani
"Sepanjang abad ke-19, seluruh wilayah Keresidenan Priangan merupakan kawasan terlarang (Verboden Kringen) bagi perdagangan opium. Segala bentuk kegiatan yang berhubungan dengan opium, seperti menjual, memiliki, mengimpor dan mendistribusikan opium, diklasifikasikan sebagai kegiatan ilegal. Hal ini justru memicu sejumlah kasus penyelundupan opium. Atas dasar pertimbangan untuk memerangi kasus penyelundupan opium dan atas dasar pertimbangan untuk mengurangi atau bahkan menghilangkan konsumsi opium secara bertahap, serta meningkatkan pendapatan, memasuki awal abad ke-20 Pemerintah Kolonial mengubah kebijakan pelarangan perdagangan opium dengan menghapuskan perdagangan opium. perdagangan opium. status kawasan terlarang (Verboden Kringen) di wilayah Karesidenan Priangan. dan memperkenalkan kebijakan Opiumregie di wilayah tersebut. Dengan adanya perubahan kebijakan perdagangan candu tersebut, candu resmi menjadi komoditas perdagangan yang legal di wilayah Karesidenan Priangan dan telah memberikan sejumlah dampak baik bagi Pemerintah Kolonial maupun masyarakat khususnya di Kota Bandung dalam berbagai aspek.

Throughout the 19th century, the entire territory of the Priangan Residency was a forbidden area (Verboden Kringen) for the opium trade. All forms of opium-related activities, such as selling, possessing, importing and distributing opium, are classified as illegal activities. This has actually triggered a number of cases of opium smuggling. On the basis of considerations to combat opium smuggling cases and on the basis of considerations to reduce or even eliminate opium consumption gradually, as well as increase income, entering the early 20th century the Colonial Government changed the policy of prohibiting the opium trade by abolishing the opium trade. opium trade. the status of a prohibited area (Verboden Kringen) in the Priangan Residency area. and introduce Opiumregie policy in the region. With the change in the opium trade policy, opium has officially become a legal trading commodity in the Priangan Residency area and has had a number of impacts both for the Colonial Government and the community, especially in the City of Bandung in various aspects."
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia, 2019
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
cover
Mundzir Amjad
"Penelitian ini membahas mengenai upaya-upaya implementasi suatu kebijakan publik di Kota Bandung. Kebijakan Publik yang dimaksud adalah mengenai penerapan e-government dalam tata kelola pemerintahan untuk memberantas tindak pidan korupsi. Upaya pemberantasan korupsi ini merupakan kebijakan yang diambil oleh Walikota Bandung dengan memanfaatkan pengembangan dan optimalisasi Teknologi Informasi dan Komunikasi di lingkungan birokrasinya. Tujuan penelitian ini antara lain untuk membuktikan bahwa pengembangan kebijakan e-government yang dicanangkan oleh Ridwan Kamil sebagai Kepala Daerah terpilih dapat meminimalisir bahkan memberantas tindak pidana korupsi di Kota Bandung periode 2014-2018. Penyusunan dalam penelitian ini dikorelasikan dengan teori fraud prevention dari Tommie Singleton dan konsep implementing public policy (implementasi kebijakan public) dari George C. Edward. Metode penelitian yang digunakan adalah metode kualitatif dengan wawancara mendalam (indepth interview). Temuan penelitian ini menunjukan bahwa penerapan suatu kebijakan berbasiskan e-government dapat mengurangi dan mencegah tindak pidana korupsi di lingkungan birokrasi Kota Bandung. Dinamika mengenai politik anggaran dalam menjalankan kebijakan penggunaan e-government terjadi antara pemerintah Kota Bandung dan DPRD sebagai lembaga legislatif. Indikator keberhasilan penurunan tingkat pidana korupsi di Kota Bandung dibuktikan dari beberapa hal diantaranya nilai AKIP, opini BPK, nilai LPPD dan kepuasan masyarakat terhadap kinerja pemerintah Kota Bandung.

The study discussed the implementatios efforts public policy in Bandung. The intended public policy is the application of e-government in governance to eradicate corruption. The fight against corruption is a policy taken by the mayor of Bandung by leveraging the development and optimizing information technology and communication in its bureaucratic environment. The objective of the study is, among other things, to prove that the development of the e-government policy imposed by Ridwan Kamil as head of elected territory can minimize and eliminate corruption from the city of Bandung, 2014-2018. The publication in the study is correlated with the fraud prevention theory of singleton tommie and the conceptual public-policy of George c. Edward. The research method used is a qualitative method with deep interviews (indepth interviews). The findings suggest that the application of an e-government policy can minimize corruption in the environmental bureaucracy of Bandung. The dynamics of the budget issued by the DPRD can be proven by the Mayor of Bandung in implementing the e-government based policy. The indications of the success rate for the decline in the state's corruption in Bandung are evident from a number of these features: the AKIP value, LPPD opinion, and the public's commitment to the performance of the Bandung government.
Keywords: e-government, implementing public policy, fraud prevention, AKIP value, BPK opinion, LPPD value"
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2020
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>