Hasil Pencarian

Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 32824 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Albert Sedjahtera
"Latar belakang.Kardiomiopati terimbas kemoterapi berbasis antrasiklin memiliki dampak signifikan terhadap pasien kanker. Pemantuan fungsi jantung berbasis fraksi ejeksi, yang saat ini menjadi standar, tidak dapat mengetahui kerusakan secara awal dan bila ditemukan kardiomiopati maka kerusakan sudah terlambat. Penggunaan biomarker dan teknik pencitraan ekokardiografi dengan strain dipikirkan dapat memberi gambaran kejadian kardiomiopati awal. Oleh karena itu, perlu dilakukan aplikasi dari penggunaan troponin dalam memprediksi kejadian kerusakan jantung pada pasien yang menjalani kemoterapi berbasis antrasiklin.

Tujuan. Untuk mengetahui hubungan antara peningkatan kadar high sensitivity troponin I dengan kejadian kardiomiopati subklinis pada pasien kanker yang yang menjalani kemoterapi berbasis antrasiklin

Metode. Studi kohort prospektif dilakukan pada Januari-September 2023. Pasien kanker berusia diatas 18 tahun yang mendapatkan kemoterapi berbasis antrasiklin di Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo dan Rumah Sakit Kanker Dharmais direkrut untuk penelitian. Pemeriksaan high sensitivity troponin dilakukan pada 6 titik waktu pra dan pascasiklus pertama, kedua, dan ketiga. Pemantauan Global longitudinal strain dilakukan sebelum kemoterapi, pascakemoterapi siklus ke 2,  siklus ke 4 dan siklus ke 6.  Kardiomiopati subklinis didefinisikan sebagai penurunan GLS >15% dari data dasar. Dibuat kurva ROC dari nilai titik potong high sensitivity troponin I  terhadap kejadian kardiomiopati subklinis.  

Hasil. Dari 61 subjek, didapatkan insiden kardiomiopati subklinis sebesar 29,4% (95% IK 9,4-18,6). Tidak didapatkan titik potong dari perubahan high sensitivity troponin I dalam memprediksi kardiomiopati subklinis.

Kesimpulan. Tidak didapatkan hubungan antara kadar high sensitivity troponin I dengan kejadian kardiomiopati subklinis pada pasien kanker yang yang menjalani kemoterapi berbasis antrasiklin.


Background. Chemotherapy based anthracycline induced cardiomyopathy has a significant impact on cancer patients. Monitoring heart function based on ejection fraction, which currently is the standard, cannot detect damage early and by the time cardiomyopathy is detected, the damage is already advanced. The use of biomarkers and echocardiographic imaging techniques with strain is thought to provide insight into early cardiomyopathy occurrences. Therefore, there is a need to apply troponin usage in predicting heart damage events in patients undergoing anthracycline-based chemotherapy.

Aim. To determine the relationship between an increase in high sensitivity troponin I levels and subclinical cardiomyopathy incidence in cancer patients undergoing anthracycline-based chemotherapy.

Method. A prospective cohort study was conducted from January to September 2023. Cancer patients over 18 years of age receiving anthracycline-based chemotherapy at Cipto Mangunkusumo Hospital and Dharmais Cancer Hospital were recruited for the research. High sensitivity troponin examinations were conducted at 6 pre- and post-cycle time points (first, second, and third cycles). Global longitudinal strain monitoring was performed before chemotherapy, after the second cycle, fourth cycle, and sixth cycle. Sublinical cardiomiopathy is defined as a reduction in GLS > 15% from baseline. An ROC curve was generated for the high sensitivity troponin I cutoff values against subclinical cardiomyopathy occurrences.

Results. Out of 61 subjects, incidence of subclinical cardiomyopathy was found to be 29.4% (95% CI 9.4-18.6). No cutoff point was found for changes in high sensitivity troponin I in predicting subclinical cardiomyopathy.

Conclusion. There was no relationship found between high sensitivity troponin I levels and subclinical cardiomyopathy occurrences in cancer patients undergoing anthracycline-based chemotherapy."

Lengkap +
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2023
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Pasaribu, Hotber Edwin Rolan
"Latar belakang : Resusitasi cairan merupakan hal penting dalam penatalaksanaan renjatan hypovolemik pada penderita sakit kritis. Pada umumnya pemberian cairan dalam jumlah besar dan waktu secepatnya sesuai dengan protokol early goal directed therapy EGDT . Pemberian cairan dalam jumlah yang besar dan waktu secepatnya diketahui dapat berkontribusi terhadap terjadinya hypervolemik. Berdasarkan hal tersebut diperlukan suatu pemeriksaan yang dapat mengetahui bahwa resusitasi cairan yang sedang diberikan tidak menyebabkan hipervolemik.
Tujuan : 1 Melihat hubungan antara kadar troponin-i dengan resusitasi hipervolemik pada hewan model dan 2 Melihat hubungan antara troponin-i dengan kontraktilitas jantung pada hewan model.
Metode Penelitian : Penelitian ini adalah penelitian pre dan post intervention. Penelitian telah dilaksanakan pada 8 ndash; 18 juni 2017 di FKH IPB Bogor. Hewan model renjatan adalah 10 ekor Sus Scrofa jantan usia 6-8 minggu. Renjatan dilakukan dengan metode fixed pressure hemorrhage. Resusitasi pertama dilakukan dengan jumlah cairan sesuai darah yang dikeluarkan resusitasi normovolemik , dilanjutkan dengan 40 ml/kg resusitasi hipervolemik-1 dan 40 ml/kg yang kedua resusitasi hipervolemik-2 . Pengukuran kontraktilitas jantung dengan menggunakan parameter DPmax pada PiCCO dan Kadar troponin-i diukur dengan menggunakan alat iStat dari Abbott.
Hasil Penelitian : Terdapat peningkatan kadar troponin-i pasca resusitasi cairan hipervolemik p = 0,005 . Terdapat penurunan kontraktilitas jantung pasca resusitasi hipervolemik. Penurunan kontraktilitas jantung berhubungan dengan peningkatan troponin-i r=0,72; p=0,02
Simpulan : Pada hewan model terdapat hubungan antara hipervolemik dengan peningkatan troponin-i. Terdapat hubungan antara penurunan kontraktilitas jantung dengan peningkatan kadar troponin-i.

Background: Fluid resuscitation is fundamental to the acute shock hypovolemic of critically ill patient. In general, however, early and appropriate goal directed fluid therapy EGDT contributes to a degree of fluid hypervolemic in most if not all patients. Propose that assessment of hypervolemic should be considered as potentially biomarker of critical illness.
Objective : 1 To investigating the effect of fluid resuscitation in animal model with special concern on troponin-i value, 2 To investigating the corelation myocard contractility with troponin-i level.
Methods : This study is pre and post intervention. Were did at June 2017 8st ndash; 18st at FKH-IPB Bogor. Animal model were 10 male domestic pigs, 6-12 weeks old. The shock was induced with fixed pressure hemorrhage method. Fluid resuscitation was done in 2 phase. On the first attempt we replaced total number of blood that withdrawn normovolemic resuscitation . The second attempt, we gave 40 ml/kg resuscitation fluids hypervolemic resuscitation . Cardiac contractility meassurements were done with DPmax the part of PiCCO parameter.
Results: We found that serum troponin-i increase after hypervolemic resuscitation r=0,81;p=0,005 . DPmax decrease significantly after the second resucitation attempt r = 0,72; p=0,02 .
Conclusions: Hypervolemic resucitation in this animal model produced significantly troponin-i elevated. There is a corelation between cardiac contractility decrease with troponin-i level elevated."
Lengkap +
Depok: Universitas Indonesia, 2018
SP-Pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Isti Ansharina Kathin
"Pada penyakit jantung bawaan (PJB) non-sianotik pirau kiri ke kanan dapat terjadi aliran yang berlebihan ke jantung kanan sehingga terjadi peningkatan tekanan arteri pulmonalis, yang disebut dengan hipertensi pulmonal (HP). Kondisi ini menyumbang angka kematian dan kesakitan pada PJB. Untuk mendeteksi adanya HP perlu pemeriksaan invasif yaitu kateterisasi jantung. Pemeriksaan yang lebih mudah dan murah diperlukan untuk mendeteksi HP, salah satunya yang sedang dikembangkan adalah biomarker jantung troponin I. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui karakteristik pasien, kadar troponin I, dan perbedaan kadar troponin I pada pasien PJB non-sianotik dengan dan tanpa HP sekunder di Rumah Sakit Ciptomangunkusumo (RSCM). Penelitian ini merupakan suatu studi potong lintang analitik terhadap 56 pasien sepanjang Juni-November 2021. Data diambil secara consecutive sampling. Tiga jenis PJB non-sianotik dengan HP terbanyak adalah atrial septal defect (ASD) soliter, ventricular septal defect (VSD) soliter, dan VSD-patent ductus arteriosus (PDA). Status gizi terbanyak adalah gizi buruk. Komorbiditas terbanyak adalah sindrom Down. Median kadar troponin I pada pasien dengan PJB non-sianotik adalah 4,55 pg/mL, dengan perbedaan bermakna pada median kelompok HP adalah 5,6 pg/mL, dan kelompok non-HP adalah 2,6 pg/mL (p<0,05).

In left to right shunt acyanotic congenital heart disease (CHD), can occur excessive flow to right heart resulting in increase in pulmonary arterial pressure called pulmonary hypertension (PH). This contributed to morbidity and mortality in CHD. To detect the presence of PH requires cardiac catheterization, an invasive examination. An easier and cheaper examination is needed to detect PH. One of which was being developed is a cardiac biomarker of troponin I. This study aimed to determine patient characteristics, troponin I levels, and differences in troponin I levels in acyanotic CHD patients with and without secondary PH at Ciptomangunkusumo Hospital (RSCM). This study was a cross-sectional analytic study of 56 patients during June-November 2021. Data were taken by consecutive sampling. The most common types of acyanotic CHD with PH were solitary atrial septal defect (ASD), solitary ventricular septal defect (VSD), and VSD-patent ductus arteriosus (PDA). The most nutritional status was severe malnutrition. The median troponin I level in patients with acyanotic CHD was 4.55 pg/mL, with a significant difference in the median HP group was 5.6 pg/mL, while the non-PH group was 2.6 pg/mL (p<0.05)."
Lengkap +
Depok: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2022
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Ester Marsaulina
"Golongan antrasiklin merupakan kemoterapi pilihan pertama untuk penanganan kanker payudara, khususnya pada pasien lanjut usia. Namun beberapa penelitian melaporkan terkait kejadian tidak diharapkan pada penggunaan antrasiklin. Penelitian ini dilakukan bertujuan untuk mengidentifikasi kejadian tidak diharapkan. Selain itu untuk mengetahui hubungan variabel bebas terhadap kejadian tidak diharapkan pada penggunaan rejimen berbasis antrasiklin. Penelitian ini merupakan penelitian observasional dengan rancang penelitian potong lintang (cross-sectional).  Pengambilan sampel dilakukan secara retrospektif, pada pasien lanjut usia (≥60 tahun) di Rumah Sakit Kanker Dharmais. Pengambilan data mulai Januari 2018-Desember 2020. Identifikasi kejadian tidak diharapkan dari penggunaan kemoterapi berbasis antrasiklin menggunakan metode trigger tool khusus untuk pasien kanker. Analisis statistik digunakan untuk memperoleh karakteristik variabel bebas, selain itu untuk mengetahui hubungan variabel bebas terhadap kejadian tidak diharapkan. Pada 107 subjek, sebanyak 71% (n=76 pasien) teridentifikasi dengan trigger tool, seluruh subjek mengalami 122 trigger.rigger pemberian transfusi darah paling banyak ditemukan pada penelitian ini, yaitu pada 39% (n=30 pasien). Netropenia dan anemia merupakan KTD terbanyak yang teridentifikasi pada penggunaan kemoterapi berbasis antrasiklin. Seluruh KTD yang teridentifikasi merupakan kategori E sebanyak 251 kejadian. Pemberian transfusi darah merupakan variabel bebas yang mempunyai hubungan signifikan (p<0,05) dengan kejadian tidak diharapkan dari penggunaan kemoterapi berbasis antrasiklin pada pasien lanjut usia kanker payudara.

Anthracycline are the first choice chemotherapy for the treatment of breast cancer, particularly in elderly patients. However, several studies reported adverse events in the treatment of using anthracyclines. This study aims to identify adverse events. Furthermore, to find out more about how independent variables related to adverse event. An observational retrospective study of elderly patient (≥ 60 years) was conducted in a tertiary cancer hospital in Jakarta. Data were collected from January 2018 to December 2020. We used trigger tool specific for cancer patients to identify adverse event during anthracycline base regimen. Independent variables were evaluated in univariate analysis: age, weight loss, marital status, total cumulative dose, polypharmacy, types of anthracycline, metastatic status. Bivariate and multivariate analysis to find out relationship between independent variable and adverse event. In total, 107 subject records were collected and reviewed, there were 71% (n=76 patients) identified with trigger tool. Trigger were totally identified 122 times in 86 medical records. Neutropenia and anemia were the most common adverse events identified in our study. Adverse events with category E identified in all of the subject, as many as 251 events. Blood transfusion had significantly relationship (p<0,05) with adverse events in elderly breast cancer patients."
Lengkap +
Depok: Fakultas Farmasi Universitas Indonesia, 2022
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Dini Daniaty
"Latar belakang: Hampir sebagian besar pasien kanker akan memiliki keluhan kulit, rambut, dan kuku (KRK) terkait efek samping kemoterapi yang diberikan. Antrasiklin merupakan kemoterapi yang banyak digunakan pada pasien kanker. Meskipun jarang mengancam nyawa, kelainan KRK dapat menyebabkan penurunan kualitas hidup. Berbagai faktor risiko berpengaruh terhadap kelainan tersebut. Waktu timbulnya manifestasi kelainan KRK pada pasien kanker yang menjalani kemoterapi berbasis antrasiklin juga beragam munculnya. Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis hubungan antara usia, penyakit penyerta sistemik, status gizi, ECOG, dan anemia dengan manifestasi klinis KRK pada pasien kanker yang menjalani dua siklus kemoterapi berbasis antrasiklin.
Metode: Penelitian ini merupakan penelitian deskriptif analitik dengan kohort prospektif yang diikuti dalam dua siklus pertama kemoterapi berbasis antrasiklin. Sebesar 65 pasien kanker berusia di atas 18 tahun yang mendapatkan kemoterapi siklus pertama berbasis antrasiklin di RSUPN dr. Cipto Mangunkusumo. Semua SP dilakukan anamnesis, pemeriksaan dermatovenereologikus, dan dokumentasi klinis sampai sebelum kemoterapi siklus ke-3. Pencatatan faktor risiko, jenis, dan waktu timbulnya kelainan dilakukan apabila ditemukan manifestasi KRK.
Hasil: Kelainan kulit terbanyak berupa xerosis dan hiperpigmentasi. Anagen effluvium ditemukan pada 89,2% pasien kemoterapi. Melanonikia dan xanthonikia ditemukan pada 87,7% pasien. Xerosis ditemukan dengan median (minimum-maximum) 7 (2-56) hari, anagen effluvium timbul dalam median (minimum-maximum) 13(1-27 hari), dan melanonikia dengan median (minimum-maximum) 23(1-65) hari. Tidak terdapat hubungan antara usia, penyakit penyerta sistemik, status gizi, status performa ECOG, dan anemia dengan manifestasi KRK pada pasien kanker yang menjalani dua siklus kemoterapi berbasis antrasiklin.
Kesimpulan: Semua pasien memiliki kelainan KRK. Kelainan yang paling cepat timbul adalah xerosis, diikuti anagen effluvium, dan melanonikia. Tidak ditemukan hubungan antara usia, penyakit penyerta sistemik, status gizi, status performa ECOG, dan anemia dengan manifestasi KRK pada pasien kanker yang menjalani dua siklus kemoterapi berbasis antrasiklin.

Background: Nearly most cancer patients experience skin, hair, and nail complaints due to chemotherapy side effects. Anthracycline-based chemotherapy is widely utilized in cancer care. While rarely life-threatening, cutaneous, hair, and nail alterations can significantly impact quality of life. Several risk factors influence these disorders. The onset timing of skin, hair, and nail manifestations varies among cancer patients undergoing anthracycline-based chemotherapy. This study analyses the association between age, systemic comorbidities, nutritional status, ECOG performance status, and anaemia with clinical manifestations of skin, hair, and nails in cancer patients undergoing two cycles of anthracycline-based chemotherapy.
Methods: This is an analytical descriptive study involving a prospective cohort followed during the first two cycles of anthracycline-based chemotherapy. A total of 65 cancer patients aged above 18, receiving the first cycle of anthracycline-based chemotherapy at RSUPN dr. Ciptomangunkusumo, were enrolled. All subjects underwent anamnesis, dermatovenereological examination, and clinical documentation before the third chemotherapy cycle. Risk factors, type, and onset time of abnormalities were recorded upon detection of skin, hair, and nail manifestations.
Results: All patients presented with skin, hair, or nail abnormalities. The most rapidly occurring abnormalities were xerosis, followed by anagen effluvium and melanonychia. No correlation was found between age, systemic comorbidities, nutritional status, ECOG performance status, and anaemia with skin, hair, and nail manifestations in cancer patients undergoing two cycles of anthracycline-based chemotherapy. Conclusions: The most frequent skin abnormalities observed were xerosis and hyperpigmentation. Anagen effluvium was detected in 89.2% of chemotherapy patients. Melanonychia and xanthonychia were found in 87.7% of patients. Xerosis had a median (min-max) onset of 7 (2-56) days, anagen effluvium manifested within a median (min- max) of 13 (1-27) days, and melanonychia with a median (min-max) onset of 23 (1-65) days. There was no association found between age, systemic comorbidities, nutritional status, ECOG performance status, and anaemia with skin, hair, and nail manifestations in cancer patients undergoing two cycles of anthracycline-based chemotherapy.
"
Lengkap +
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2024
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Hana Soraya
"Latar Belakang: Beban penyakit gagal jantung semakin meningkat dan sekitar 50% kasus adalah HFrEF. Penyakit jantung koroner merupakan penyebab utama HFrEF. Pada kasus ini, pemulihan fungsi ventrikel kiri merupakan tujuan utama terapi karena berhubungan dengan penurunan risiko kejadian kardiovaskular. 1 Populasi dengan pemulihan FEVK dikategorikan sebagai HFrecEF dimana populasi ini memiliki karakteristik yang berbeda. 2 Belum terdapat suatu studi yang melihat prediktor pemulihan FEVK sesuai kriteria HFrecEF JACC pada populasi kardiomiopati iskemik setelah revaskularisasi lengkap.
Tujuan: Mengetahui faktor-faktor yang mempengaruhi terjadinya pemulihan FEVK pasca revaskularisasi lengkap operasi bedah pintas arteri koroner pada populasi kardiomiopati iskemik.
Metode: Sebuah penelitian kohort retrospektif dengan populasi penelitian kardiomiopati iskemik yang menjalani revaskularisasi lengkap dengan BPAK selama periode Januari 2019 sampai dengan Juli 2022 di Rumah Sakit Jantung dan Pembuluh Darah Harapan Kita.
Hasil: Terdapat 105 subjek yang memenuhi kriteria inklusi, dengan 72 (68,5%) subjek pada kelompok nonHFrecEF dan 33 (31,5%) subjek pada kelompok HFrecEF. Pada analisis multivariat, LVESD (OR 0,87; p=0,018)) merupakan prediktor independen HFrecEF. Penggunaan RAAS Inhibitor postoperatif menurunkan risiko mortalitas dalam 1 tahun secara signifikan (HR 0,036; p=0,07). Follow up kesintasan 1 tahun menunjukkan tidak ada perbedaan bermakna antara kelompok HFrecEF (95%) dan nonHFrecEF (96%) dengan nilai p=0,999. Terdapat perbedaan kesintasan yang signifikan antara pengguna RAAS Inhibitor dan bukan pengguna RAAS Inhibitor pada populasi penelitian (p<0,0001).
Kesimpulan: Nilai LVESD adalah prediktor independen pemulihan FEVK. Angka kesintasan 1 tahun pada seluruh populasi cukup baik yaitu lebih dari 90%. Penggunaan  RAAS Inhibitor pada penelitian ini tidak menunjukkan dampak pemulihan FEVK, namun pengaruhnya pada kesintasan 1 tahun menekankan pentingnya pemberian terapi optimal gagal jantung pada populasi ini.

It is estimated that the disease burden of heart failure has increased and about 50% of cases are HFrEF. Coronary heart disease is the main risk for heart failure. Left ventricular function recovery is the most important goals of heart failure therapy. It is associated with a reduced risk of cardiovascular events. These population is categorized as patients with HFrecEF where they have unique characteristics. There has not been a study looking at predictors of recovery of EF according to the JACC HFrecEF criteria in the ischemic cardiomyopathy population after complete revascularization.
Objectives: To evaluate the factors that predicts the recovery of FEVK after complete revascularization by coronary artery bypass surgery in the ischemic cardiomyopathy population.
Methods: This retrospective cohort study used secondary data. Basic data was obtained through medical record and registry of ischemic cardiomyopathy patients underwent complete revascularization with CABG during the period January 2019 to July 2022 at Harapan Kita Cardiovascular Hospital.
Results: A total of 105 subjects were obtained, there were 72 (68.5%) subjects in the nonHFrecEF group and 33 (31.5%) subjects in the HFrecEF group. In multivariate analysis, LVESD (OR 0.87; p=0.018)) was an independent predictor of HFrecEF. Postoperative use of RAAS Inhibitors reduced the risk of mortality within 1 year significantly (HR 0.036; p=0.07). No significant difference in 1 year survival follow-up between the HFrecEF (95%) and non-HFrecEF (96%) groups with p = 0.999. There was a significant difference in survival between RAAS Inhibitor users and non-RAAS Inhibitor users in the entire study population (p<0.0001).
Conclusion: In ischemic cardiomyopathy patients undergoing CABG, LVESD score is an independent predictor of recovery of LVEF. The 1-year survival rate in the entire population was >90%. Although the use of RAAS inhibitors in this study did not show an impact on recovery of LVEF, its effect on 1-year survival emphasizes the importance of providing optimal therapy for heart failure in this population.
"
Lengkap +
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2022
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Jeffrey Wirianta
"Penyakit jantung koroner (PIK) merupakan suatu proses inflamasi, beberapa petanda inflamasi dievaluasi sebagai prediktor risiko kejadian koroner. Salah satu petanda inflamasi sistemik yang diproduksi di hati yakni high sensitivity C-reactive protein (hsCRP).
Beberapa tahun terakhir ini banyak dilakukan penelitian tentang pengaruh radikal bebas dan peran antioksidan pada aterosklerosis dengan hasil yang bermakna walaupun masih diperdebatkan. Salah satu antioksidan yang memberikan harapan untuk mencegah aterosklerosis adalah teh hijau.
Tujuan Penelitian
Untuk membuktikan penurunan proses inflamasi sistemik pada pemberian teh hijau pada kelinci yang diberi diet aterogenik.
Metologi
Penelitian dilakukan pada 20 ekor kelinci New Zealand White jantan usia 4-5 bulan. Adaptasi dilakukan selama 4 minggu dan mendapat pakan standar (normal) yang mengandung 20.31% protein, 5,8% lemak, 40.03% karbohidrat dan 13.63%, selanjutnya dibagi menjadi 4 kelompok secara acak berdasarkan rasio kadar kolesterol total/HDL, yang masing-masing berjumlah 5 ekor yaitu: kelompok A diberi diet normal, kelompok B diberi diet normal ditambah teh hijau, kelompok C diberi diet aterogenik dan kelompok D diberi diet aterogenik ditambah teh hijau. Kadar hsCRP sebagai petanda inflamasi sistemik diperiksa pada minggu ke-12 dengan metode immunoturbidimetri. Analisa statistik dengan anova dan pengujian menggunakan uji pembandingan berpasangan (uji t).
Hasil
Kadar rerata hsCRP kelompok A 0.174+0.0948 mg/liter, rerata kelompok B 0.136+0.416 mg/liter, rerata kelompok C 0.350+0.1044 mg/liter dan rerata kelompok D 0.202+0.046 mg/liter. Pemberian teh hijau pada kelompok B tidak menurunkan kadar hsCRP secara bermakna dibanding kelompok A (0.038+0.084 mg/liter, p=0.185). Diet aterogenik pada kelompok C meningkatkan kadar hsCRP kelinci sebesar 0.176+0.1534 mg/liter, yang secara statistik berbeda bermakna dibanding kelompok A (p=4.0311). Penambahan teh hijau pada diet aterogenik pada kelompok D menurunkan kadar hsCRP sebesar 0.148+0.0608 mg/liter dan berbeda bermakna secara statistik dibanding kelompok C (p=0.03).
Kesimpulan
Teh hijau menurunkan kadar hsCRP sebagai petanda inflamasi-sistemik pada kelinci yang diberi diet aterogenik.

Background
Coronary artery disease is an inflammation disease and some inflammation markers have been evaluated as risk predictors for coronary events. One of the inflammation markers which are produced in liver is high sensitivity C-reactive protein (hsCRP). Recently, there are studies about free radicals and anti-oxidant effect in preventing atherosclerosis.
Methods
Twenty New Zealand White Rabbits, male, were given normal feeding for 4 weeks as an adaptation period. They were divided randomly into 4 groups, group A were given normal diet, group B were given normal diet and 6% green tea, group C were given atherogenic diet and group D were given atherogenic diet and 6% green tea. The hsCRP level and lipid profile were evaluated at the 12 week
Result
The mean of hsCRP level in group A is 0.174+0.0948 mg/liter, in group B is 0.136+0.416 mg/liter, in group C is 0.350± 0.1044 mg/liter and the mean of hsCRP level in group D is 0.202 + 0.046 mg/liter. Green tea in group B did not decrease the hsCRP level significantly compare to group A (0.038+0.084 mg/liter, p=4.185). Atherogenie diet in group C increased the hsCRP level 0.176±0.1534 mg/liter, which is significant compare to group A (p=0.0311). Six percent of green tea decreased the hsCRP level in group D 0.1480.0608 mg/liter and is significant compare to group C (1=0.03).
Conclusion
Green tea decreased the hsCRP level as inflammation marker in rabbits that were given atherogenic diet.
"
Lengkap +
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2004
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Yusuf Huningkor
"Latar Belakang: Kadar hsCRP berhubungan dengan mayor adverse cardiac events. Pada PJK stabil, hubungan antara kadar hsCRP dengan skor SYNTAX sebagai gambaran derajat aterosklerosis koroner belum jelas.
Tujuan: Mengetahui hubungan antara kadar hsCRP dengan skor SYNTAX pada penderita PJK stabil, dan mengetahui titik-potong kadar hsCRP yang dapat membedakan antara kelompok skor SYNTAX rendah dengan yang tinggi.
Metode: Observasional potong-lintang pada consecutive 93 subjek penderita PJK stabil dewasa yang menjalani angiografi koroner di RSUPNCM pada bulan Mei sampai September 2018, untuk memperoleh skor SYNTAX. Diambil darah dari arteri perifer sebelum tindakan angiografi untuk pemeriksaan hsCRP dan laboratorium dasar. Dieksklusi penderita infeksi berat, trauma, PGK, sirosis hati, keganasan, pengobatan steroid. Selanjutnya data dikumpulkan dan dianalisis. Skor SYNTAX dikelompokkan tinggi bila > 27, dan rendah bila nilai < 27. Untuk menilai titikpotong kadar hsCRP dipakai uji Sperman karena distribusi data tidak normal.
Hasil: Ditemukan rerata umur 60,23 tahun (SB 8,984), IMT 26,30 Kg/m2 (SB 3,903), kol-LDL 117,74 mg/dL (SB 36,31). Kadar hsCRP dan skor SYNTAX tidak dipengaruhi oleh IMT atau kol-LDL (hsCRP-IMT: r:0,032; p:0,772; skor SYNTAX-IMT: r:-0,021; p:0,849; hsCRP-kol LDL: r:-0,149; p:0,266; skor SYNTAX-kol LDL: r:0,159; p:0,234). Ditemukan korelasi positif lemah hsCRP dengan skorSYNTAX (r:0,270; p:0,009) dan Titik-potong pada kadar hsCRP 2,35 mg/L (sensitifitas 0,69; spesifisitas 0,53). Nilai AUC 0,554, IK 95%, p: 0,472, merupakan diskriminasi yang kurang baik.
Simpulan: Pada penderita PJK stabil, kadar hsCRP berkorelasi positif lemah dengan skor SYNTAX sebagai gambaran derajat aterosklerosis. Kadar hsCRP dengan titik-potong > 2,35 mg/L dapat membedakan kelompok yang mempunyai skor SYNTAX rendah dengan kelompok skor SYNTAX tinggi, namun nilai prediksinya relatif rendah.

Background: High sensitivity C-reactive protein levels are associated with mayor adverse cardiac events. In stable CAD, the association of baseline hcCRP level with coronary atherosclerosis severity assessed by SYNTAX score were not clear.
Objective: To investigate the association between hsCRP level and SYNTAX score in patients with stable CAD, and to know cut-off point of hsCRP level which can differentiated between the group of low SYNTAX score and of high SYNTAX score.
Methods: Cross-sectional observation to the consecutive 93 subject adult patients of stable CAD, undergoing coronary angiography in Cipto Mangunkusumo General Hospital on May to September 2018 to obtain SYNTAX score. The blood tests were taking from pheripheral artery prior to carrying out of coronary angiography to obtain level of hsCRP and laboratory data base. The exclusion were severe infection, trauma, CKD, cirrhosis hepatis, malignancy, and steroid therapy. The SYNTAX score will be differentiated between the group of high if the value > 27, and the group of low if the value < 27. Sperman analysis will be used to evaluate hsCRP cut-off point.
Results: Average age was 60,23 year (SD 8,984), BMI 26,30 Kg/m2 (SD 3,903), and LDL-chol 117,74 (SD 36,31). The Level of hsCRP and SYNTAX score were not influenced by BMI or LDL-chol (hsCRP - BMI: r:0,032; p:0,772; SYNTAX score - BMI: r:-0,021; p:0,849; hsCRP- LDL-chol: r:-0,149; p:0,266; SYNTAX score - LDL-chol: r:0,159; p:0,234). We found positif corelation (weak) between hsCRP and SYNTAX Score (r:0,270; p:0,009). Cut-off point was found in the hsCRP level 2,35 mg/L (sensitivity 0,69; spesivisity 0,53). AUC 0,554, CI 95%, p: 0,472, were the poor discrimination.
Conclusions: There were positif (weak) correlation between hsCRP level and SYNTAX score in stable CAD patients. Cut-off point in the hsCRP level > 2,35 mg/L can differentiated between the group of low SYNTAX score and of high SYNTAX score, but the prediction value is low-grade.
"
Lengkap +
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2018
SP-Pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Luh Ari Indrawati
"Latar Belakang. Penggunaan obat antiepilepsi (OAE) generasi lama (karbamazepin, fenitoin, fenobarbital dan asam valproat) mendominasi tatalaksana epilepsi di Indonesia. OAE tersebut berpotensi menimbulkan efek samping obesitas, peningkatan fraksi lipid aterogenik, peningkatan homosistein, resistensi insulin dan stres oksidatif yang merupakan faktor risiko ateroksklerosis dan penyakit kardiovaskular. Oleh karena itu diperlukan penilaian risiko global kejadian kardiovaskular dan aterosklerosis pada orang dengan epilepsi (ODE) yang menggunakan OAE generasi lama, yaitu dengan mengukur kadar hs-CRP plasma. Molekul hs-CRP merupakan penanda biologis inflamasi tingkat rendah dan penyebab langsung aterosklerosis.
Metode. Desain penelitian adalah potong lintang yang membandingkan kelompok studi (ODE yang menggunakan OAE generasi lama) dan kelompok orang normal yang usia dan jenis kelaminnya disesuaikan. Subjek kelompok studi didapatkan dari populasi ODE yang kontrol di Poliklinik Saraf RS Cipto Mangunkusumo dan Yayasan Epilepsi Indonesia. Dilakukan wawancara, pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan laboratorium pada semua subjek.
Hasil. Didapatkan masing-masing 44 subjek kelompok studi dan kontrol. Kadar hs-CRP pada kelompok studi (1,19 (0,27-9,13) mg/L) lebih tinggi secara signifikan dibandingkan kelompok kontrol (0,745 (0,13-4,9) mg/L). Tidak terdapat hubungan signifikan antara usia, jenis kelamin, tipe bangkitan terakhir, jenis dan jumlah OAE dengan kadar hs-CRP. Kadar hs-CRP cenderung lebih tinggi pada ODE yang menggunakan OAE generasi lama penginduksi ekstensif enzim CYP (fenitoin, karbamazepin dan fenobarbital) dibandingkan asam valproat (1,785 (0,27-9,13) vs 0,77 + 0,36 mg/L). Kadar hs-CRP kelompok OAE penginduksi enzim CYP lebih tinggi secara bermakna dibandingkan kontrol, sedangkan rerata kadar hs-CRP kelompok asam valproat tidak berbeda dengan kontrol. Kadar hs-CRP juga cenderung lebih tinggi pada kelompok politerapi (2,255 (0,43-8,67) mg/L) dibandingkan monoterapi (1,105 (0,27-9,13) mg/L). Nilai median kadar hs-CRP kelompok politerapi penginduksi-penginduksi enzim CYP lebih tinggi (3,11 (1,80-8,67) mg/L) dibandingkan kelompok politerapi penginduksi-bukan penginduksi enzim (0,96 (0,43-4,59) mg/L). Pada analisis multivariat, interaksi antara jumlah dan jenis OAE berhubungan dengan kadar hs-CRP secara bermakna.
Simpulan. Kadar hs-CRP pada ODE yang menggunakan OAE generasi lama lebih tinggi dibandingkan kelompok kontrol. Kadar hs-CRP cenderung lebih tinggi pada ODE yang menggunakan OAE generasi lama penginduksi ekstensif enzim CYP dan menggunakan OAE politerapi. Terdapat peningkatan risiko mengalami kejadian kardiovaskular dan aterokslerosis yang lebih tinggi pada ODE yang menggunakan OAE generasi lama penginduksi ekstensif enzim CYP baik monoterapi maupun politerapi.

Background. Old generation antiepileptic drugs (AED), including carbamazepine, phenytoin, phenobarbital and valproic acid are still utilized extensively in treating epilepsy patients (EP) in Indonesia. Those drugs are potencial causing obesity, higher atherogenic lipid fraction, higher homocysteine, insulin resistance and oxidative stress which are atherosclerosis risk factor and cardiovascular events. Therefore, atherosclerosis and cardiovascular global risk assesment is required in epilepsy patients treated with those AED by measuring high sensitivity C-reactive Protein (hs-CRP). Hs-CRP is well-known biomarker of chronic low level inflammatory and direct etiology of atherosclerosis.
Method. This is a cross sectional study comparing study group (EP treated with old generation AED) and control group (healthy subjects), age and sex are matched. Subjects of study group are selected from EP who are visiting neurology outpatient clinic in Cipto Mangunkusumo Hospital and Indonesia Epilepsy Foundation. All subjects underwent interview, physical examination and laboratory investigations.
Result. Forty four patients are selected for each group. Hs-CRP level of study group (1.19 (0.27-9.13) mg/L) is significantly higher compared to control group (0.745 (0.13-4.9) mg/L). No significant correlation between age, sex, last epileptic seizure type, AED type and duration with hs-CRP level. Hs-CRP level in EP treated with extensive CYP-inducer AED tend to be higher than valproic acid-treated patients (1.785 (0.27-9.13) vs 0.77 + 0.36 mg/L). Hs-CRP level in EP treated with extensive CYP-inducer AED is significantly higher compared to their control group, whereas no difference in valproic acid group compared to their control. Polytherapy group (2.255 (0.43-8.67) mg/L) tends to have higher hs-CRP level compared to monotherapy group (1.105 (0.27-9.13) mg/L). Median of hs-CRP in extensive CYP-inducer polytherapy (3.11 (1.80-8.67) mg/L) is higher than polytherapy with combination AED (0.96 (0.43-4.59) mg/L). In multivariat analysis, interaction between number and type of AED is significantly related to hs-CRP level.
Conclusion. Level of hs-CRP in EP treated with old generation AED is significantly higher than control. Hs-CRP level tends to be higher in EP treated with CYP inducer AED and polytherapy although not reaching significant point. Therefore, there is increased cardiovascular events and atherosclerosis risk in EP treated with extensive CYP-inducer AED in monotherapy and polytherapy manner.
"
Lengkap +
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2014
SP-Pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Vera Muharrami
"Latar Belakang: Defek septum intraventrikel merupakan salah satu penyakit jantung bawaan yang paling sering ditemukan di Indonesia dengan angka kejadian 3,6-6,5 per 1000 kelahiran hidup atau sekitar 20%-30% dari penyakit jantung bawaan. Sebanyak 32% dari kasus memerlukan dilakukannya operasi penutupan defek septum intraventrikel. Pada operasi penutupan defek septum intraventrikel diperlukan penggunaan mesin pintas jantung-paru atau cardiopulmonary bypass (CPB) yang secara teoritis dihubungkan dengan inflamasi akibat penglepasan mediator proinflamasi yang dapat mengakibatkan kerusakan miokard. Hal ini menyebabkan praktisi dalam tim pembedahan jantung menggunakan strategi untuk mengatasi, antara lain dengan penggunaan steroid. Data dan uji klinis mengenai masalah tersebut masih terus dilakukan. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui efek deksametason 1mg/kg (max 15 mg) dibandingkan metilprednisolon 30 mg/kg (max 500 mg) dalam mencegah penurunan kontraktilitas miokard dan peningkatan kadar troponin I pascabedah penutupan defek septum intraventrikel.
Metode: Telah dilakukan penelitian uji klinis acak tersamar tunggal pada 36 pasien anak yang menjalani operasi penutupan defek septum intraventrikel antara bulan Januari 2019 hingga April 2019, yang dialokasikan ke dalam kelompok metilprednisolon (kelompok standar) atau kelompok deksametason. Pemeriksaan ekokardiografi untuk menilai kontraktilitas miokard (fraksi ejeksi, fraksi pemendekan, peak E velocity, peak A velocity dan rasio E/A) dilakukan 1 hari sebelum operasi dan 8 jam pasca-CPB sedangkan pemeriksaan sampel darah untuk menilai kadar troponin I dilakukan pada awal induksi dan 8 jam pasca-CPB. Pemeriksaan troponin I dilakukan dengan metode ELISA. Data yang diperoleh dianalisis dengan uji statistik yang sesuai.
Hasil: 36 pasien yang menjalani operasi VSD yang memenuhi kriteria penerimaan, 35 pasien dianalisis karena 1 pasien kelompok deksametason meninggal sebelum 8 jam pasca-CPB. Karakteristik demografi, data kontraktilitas miokard dan kadar troponin I praoperatif dan pascaoperatif seimbang pada kedua kelompok. Kontraktilitas miokard pada kelompok metilprednisolon dan deksametason turun bermakna pada 8 jam pasca-CPB. Kadar troponin I 8 jam pascabedah pada kelompok metilprednisolon naik bermakna sedangkan kadar troponin I pada kelompok deksametason berbeda naik tidak bermakna.
Simpulan: Deksametason dapat digunakan dalam upaya mencegah inflamasi sistemik akibat operasi jantung terbuka. Ketersediaan deksametason cukup baik di seluruh Indonesia dan lebih ekonomis dibandingkan metilprednisolon.

Background: Ventricular septal defect is one of the most common congenital heart disease found in Indonesia with an incidence of 3.6-6.5 per 1000 live births or around 20% -30% of congenital heart disease. 32% of cases require ventricular septal defect closure surgery. Surgical closure of the ventricular septal defect requires the use of a heart-lung bypass machine or cardiopulmonary bypass (CPB) which is theoretically associated with inflammation due to the release of proinflammatory mediators which can result in myocardial damage. This caused practitioners in the heart surgery team to use strategies to overcome, including the use of steroids. Data and clinical trials regarding these problems are still ongoing. The aim of this study was to determine the effect of dexamethasone 1mg/kg (max 15mg) versus methylprednisolone 30mg/kg (max 500mg) in preventing a decrease in myocardial contractility and an increase in troponin I levels after surgical closure of ventricular septal defects.
Methods: A single randomized clinical trial study was conducted in 36 pediatric patients undergoing ventricular septal defect surgery between January 2019 until April 2019, which were allocated into the methylprednisolone group (standard group) or dexamethasone group. Echocardiography (baseline) was carried out 1 day before surgery and 8 hours post-CPB to assess myocardial contractility (ejection fraction, shortening fraction, peak E velocity, peak A velocity and E/A ratio). Blood serum examination to assess troponin I levels was done at the beginning of induction and 8 hours post-CPB. Troponin I examination was carried out by the ELISA method. The data obtained were analyzed by the appropriate statistical test.
Results: 36 patients who undergoing VSD surgery who met the admission criteria, 35 patients were analyzed because 1 patient of the dexamethasone group died before 8 hours post-CPB. Demographic characteristics, myocardial contractility data and preoperative-postoperative troponin I levels were balanced in both groups. Myocardial contractility in the methylprednisolone and dexamethasone groups dropped significantly at 8 hours post-CPB. Troponin I levels 8 hours after surgery in the methylprednisolone group increased significantly but troponin I levels in the dexamethasone group increased no significant.
Conclusion: Dexamethasone can be used in an effort to prevent systemic inflammation due to open heart surgery. The availability of dexamethasone is quite good throughout Indonesia and is more economical than methylprednisolone.
"
Lengkap +
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2019
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>