Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 133350 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Muhammad Yusuf Amran
"Pendahuluan : Perkembangan dalam bidang industri saat ini, telah merubah pola penyakit yang ada. Penyakit paru yang dahulu di dominasi oleh penyakit infeksi, saat ini juga dipengaruhi penyakit bukan infeksi, seperti pajanan debu udara dan juga dipengaruhi oleh penyakit metabolik yang diderita oleh individu. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui peranan diabetes melitus terhadap laju penurunan fungsi paru dengan adanya riwayat pajanan debu
Metode : Desain penelitian adalah comparative cross sectional menggunakan 494 data pemeriksaan kesehatan berkala tahun 2012 dan 2013. Pengumpulan data dilakukan dengan menggunakan data sekunder hasil pemeriksaan kesehatan berkala periode tahun 2012 dan 2013.
Hasil dan Kesimpulan : Rerata selisih penurunan nilai KVP dan VEP1 tahun 2012 dan 2013 secara berturut-turut pada subyek dengan status tetap DM (499 ml & 553 ml), normal menjadi DM (192 ml & 253 ml), DM terkontrol (102 ml & 190 ml), dan tetap normal (143 ml & 213 ml). Hasil uji statistik didapatkan nilai p<0,0001, berarti pada alpha 5% dapat disimpulkan ada perbedaan penurunan laju fungsi paru pada rerata nilai KVP dan VEP1 pada semua status diabetes subyek penelitian
Saran : Perlu dilakukan pengendalian terhadap pekerja yang menderita diabetes, dengan melakukan pengobatan secara tepat dan mencegah terjadinya komplikasi. Melakukan kegiatan promotif dan preventif untuk mencegah pekerja dari diabetes.

Introduction: Developments in the industry today, has changed the pattern of existing disease. Pulmonary disease who formerly dominated by infectious diseases, today the influenced is not just an infectious diseases, such as exposure to airborne dust and is also affected by metabolic diseases suffered by the individual. The purpose of this study was to determine the role of diabetes mellitus on the rate of decline in lung function with a history of dust exposure
Methods: The study design was cross- sectional comparative use of data 494 periodic health examinations in 2012 and 2013. The data was collected using secondary data from periodic health examination period in 2012 and 2013.
Results and Conclusions: The mean difference between FVC and FEV1 impairment in 2012 and 2013 respectively in subjects with permanent status in DM (499 ml & 553 ml), normal to DM (192 ml & 253 ml), controlled DM (102 ml & 190 ml), and remained normal (143 ml & 213 ml) . The results of the statistical test p value < 0.0001 , significant at the 5 % alpha can be concluded thera is difference in the rate of lung function decline in the average value of FVC and FEV1 diabetes status on all study subjects.
Suggestion: There needs to be control over the workers who suffer from diabetes, by making appropriate treatment and prevent complications. Promotive and preventive activities to prevent workers from diabetes.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2014
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Anna Yusrika
"ABSTRAK
Latar belakang: Kapasitas difusi paru berdasarkan karbon ke sirkulasi pulmoner. Nilai DLCO prediksi pada asma cenderung normal atau sedikit monoksida (DLCO) didesain untuk mengukur laju perpindahan gas CO dari alveolus meningkat sedangkan pada PPOK kapasitas difusi cenderung menurun akibat emfisema. Sindrom tumpang-tindih asma-PPOK dinyatakan sebagai entitas yang unik dengan kombinasi karakteristik asma dan PPOK. Tujuan utama penelitian ini adalah mengetahui nilai DLCO pada pasien tumpang tindih asma- PPOK (TAP) di RSUP Persahabatan Jakarta.
Metode: Uji DLCO dengan metode napas tunggal dan beberapa pemeriksaan penunjang lainnya telah dilakukan pada 40 pasien yang terdiagnosis sebagai TAP. Diagnosis TAP pada subjek penelitian ditegakkan menggunakan kriteria pedoman GINA/GOLD 2017. Kriteria akseptabilitas dan reprodusibilitas DLCO napas tunggal dinilai menggunakan kriteria dari ATS/ERS 2017. Hasil uji DLCO disajikan dalam nilai mutlak dan nilai persen prediksi.
Hasil: Rerata nilai DLCO mutlak dan %DLCO prediksi yang didapatkan dalam penelitian ini adalah 17.98 ± 5.37 mL/menit/mmHg dan 84.16 ± 18.29%. Jika menggunakan persamaan penyesuaian DLCO berdasarkan kadar hemoglobin didapatkan nilai %DLCO prediksi sedikit meningkat dibanding sebelumnya, 85.17 ± 18.04%. Terdapat 10 subjek (25.0%) yang mengalami penurunan nilai DLCO. Enam diantaranya mengalami penurunan ringan dan empat lainnya mengalami penurunan sedang.
Kesimpulan : Rerata nilai DLCO pada subjek TAP di RSUP Persahabatan Jakarta dapat diinterpretasikan normal, lebih menyerupai asma dibandingkan PPOK. Hasil ini juga mengindikasikan kebanyakan pasien TAP dalam penelitian ini tidak mengalami penurunan luas permukaan alveolar yang mengganggu proses difusi.

ABSTRACT
Background: Diffusing capacity of the lung for carbon monoxide (DLCO) was designed to measure transfer rate of carbon monoxide from alveoli to pulmonary circulation. As we know, DLCO predicted value in asthma proved to be normal or slightly elevated. On contrary it decreased in COPD with emphysematous pattern. Asthma-chronic obstructive pulmonary disease overlap (ACO) declared as a unique entity with combined characteristics between asthma and COPD. The aim of the research is to find out DLCO value of ACO patient in Persahabatan Hospital, Jakarta.
Method: We have conducted single-breath DLCO and other required test to 40 patients diagnosed with ACO using GINA/GOLD 2017 guidelines. The acceptability and reproducibility of single-breath DLCO was done according to ATS/ERS 2017 criteria. The result then presented as absolute value and percent predicted value.
Results: The mean DLCO of our patient is 17.98 ± 5.37 mL/minute/mmHg with percent predicted value is 84.16 ± 18.29%. Using adjusted DLCO equation for hemoglobin, we found that the value is slightly increased, 85.17 ± 18.04%. However, we found 10 patient (25.0%) with DLCO decrease. Six of them have DLCO predicted value <75% (mild-decrease) and four of them have DLCO predicted value <60% (moderate-decrease).
Conclusion: The mean DLCO value of patient with ACO in our hospital can be interpreted as normal, similar with asthma, rather than COPD. It also indicate most of our patient did not have alveolar loss that altering diffusion process."
Depok: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2019
SP-Pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Sri Sulistiowati
"Dukungan keluarga merupakan faktor eksternal yang mampu meningkatkan efikasi diri pada pasien penderita Penyakit Paru Obstruktif Kronis PPOK. Tujuan dari penelitian ini adalah mendapatkan gambaran tentang dukungan keluarga dan efikasi diri serta mengidentifikasi hubungan antara kedua variabel tersebut. Desain yang digunakan dalam penelitian ini adalah deskriptif dan korelasi dengan menggunakan metode cross sectional. Sebanyak 133 responden menggunakan teknik sampling consecutive sampling. Hasil analisis penelitian menunjukkan adanya hubungan antara dukungan keluarga dengan efikasi diri pada pasien PPOK p value : 0,032 ; ? : 0,05 dengan nilai OR 4,21, CI 95 1,19-14,89. Faktor confounding yang diteliti hanya faktor penghasilan yang memiliki pengaruh terhadap hubungan dukungaan keluarga dengan efikasi diri pada pasien PPOK p value : 0,007; ?: 0,05. Hasil penelitian menunjukkan perlunya memperhatikan aspek dukungan keluarga dan efikasi diri pasien dalam pemberian asuhan keperawatan. "
Depok: Fakultas Ilmu Keperawatan Universitas Indonesia, 2017
T48439
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Annisa Maula Utrujah
"Penyakit Paru Obstruktif Kronik (PPOK) merupakan penyebab kematian nomor 4 di dunia. PPOK mengganggu proses masuk dan keluarnya udara sehingga dapat menimbulkan gejala seperti batuk, sesak, dan produksi sputum berlebih. Aktivitas fisik penting untuk pasien PPOK. Aktivitas fisik dapat mengurangi risiko hospitalisasi dan mortalitas. Tujuan penelitian ini, yaitu melihat gambaran karakteristik dan aktivitas fisik pada pasien PPOK. Penelitian ini menggunakan desain penelitian cross-sectional pada 200 responden dengan teknik purposive sampling. Alat pengumpulan data menggunakan International Physical Activity Questionnaire (IPAQ) untuk aktivitas fisik. Hasil penelitian didapatkan 66 orang (33%) aktivitas fisik ringan, 74 orang (37%) aktivitas fisik sedang, dan 60 orang (30%) aktivitas fisik berat. Pada 200 orang responden yang mengikuti penelitian ini paling banyak melakukan aktivitas fisik sedang, sehingga mayoritas responden aktivitas fisiknya terpenuhi. Pada aktivitas fisik ringan disarankan untuk menggunakan bronkodilator sebelum beraktivitas atau mengikuti rehabilitasi paru sehingga dapat meningkatkan aktivitas fisik.

Chronic Obstructive Pulmonary Disease (COPD) is the fourth leading cause of death in the world. COPD interferes with air entry and discharge, causing symptoms such as coughing, dyspnea, and excessive sputum production. Physical activity is important for COPD patients. Physical activity could reduce the risk of hospitalization and mortality. This study is aimed to describe the characteristic of physical activity on patients with COPD. Its design was cross-sectional with 200 samples and selected through purposive sampling technique. Physical activity were identifies using International Physical Activity Questionnaire (IPAQ). The results showed there were 66 patients (33%) who had mild physical activity, 74 patients (37%) with moderate, and 60 patients (30%) which had severe physical activity. This study found that the majority of patients had a good physical activity. This study reccomends patients with mild physcial activity uses bronchodilator before joining the lung rehabilitation or other activities to improve the intensity of physical activity."
Depok: Fakultas Ilmu Keperawatan Universitas Indonesia, 2018
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Jessica Audrienna
"Penyakit Paru Obstruktif Kronik (PPOK) merupakan salah satu penyakit saluran pernapasan yang tidak dapat disembuhkan dan jika tidak dikelola dengan baik maka dapat menyebabkan eksaserbasi akut PPOK. Obat inhalasi merupakan terapi utama bagi pasien PPOK yang bila digunakan secara optimal dapat meningkatkan efektivitas terapi PPOK yang kemudian mencegah kejadian eksaserbasi akut dan meningkatkan kualitas hidup pasien. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh aplikasi seluler mengenai edukasi cara penggunaan obat inhalasi yang baik dan benar terhadap tingkat efektivitas terapi dan kualitas hidup pasien penderita PPOK. Penelitian ini berlangsung dari Februari sampai Mei 2021 dengan desain penelitian pre-eksperimental dan dilakukan secara prospektif di Rumah Sakit Grha Permata Ibu Depok. Sebanyak 47 pasien yang menjadi subjek penelitian diperiksa kualitas hidupnya menggunakan kuesioner CAT (COPD Assessment Test) dan diperiksa ketepatan penggunaan obat inhalasinya menggunakan daftar tilik obat inhalasi khusus, dan kemudian diberikan akses terhadap aplikasi seluler yang kemudian diunduh ke dalam telepon seluler mereka masing-masing. Setelah satu bulan, kualitas hidup dan ketepatan penggunaan obat inhalasi pasien kembali diperiksa. Hasil rerata median skor CAT seluruh subjek penelitian setelah pemberian intervensi menunjukkan adanya perubahan yang signifikan (p<0,05) yaitu penurunan skor lebih dari 2 poin dari skor CAT sebelum intervensi [13 (2-27) vs 6 (0-26)]. Pemberian intervensi berpengaruh dalam meningkatkan ketepatan penggunaan obat inhalasi pasien pengguna obat inhalasi jenis diskus, breezhaler, pMDI, dan respimat secara signifikan (p<0,05). Oleh karena itu,  dapat disimpulkan bahwa aplikasi seluler mengenai edukasi penggunaan obat inhalasi yang tepat berpengaruh terhadap meningkatkan kualitas hidup pasien PPOK.

Chronic Obstructive Pulmonary Disease (COPD) is one of the uncurable airway disease, and may progress into acute excacerbation if the disease is not controlled. Appropiate use of inhaler is the main therapy for COPD patients which may increase medication effectiveness for COPD and in turn may prevent excacerbation and improves patient’s quality of life. This study aims to determine the effect of mobile application, which is developed by our research team, regarding education on proper use of ihaler to the therapeutic effectiveness and quality of life of patients with COPD. This research took place from February 2021 to May 2021 with a pre-experimental research design and was carried out prospectively at Grha Permata Ibu Hospital Depok. A total of 47 patients who became the subject of the study were examined for their quality of life using CAT (COPD Assessment Test) questionnaire and their accuracy in using their inhalers using a special inhaler checklist. Patients are then given access to the mobile application which is then installed to their respective mobile phones. After one month, the patients’ quality of life and accuracy of inhaler technique were re-examined. The ratio of median CAT score of all subjects from the CAT score before the intervention and after the intervention showed a significant change (p<0,005), namely a decrease of more than 2 points [12 (2-27) vs 6 (0-26)]. The intervention also showed an effect on increasing the accuracy of patients’ inhaler technique, as the patients using discus, breezhaler, pMDI, and respimat inhaler experienced a significant increase of  score (p<0,05) from before the intervention and after the intervention. So we can conclude here that mobile application regarding education on proper use of inhaler have an effect on improving the quality of life of COPD patients."
Depok: Fakultas Farmasi Universitas Indonesia, 2021
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Widyantri Wulandini
"ABSTRAK
Latar Belakang : Penyakit paru obstruktif kronik (PPOK) adalah penyakit paru yang ditandai dengan keterbatasan aliran udara yang persisten, bersifat progresif dan berhubungan dengan respons inflamasi kronik. Proses inflamasi yang terjadi akan mengeluarkan nitrit oksida (NO) sehingga pengukuran fraksi nitrit oksida ekspirasi saat ini dapat digunakan sebagai penanda hayati inflamasi yang dapat digunakan klinisi untuk memonitor derajat keparahan suatu penyakit dan efikasi dari pengobatan anti inflamasi.
Metode : Penelitian ini merupakan penelitian potong lintang yang dilakukan di RS Rujukan Respirasi Nasional Persahabatan pada bulan Februari - April 2019 untuk melihat kadar NO ekspirasi pada pasien PPOK stabil. Pemilihan subjek dilakukan secara consecutive sampling dan dilakukan wawancara, pemeriksaan fisis, pemeriksaan uji faal paru, pemeriksaan FeNO dan pemeriksaan laboratorium.
Hasil : Sebanyak 53 subjek ikut serta dalam penelitian ini dengan subjek terbanyak laki - laki (86,79%) dengan rerata usia subjek adalah 63,45 + 8,53. Pada penelitian ini juga dibagi menjadi dua kelompok besar yaitu PPOK non eosinofilik (58,5%) dan PPOK eosinofilik (41,5%). Rerata nilai kadar NO ekspirasi pada kelompok PPOK stabil sebesar 18 ppb. Rerata nilai kadar NO ekspirasi pada kelompok PPOK non eosinofilik adalah 17 ppb dan pada kelompok PPOK eosinofilik adalah 22,5 ppb. Terdapat perbedaan bermakna pada nilai kadar NO ekspirasi pada kedua kelompok namun tidak terdapat hubungan antara nilai kadar NO ekspirasi dengan hitung eosinofil maupun riwayat merokok pada kelompok PPOK non eosinofilik maupun PPOK eosinofilik.
Kesimpulan : Rerata nilai kadar NO ekspirasi pada kelompok PPOK stabil adalah 18 ppb.

ABSTRACT
Background : Chronic obstructive pulmonary disease (COPD) is a lung disease that characterized by persistent airflow limitation, progressive and correlated with chronic inflammatory response. Inflammation process that occur will release nitric oxide (NO) then it makes fraction exhaled nitric oxide as an inflammation biomarker that clinician could use to monitor the degree of severity disease and efficacy of anti inflammation therapy.
Methods : This is cross sectional study that was conducted from February - April 2019 at National Referral Respiratory Center Persahabatan Hospital to know the value of exhaled nitric oxide in stable COPD patient. Subjects were taken to participate in this study in a consecutive sampling basis and all patients were interviewed, physical examination, lung function test, FeNO test and laboratory test.
Results : Total 53 subjects were participated in this study with dominant male subjects (86,79%) and the mean age value is 63,45 + 8,53. This study is divided into two main groups which are COPD non eosinophilic (58,5%) and COPD eosinophilic (41,5%). The mean value of exhaled nitric oxide in COPD stable is 18 ppb. The mean value of exhaled nitri oxide in COPD non eosinophilic is 17 ppb and for group COPD eosinophilic is 22,5 ppb. There is a significant difference between exhaled nitric oxide in those two groups but there is no relation between exhaled nitric oxide with eosinophil count or smoking history in COPD non eosinophilic group and COPD eosinophilic.
Conclusion : Mean value of exhaled nitric oxide in stable COPD patient is 18 ppb."
Depok: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2019
SP-Pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Mohamed Ismail
"Latar belakang: Eksaserbasi PPOK berhubungan dengan dampak yang cukup besar pada kualitas hidup dan aktivitas sehari-hari. Mayoritas pasien mengalami setidaknya satu eksaserbasi per tahun dan eksaserbasi telah dikaitkan dengan penurunan progresif dalam VEP1 dan dengan laporan yang berbeda-bedaada ketidakpastian apakah eksaserbasi meningkatkan tingkat penurunan fungsi paru.
Metode: Penelitian ini penelitian deskriptif dengan metode potong lintang yang menganalisis hasil spirometri pada pasien PPOK dan membandingkan dengan data spirometri tahun sebelumnya dan melihat perubahan VEP1. Jumlah sampel keseluruhan penelitian ini adalah 100 pasien yang sudah terdiagnosis PPOK dan rutin kontrol ke poli asma/PPOK RS persahabatan dari tahun 2011sampai 2013.
Hasil: Sebanyak 100 subjek diambil untuk penilitian ini. Sebagian besar pasien adalah laki-laki , 96 % ( n = 96 ) . Usia rata-rata adalah 66,5 tahun ( SD ± 7 tahun dan 95 % CI ) BMI subjek adalah 22.88 ( SD ± 3,95 & 95% CI ). Status merokok adalah; bekasperokok ( 89 %, 95 % CI ), merokok 3 %, dan 8 % yang tidak pernah merokok. Keparahan penyakit berdasarkan GOLD adalah; Derajat ringan 7 %, Sedang 45 %, berat 41% dan sangat berat 7 %. Penurunan VEP1terlihat pada 73 % subjek ( n = 73 ) dan penurunan VEP1 rata-rata 117mL per tahun. Subjek dalam penelitian kami ditemukan eksaserbasi tingkat tahunan rata-rata 2,4 per tahun. Kami idak menemukan korelasi yang bermakna dengan jumlah eksaserbasi dengan jumlah eksesabasi( p = 0,005) dan terdapat korelasi yang bermakna dengan jumlah eksaserbasi dan tingkat keparahan penyakit (p = 0,005 ). Kami tidak menemukan korelasi penurunan VEP1 dengan BMI (p = 0,602 ), Indeks Brinkman (p = 0,462) atau komorbiditi.
Kesimpulan: Penilitian ini terdapat hubungan yang bermakna dengan penurunan VEP1 dan tingkat keparahan penyakit dengan frekuensi eksaserbasi. Kami tidak menemukan hubungan yang bermakna dengan jumlah eksesabasi dengan BMI, Brinkman Index atau komorbiditi.

Introduction: Exacerbations of COPD are associated with considerable impact on quality of life and daily activities. The rate at which exacerbations varies greatly between patients. Majority of patients experience at least one exacerbation per year and exacerbations have been linked to a progressive decline in FEV1and with varying reports there is uncertainty as to whether exacerbations increase the rate of decline in lung function.
Method: We conducted a descriptive, cross-sectional study on COPD patients who were on regular follow up at our hospital since 2011. Spirometry at enrollment was compared with previous year’s spirometry and event-based exacerbations were inquired from the patient and from inpatient and outpatient hospital medical records.
Result: A total of 100 patients were included in the study. Majority of patients were males, 96% (n= 96). The mean age was 66.5 years (SD ±7 years and 95% CI) The BMI of the subjects was 22.88 (SD± 3.95 & at 95% CI). Smoking status of the subjects were; past smokers (89%, 95% CI), current smokers, 3%, and 8% who never smoked. Disease severity per GOLD were; Mild disease 7%, Moderate 45%, Severe 41% and very Severe 7%. Decline in FEV1 was observed in 73% subjects (n=73) and a mean decline of 117mL/year. Subjects in our study reported 288 exacerbations during the study with a mean annual exacerbations rate of 2.4 per year. FEV1 decline hada significant correlation with number of exacerbations (p=.0005) and also there was significant relationship with disease severity (p=0.005). We did not find a correlation of decline in FEV1 with BMI (p=.602), Index Brinkman (p=.462) or comorbidities.
Conclusion: There was a significant correlation with decline in FEV1 and disease severity with the total number of exacerbations. We also found a significant correlation with disease severity as per GOLD stage,however, we did not find a significant correlation between BMI, Brinkman Index or the comorbidities of the subjects with number of exacerbations.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2013
T59124
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Nadia Nur Ghania
"Latar belakang: Penyakit Paru Obstruktif Kronis (PPOK) merupakan masalah kesehatan yang menempati peringkat ketiga penyebab kematian di seluruh dunia. PPOK secara umum dapat terjadi karena adanya paparan zat/partikel secara terus menerus sehingga memicu adanya penyempitan saluran napas. Kabupaten Karawang dan Kota Bogor sebagai wilayah industri dapat memicu peningkatan kejadian PPOK. Selain itu, prevalensi perokok ≥ 35 tahun di Kabupaten Karawang sebesar 63,05% dan Kota Bogor sebesar 56,83% juga dapat meningkatkan kemungkinan terjadinya PPOK.
Tujuan: Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui faktor-faktor yang berhubungan dengan kejadian PPOK pada penduduk usia ≥ 40 tahun di Kabupaten Karawang dan Kota Bogor tahun 2022.
Metode: Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode kuantitatif dengan desain studi cross-sectional yang menggunakan data deteksi dini PPOK pada tahun 2022.
Hasil: Penelitian ini memperlihatkan adanya faktor yang berhubungan dengan kejadian PPOK yaitu usia (POR 1,83; 95% CI 0,69 – 4,86; dan POR 17,6; 95% CI 3,60-85,9), riwayat asma (POR 4,84; 95% CI 1,05-22,21), derajat merokok (POR 5,8; 95% CI 2,17-15,50; dan POR 16,61; 95% CI 4,40-62,69), pekerjaan (POR 1,49; 95% CI 0,20-10,68; POR 0,10; 95% CI 0,02-0,46; POR 1,14; 95% CI 0,19-6,91; dan POR 0,03; 95% CI 0,004-0,25) serta konsumsi sayur/buah (POR 8,36; 95% CI 1,93- 36,21).
Kesimpulan: Angka kejadian PPOK yang diketahui sebesar 2,1% memperlihatkan adanya hubungan antara usia, riwayat asma, derajat merokok, pekerjaan, dan konsumsi sayur/buah dengan kejadian PPOK pada penduduk usia ≥ 40 tahun di Kabupaten Karawang dan Kota Bogor tahun 2022.

Background: Chronic Obstructive Pulmonary Disease (COPD) is a health problem that ranks third as the cause of death worldwide. COPD can generally occur due to continuous exposure to substances/particles that trigger narrowing of the airways. Karawang Regency and Bogor City as industrial areas can trigger an increase in the incidence of COPD. In addition, the prevalence of smokers ≥ 35 years in Karawang Regency is 63.05% and in Bogor City is 56.83%, which can also increase the likelihood of COPD.
Objective: This study aims to determine the factors associated with the incidence of COPD in residents aged ≥ 40 years in Karawang Regency and Bogor City in 2022.
Methods: The method used in this study is a quantitative method with a cross-sectional study design that uses early detection data for COPD in 2022.
Results: This study shows the factors associated with the incidence of COPD, namely age (POR 1,83; 95% CI 0,69 – 4,86; and POR 17,6; 95% CI 3,60-85,9), history of asthma (POR 4.84; 95% CI 1.05-22.21), smoking status (POR 5,8; 95% CI 2,17-15,50; dan POR 16,61; 95% CI 4,40-62,69), occupation (POR 1.49; 95% CI 0.20-10.68; POR 0.10; 95% CI 0.02-0.46; POR 1.14; 95% CI 0.19-6.91; and POR 0.03; 95% CI 0.004-0.25), and consumption of vegetables/fruits (POR 8,36; 95% CI 1,93-36,21).
Conclusion: The incidence rate of COPD is known to be 2.1%, which shows the relationship between age, history of asthma, smoking degree, occupation, and consumption of vegetables/fruits with the incidence of COPD in residents aged ≥ 40 years in Karawang Regency and Bogor City in 2022.
"
Depok: Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia, 2023
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Muhammad Mishbahus Surur
"Penyakit Paru Obstruktif Kronik (PPOK) adalah penyakit yang ditandai dengan keterbatasan aliran udara yang tidak sepenuhnya reversibel. Kematian akibat PPOK ini menyumbang 6% dari semua kematian secara global. Data prevalensi spesifik untuk PPOK di Indonesia berdasarkan data Riset Kesehatan Dasar (RISKESDAS) tahun 2013 yaitu 3,7 per seribu orang. Penelitian terdahulu di Indonesia menyatakan bahwa terapi salmeterol-flutikason lebih efektif-biaya apabila dibandingkan dengan terapi formoterol-budesonid. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk menganalisis efektivitas-biaya yang lebih baik antara terapi terapi salmeterol-flutikason dan terapi formoterol-budesonid pada pasien PPOK rawat jalan di RSUP Persahabatan tahun 2021-2022. Penelitian retrospektif ini merupakan penelitian observasional yang menggunakan desain penelitian cross-sectional dengan menggunakan data rekam medis pasien, yaitu nilai COPD Assesmen Test (CAT), jenis kelamin, usia, dan komorbiditas. Selain itu, digunakan data billing pasien dilihat dari perspektif rumah sakit yang terdiri atas biaya obat, biaya obat lain, biaya laboratorium, biaya jasa tenaga kesehatan, dan total biaya pengobatan. Sampel yang digunakan pada penelitian ini sebanyak 64 sampel, yang terdiri atas 32 sampel terapi salmeterol-flutikason dan 32 sampel terapi formoterol-budesonid. Berdasarkan hasil penelitian, didapatkan nilai inkremental efektivitas antara kedua terapi sebesar 46,9%. Kemudian didapatkan nilai inkremental biaya antara kedua terapi sebesar Rp11.561. Sementara itu, berdasarkan perhitungan didapatkan rasio efektivitas-biaya (REB) untuk terapi salmeterol-flutikason adalah sebesar Rp982.164 /unit efektivitas dan untuk terapi formoterol-budesonid adalah sebesar Rp2.287.610/unit efektivitas. Berdasarkan penelitian, dapat disimpulkan bahwa terapi salmeterol-flutikason lebih memiliki efektivitas-biaya dengan nilai rasio inkremental efektivitas-biaya terapi sebesar Rp247/unit efektivitas.

Chronic Obstructive Pulmonary Disease (COPD) is a disease characterized by airflow limitation that is not completely reversible. The total number of deaths from COPD reaches 6% of all deaths globally. Specific prevalence data for COPD in Indonesia are based on Basic Health Research (RISKESDAS) data in 2013 is 3.7 per thousand people. Previous research in Indonesia stated that salmeterol-fluticasone therapy is more cost-effective than formoterol-budesonide therapy. The purpose of this study is to analyze the better cost-effectiveness between salmeterol-fluticasone therapy and formoterol-budesonide therapy in COPD outpatient at Persahabatan General Hospital in 2021-2022. This retrospective study is an observational study with cross-sectional study design using patient medical record data, which consisted of COPD Assessment Test (CAT) scores, gender, age, and comorbidities. In addition, patient billing data is used from a hospital perspective which consisted of drug costs, other drug costs, laboratory fees, health worker service fees, and total medical costs. There were 64 samples used in this study, consisting of 32 samples from salmeterol-fluticasone group and 32 samples from formoterol-budesonide group. Based on results of the study, the increased effectiveness value between the two therapies was 46,9%. Then, the incremental cost value between the two therapies was obtained at IDR11.561. Meanwhile, based on calculations, the average cost-effectiveness ratio (ACER) for salmeterol-fluticasone therapy was IDR 982.164/effectiveness unit and for formoterol-budesonide therapy was IDR 2.287.610/effectiveness unit. Based on the research, it can be concluded that salmeterol-fluticasone therapy is more cost-effective with an incremental cost-effectiveness ratio is Rp247 per unit of effectiveness.
"
Depok: Fakultas Farmasi Universitas Indonesia, 2023
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Astari Pranindya Sari
"Pendahuluan: Neutrofil merupakan sel inflamasi yang diyakini berperan pada patogenesis Penyakit Paru Obstruktif Kronik (PPOK). Telah terdapat bukti korelasi antara hambatan aliran udara pada pasien PPOK dengan kadar neutrofil sputum. Penelitian beberapa tahun terakhir membuktikan nilai rasio neutrofillimfosit (RNL) dan protein C-reaktif (CRP) dari darah perifer berpotensi menjadi petanda inflamasi sistemik, tidak terkecuali PPOK. Beberapa penelitian membuktikan nilai RNL dan CRP lebih tinggi pada pasien dengan PPOK dibanding orang normal. Begitu pula saat kondisi eksaserbasi, nilai RNL dan CRP lebih tinggi daripada kondisi stabil. Selain itu terdapat bukti korelasi antara hasil spirometri dengan nilai RNL dan CRP. Hasil beberapa penelitian yang telah dilakukan sejauh ini menunjukkan bahwa nilai RNL dan CRP dapat menjadi suatu penilaian yang layak diperhatikan dalam PPOK.
Tujuan: Memperoleh data mengenai nilai RNL dan CRP pada pasien PPOK eksaserbasi dan stabil di Rumah Sakit Umum Pusat Persahabatan.
Metode: Analisis observasional kohort prospektif di RS Persahabatan, Jakarta Indonesia sebanyak 31 sampel dari Juli 2018 hingga Desember 2018. Kami mengikutsertakan 31 pasien PPOK eksaserbasi untuk dilakukan pemeriksaan spirometri dan pemeriksaan darah dan membandingkan hasil pemeriksaan pasien yang sama pada kondisi stabil.
Hasil: Petanda inflamasi yang diperiksa pada penelitian ini RNL dan CRP keduanya menunjukkan penurunan kadar pada kondisi stabil, bertutut-turut dari 7,95 ± 6,8 menjadi 4,6 ± 5,5 dan 43,4 ± 71 menjadi 12,2 ± 18,5 dengan nilai p < 0,01. Didapatkan pula korelasi negatif yang bermakna antara RNL dan nilai VEP1/KVP pada kondisi eksaserbasi. Nilai CRP menunjukkan korelasi negatif hanya dengan VEP1 pada saat eksaserbasi. Di samping itu, terdapat pula subjek penelitian dengan nilai CRP yang sangat tinggi pada saat eksaserbasi, meninggal dunia dalam kurun waktu dua bulan setelah eksaserbasi.
Kesimpulan: Nilai RNL dan CRP pada subjek dengan PPOK lebih tinggi pada kondisi eksaserbasi dan mungkin dapat menggambarkan status eksaserbasi pada pasien PPOK.

Introductions: Although COPD has been believed to be characterized by respiratory disease, currently limited study conducted to evaluate inflammation markers and exacerbation rate in COPD by noninvasive method. We observed the COPD severity, future exacerbation by using peripheral blood test. We did a prospective cohort study to observe the alteration of Neutrophyl-Lymphocyte Ratio (NLR) and C-reactive protein (CRP) in COPD patients to find any possible correlation with COPD exacerbation status.
Aims: To study the value of NLR and CRP of COPD patients during exacerbation and stable in Persahabatan Hospital, Jakarta.
Methods: Starting from July to December 2019, a prospective cohort study was performed with blood and pulmonary function test in 31 COPD patients in two different conditions: during exacerbation and stable. The mean of both inflammation markers was compared and correlated them with pulmonary function test.
Results: Both inflammation markers NLR and CRP value decreased during stable condition (from 7,95 ± 6,8 to 4,6 ± 5,5 and 43,4 ± 71 to 12,2 ± 18,5) with p < 0,01 respectively. In addition, we also found a significant inverse correlation between NLR and FEV1/FVC during exacerbation but not during the stable condition, and CRP showed inverse correlation only with FEV1 during exacerbation. Another interesting finding was subject with very high CRP whose value remained above nomal limit during stable, died within 2 month after exacerbation.
Conclusions: NLR and CRP in COPD patients increased during exacerbation and may reflect lung function and exacerbation status in COPD patient.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2020
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>