Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 147964 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Gigih Setiawan
"Latar Belakang: Salah satu jenis kelompok kanker paru yaitu neoplasma neuroendokrin dikelompokan berdasarakan gambaran histopatologi dengan pervalens 20-25% dari seluruh kanker paru. Karsinoid atipikal adalah tumor derajat menengah yang bersifat lebih agresif dari karsinoid tipikal. Karsinoma neuroendokrin paru sel besar dan karsinoma neuroendokrin paru sel kecil (KPKSK) adalah karsinoma derajat tinggi dengan prognosis yang sangat buruk dan memiliki ekspresi PD-L1. Ekspresi PD- L1 pada karsinoma neuroendokrin berhubungan dengan angka tahan hidup pasien. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui proporsi ekspresi PD-L1 pada neoplasma neuroendokrin paru di RSUP Persahabatan
Metode: Penelitian ini merupakan penelitian deskriptif potong lintang menggunakan data rekam medis pasien neoplasma neuroendokrin paru yang terdiagnosis secara histopatologi di poliklinik onkologi RSUP Persahabatan. Seluruh status rekam medis pasien neoplasma neuroendokrin paru dari januari 2019 hingga mei 2023 didata. Proses pengumpulan data dilakukan pada bulan januari 2023 hingga agustus 2023. Setelah itu dilanjutkan pemeriksaan imunohistokimia (IHK) PD-L1 menggunakan antibodi 22C3 pada sampel yang memenuhi kriteria inkulsi, lalu dilanjutkan analisis data menggunakan SPSS versi 25.
Hasil: Pada penelitian ini terdapat tujuh sampel atau 14% sampel yang memiliki memiliki ekspresi PD-L1 positif dari 50 total sampel. Tendensi karakteristik pasien neoplasma neuroendokrin paru pada penelitian ini yaitu jenis kelamin laki-laki, kelompok usia ≥60 tahun, memiliki riwayat merokok dengan indeks brinkman berat, tidak memiliki riwayat pajanan di lingkungan kerja, tidak memiliki riwayat pengobatan TB paru, tidak memiliki riwayat kanker keluarga dan stage lanjut. Proporsi jenis histopatologi neoplasma neuroendokrin paru dari empat kelompok tersebut yaitu dua sampel (4%) karsinoid tipikal, enam sampel (12%) karsinoid atipikal, 31 sampel (62%) karsinoma neuroendokrin paru sel kecil dan 11 sampel (22%) karsinoma neuroendokrin paru sel besar. Ekspresi PD-L1 positif ditemukan pada 3 kelompok yaitu 1 sampel (16,7%) pada kelompok karsinoid atipikal, 4 sampel (12,9%) pada kelompok karsinoma neuroendokrin paru sel besar dan 2 sampel (18,2%) pada sel kecil. Nilai median overall survival untuk kelompok PD-L1 negatif yaitu 9 bulan (IK 95% 3,9-14 bulan) sedangkan pada kelompok PD-L1 positif median OS 8,5 bulan (IK 95% 4,9-12 bulan) dengan p 0,228.
Kesimpulan: Ekspresi PD-L1 positif ditemukan sebesaar 14% dari 50 sampel. Tidak terdapat perbedaan bermakna secara statistik antara faktor-faktor yang memengaruhi ekspresi PD-L1.

Background: One type of lung cancer group, namely neuroendocrine neoplasms, is grouped based on histopathological features with a prevalence of 20-25% of all lung cancers. Atypical carcinoids are intermediate grade tumors that are more aggressive than typical carcinoids. Large cell lung neuroendocrine carcinoma and small cell lung neuroendocrine carcinoma (SCLC) are high-grade carcinomas with a very poor prognosis and PD-L1 expression. PD-L1 expression in neuroendocrine carcinoma is associated with patient survival. This study aims to determine the proportion of PD-L1 expression in pulmonary neuroendocrine neoplasms at Persahabatan General Hospital.
Method: This study was a cross-sectional descriptive study using medical records of patients with lung neuroendocrine neoplasms diagnosed histopathologically at the oncology polyclinic of Persahabatan General Hospital. All medical records status of lung neuroendocrine neoplasm patients from January 2019 to May 2023 were recorded. The data collection process was carried out from January 2023 to August 2023. After that, the PD-L1 immunohistochemistry examination was continued using the 22C3 antibody on samples that met the inclusion criteria, then continued data analysis using SPSS version 25.
Result: there were seven samples or 14% of the samples had positive PD-L1 expression out of 50 total samples. Characteristics tendency of patients in this study are male, age group ≥60 years, have a history of smoking with a severe Brinkman index, have no history of exposure in the work environment, have no history of pulmonary TB treatment, have no family history of cancer and advanced stage. The proportion of histopathological types of neuroendocrine neoplasms of the lung from the four groups were two samples (4%) typical carcinoid, six samples (12%) atypical carcinoid, 31 samples (62%) small cell lung neuroendocrine carcinoma and 11 samples (22%) lung neuroendocrine carcinoma large cell. Positive PD-L1 expression was found in 3 groups, namely 1 sample (16.7%) in the atypical carcinoid group, 4 samples (12.9%) in the large cell lung neuroendocrine carcinoma group and 2 samples (18.2%) in a small cell. The median overall survival value for the negative PD-L1 group was 9 months (95% CI 3.9-14 months) while in the positive PD-L1 group, the median OS was 8.5 months (95% CI 4.9-12 months) with p 0.228.
Conclusion: Positive PD-L1 expression was found 14% from 50 samples. There was no statistically significant difference between the factors influencing PD-L1 expression.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2023
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Fauzan Liswantriardi
"Tumor neuroendokrin (NET) adalah salah satu jenis tumor ganas yang dapat diobati menggunakan Peptide Receptor Radionuclide Therapy (PRRT). Metode Sum of Exponential (SOE) adalah sebuah fungsi eksponensial yang menjelaskan farmakokinetik dengan laju peluruhan fisis dan biologis. Data fitting metode SOE dan model Nonlinear Mixed Effect (NLME) membutuhkan computational setting seperti starting value yang baik. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui keakuratan kurva aktivitas yang dihasilkan pada pengaruh pemilihan starting value pada kasus full time point (FTP) dan single time point (STP) menggunakan metode SOE dan model NLME. Penelitian ini terbatas data biokinetik ginjal pada pasien terdiagnosis NETs dan meningioma menggunakan pengobatan PRRT. Proses pengukuran pre-terapi pada 8 pasien menggunakan radiofarmaka 111In-DOTATATE untuk mengetahui biokinetik pasien dengan aktivitas sekitar 140 ± 14 MBq (jumlah total peptida 75 ± 10 nmol) yang diinjeksi secara intravena. Dua tahap dilakukan dalam penelitian ini fitting pada dosimetri FTP dan STP. Fitting FTP menggunakan data biokinetik ginjal pada 5 time point yang berbeda, sedangkan untuk fitting STP hanya pada time point 4 (T4). Parameter yang diestimasi didapat dari fungsi SOE f(t)=A_1 (Ka Ke)/(Ke-Ka) [e^(-(Ka)t)-e^(-(Ke)t) ] terdiri dari absorption rate (Ka), clearance rate (Ke), dan analytical AUC (A_1). Variasi starting value dilakukan untuk seluruh parameter pada STP dengan variasi starting value (STP(v)). Nilai fixed effect pada FTP merupakan sebuah log transformasi. Starting value merupakan hasil eksponensial dari nilai fixed effect. Variasi starting value diberikan dengan pengali dan pembagi dari 1 hingga 10 pada starting value awal. Total fitting yang dilakukan sebanyak 54873 kali dengan FTP sebanyak 1 kali, STP starting value awal (STP(0)) sebanyak 8 kali, dan STP(v) sebanyak 54864 kali. Area Under the Curves (AUCs) yang diperoleh dari hasil simulasi FTP dan STP(0) dievaluasi dengan Relative Deviation (RD). Evaluasi hasil juga dilakukan untuk simulasi STP(v) terhadap FTP. Rata-rata RD STP(0) terhadap FTP untuk organ ginjal sebesar 1.51±0.93%. Sedangkan rata-rata RD STP(v) terhadap FTP untuk organ ginjal sebesar 1.13±1.06%. Kedua evaluasi hasil menunjukkan nilai yang akurat. Kesimpulan pada penelitian ini menunjukkan starting value pada fitting STP memberikan pengaruh dan dapat divariasikan dengan threshold parameter Ka (1.67×10^(-3) s.d. 2.79×10^(-5)) h^(-1), parameter Ke (6.29×10^(-2) s.d. 1.05×10^(-3)) h^(-1), dan parameter A_1 (4.00×10^4 s.d. 1.48×10^3) h^(-1). Range data nilai parameter Ka dan Ke sama dan organ ginjal pasien tidak dapat menyerap dan meluruhkan radiofarmaka secara cepat terlihat pada threshold hanya mencapai V5 (×6).

Neuroendocrine tumor (NET) is a type of malignant tumor that can be treated using Peptide Receptor Radionuclide Therapy (PRRT). The Sum of Exponential (SOE) method is an exponential function that describes pharmacokinetics with physical and biological decay rates. Data fitting of the SOE method and the Nonlinear Mixed Effect (NLME) model requires computational settings such as a good starting value. This study aims to determine the accuracy of the resulting activity curve on the effect of selecting the starting value in the full time point (FTP) and single time point (STP) cases using the SOE method and the NLME model. This study has limited data on renal biokinetics in patients diagnosed with NETs and meningioma using PRRT treatment. The pre-therapy measurement process in 8 patients used the 111In-DOTATATE radiopharmaceutical to determine the biokinetics of patients with an activity of around 140 ± 14 MBq (total peptide amount of 75 ± 10 nmol) which was injected intravenously. Two stages were carried out in this study fitting the FTP and STP dosimetry. The FTP fitting uses kidney biokinetic data at 5 different time points, while the STP fitting uses only at time point 4 (T4). The estimated parameter obtained from the SOE function f(t)=A_1 (Ka Ke)/(Ke-Ka) [e^(-(Ka)t)-e^(-(Ke)t) ] consists of absorption rate (Ka), clearance rate (Ke), and analytical AUC (A_1). Variation of the starting value is carried out for all parameters at STP with a variation of the starting value (STP(v)). The fixed effect value on FTP is a transformation log. The starting value is the exponential result of the fixed effect value. The variation of the starting value is given with a multiplier and divisor from 1 to 10 at the initial starting value. Total fittings were performed 54873 times with FTP 1 time, STP initial starting value (STP(0)) 8 times, and STP(v) 54864 times. Area Under the Curves (AUCs) obtained from FTP and STP(0) simulation results were evaluated with Relative Deviation (RD). Results evaluation was also carried out for STP(v) simulation against FTP. The mean RD STP(0) to FTP for kidney organs was 1.51±0.93%. Meanwhile, the mean RD STP(v) to FTP for kidney organs was 1.13 ± 1.06%. Both outcome evaluations showed accurate values. The conclusion of this study shows that the starting value of the STP fitting has an influence and can be varied with the threshold parameter Ka (1.67×10^(-3) to 2.79×10^(-5)) h^(-1), parameter Ke (6.29×10^(-2) to 1.05×10^(-3)) h^(-1), and parameter A_1 (4.00×10^4 to 1.48×10^3) h^(-1). The data range of Ka and Ke parameter values is the same and the patient's kidney cannot absorb and clearance radiopharmaceuticals quickly, it can be seen that the threshold only reaches V5 (×6)."
Depok: Fakultas Matematika Dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Indonesia, 2022
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Akhmad Jarullah
"Neuroendocrine tumors (NETs) merupakan tumor yang berasal dari sel-sel neuroendokrin dan dapat diobati menggunakan Peptide-Receptor Radionuclide Therapy (PRRT). PRRT memiliki tujuan untuk memastikan aktivitas radiofarmaka yang tinggi pada sel tumor dan rendah pada organ at risk. Model Physiologically Based Pharmacokinetics (PBPK) sangat baik untuk analisis, simulasi, dan prediksi biodistribusi dari radiofarmaka yang diberikan. Penelitian ini menggunakan metode fitting Nonlinear Mixed Effect (NLME) pada parameter PBPK dari pasien PRRT. Pilihan starting value yang tepat membantu mengurangi risiko menemukan local minimum berdasarkan estimasi Objective Function (OF) sehingga diperoleh fitting yang baik. Penelitian ini bertujuan menganalisis pengaruh starting value terhadap tingkat akurasi Single Timepoint Dosimetry pada late timepoint menggunakan model PBPK dan metode NLME. Penelitian ini terbatas pada pasien terdiagnosis NETs dan meningioma menggunakan pengobatan PRRT. Proses pengukuran pre-terapi pada 8 pasien menggunakan radiofarmaka 111In- DOTATATE untuk mengetahui biokinetik pasien dengan aktivitas sekitar 140 ± 14 MBq (jumlah total peptida 75 ± 10 nmol) yang diinjeksi secara intravena. Parameter yang diestimasi terdiri dari densitas reseptor organ (Ri), release rate normal tissue (λNT,release), perfusi tumor (fTU), dan linear binding rate dari protein serum (KonAlb). Dua teknik dilakukan dalam penelitian ini yaitu, Full Timepoint Dosimetry (FTD) dan Single Timepoint Dosimetry (STD). FTD dilakukan menggunakan 5 timepoint yang berbeda, sedangkan untuk STD dilakukan pada 2 timepoint terakhir yaitu, timepoint 4 (T4) dan timepoint 5 (T5). Perubahan starting value hanya diberikan untuk parameter reseptor densitas ginjal (RK) dan perfusi tumor (ftu) pada STD yang divariasikan (STD(V,T)). Variasi starting value yang diberikan adalah 100 (V1), 10 (V2), 5 (V3), 2 (V4), 1/2 (V5), 1/5 (V6), 1/10 (V7), dan 1/100 (V8) kali dari nilai awal. Total fitting dilakukan sebanyak 145 kali dengan FTD berjumlah 1 kali, STD awal 16 kali. Time-Integrated Activity Coefficients (TIACs) yang diperoleh dari hasil simulasi FTD dan STD(0,T) akan ditinjau dengan Relative Deviation (RD). RD juga dilakukan untuk simulasi STD(V,T) terhadap STD(0,T). RD dikatakan baik apabila hasil yang diperoleh <10%. Rata-rata RD STD(0,T4) terhadap FTD memiliki nilai untuk organ ginjal (5±7)%, organ limfa (7±9)%, organ hati (-4±6)%, tumor (8±8)%, dan seluruh tubuh (11±13)%. Rata-rata RD STD(0,T5) terhadap FTD memiliki nilai untuk organ ginjal (-2±7)%, organ limfa (6±11)%, organ hati (-9±8)%, tumor (7±22)%, dan seluruh tubuh (3±8)%. Variasi V2, V3, V4, V5, dan V6 pada STD untuk T4 dan T5 memiliki RD <10%. Rentang variasi starting value untuk parameter densitas reseptor ginjal (RK) 5.57 x 105 nmol.L-1 - 2.79 x 107 nmol.L-1 dan untuk paramter perfusi tumor (ftu) adalah 8.67 x 10-3 mL.min-1.g-1 - 4.53 x 10-1 mL.min-1.g-1. Hasil dari penelitian ini menunjukkan bahwa STD yang divariasikan memiliki threshold 10 sd. 1/5 kali nilai awal.

Neuroendocrine tumors (NETs) are tumors derived from neuroendocrine cells and can be treated using Peptide-Receptor Radionuclide Therapy (PRRT). PRRT aims to ensure high radiopharmaceutical activity in tumor cells and low in organ at risk. The Physiologically Based Pharmacokinetics (PBPK) model is excellent for analysis, simulation, and prediction of the biodistribution of a given radiopharmaceutical. This study uses the Nonlinear Mixed Effect (NLME) fitting method on the PBPK parameters of the patient's PRRT. Choosing the right starting value helps reduce the risk of finding the minimum locale based on the estimated Objective Function (OF) so that a good fit is obtained. This study aims to analyze the effect of starting values on the accuracy of Single Timepoint Dosimetry at late time points using the PBPK model and the NLME method. This study was limited to patients diagnosed with NETs and meningiomas using PRRT treatment. The process of pre-therapy measurement in 8 patients using radiopharmaceutical 111In- DOTATATE to determine the biokinetics of patients with an activity of about 140 ± 14 MBq (total amount of peptide 75 ± 10 nmol) which was injected intravenously. The estimated parameters consisted of organ receptor density (Ri), normal tissue release rate (λNT,release), tumor perfusion (ftu), and linear binding rate of serum protein (KonAlb). Two techniques were used in this study, namely, Full Timepoint Dosimetry (FTD) and Single Timepoint Dosimetry (STD). FTD is performed using 5 different timepoints, while for STD it is carried out at the last 2 timepoints, namely, timepoint 4 (T4) and timepoint 5 (T5). Changes in the starting values were only given for the parameters of kidney density receptor (RK) and tumor perfusion (ftu) in the STD varied (STD(V,T)). The initial value variations given are 100 (V1), 10 (V2), 5 (V3), 2 (V4), 1/2 (V5), 1/5 (V6), 1/10 (V7), and 1/ 100 (V8) times the starting value. A total of 145 fittings were performed with FTD opened once, initial STD 16 times (STD(0,T)), and STD varied (STD(V,T)) 128 times. Time- Integrated Activity Coefficients (TIACs) obtained from FTD and STD(0,T) simulation results will be reviewed with Relative Deviation (RD). RD was also performed to simulate STD(V,T) against STD(0,T). RD is said to be good if the results obtained are <10%. The mean RD STD(0,T4) against FTD had values for kidney (5±7)%, lymph (7±9)%, liver (-4±6)%, tumor (8±8)% , and whole body (11±13)%. The mean RD STD(0,T5) against FTD had values for kidney (-2±7)%, lymph (6±11)%, liver (-9±8)%, tumors (7±22) %, and whole body (3±8)%. Variations V2, V3, V4, V5, and V6 on STD for T4 and T5 had RD <10%. The range of variation of the starting value for the kidney receptor density (RK) parameter is 5.57 x 105 nmol.L-1 - 2.79 x 107 nmol.L-1 and for the tumor perfusion parameter (ftu) is 8.67 x 10-3 mL.min-1. g-1 - 4.53 x 10-1 mL.min-1.g-1. The results of this study indicate that the STD which is varied has a threshold of 10 sd. 1/5 times the initial value."
Depok: Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Indonesia, 2022
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Harahap, Fadhlina Muharmi
"ABSTRAK
Latar belakang: Tumor sel germinal ovarium maligna (TSGOM) yang gagal sembuh dengan penatalaksanaan konvensional memiliki prognosis buruk. Beberapa kejadian rekuren setelah kemoterapi juga ditemukan. Programmed Death Ligand-1 (PD-L1) terekspresi pada berbagai keganasan dan tumor infiltrating lymphocytes (TILs) serta telah diketahui perannya sebagai faktor prognostik. Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui peran ekspresi PD-L1 pada TSGOM dalam menentukan overall survival (OS) dan progression free survival (PFS).
Bahan dan cara: Penelitian ini merupakan penelitian kohort retrospektif dengan desain analisis kesintasan. Data klinis diambil dari rekam medis RSUPN Cipto Mangunkusumo sejak Januari 2010-Desember 2016 yang diobservasi selama 2 tahun. Data histopatologik diambil dari Departemen Patologi Anatomi RSUPN Cipto Mangunkusumo yang kemudian dilakukan pulasan imunohistokimia PD-L1.
Hasil: Tidak terdapat hubungan yang bermakna antara ekspresi PD-L1 pada sel tumor dan TILs dengan 2-year OS (p=0,275) dan PFS (p=0,421) pada TSGOM. Terdapat hubungan yang bermakna antara jenis histopatologik dengan 2-year OS (p=0,002) serta stadium pada 2-year OS (p=0,028) dan PFS (p=0,014).
Kesimpulan: OS dan PFS tidak berhubungan dengan ekspresi PD-L1 pada sel tumor dan TILs pada TSGOM.

ABSTRACT
Background: The prognosis of malignant ovarian germ cell tumors (MOGCT) patients who failed to be cured with conventional therapy is poor. Several recurrent events after chemotherapy were also found. PD-L1 is expressed in various types of malignancy and tumor infiltrating lymphocytes (TILs) and its role is known as a prognostic factor. This study was conducted to determine the role of PD-L1 expression in MOGCT in determining overall survival (OS) and progression free survival (PFS).
Materials and Methods: This is a retrospective cohort study with survival analysis. Clinical data were obtained from medical record in RSUPN Cipto Mangunkusumo since January 2010-December 2016 and observed for 2 years. Histopathological data were obtained from Anatomical Pathology Department and PD-L1 immunohistochemistry staining were performed.
Results: No significant correlation between PD-L1 expression in tumor cells and TILs with 2-year OS (p=0,275) and PFS (p=0,421) in MOGCT. A significant correlation between histopathologic type and 2-year OS (p=0,002) was found. We also found significant correlations between stage and survival outcomes 2-year OS (p=0,028) and PFS (p=0,014).
Conclusion: OS and PFS were not significantly correlated with PD-L1 expression in tumor cells and TILs in MOGCT.
"
Depok: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2019
SP-Pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Kini, Sudha R
Philadelphia: Pennsylvania Lippincott Williams Wilkins, 2013
616.994 07 KIN c
Buku Teks SO  Universitas Indonesia Library
cover
Freciyana
"ABSTRAK
Latar belakang: Seminoma testis yang gagal sembuh dengan penatalaksanaan konvensional memiliki prognosis buruk. Beberapa kejadian rekuren setelah dilakukan kemoterapi juga ditemukan. Programmed Death Ligand-1 (PD-L1) terekspresi pada berbagai keganasan dan tumor infiltrating lymphocytes(TILs) serta telah diketahui perannya sebagai faktor prognostik. Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui peran ekspresi PD-L1 pada seminoma testisdalam menentukanoverall survival(OS) danprogression free survival(PFS).
Bahan dan cara: Penelitian ini merupakan penelitiankohort retrospektif dengan desain analisis kesintasan. Data klinis diambil dari rekam medis RSUPN Cipto Mangunkusumo sejak Januari 2011-Desember 2016 yang diobservasi selama 2 tahun. Data histopatologik diambil dari Departemen Patologi Anatomik RSUPN Cipto Mangunkusumoyang kemudian dilakukan pulasan imunohistokimia PD-L1.
Hasil: Terdapat hubungan yang bermakna antara ekspresi PD-L1 pada sel tumor dengan 2-yearOS (p=0,023) dan PFS (p=0,002) padaseminoma testis.Tidak terdapat hubungan yang bermakna antara ekspresi PD-L1 pada TILs dengan 2-year OS (p=0,235) dan PFS (p=0,111). Terdapat hubungan bermakna antara ekspresi PD-L1 pada sel tumor dan ekspresi PD-L1 pada TILs dengan PFS (p=0,019). Terdapat hubungan yang bermakna antara stadiumdengan 2-yearOS (p=0,010)dan PFS (p=0,000)serta metastasis kelenjar getah beningpada 2-yearOS (p=0,010)dan PFS (p=0,000).
Kesimpulan: Ekspresi PD-L1 pada sel tumor seminoma testis berhubungan dengan OS dan PFS, tetapi hubungan tersebut tidak ditemukan pada TILs.

ABSTRACT
Background: The prognosis of testicular seminoma who failed to be cured with conventional therapy is poor. Several recurrent events after chemotherapy were also found. PD-L1 is expressed in various types of malignancy and tumor infiltrating lymphocytes (TILs) and its role is known as a prognostic factor. This study was conducted to determine the role of PD-L1 expressionseminomain determining overall survival (OS) and progression free survival(PFS).
Materials and Methods: Thisis aretrospective cohort study with survival analysis. Clinical datawere obtained from medical record in RSUPN Cipto Mangunkusumo since January 2011-December 2016 and observed for 2 years. Histopathological datawere obtained from Anatomical Pathology Department and PD-L1 immunohistochemistry staining were performed.
Results: Asignificant correlation between PD-L1 expression in tumor cells with 2-year OS (p=0,023) and PFS(p=0,002) intesticular seminoma was found. Nosignificant correlation between PD-L1 expression in TILs with 2-year OS (p=0,235)and PFS (p=0,111).We also found significant correlations between PD-L1 expression in tumor cells and TILs with PFS (p=0,019). A significant correlation between stage with 2-year OS (p=0,010)and PFS (p=0,000) and lymph node metastases with 2-year OS (p=0,010) and PFS (p=0,000)
Conclusion: PD-L1 expression in tumor cells testicular seminoma were significantly correlated with OS and PFS. There were no statistically significant associations between PD-L1 expression in TILs with OS and PFS."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2019
T58911
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Deny Irwan
"Sejak operasi kraniofaringioma pertama kali dilakukan oleh A.E.Halstead tahun 1908, selalu terjadi perdebatan di antara para ahli khususnya mengenai patologi dan terapi kraniofaringioma. Karena sifat tumor yang tumbuh secara lambat, maka dimungkinkan pengangkatan tumor secara total makroskopis. Posisi anatomisnya yang berdekatan dengan struktur penting, khususnya hipotalamus serta sifatnya yang menimbulkan perlekatan erat pada struktur tersebut, maka perlu hal tersebut menjadi pertimbangan sebelum melakukan tindakan pembedahan. Misalnya apakah akan dilakukan pengangkatan tumor secara total dengan kemungkinan terjadinya defisit neurologis pasca operasi atau dengan pengangkatan sebagian tumor dan dilanjutkan dengan terapi radiasi. Hasii akhir yang balk di antara semua metode yang pemah dicoba tetap saja masih menjadi perdebatan, meskipun beberapa penulis telah membuktikan bahwa pengangkatan tumor secara total mempunyai hasil akhir yang lebih balk dan angka rekurensi yang lebih rendah. Dengan berkembangnya teknik bedah mikro di bidang bedah saraf, maka dimungkinkan pengangkatan tumor kraniofaringioma secara total.
Setiap kraniofaringioma mempunyai kekhususan tersendiri terutama mengenai letak tumor terhadap struktur di sekitarnya serta konsistensi massa tumornya, sehingga teknik pendekatan dan jalur anatomis untuk tindakan operasinya juga memerlukan strategi yang berbeda-beda untuk setiap kraniofaringioma. Untuk itu diperlukan pengetahuan topografi dan anatomi bedah mikro yang balk. Operator harus mengenal dan dapat memperkirakan secara akurat posisi tumor terhadap hipotalamus, jaras optik, sistem ventrikel serta arteri karotis bahkan arteri basilaris beserta cabangcabangnya. Tanpa pengetahuan dasar anatomi mikro yang memadai, tidak mungkin seorang ahli bedah saraf dapat menjadi operator yang handal khususnya pada operasi kraniofaringioma, yang merupakan salah satu golongan tumor yang sulit memberikan hasil yang baik.
Yasargil' pads sebuah tulisannya menyebutkan bahwa dalam periode 22 tahun telah melakukan 144 operasi kraniofaringioma, dapat mengangkat seluruh tumor balk melalui sekali atau beberapa kali operasi. Setelah dilakukan evaluasi akhir disimpulkan bahwa tata laksana dengan pengangkatan tumor secara total mempunyai hasil akhir yang lebih baik.
Sedangkan Tomita melakukan pengangkatan total pada 27 kasus kraniofaringiorna pada anak. empat kasus diantaranya tidak dapat dilakukan pengangkatan secara total karena terdapat perlekatan yang hebat pada hipotalamus, letak khiasma yang pre fixed disertai bentuk tumor yang bilobus, letak khiasma terlalu post fixed dan terjadi episodic bradikardi setiap kali dicoba membebaskan perlekatan tumor dari hipotalamus.
Tim E Adamson I meneliti 104 spesimen dari 93 penderita kraniofaringioma dan menyebutkan bahwa tipe adamantinous yang 91-95 % massa tumor terdiri dari komponen kistik, mempunyai defisit neurologis visual pasca operasi yang lebih rendah dibanding dengan tipe skuamous papilari Hanya hal tersebut tidak diteliti lebih lanjut apakah hasil yang lebih baik tersebut dikarenakan sifat tumornya yang mempunyai komponen terbanyak berbentuk kistik yang lebih mudah diangkat pada waktu operasi.
Penelitian ini mencoba melihat gambaran klinis pasien dengan kraniofaringioma sebelum dan sesudah operasi dalam kaitannya dengan ukuran tumor. Parameter keberhasilan pengangkatan tumor tersebut dibagi dalam pengangkatan sub total dan total. Dilakukan beberapa tabulasi silang untuk mengetahui sejauh mana faktor-faktor tersebut, antara Iain konsistensi tumor ( kistik dan solid ), massa kalsifikasi, teknik pendekatan operasi, dan sebagainya, mempengaruhi kesulitan pengangkatan tumor selama operasi. Walaupun tentunya disadari bahwa masih banyak faktor di luar hal tersebut yang mempunyai pengaruh besar terhadap keberhasilan operasi, misalnya penguasaan pengetahuan dan teknik operasi, dukungan neuro anestesi dan perawatan paska operasi yang tidak dapat dideskripsikan dalam penelitian. Sampai saat ini belum ada yg menulis aspek Minis kraniofaringioma dengan tinjauan khusus pada penurunan visus di Bagian Bedah Saraf RSUPN Ciptomangunkusumo."
Depok: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2006
T58493
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Jakarta: Bagian Patologi Anatomik Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 1986
571.978 TUM
Buku Teks SO  Universitas Indonesia Library
cover
Rossalyn Sandra Andrisa
"Latar belakang : Tumor ganas adneksa mata merupakan keganasan epitel yang berasal dari kelopak mata, konjungtiva dan kelenjar kelenjar yang berada pada jaringan tersebut. Tumor ini sebenarnya mempunyai prognosis baik bila diobati pada stadium dini.
Metode : Dilakukan studi historical cohort dengan survival analysis. Subyek adalah penderita tumor ganas adneksa mata yang berobat ke poliklinik subbagian Tumor Mata FKUI/RSUPN Dr. Cipto Mangunkusumo pada periode 1 Januari 1996 sampai 31 Desember 2000 mendapat tindakan operasi. Analisis data menggunakan cara cox proportional hazard dan analisis life table menurut metode Kaplan-Meier.
Hasil : Dari 74 penderita tumor ganas adneksa mata didapat angka harapan hidup 74.24%. Penderita terbanyak adalah karsinoma sel skuamosa (51.4%), karsinoma set basal (28.4%), adenokarsinoma (14.8%) dan melanoma maligna (5.4%). Metastasis memberikan resiko tertinggi terhadap kematian HR 51.69(9.72-274.76), kelompok tumor karsinoma sel skuarnosa - adenokarsinoma HR 4.91 (0.62-38.81), penderita mendapat tambahan radiasi HR 10.72(1.25-92.18), dan jenis operasi eksenterasi HR 7.63(1.59-36.48)
Kesimpulan : Faktor resiko yang berhubungan dengan kematian adalah metastasis, kelompok tumor karsinoma sel skuamosa dan adenokarsinoma, dilakukan tindakan radiasi dan tindakan eksenterasi orbita.

Background : Malignant eye adnexa tumor originates from epithelium of eye lid, conjunctiva, and nodes of those tissues. The prognosis of this tumor is good if it is treated during the initial stadium.
Method : A historical cohort study was carried out with survival analysis. The subject of the study were patients with malignant eye adnexa tumor who went to Sub-division of Eye Tumor FKUI/RSUPN Dr. Cipto Mangunkusumo from the period of January I, 1996 to December 31, 2000 and received surgical treatment. Data analysis used was cox proportional hazard and life table analysis with Kaplan Meier method.
Result : From 74 patients with malignant eye adnexa tumor we obtained a survival rate of 74.24%. Most of them suffer from squamous cell carcinoma (51.4%), basal cell carcinoma (28.4%), adenocarcinoma (14.8%) and melanoma maligna (5.4%). Metastasis contributes to a high risk of death HR 51.69 (9.72-274.76), squamous cell carcinoma - adenocarcinoma group type HR 4.91 (0.62-38.81), patients receiving additional radiation treatment HR 10.72 (1.25-92.18), and exenteration HR 7.63 (1.59-36.48).
Conclusion : The risk factor which causes death is metastasis, squamous cell carcinoma and adenocarcinoma group type, radiation treatment and exenteration of the orbit were done.
"
Depok: Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia, 2003
T619
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Annada Sofia
"Latar Belakang: Prevalensi kanker di Indonesia meningkat menjadi 1,8 per 1000 penduduk pada 2018. Diagnosis dini yang tepat dibutuhkan untuk mengurangi angka mortalitas. Salah satu cara diagnosis tumor berupa pemeriksaan penanda tumor, seperti vanillylmandelic acid (VMA). Penanda tumor tersebut termasuk metabolit katekolamin yang akan meningkat produksinya pada beberapa tumor neuroendokrin. Kadar katekolamin sendiri dapat dipengaruhi oleh usia dan jenis kelamin. Belum ada data proporsi VMA positif dalam urin pada pasien dugaan tumor neuroendokrin di Jakarta serta hubungan VMA dalam urin dengan usia dan jenis kelamin. Tujuan: Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui proporsi VMA positif dalam urin pasien dugaan tumor neuroendokrin di Jakarta serta hubungannya dengan usia dan jenis kelamin. Metode: Penelitian ini menggunakan desain penelitian cross-sectional. Data sekunder dikumpulkan berupa lembar hasil serta formulir pemeriksaan VMA pasien dugaan tumor neuroendokrin pada periode 2010 hingga April 2019. Data didapatkan dari Departemen Biokimia dan Biologi Molekuler, FKUI. Pengambilan data sekunder dilakukan pada Oktober 2019 dengan total subjek penelitian 295. Pemeriksaan kualitatif VMA dalam urin dilakukan dengan metode spot test. Hasil pemeriksaan positif menunjukkan kadar VMA dalam urin > 8 mg/24 jam, sedangkan hasil negatif menunjukkan kadar VMA dalam urin  8 mg/24 jam. Kriteria inklusi berupa data subjek dengan diagnosis sementara neuroblastoma, pheochromocytoma, dan paraganglioma. Hasil: Proporsi VMA positif dalam urin pasien dugaan tumor neuroendokrin dalam penelitian ini adalah 14,2% (IK95%, 10,2 – 18,2%). Analisis hubungan VMA dalam urin dengan usia memberikan hasil p 0,023. Analisis hubungan VMA dalam urin dengan jenis kelamin menunjukkan hasil p 0,885. Kesimpulan: Terdapat hubungan antara VMA dalam urin dengan usia dan tidak terdapat hubungan antara VMA dalam urin dengan jenis kelamin.

Kata kunci: Vanillylmandelic Acid, Tumor Neuroendokrin, Neuroblastoma, Pheochromocytoma, Paraganglioma.


Background: Cancer prevalence in Indonesia increased to 1.8 per 1000 population in 2018. Early diagnosis is needed to reduce mortality rate. One of the ways to diagnose tumors is by examining tumor markers, such as vanillylmandelic acid (VMA). VMA is catecholamine metabolites which will increase their production in several neuroendocrine tumors. Catecholamine level can be influenced by age and gender. There is no data about proportion of positive VMA in urine of patients with suspected neuroendocrine tumors in Jakarta and the association of VMA in urine with age and gender. Objective: The objective of this study was to determine the proportion of positive VMA in urine of patients with suspected neuroendocrine tumors and its association with age and gender. Methods: This study used a cross-sectional study design. Secondary data were collected in the form of VMA examination forms and result sheets from patients with suspected neuroendocrine tumors in the period 2010 to April 2019. Data were obtained from the Department of Biochemimstry and Molecular Biology, FKUI. Collection of secondary data conducted in October 2019 with a total of 295 study subjects. Qualitative examination of urinary VMA used spot test method. Positive examination result  showed levels of VMA in urine >8mg/24 hours, while negative result showed levels of VMA in urine  8mg/24 hours. Inclusion criteria were subject data with a provisional diagnosis of neuroblastoma, pheochromocytoma, and paraganglioma. Results: The proportion of positive VMA in urine of suspected neuroendocrine tumor patients in this study was 14,2% (CI95%, 10,2 – 18,2%). Analysis of the association between VMA in urine and age result was p value 0,023. P value form analysis of the association between VMA in urine and gender was 0,885. Conclusion: There is an association between VMA in urine with age and there is no association between VMA in urine with gender.

Keywords: Vanillylmandelic Acid, Neuroendocrine Tumors, Neuroblastoma, Pheochromocytoma, Paraganglioma.

"
Depok: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2019
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>