Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 182656 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Yesi Octavia
"Tujuan: Menganalisis hubungan antara ukuran saluran pernapasan faring pada maloklusi kelas I dan II dengan pola pertumbuhan skeletal vertikal. Metode : Penelitian potong lintang ini melibatkan 126 sampel dengan usia 20-40 tahun yang dipilih secara konsekutif dan dibagi menjadi 2 grup berdasarkan sudut ANB yaitu : maloklusi kelas I dan II, kemudian dikelompokkan lagi menjadi 6 kelompok uji berdasarkan pola pertumbuhan skeletal vertikal (hipo-, normo-, dan hiperdivergen). Saluran pernapasan faring atas dan bawah diukur menggunakan analisis McNamara, sementara panjang saluran pernapasan faring diukur dari titik PNS-Eb. Uji hubungan ukuran saluran pernapasan faring dengan pola pertumbuhan skeletal vertikal dilakukan menggunakan uji Pearson’s Chi-Square dan dilanjutkan dengan uji korelasi Gamma untuk melihat arah hubungannya. Hasil: Analisa statistik menunjukkan tidak ada hubungan antara lebar saluran pernapasan faring atas dan bawah pada maloklusi kelas I dan II dengan pola pertumbuhan skeletal vertikal. Panjang saluran pernapasan faring pada maloklusi kelas II juga menunjukkan tidak ada hubungan dengan pola pertumbuhan skeletal vertikal, berbeda dengan maloklusi kelas I yang menunjukkan adanya hubungan antara panjang saluran pernapasan faring dengan pola pertumbuhan skeletal vertikal. Kesimpulan: Meskipun hasil analisa statistik menunjukkan tidak ada hubungan, akan tetapi lebar saluran pernapasan faring atas pada maloklusi kelas II menunjukkan pola yang unik yaitu saluran pernapasan faring atas menyempit pada pola pertumbuhan skeletal vertikal yang semakin divergen. Temuan unik lainnya dari penelitian ini adalah panjang saluran pernapasan faring berkorelasi positif dengan pola pertumbuhan skeletal vertikal pada maloklusi kelas I, yaitu semakin panjang saluran pernapasan faring dengan meningkatnya pola pertumbuhan skeletal vertikal.

Objective: To analyse the correlation between the pharyngeal airway morphology in class I and II malocclusions with vertical skeletal growth patterns. Methods: This cross-sectional study was involved 126 samples aged 20-40 years who were selected by consecutive sampling and divided into 2 groups; class I and class II malocclusions according to ANB angle. This group will be further be divided into 6 test groups based on the vertical skeletal growth patterns (hypodivergent, norm divergent, and hyperdivergent). Upper and lower pharyngeal airway width were measured using McNamara analysis, while pharyngeal airway length was measured from the PNS-Eb point. Pearson's Chi-Square test was used to test the correlation between pharyngeal airway morphology and vertical skeletal growth patterns and proceed with the Gamma correlation test to see the direction of the correlation. Results: Statistical analysis showed that there was no correlation between the upper and lower pharyngeal airway width in Class I and II malocclusions with vertical skeletal growth pattern. The length of the pharyngeal airway in class II malocclusion also showed no correlation with the vertical skeletal growth pattern, in contrast to the class I malocclusion which showed a statistical correlation between the pharyngeal airway length and the vertical skeletal growth pattern. Conclusion: Although the results of statistical analysis showed no statistical correlation, the upper pharyngeal airway width in class II malocclusion showed a unique trend, that the upper pharyngeal airway width narrowed with an increasingly vertical skeletal growth pattern. Another trend finding from this study is that the length of the pharyngeal airway is positively correlated with the vertical skeletal growth pattern in class I malocclusion i.e., the longer the pharyngeal airway, the greater were the vertical skeletal growth pattern.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Indonesia, 2023
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Ratna Sugiartati Arif
"Latar Belakang: Variasi pada posisi nasion dapat mengubah nilai SNA yang berpengaruh secara signifikan pada interpretasi hubungan rahang sebagai contoh, semakin ke anterior atau superior posisi nasion maka semakin kecil nilai SNA yang pada akhirnya akan mempengaruhi nilai ANB dan perubahan nilai estimasi pada pola skeletal rahang. Titik S dan N yang mewakili bidang basis kranium anterior yang berperan dalam menentukan pola skeletal rahang. Garis S-N yang tidak sesuai dapat mempengaruhi hasil pada analisa sefalometri lateral dengan keadaan S-N yang sangat miring terhadap FHP akan menghasilkan ketidaksesuaian hasil analisa sefalometri lateral dengan keadaan morfologi yang sebenarnya sehingga diperlukan alternatif lain dalam menegakkan diagnosis, antara lain dengan menganalisis basis kranium posterior (S-Ba).
Tujuan: Menganalisis hubungan antara inklinasi basis kranium posterior dengan berbagai pola skeletal rahang.
Metode: Subjek penelitian menggunakan sefalogram lateral pada pasien laki-laki dan perempuan berusia 20-45 tahun yang belum melakukan perawatan ortodonti. Sefalogram lateral dalam kondisi baik dan terlihat jelas serta memiliki kemiringan bidang S-N terhadap bidang Frankfort 5°-7° dengan mengelompokkan masing-masing sefalogram berdasarkan pola skeletal rahang kelas I, kelas II dan kelas III.
Hasil: Uji korelasi Spearman menunjukkan terdapat hubungan antara basis kranium posterior terhadap pola skeletal rahang kelas II dan kelas III (p<0,05).
Kesimpulan: Rata-rata inklinasi basis kranium posterior pada kelompok pola skeletal II lebih besar (mandibula retrognati) dibandingkan pola skeletal kelas III (mandibula prognati). Terdapat perbedaan bermakna antara inklinasi basis kranium posterior pada pola skeletal kelas I dan kelas III, kelas II dan kelas III. Selain itu terdapat hubungan inklinasi basis kranium posterior pada pola skeletal kelas II dan kelas III yaitu moderate signifikan pada populasi di Jakarta.

Introduction: Variations in the position of nasion could significantly affect the SNA value, which in turn influences the interpretation of jaw relationships. For example, as nasion position moves more anterior or superior, the SNA value decreases, ultimately affecting the ANB value and altering the estimated jaw skeletal patterns. Points S and N represent the anterior cranial base, a crucial role in determining the skeletal jaw patterns. Improper S-N line can affect lateral cephalometric analysis results, as a highly tilted S-N line relative to the Frankfort Horizontal Plane (FHP) can lead to discrepancies between the analysis results and true morphology. Therefore, alternative methods, such as analyzing the posterior cranial base (S-Ba), are needed to establish a diagnosis.
Objective: To determine relationship between posterior cranial base inclination and skeletal jaw patterns.
Materials and Methods: The study included male and female subjects aged 20-45 who had not undergone orthodontic treatment. Lateral cephalograms with clear visibility and a 5°-7° tilted of the S-N plane relative to the Frankfort plane were selected. The cephalograms were grouped based on the skeletal jaw patterns: Class I, Class II, and Class III.
Results: Spearman correlation tests showed a relationship between the posterior cranial base inclination in Class II and Class III skeletal jaw patterns (p<0.05).
Conclusions: The average inclination of the posterior cranial base was greater in the Class II skeletal jaw patterns group (retrognathic mandible) compared to the Class III skeletal jaw patterns group (prognathic mandible). Significant differences were observed in the inclination of the posterior cranial base between Class I and Class III then between Class II and Class III skeletal jaw patterns. Furthermore, there was a moderate significant relationship between posterior cranial base inclination in Class II and Class III skeletal jaw patterns within the Indonesian Subpopulation.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Indonesia, 2023
SP-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Dhany Nugraha Ramdhany
"Sistem urinari hewan dapat dibagi menjadi 2 bagian yaitu sistem urinari bagian atas dan sistem urinari bagian bawah. Ginjal yang merupakan bagian dari sistem urinari memiliki 2 fungsi penting, yaitu filtrasi dan reabsorpsi. Dalam mendiagnosis penyakit yang diderita hewan pada sistem urinarinya terdapat beberapa kendala. Pada penelitian ini, dikembangkan model untuk mendiagnosis gangguan sistem urinari pada anjing dan kucing dengan menggunakan algoritma VFI 5 berdasarkan gejala klinis (terdapat 37 feature) dan pemeriksaan laboratorium (39 feature). Percobaan dilakukan baik pada feature gejala klinis dan juga pada feature pemeriksaan laboratorium. Hasil pengamatan yang dilakukan menunjukkan bahwa akurasi rata-rata sebesar 77,38% untuk percobaan dengan feature gejala klinis, dan 86,31% untuk percobaan dengan feature pemeriksaan laboratorium. Peningkatan ini mengindikasikan bahwa dalam mendiagnosis penyakit dalam sistem urinari, pemeriksaan laboratorium masih sangat dibutuhkan dalam menentukan hasil diagnosis suatu penyakit."
[Fakultas Ilmu Komputer Universitas Indonesia, IPB. Departemen Ilmu Komputer], 2009
PDF
Artikel Jurnal  Universitas Indonesia Library
cover
Vania Prima Amelinda
"ABSTRAK
Abstrak Berbahasa Indonesia/Berbahasa Lain (Selain Bahasa Inggris):
Pendahuluan: Kalsifikasi sella turcica (sella turcica bridge) dan kalsifikasi tulang atlas (ponticulus posticus) dapat digunakan untuk memprediksi terjadinya impaksi kaninus di palatal dan hipodonsia. Hal ini dapat terjadi karena sella turcica, tulang skeletal kepala dan leher, serta sel epitel dental memiliki keterlibatan gen dan berasal dari sel embriologi yang sama.Tujuan dari penelitian ini adalah untuk melihat hubungan antara sella turcica bridge dengan ponticulus posticus serta hubungan kedua struktur anatomi tersebut dengan impaksi kaninus di palatal dan hipodonsia.
Metode: Penelitian dilakukan secara potong lintang, dengan subjek sejumlah 51 foto sefalometri lateral pasien dari ras Deutro Malayid. Usia subjek diatas 14 tahun yang dibagi menjadi tiga kelompok, yaitu 17 foto sefalometri pada kelompok impaksi kaninus, 17 foto sefalometri pada kelompok hipodonsia dibandingkan dengan 17 foto sefalometri pada kelompok kontrol. Setiap foto sefalometri lateral dilihat klasifikasi sella turcica bridge dan ponticulus posticus (tidak ada kalsifikasi, kalsifikasi parsial, dan kalsifikasi lengkap). Hubungan antara sella turcica bridge dan ponticulus posticus dengan kelompok impaksi dan hipodonsia, serta antara sella turcica bridge dengan ponticulus posticus dianalisis dengan menggunakan uji independent chi square dan uji korelasi Kendall.
Hasil: Terdapat hubungan yang signifikan antara sella turcica bridge dengan impaksi kaninus dan hipodonsia, serta antara ponticulus posticus dengan impaksi dan hipodonsia masing-masing, dengan kekuatan korelasi sedang, namun tidak terdapat hubungan yang signifikan antara sella turcica bridge dengan ponticulus posticus.
Kesimpulan: Sella turcica bridge dan ponticulus posticus banyak ditemukan pada pasien dengan impaksi kaninus di palatal dan hipodonsia, sehingga adanya sella turcica bridge dan ponticulus posticus yang sudah terbentuk sejak awal dapat menjadi penanda adanya kemungkinan impaksi dan hipodonsia.

ABSTRACT
Introduction: Calcification of sella turcica known as sella turcica bridge and calcification of atlas vertebra known as ponticulus posticus might predict the occurance of palatally impacted canine and hypodontia. This might occur due to sella turcica, neck and shoulder skeletal development and dental epithelial cells share a common gene and embryologic origin. The purpose of this study was to investigate the association of sella turcica bridge and ponticulus posticus with palatally impacted canine and hypodontia and the association between sella turcica bridge and ponticulus posticus.
Methods: This cross sectional study was performed using lateral cephalogram of 51 Deutro malayid patients, age above 14, and devided into 3 groups. First group consist of 17 cephalograms palatally impacted canine patient, second group consist of 17 cephalograms hypodontia patient, compared with 17 cephalograms control patient. The type of sella turcica bridge and ponticulus posticus (no calcification, partial calcification and complete calcification) were evaluated on every lateral cephalogram. The association between sella turcica bridge with palatally impacted canine and hypodontia, ponticulus posticus with palatally impacted canine and hypodontia and the association between sella turcica bridge with ponticulus posticus was analyzed using independent Chi-Square and Kendall correlation.
Results: The calcification of sella turcica bridge and ponticulus posticus in palatally impacted canine and hypodontia patient is increased when compared to control patient. There is a significant association between sella turcica bridge with palatally impacted canine and hypodontia, ponticulus posticus with palatally impacted canine and hypodontia but there is no significant association between sella turcica bridge with ponticulus posticus.
Conclusion: Calcification of sella turcica bridge and ponticulus posticus is frequently found in patients with palatally impacted canine and hypodontia. The very early appearance during development of sella turcica bridge and ponticulus posticus should alert clinicians to possible impacted canine and hypodontia in life later.
"
Depok: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2019
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Dyah Rumaisha Nurul Aini
"Latar belakang: Kanker payudara pada wanita menjadi penyebab kejadian kanker tertinggi di dunia dengan jumlah kasus sebanyak 2,3 juta kasus dengan 685 ribu kematian. Sedangkan kejadian kanker pada wanita di Indonesia yang tertinggi adalah kanker payudara dengan prevalensi 42,1 per 100.000 penduduk dengan rata-rata kematian 17 per 100.000 penduduk. Oleh sebab itu, sangat diperlukan upaya pencegahan secara dini dengan melakukan pemeriksaan payudara sendiri (SADARI). Tujuan: Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui hubungan efikasi diri dengan perilaku pemeriksaan payudara sendiri pada mahasiswi. Metode: Metode kuantitatif dan desain cross-sectional. Sampel 257 mahasiswi S1 reguler di Universitas Indonesia. Hasil: Pada analisis univariat menunjukkan bahwa mayoritas mahasiswi melakukan SADARI, namun tidak melakukan secara rutin setiap bulan. Ada hubungan antara pengalaman keberhasilan, pengalaman orang lain, dukungan orang sekitar, keadaan fisiologis dan suasana hati, serta efikasi diri dengan perilaku SADARI. Variabel pengalaman keberhasilan tinggi 1,69x akan cenderung melakukan perilaku SADARI. Variabel pengalaman orang lain tinggi, 1,94x akan cenderung melakukan perilaku SADARI. Variabel dukungan orang sekitar tinggi 3,34x akan cenderung melakukan perilaku. Variabel keadaan fisiologis dan suasana hati memperlihatkan bahwa responden yang memiliki tingkat keadaan fisiologis dan suasana hati tinggi 3,32x akan cenderung melakukan perilaku SADARI. Variabel efikasi diri yang tinggi 7,65x akan cenderung melakukan perilaku SADARI

Background: Breast cancer in women is the cause of the highest incidence of cancer in the world, with a total of 2.3 million cases and 685 thousand deaths. Meanwhile, breast cancer is the most common cancer in women in Indonesia, with a prevalence of 42.1 per 100,000 people and a death rate of 17 per 100,000 people. Therefore, early prevention efforts are needed through breast self-examination (BSE). Purpose: This study aims to determine the relationship between self-efficacy and breast self-examination behavior in female students. Methods: Quantitative method and cross-sectional design. A sample of 257 regular undergraduate students at the University of Indonesia. Results: According to the univariate analysis, the majority of female students took BSE but did not do so on a monthly basis. There is a relationship between the experience of success, the experiences of other people, the support of those around them, physiological states and moods, and self-efficacy with BSE behavior. The high success experience variable (1.69 times) is more likely to exhibit BSE behavior. Other people's variable experience is high; (1.94 times) more people will tend to do BSE behavior. The variable support of those around you is high, and they will tend to do the behavior (3.34 times). According to the physiological state and mood variables, respondents who have a high level of physiological state and mood (3.32 times) are more likely to engage in BSE behavior. A high self-efficacy variable (7.65 times) will tend to exhibit BSE behavior."
Depok: Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia, 2023
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Arini Purwono
"Latar Belakang: Efusi pleura ganas menunjukkan prognosis yang buruk sehingga sitologi cairan pleura berperan penting dalam mempersingkat waktu diagnosis. Teknik barbotage diketahui bermanfaat dalam meningkatkan nilai diagnostik sitologi pada karsinoma urotelial, namun belum diketahui perannya pada keganasan rongga toraks. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui perbandingan deteksi sel ganas dan hitung jumlah sel tumor antara pungsi pleura konvensional dan dengan teknik barbotage pada keganasan rongga toraks.
Metode: Penelitian ini merupakan uji kesesuaian dengan desain potong lintang yang dilakukan di IGD, poli intervensi paru dan ruang rawat inap RSUP Persahabatan pada bulan November 2022 – Juni 2023. Subjek penelitian adalah pasien keganasan rongga toraks dengan EPG yang dipilih sesuai kriteria inklusi dan eksklusi. Sitologi cairan pleura diperiksa menggunakan pewarnaan Papanicolaou dan Giemsa dari sampel pungsi pleura konvensional dan barbotage pada subjek yang sama. Data karakteristik klinis, radiologis, laboratorium dan histopatologis diambil dari rekam medis.
Hasil: Pada penelitian ini didapatkan sebanyak 34 dari 84 subjek EPG menunjukkan sitologi positif pada keseluruhan teknik (40,5%). Teknik konvensional dan barbotage menunjukkan hasil serupa yaitu 39,3%. Deteksi sel ganas dengan teknik konvensional dan barbotage menunjukkan kesesuaian sangat baik yang bermakna (ĸ=0,950; p<0,001). Deteksi sel ganas dengan pewarnaan Papanicolaou dan Giemsa juga menunjukkan kesesuaian sangat baik (ĸ=0,899 dan 0,924; p<0,01). Hitung jumlah sel tumor antara kedua teknik dengan masing-masing pewarnaan menunjukkan kesesuaian cukup (ĸ=0,556 dan 0,520; p<0,01). Analisis multivariat menunjukkan bahwa lokasi lesi primer di paru (OR 4,61; IK 95% 1,33 – 16,03) dan cairan pleura yang keruh (OR 3,41; IK 95% 1,19 – 9,83) memengaruhi hasil sitologi positif cairan pleura.
Kesimpulan: Studi ini merupakan studi pertama yang meneliti mengenai penggunaan teknik barbotage pada tindakan pungsi pleura. Pungsi pleura dengan teknik barbotage merupakan alternatif diagnostik yang secara umum aman dan setara dengan teknik konvensional.

Background: Malignant pleural effusion is a predictor of poor prognosis, therefore pleural fluid cytology is an important tool to shorten the time of diagnosis. Barbotage technique is known to increase diagnostic value in urothelial malignancy, but its role in thoracic malignancies is still unknown. This study aims to compare pleural fluid cytology positivity and tumour cell count between thoracentesis with conventional and barbotage technique in thoracic malignancies.
Methods: This study is a measurement of reliability using a cross-sectional design which was carried out in emergency department, pulmonary intervention clinic and ward of National Respiratory Center Persahabatan Hospital in November 2022 – June 2023. The subjects of this study were thoracic malignancy patients with MPE who met the inclusion and exclusion criterias. Pleural fluid cytology was examined using Papanicolaou and Giemsa stains from conventional and barbotage thoracentesis samples taken on the same subject. Clinical, radiological, laboratory and histopathology data were collected from medical records.
Results: Pleural fluid cytology using both techniques was diagnostic in 34 of 84 (40,5%) MPE patients and 39,3% in each conventional and barbotage technique. Thoracentesis with both techniques showed significantly almost perfect agreement in malignant cell detection (ĸ=0.950; p<0,001). Papanicolaou and Giemsa stains also showed significantly almost perfect agreement in malignant cell detection (ĸ=0.899 and 0.924; p<0.001). Tumour cell count between both techniques using each stain showed significantly moderate agreement (ĸ=0.556 and 0.520; p<0.01). Multivariate analysis showed that primary lesion in the lung (OR 4.61; 95% CI 1.33 – 16.03) and cloudy pleural fluid (OR 3.41; 95% CI 1.19 – 9.83) increased the odds of positive pleural cytology.
Conclusion: To the best of our knowledge, this is the first study to evaluate thoracentesis with barbotage technique. Thoracentesis with barbotage technique is a generally safe alternative procedure and equivalent to conventional technique.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2023
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
cover
Putu Ayu Sawitri Octavira
"Latar Belakang: Aktifitas fisik seperti berlari dapat mempengaruhi sekresi dan komposisi saliva, termasuk protein saliva di dalam rongga mulut, salah satunya protein SMBP. Protein saliva diketahui dapat memfasilitasi pertumbuhan biofilm bakteri.
Tujuan: Mengetahui pengaruh protein Streptococcus mutans binding salivary protein yang diisolasi dari subjek pelari dan nonpelari terhadap pertumbuhan biofilm P. gingivalis.
Metode: Studi eksperimental ini menggunakan teknik sampling purposive. Pemilihan subjek pelari dan nonpelari didasarkan riwayat lari dan pengukuran VO2max. Streptococcus mutans binding salivary protein diidentifikasi menggunakan SDS-PAGE. Streptococcus mutans binding salivary protein didapatkan melalui interaksi protein saliva pelari dan nonpelari dengan bakteri S. mutans. Uji biofilm pertumbuhan bakteri P. gingivalis ATCC 33277 menggunakan pewarnaan crystal violet. Data yang didapat kemudian dilakukan uji statistik menggunakan uji korelasi.
Hasil: Protein SMBP memfasilitasi pertumbuhan biofilm P. gingivalis pada inkubasi 3 jam maupun 24 jam.
Kesimpulan: Streptococcus mutans binding salivary protein yang diisolasi dari subjek pelari dan nonpelari memfasilitasi perumbuhan biofilm P. gingivalis.

Background: Physical activity such as running can affect salivary secretion and composition, including salivary proteins in the oral cavity, such as salivary protein SMBP. Salivary proteins are known to inhibit or facilitate the growth of bacterial biofilms. Salivary protein can facilitate or inhibit the growth of bacteria.
Objective: To determine the effect of Streptococcus mutans binding salivary protein towards the growth of Porphyromonas gingivalis biofilm.
Methods: This experimental study used purposive sampling and VO2max test to determine runners and non runners. Protein profile samples were identified using SDS PAGE. S. mutans salivary protein was obtained from binding of salivary protein and S. mutans. Biofilm assay P. gingivalis ATCC 33277 growth towards Streptococcus mutans binding salivary protein salivary protein was conducted using the dye crystal violet assay. The data was statistically analyzed using correlation test.
Results: Salivary protein of Streptococcus facilitate the growth of Porphyromonas gingivalis biofilm on incubation time 3 and 24 hours.
Conclusion: Salivary protein of Streptococcus mutans collected from runners and non runners facilitate the growth of Porphyromonas gingivalis biofilm.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Indonesia, 2017
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Lindayani Halim
"Latar belakang. Chlamydia trachomatis (CT) merupakan bakteri penyebab infeksi menular seksual (IMS) yang tersebar luas di berbagai negara. Insidens infeksi CT yang rendah pada populasi umum, karena infeksi ini sering bersifat asimtomatik sehingga kurang diperhatikan. Infeksi CT berpengaruh pada organ reproduksi manusia, namun peran CT pada infertilitas laki-laki masih kontroversial. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui proporsi kepositivan CT yang diperiksa dengan teknik polymerase chain reaction (PCR) pada semen lakilaki pasangan infertil dan hubungannya dengan konsentrasi serta motilitas sperma.
Metode. Desain penelitian ini bersifat deskriptif-analitik dengan rancangan studi potong lintang. Berdasarkan perhitungan, sampel minimal penelitian ini sebesar 97 orang.
Hasil. Berdasarkan pemeriksaan PCR, tidak didapatkan SP yang mengandung CT pada cairan semennya. Penelitian ini mendapatkan 54 dari 100 SP (54,0%) mengalami gangguan sperma, yaitu gangguan konsentrasi, motilitas, atau keduanya. Sebanyak 41 dari 100 (41,0%) SP mengalami gangguan konsentrasi sperma dan 46 dari 100 SP (46,0%) mengalami gangguan motilitas sperma.
Kesimpulan. Tidak ditemukan C. trachomatis pada cairan semen semua SP. Hubungan kepositivan C. trahomatis dengan konsentrasi dan motilitas sperma pada penelitian ini tidak dapat dinilai karena hasil PCR CT yang negatif pada semua SP. Chlamydia trachomatis bukan merupakan penyebab infertilias laki-laki pada penelitian ini.

Background. Chlamydia trachomatis (CT) infection is the most common sexually transmitted infection and has a worldwide distribution. The reported of incidence rates of genital CT infections in the population likely are an underestimate because of the highly asymptomatic nature of the pathogen. Chlamydia trachomatis infection influences human reproductive organs, but the role of this infection in male infertility is discussed controversial. This study ascertained the proportion of CT infections by polymerase chain reaction (PCR) in semen from male partners of infertile couples and its correlation with sperm concentration and motility.
Methode. This study was descriptive-analytic with cross sectional design. Based on sample calculation, minimal sample acquired for this study was 97 subjects.
Result. Of the 100 male partners of infertile couples in the study, none were positive for CT. Sperm concentration or motility were abnormal in 54% of the 100 evaluated semen specimens. Sperm concentration and sperm motility were abnormal in 41% and 46% of the 100 evaluated semen specimens.
Conclusions. Chlamydia trachomatis was found in none of th e male partners of the infertile couples. Correlation between the detection of CT in semen and sperm concentration and motility could not be analyzed because no semen samples were positive for CT. Chlamydia trachomatis was not the underlying cause of men infertility in this study.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2014
SP-Pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Maulina Rachmasari
"ABSTRAK
Latar Belakang:Teknik conventional two flap palatoplasty akan menimbulkan defek lateral tanpa adanya pelindung periosteum. Defek lateral yang terbuka ini akan menyebabkan rentannya terkena kontaminasi dan infeksi. Hal inilah yang akan menimbulkan kontraksi luka, pembentukan skar dan mengganggu pertumbuhan maxilla.Tahun 2011, terdapat studi mengenai teknik ldquo;The Non Denuded Palatoplasty rdquo;. Teknik ini meninggalkan sebagian periosteum yang diharapkan dapat mempercepat proses epitelisasi pada defek lateral. Epitelisasi yang lebih cepat diharapkan mengurangi terjadinya kontraksi luka dan kedepannya dapat tercapai pertumbuhan maksila yang baik.Metode:Merupakan studi kasus kontrol yang terdiri atas 2 grup membandingkan pertumbuhan maksila pasien dengan celah bibir dan langit-langit unilateral komplit yang dikerjakan dengan teknik conventional ldquo;Two Flap Palatoplasty rdquo; dan teknik ldquo;The Non Denuded Palatoplasty rdquo;. Hasil pengukuran cephalometri dicatat serta dibuat cetakan gigi untuk tiap pasien kemudian dikategorisasi menggunakan metode GOSLON YARDSTICK. Data yang diperoleh dianalisis dengan SPSS versi 20.Hasil:Terdapat 4 pasien di kelompok ldquo;The Non Denuded Palatoplasty rdquo; dan 10 pasien pada teknik conventional ldquo;Two Flap Palatoplasty rdquo;. Hasil pengukuran cephalometri SNA, SNB dan ANB menunjukkan bahwa kedua grup tersebut masuk dalam golongan maloklusi tipe III defisiensi maksila . Sementara hasil GOSLON Yardstick memperlihatkan GOSLON tipe III sebagai kelompok yang sering ditemukan bagi kedua grup dengan reliabilitas inter-rater baik p=0.839 . Pada penelitian ini tidak ditemukan korelasi antara variabel cephalometri dengan skor GOSLON.Kesimpulan:Hasil studi kami menunjukkan bahwa teknik modifikasi ldquo;The Non Denuded Palatoplasty rdquo; tidak berhubungan secara signifikan terhadap pertumbuhan maksila. Namun penelitian ini memiliki beberapa keterbatasan, yaitu ukuran sampel yang sedikit karena faktor keluarga, sosial dan faktor lainnya yang berada di luar kendali tim peneliti. Selain itu usia pasien yang dievaluasi ialah 7-9 tahun, dimana hasil ini bukan merupakan hasil akhir. Kata Kunci: Evaluasi pertumbuhan maksila, cephalometri, GOSLON YARDSTICK, Two Flap Palatoplasty

ABSTRACT
Background Conventional Two Flap Palatoplasty technique will made lateral defects without any periosteal coverage. These denuded lateral defects are prone to contamination and infection. These will result in wound contraction, scar formation and maxillary growth impairment.In 2011, we studied ldquo The Non Denuded Palatoplasty rdquo technique. This technique precipitated the epithelialization process of the lateral defects. Faster epithelialization is expected to decrease wound contraction and in the long run will result in good maxillary growth.Methods This is a case control study to compare the maxillary growth of 2 groups consists of unilateral cleft lip and palate patients repaired with ldquo The Non Denuded Palatoplasty rdquo technique and Conventional Two Flap Palatoplasty. The outcome will be evaluated from cephalometry and the dental cast for each patient areevaluated using GOSLON YARDSTICK method. Data will be analyzed using SPSS version 20.Results A total of 4 patients in The Non Denuded Palatoplasty group and 10 in the Conventional Two Flap Palatoplasty. The cephalometric SNA, SNB and ANB point showed Class III skeletal jaw relationship or deficient maxilla. While the GOSLON yardstick type III are the frequent GOSLON on both group with good inter ratter reliability p 0.839 based on Mann Whitney test. In these study there were no correlation between cephalometric variables with GOSLON score.Conclusion Our results showed that modification The Non Denuded Palatoplasty technique made no statistically significant difference to the maxillary growth. However this study has several limitations, which are the sample size was small due to family, social and other factors that are beyond the control of the investigating team. Also the age of evaluation 7 9 years , means that the result is not the final outcome. "
2017
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>