Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 133315 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Abdul Wafiy
"Skripsi ini membahas pokok permasalahan sebagai berikut: 1) Bagaimana kaitan antara pelaksanaan proses konstruksi yang dilakukan secara bersamaan dengan pengurusan izin lingkungan berdasarkan Peraturan Presiden No18/2016 dengan Undang-Undang No.32/2009; 2) Bagaimana kesesuaian putusan Mahkamah Agung No.27 P/HUM/2016 terkait pelaksanaan proses konstruksi yang dilakukan bersamaan dengan pengurusan izin lingkungan. Bentuk penulisan skripsi ini adalah penulisian yuridis normatif, yakni penulisan yang dilakukan dengan kajian hukum positif di Indoneisa dengan tipe penelitian persprektif yang bertujuan untuk memberikan solusi terkait permasalahan yang ada untuk di analisa berdasarkan perturan perundang-undangan yang berlaku di Indonesia, buku-buku, dan karya ilmiah yang terkait dengan permasalahan yang ada secara kualitatif. Berdasarkan permasalahan dan sumber-sumber tersebut, penulis menganalisis perihal kegunaan dan tujuan izin lingkungan dalam hukum lingkungan Indonesia, serta bagaimana kaitannya dengan proses konstruksi yang bersamaan dengan proses pengurusan izin lingkungan dalam Peraturan Presiden No.18/2016 yang digugat di Mahkamah Agung dalam putusan No.27 P/HUM/2016 yang dimana hakim menyatakan bahwa proses konstruksi yang dilakukan bersamaan dengan pengurusan izin lingkungan bertentangan dengan undang-undang No.32/2009 yang mengakibatkan hakim memutus untuk mencabut peraturan presiden tersebut. Secara ringkas, kesimpulan yang didapat menunjukkan bahwa izin lingkungan merupakan hal yang sangat penting dan berkaitan dengan kegiatan usaha dan dalam hal ini kegiatan proses konstruksi yang dimana izin lingkungan bertujuan untuk mencegah terjadinya kerusakan dan pencemaran lingkungan yang terjadi akibat dari usaha dan/atau kegiatan yang dilakukan manusia.

This thesis discusses the following issues: 1) What is the connection between the implementation of the construction process carried out simultaneously with the environmental permit arrangement based on Presidential Regulation No18 / 2016 with Law No.32 / 2009 ; 2) What is the conformity of the Supreme Court decision No.27 P / HUM / 2016 regarding the implementation of the construction process carried out in conjunction with environmental permit arrangement ?. The form of writing this thesis is juridical normative writing, namely writing done with a positive legal study in Indonesia with a type of perspective research that aims to provide solutions related problems that exist for the analysis based on laws and regulations applicable in Indonesia, books, and scientific work related to the existing problems qualitatively. Based on the problems and sources, the author analyzes the use and purpose of environmental permit in Indonesian environmental law, and how it relates to the construction process simultaneously with the process of environmental permit arrangement in Presidential Regulation No.18 / 2016 which is sued in the Supreme Court in decision No. .27 P / HUM / 2016 where the judge declares that the construction process carried out in conjunction with the environmental permit is contradictory to Law No.32 / 2009 which resulted in the judge deciding to revoke the presidential regulation. In summary, the conclusions indicated that the environmental permit is very important and related to the business activity and in this case the construction process activities in which the environmental permit aims to prevent the occurrence of damage and environmental pollution resulting from the business and / or activities undertaken human.
"
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2018
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Palupi Habsari
"

Kepentingan pembangunan dan kedudukan lingkungan hidup harus berjalan seimbang. Demi tercapainya pembangunan yang berkelanjutan dibutuhkan suatu instrumen perencanaan serta pengendalian pembangunan yang mempertimbangkan kedudukan lingkungan hidup. Instrumen pengendalian tersebut salah satunya tercantum dalam Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) yang disusun berdasarkan dokumen Kajian Lingkungan Hidup Strategis (KLHS). Namun kedudukan RTRW tersebut berubah sejak diterbitkannya PP Nomor 13 Tahun 2017 yang mengatur adanya penerbitan izin pemanfaatan ruang mengacu pada RTRW Nasional jika belum tercantum dalam RTRW Kab/Kota demi pelaksanaan kegiatan bernilai strategis nasional dan/atau berdampak besar. Penelitian ini bertujuan untuk menjelaskan adanya perubahan dalam proses perlindungan lingkungan hidup sejak diterbitkannya Pasal 114A PP Nomor 13 Tahun 2017. Berdasarkan penelitian ini ditemukan bahwa penerapan Peraturan Pemerintah Nomor 13 Tahun 2017 berimplikasi pada proses penerbitan izin pemanfaatan ruang dan jenjang rencana tata ruang wilayah. Pergeseran tersebut terlihat dari Pasal 114A PP Nomor 13 Tahun 2017 yang memungkinkan penerbitan izin pemanfaatan ruang tidak sesuai dengan perencanaan ruang daerah jika kegiatan pemanfaatan ruang bernilai strategis nasional dan/atau berdampak besar. Selain itu, pasca penerbitan Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Republik Indonesia Nomor P.26/Menlhk/Setjen/KUM.1/7/2018, Pasal 114A memberikan peluang bagi pemerintah untuk mengesampingkan atau menghapus salah satu kriteria kelayakan lingkungan hidup dalam penilaian dokumen Amdal yang merupakan dasar penerbitan izin lingkungan pada proyek- proyek berdampak besar dan/atau bernilai strategis nasional.

 


The interests of the development and the position of the environment must be balanced. To achieve sustainable development, a development planning and control instrument is needed that considers the position of the environment. One of the control instruments is listed in the Regional Spatial Plan (RTRW) which is compiled based on the Strategic Environmental Assessment (KLHS) document. However, the position of the Spatial Plan has changed since the issuance of Government Regulation Number 13 Year 2017 which regulates the issuance of permits for spatial utilization referring to the National RTRW if it has not been regulated in the Regency / City RTRW for the implementation of national strategic activities and / or major impacts. This study aims to explain the changes in the process of environmental protection since the issuance of Article 114A PP No. 13 of 2017. Based on this study it was found that the application of Government Regulation Number 13 of 2017 has implications for the process of issuing space utilization permits and impacts on the process of issuing environmental permits and levels spatial plans. This shift can be seen from Article 114A PP No. 13 of 2017 which allows the issuance of permits for spatial utilization not in accordance with regional spatial planning if the activities of spatial utilization are of national strategic value and / or have a large impact. In addition, after the issuance of Ministry Regulation of Environmental and Forest Number P.26/Menlhk/Setjen/KUM.1/7/2018,  Article 114A provides an opportunity for the government to override or delete one of the environmental feasibility criteria in the assessment of Amdal documents which are the basis for issuing environmental permits on projects having a large impact and / or national strategic value.

"
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia , 2019
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Fajri Fadhillah
"Skripsi ini membahas pokok permasalahan sebagai berikut: 1) Apakah pengertian dari asas kehati-hatian serta bagaimana kaitannya dengan asas tindakan pencegahan?; 2) Bagaimanakah perbandingan antara asas kehati-hatian dengan asas pertimbangan dan asas audi et alteram partem yang dikenal dalam Asas-asas Umum Pemerintahan yang Baik (AUPB)?; dan 3) Bagaimanakah kekuatan mengatur (normatif) dari asas kehati-hatian di Indonesia dan implementasinya dalam tindakan penempatan tailing di dasar laut? Bentuk penulisan skripsi ini adalah penulisan yuridis normatif dengan metode penelitian kepustakaan dan metode perbandingan. Analisis didasarkan pada studi literatur mengenai perkembangan teori dan pengaturan asas kehatihatian, dengan meninjau sumber hukum yang mengikat di Indonesia, baik yang merupakan regulasi nasional maupun internasional. Selain regulasi yang mengikat, putusan-putusan pengadilan juga dijadikan sumber penulisan. Berdasarkan sumber-sumber tersebut, penulis menganalisis perihal pengertian dan kekuatan mengatur dari asas kehati-hatian dalam hukum lingkungan Indonesia serta penerapannya di dalam tindakan penempatan tailing di dasar laut. Di dalam analisis, penulis menganalisis putusan PTUN Jakarta antara Walhi sebagai Penggugat dan Menteri Lingkungan Hidup Republik Indonesia sebagi Tergugat dalam sengketa izin penempatan tailing di Teluk Senunu. Terhadap putusan tersebut, terlihat dalam analisis penulis bahwa: 1) pandangan yang memandang asas kehati-hatian merupakan asas yang tidak bisa dijadikan alasan gugatan dan alat uji yuridis bagi hakim merupakan pandangan yang keliru; 2) asas kehati-hatian memiliki bobot atau kepentingan yang lebih besar dibandingkan dengan asas pertimbangan dan asas audi et alteram partem; 3) penempatan tailing di Teluk Senunu diliputi dengan ketidakpastian ilmiah, khususnya mengenai probabilitas terjadinya dampak kerusakan lingkungan di bagian laut dangkal dari Teluk Senunu. Selain itu, besaran dampak kerusakan lingkungan yang dapat terjadi di Teluk Senunu akan sulit untuk dikembalikan seperti semula dan juga dapat menjadi bencana yang besar bagi masyarakat sekitarnya; dan 4) asas kehati-hatian mengakui adanya unsur ketidakpastian ilmiah sehingga adanya partisipasi publik yang nyata dalam pengambilan keputusan merupakan tujuan dari asas kehati-hatian. Skripsi ini membahas pokok permasalahan sebagai berikut: 1) Apakah pengertian dari asas kehati-hatian serta bagaimana kaitannya dengan asas tindakan pencegahan?; 2) Bagaimanakah perbandingan antara asas kehati-hatian dengan asas pertimbangan dan asas audi et alteram partem yang dikenal dalam Asas-asas Umum Pemerintahan yang Baik (AUPB)?; dan 3) Bagaimanakah kekuatan mengatur (normatif) dari asas kehati-hatian di Indonesia dan implementasinya dalam tindakan penempatan tailing di dasar laut? Bentuk penulisan skripsi ini adalah penulisan yuridis normatif dengan metode penelitian kepustakaan dan metode perbandingan. Analisis didasarkan pada studi literatur mengenai perkembangan teori dan pengaturan asas kehatihatian, dengan meninjau sumber hukum yang mengikat di Indonesia, baik yang merupakan regulasi nasional maupun internasional. Selain regulasi yang mengikat, putusan-putusan pengadilan juga dijadikan sumber penulisan. Berdasarkan sumber-sumber tersebut, penulis menganalisis perihal pengertian dan kekuatan mengatur dari asas kehati-hatian dalam hukum lingkungan Indonesia serta penerapannya di dalam tindakan penempatan tailing di dasar laut. Di dalam analisis, penulis menganalisis putusan PTUN Jakarta antara Walhi sebagai Penggugat dan Menteri Lingkungan Hidup Republik Indonesia sebagi Tergugat dalam sengketa izin penempatan tailing di Teluk Senunu. Terhadap putusan tersebut, terlihat dalam analisis penulis bahwa: 1) pandangan yang memandang asas kehati-hatian merupakan asas yang tidak bisa dijadikan alasan gugatan dan alat uji yuridis bagi hakim merupakan pandangan yang keliru; 2) asas kehati-hatian memiliki bobot atau kepentingan yang lebih besar dibandingkan dengan asas pertimbangan dan asas audi et alteram partem; 3) penempatan tailing di Teluk Senunu diliputi dengan ketidakpastian ilmiah, khususnya mengenai probabilitas terjadinya dampak kerusakan lingkungan di bagian laut dangkal dari Teluk Senunu. Selain itu, besaran dampak kerusakan lingkungan yang dapat terjadi di Teluk Senunu akan sulit untuk dikembalikan seperti semula dan juga dapat menjadi bencana yang besar bagi masyarakat sekitarnya; dan 4) asas kehati-hatian mengakui adanya unsur ketidakpastian ilmiah sehingga adanya partisipasi publik yang nyata dalam pengambilan keputusan merupakan tujuan dari asas kehati-hatian.

This undergraduate thesis tries to answer this following questions: 1) What is definition of precautionary principle and how does the correlation between precautionary principle and peinciple of preventive action?; 2) How does the comparison between precautionary principle and consideration principle and audi et alteram partem principle?; and 3) How does the normativity level of precautionary principle in Indonesia and its implementation in submarine tailing disposal? This undergradute thesis. Analysis is based on literature study concerning development of theory and regulation on precautionary principle, considering enacted law in Indonesia, either national or international regulation. Beside the enacted law, case law is source of this writing. The author analyse normativity level of precautionary principle in Indonesian environmetal law and its implementation in submarine tailing disposal. The author analyses one case law, Walhi, et. al., vs Environmental Minister of RI, on a dispute of submarine tailing disposal in Senunu Bay permit given to PT. Newmont Nusa Tenggara. Based on that case, it is concluded that: 1) consideration from the judges that consider precautionary principle cannot become a reason of suit and legal test instrument is erroneous; 2) precautionary principle has a dimension of weight that is weightier than consideration principle and audi et alteram partem principle; 3) submarine tailing disposal in Senunu Bay is encompassed with scientific uncertainty, specifically in the aspect of probability of environmental impact in the shallow water of Senunu Bay. Beside that, the magnitude of harm that can happen in Senunu Bay is irreversible and catastrophic; and 4) precautionary principle recognizes the element of scientific uncertainty, so, the implementation of the principle requires a real public participation in decision making. In brief, the conclusion shows that the meaning of precautionary principle as a legal principle is understood in a wrong way by judges in PTUN Jakarta. Futhermore, the judges do not recognize the normativity element of precautionary principle in Indonesian environmental law. Whereas, submarine tailing disposal is an activity encompassed with scientific uncertainty, so precautionary principle is a suitable principle to become basis of consideration for judges.
"
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2015
S58147
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Nur Rachmi Widowati
"Bagi warga negara yang tunduk pada hukum waris perdata barat, penggugat memiliki hak untuk mendapatkan harta warisan sebagaimana dalam ketentuan hukum waris perdata barat. Hibah yang dilakukan oleh pewaris pada saat masih hidup menimbulkan permasalahan karena salah satu ahli waris merasa belum mendapatkan hak warisnya sehingga ahli waris tersebut menggugat ke Pengadilan. Hakim memutuskan untuk menolak gugatan, bahkan dalam tingkat Banding maupun Kasasi. Putusan hakim ini menimbulkan pertanyaan mengapa seseorang yang tunduk pada hukum waris perdata barat tidak berhak mendapatkan hak warisnya sesuai ketentuan. Penelitian ini menggunakan metode penelitan yuridis-normatif dan sifat penelitian ini adalah deskriptif analitis serta jenis data yang digunakan adalah jenis data sekunder sedangkan untuk teknik pengumpulan data adalah studi kepustakaan dan studi dokumen. Hasil dari penulisan tesis ini dimaksudkan untuk memberikan saran untuk umum dan khususnya untuk praktisi hukum.

For citizen are subject to The Civil Code, The plaintiff having right to get the estate of inheritance as in the legal heirs civil Code. Grant made by an heir at while still alive has created problems because one of the heirs are not yet earned the right heirs and the heirs of suing to court. A judge to refuse a lawsuit, even in of appeals and Kasasi. Judicial decisions that raises the question why someone who subject to the Civil Law have no right to earned the right heirs were in line with the regulation. This research using yuridis-normatif methods and the nature of the research is descriptive analytical as well as the type of data used is the type of secondary data, the technique of collection is a study literature and study documents. The result of the writing of the thesis is intended to provide advice to the public and particularly to a practitioner of law."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2019
T55135
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Bella Anastasia Pratiwi
"ABSTRAK
Dalam memeriksa dan mengadili perkara lingkungan hidup, hakim terlebih dahulu harus memeahami asas-asas kebijakan lingkungan. Dalam Keputusan Ketua Mahkamah Agung Nomor 36 Tahun 2013 dimuat mengenai asas In dubio pro natura yang dimuat didalam pembahasan mengenai prinsip kehati-hatian Precautionary Principle . Asas In dubia pro natura sudah digunakan sebagai pertimbangan Hakim untuk menghukum PT. KALLISTA ALAM. Akan tetapi jika dilihat dalam dokumen-dokumen Internasional dan dalam penggunaannya di negara-negara yang telah lama menggunakan asas In dubio pro natura, terdapat ketidaksesuaian dengan penggunaan asas ini di Indonesia. Dalam Skripsi ini diperoleh suatu kesimpulan bahwa asas In dubia pro natura di Indonesua belum dipandang jauh sebagai suatu asas yang berbeda dengan prinsip kehati-hatian Precautionary Principle . Asas In dubio pro natura hanya dipandang sebagai pedoman untuk berpihak kepada lingkungan tetapi belum secara tegas didefinisikan lingkup penggunaannya, sehingga dapat terjadi ketidakasdilan, dan bahkan tujuan dari prinsip tersebut untuk berpihak kepada lingkungan dapat saja tidak terpenuhi Metode penulisan dalam skripsi ini adalah Yuridis Normatif. Oleh karena itu, didalam skripsi ini dimuat mengenai perbedaan asas In dubio pro natura dan prinsip kehati-hatian Precautionary Principle.

ABSTRACT
In examining and adjudicating environmental cases, judges must first understand the principles of environmental policy. In the Decree of Supreme Court Number 36 of 2013 contains the principle named In dubio pro natura which is contained in the discussion of the Precautionary Principle. Principle In dubia pro natura has been used as a judge consideration to punish PT. KALLISTA ALAM. However, when viewed in international documents and in their use in countries that have long used the principle of In dubio pro natura, there is a discrepancy with the use of this principle in Indonesia. In this thesis, it can be concluded that the principle of In dubia pro natura in Indonesia has not been considered as a different principle from Precautionary Principle. The principle of In dubio pro natura is only seen as a guideline for siding with the environment but has not explicitly defined the scope of its use and even the purpose of that principle may be unfulfilled. The method of writing in this thesis is Juridical Normative. Therefore, in this thesis is published about the difference of principle In dubio pro natura and Precautionary Principle Precautionary Principle."
2017
S68756
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Candra Karjasan
"ABSTRAK
Terkait dengan parate eksekusi didalam ketentuan eksekusi gadai saham, pelaksanaan gadai saham pada praktiknya menimbulkan permasalahan hukum, khususnya dalam pengeksekusiannya. Hal tersebut ditandai dengan adanya penafsiran yang berbeda mengenai eksekusi gadai saham oleh praktisi hukum maupun yang dihasilkan oleh pengadilan, khususnya Mahkamah Agung Republik Indonesia, terkait dengan pengaturan jangka waktu dalam perjanjian gadai itu sendiri. Hal ini menggambarkan belum ada kesamaan penafsiran terhadap eksekusi gadai saham di Indonesia. Tentunya, perbedaan-perbedaan penafsiran inilah yang nantinya dalam praktik menimbulkan ketidakpastian hukum, khususnya yang terjadi dalam sengketa perjanjian gadai saham antara PT. BFI Finance, Tbk (PT. BFI) selaku pemegang gadai dengan PT. Ongko Multicorpora (PT. OM) dan PT. Aryaputra Teguharta (PT. APT) selaku pemberi gadai. PT.APT dan PT. OM mendalilkan jangka waktu Perjanjian Gadai Saham adalah 12 (dua belas) bulan terhitung sejak tanggal perjanjian, karena itu tanggal jatuh tempo Akta Gadai Saham adalah 1 Juni 2000 dan akibat hukum berakhirnya jangka waktu gadai adalah objek gadai, yaitu saham-saham yang digadaikan Pemberi Gadai sudah tidak lagi terikat sebagai jaminan hutang kepada PT.BFI. oleh karena itu pelaksanaan eksekusi gadai saham oleh PT. BFI dengan menjual saham-saham milik Pemberi Gadai pada tanggal 9 Februari 2001 dianggap sebagai perbuatan melawan hukum. Berdasarkan dalil Pemberi Gadai tersebut, Majelis Hakim Agung dalam putusan Mahkamah Agung No. 240 PK/pdt/2006 mengabulkan gugatan Pemberi Gadai (PT. APT) dan menyatakan tidak sah pelaksanaan eksekusi atas gadai saham yang dilakukan PT. BFI. Namun terhadap Putusan Permohonan Peninjauan Kembali No. 240 PK/Pdt/2006 tanggal 20 Februari 2007 ternyata terdapat perbedaan baik didalam pertimbangan dan hasil putusan yang kemudian diajukan oleh PT. OM dalam Putusan Peninjauan Kembali Mahkamah Agung RI No. 115 PK/Pdt.2007 dimana pelaksanaan eksekusi gadai saham oleh PT.BFI adalah sah menurut hukum. Untuk menjawab permasalahan perbedaan penafsiran tersebut, dilakukan penelitian secara normative terhadap putusan Mahkamah Agung dan peraturan perundang-undangan yang mendasarinya. Pengolahan data secara kualitatif, sedangkan pengambilan kesimpulan dilakukan dengan menggunakan logika deduktif. Dengan metode ini diharapkan kesimpulan yang disampaikan dalam tesis ini dapat menjawab permasalahan kepastian hukum mengenai pelaksanaan eksekusi atas gadai saham, dalam hal jangka waktu perjanjian gadai telah berakhir tetapi hutang debitor belum dilunasi seluruhnya.

ABSTRACT
The implementation of pledge on shares raises legal issues, particularly in the enforcement of the execution in the provision of pledge on shares. It is characterized by the existence of different interpretations regarding to legal opinion of the execution on pledge of shares, related to period time in pledge of shares agreement, by legal practitioners nor the Court, especially the Supreme Court of the Republic of Indonesia. This illustrates that the execution of pledge of shares in Indonesia has not yet had similar interpretation in legal framework of pledge. The differences of this interpretation is what will create legal uncertainty, especially those that occur in pledge of shares agreement disputes between PT. BFI Finance Tbk (PT BFI) as "pledgee" with PT. Ongko Multicorpora (PT OM) and PT. Aryaputra Teguharta (PT APT) as "pledgor". PT.APT and PT. OM postulated that Pledge of Shares Agreement term is during 12 (twelve) months from the date of the agreement, hence the agreement is ended in June 1, 2000. The expiry of period time in pledge of shares agreement is that pledge property, the shares which is guaranteed by pledgor is no longer bound as collateral to PT.BFI as pledgee. Therefore the execution of pledge of shares by PT. BFI which selling the pledgor shares on February 9, 2001 is considered as a tort. Based on the pledgor arguments, the Supreme Council of Judges in judicial review of the Supreme Court decision No. 240 PK/pdt/2006 fulfill pledgor (PT APT) petition and outlawed the execution of the pledged shares selling by PT. BFI. However, the Petition for Judicial Review Decision of supreme court No. 240 PK/Pdt/2006 dated February 20, 2007 turned out there is a controversial. It is because of difference both in judgment and the verdict which was then filed by PT. OM in judicial review of the Supreme Court decision No. 115 PK/Pdt.2007. Its judge that the enforcement of execution of pledged shares by PT. BFI was lawful. This Thesis is using a normative research towards the supreme court verdict and legislation underlying to answer the legal issues which has proposed above. In addition, it uses Qualitative data processing, while the conclusions made with deductive logic. With these method are expected conclusions presented in its can answer the problem of legal certainty regarding the execution of the pledge on shares, especially in which case the contract period has ended but debtor has not fulfill the debt."
2013
T33025
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Katya Prameswari Rahardjo
"Tenaga Kerja Asing (TKA) pada dasarnya adalah warga negara asing pemegang visa dengan maksud bekerja di wilayah Indonesia. Ketentuan mengenai Penggunaan TKA sudah mengalami perubahan dari waktu ke waktu yang menyebabkan turut adanya perubahan dalam prosedur penggunaan TKA di Indonesia. Meskipun pengaturan TKA sudah diatur dengan ketat, tetapi masih ada masalah yang timbul dikarenakan pemberi kerja memperkerjakan TKA dengan keterangan jangka waktu yang berbeda dalam pemenuhan syarat administratif penggunaan Izin Tinggal Terbatas (ITAS) dengan jangka waktu yang ada dalam perjanjian kerja yang digunakan. ITAS merupakan izin yang dikeluarkan oleh Direktorat Jenderal Imigrasi kepada TKA untuk tinggal dan bekerja di Indonesia dalam jangka waktu tertentu. Keberadaan ITAS menjadi penting untuk mengatur keberadaan TKA agar sesuai dengan ketentuan hukum yang berlaku dan untuk memastikan perlindungan hukum bagi TKA. Masalah perbedaan jangka waktu dalam perjanjian kerja dan jangka waktu dalam ITAS berimplikasi pada kedudukan hukum dan hak-hak yang dimiliki oleh TKA, terutama saat terjadi Pemutusan Hubungan Kerja sebelum berakhirnya jangka waktu yang telah disepakati dalam perjanjian kerja. Fokus utama penelitian ini adalah memahami regulasi yang mengatur izin tinggal terbatas, implikasi hukum bagi TKA, dan tantangan yang dihadapi dalam implementasinya. Metode penelitian doktrinal digunakan untuk mengevaluasi peraturan perundang-undangan yang ada, termasuk Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan, Peraturan Presiden Nomor 20 Tahun 2018 tentang Penggunaan Tenaga Kerja Asing, dan peraturan pelaksanaannya. Kesimpulannya, keberlakuan izin tinggal terbatas bagi tenaga kerja asing di Indonesia sangat penting untuk memastikan legalitas dan keteraturan penggunaan TKA, sehingga kedudukan hukum TKA yang dapat diberikan perlindungan hukum hanyalah sebatas masa keberlakuan ITAS TKA. Akan tetapi, diperlukan adanya peraturan perundang-undangan yang secara tegas menetapkan dasar hukum yang dipakai sebagai acuan dalam penentuan jangka waktu bekerja TKA di Indonesia.

Foreign Workers are foreign citizens who hold visas to work in Indonesian territory. Provisions regarding the Use of Foreign Workers have changed occasionally, resulting in changes in procedures for using foreign workers in Indonesia. Even though the regulation of foreign workers has been strictly regulated, problems still arise because employers employ foreign workers with different periods in fulfilling the administrative requirements for using a Limited Stay Permit (ITAS) compared to the period in the work agreement. ITAS is a permit issued by the Directorate General of Immigration to foreign workers to live and work in Indonesia for a certain period. ITAS is important to regulate the presence of TKA so that it complies with applicable legal provisions and to ensure legal protection for TKA. The problem of differences in the period of the work agreement and the period in the ITAS has implications for the legal position and rights of foreign workers, especially when there is a termination of employment before the end of the period agreed in the work agreement. The main focus of this research is to understand the regulations governing limited stay permits, the legal implications for foreign workers, and the challenges faced in their implementation. Doctrinal research methods are used to evaluate the existing legal framework, including Law Number 13 of 2003 concerning Employment, Presidential Regulation Number 20 of 2018 concerning the Use of Foreign Workers, and its implementing regulations. In conclusion, the implementation of limited stay permits is crucial to ensure the legality of foreign workers, therefore the legal status of foreign workers who can be given legal protection is only limited to the validity of ITAS. However, it is necessary to have regulations that firmly establish the legal basis used as a reference in determining the working period of foreign workers in Indonesia."
Jakarta: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2022
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Muhammad Putra Gemilang
"Asas Pacta Sunt Servanda dapat ditemukan pada Pasal 1338 KUH Perdata. Asas Pacta
Sunt Servanda terlahir karena adanya suatu kesepakatan atau perjanjian yang dibuat oleh
para pihak dengan sukarela serta dengan kehendak sendiri, tanpa paksaan atau penipuan
untuk mengikatkan diri satu dengan yang lainnya didalam suatu perjanjian, dan harus
dilakukan dengan itikad yang baik. Skripsi ini mengkaji penerapan peraturan perundangundangan
yang baru pada Kontrak Karya (KK) yang telah ditandatangani oleh PT
Freeport Indonesia dengan Pemerintah Republik Indonesia berlandaskan asas pacta sunt
servanda yang telah ada. Pemerintah Provinsi Papua menggugat PT Freeport Indonesia
pada Pengadilan Pajak dengan petitum PT Freeport Indonesia diminta untuk membayar
Pajak Air Permukaan berdasarkan SKDP-PAP Nomor 973/1713/Dispenda sebesar
Rp.357.696.000.000; (tiga ratus lima puluh tujuh miliar enam ratus sembilan puluh enam
juta rupiah). Putusan Pengadilan Pajak Nomor Put-79873/PP/M.XVB/06/2017 memutus
PT Freeport Indonesia bersalah dan harus membayar Pajak Air Permukaan SKDP-PAP
Nomor 973/1713/Dispenda sebesar Rp.357.696.000.000; (tiga ratus lima puluh tujuh
miliar enam ratus sembilan puluh enam juta rupiah). PT Freeport Indonesia mengajukan
banding namun ditolak oleh Pengadilan Pajak, karena Putusan Pengadilan Pajak Nomor
Put-79873/PP/M.XVB/06/2017 sudah berkekuatan hukum tetap. Langkah selanjutnya
yang dilakukan PT Freeport Indonesia adalah mengajukan Peninjauan Kembali ke
Mahkamah Agung, dan Mahkamah Agung memberikan putusan dalam Putusan
Mahkamah Agung Nomor 335/B/PK/Pjk/2018 untuk mengabulkan permohonan
peninjauan kembali dan memutus untuk membatalkan Putusan Pengadilan Pajak Nomor
Put-79873/PP/M.XVB/06/2017.

The Principle of Pacta Sunt Servanda can be found in Article 1338 Indonesian Civil Code.
The Principle of Pacta Sunt Servanda is born when two parties or more, voluntarily and
by their own will, without coercion and deception, to bind themselves one another in an
agreement or treaty, and must be performed by both parties with a good faith. This thesis
examines the application of new laws and regulations to the Contract of Work (CoW) that
has been signed by PT Freeport Indonesia with The Government of The Republic of
Indonesia based on the existing principle of pacta sunt servanda. Papua Provincial
Government files lawsuit against PT Freeport Indonesia on Tax Court asked to pay
Surface Water Tax in the amount of Rp.357.696.000.000; (three hundred fifty seven
billion six hundred ninety six million rupiah) based on SKDP-PAP Nomor
973/1713/Dispenda as prayer for relief. The Tax Court Decision Number Put-
79873/PP/M.XVB/06/2017 gives verdict that PT Freeport Indonesia was guilty and had
to pay the Surface Water Tax in the amount of Rp.357.696.000.000; (three hundred fifty
seven billion six hundred ninety six million rupiah) based on SKDP-PAP Nomor
973/1713/Dispenda. PT Freeport Indonesia file an appeal but rejected by The Tax Court,
because The Tax Court Decision Number Put-79873/PP/M.XVB/06/2017 is legally
binding. PT Freeport Indonesia taking a next step which is file a judicial review petition
to The Supreme Court, and The Supreme Court grants the petition for judicial review and
gives verdict to cancel The Tax Court Decision Number Put-79873/PP/M.XVB/06/2017.
"
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2020
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Adhimas Putrastyo Hutomo
"ABSTRAK
Skripsi ini mengkritik pengaturan dan penerapan pertanggungjawaban pidana lingkungan untuk Korporasi dan Pengurus Korporasi dalam tindak pidana kebakaran hutan dalam peradilan pidana di Indonesia. Tulisan ini menguraikan bagaimana peraturan perundang-undangan di Indonesia, khususnya yang mengatur mengenai tindak pidana lingkungan hidup dan kebakaran hutan (UU 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup, dan UU 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan) dalam mengkonstruksikan pertanggungjawaban pidana bagi Korporasi dan Pengurus Korporasi. Selanjutnya, tulisan ini mengkritik konstruksi vicarious/derivative individual liability yang digunakan oleh dua undang-undang tersebut dalam membebankan pertanggungjawaban pidana kepada Pengurus Korporasi, sebab tidak memenuhi nilai etis dan keadilan dalam konteks penjatuhan pidana. Kemudian, tulisan ini juga menguraikan beberapa konstruksi pertanggungjawaban pidana yang seharusnya dapat digunakan untuk membebankan pertanggungjawaban pidana kepada Pengurus Korporasi dengan tetap memperhatikan adanya elemen ?kesalahan?, dan asas-asas serta nilai-nilai yang dijunjung tinggi dalam dimensi penegakan hukum pidana.

ABSTRAK
This thesis criticizes the vanishing distinction between corporate criminal liability and directors? criminal liability. This thesis explores the basis of liability to determines the criminal liability of corporate officers, in environmental regulations in Indonesia. This thesis criticizes the failure of such regulations to make a clear distinction between criminal liability for corporation and its officers, and after that, points out vicarious/derivative individual liability as the cause of the problem. Vicarious or derivative individual liability notoriously known scapegoats the corporate officers, solely by virtue of position they hold in corporation, upon the imposition of criminal liability that does not meet the ethical values and justice in the context of criminal punishment. Then, this thesis recommends some bases of liability that can be used to determine the blameworthiness of corporate officers in the context of corporate crime, with regard to the element of personal fault and principles which highly upheld in the criminal law."
2016
S64271
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Maggie Felicia Soelisthio
"Izin AMDAL yang belum Terbit menyebabkan pembatalan PPJB Rusun baik yang dibuat di hadapan Notaris maupun di bawah tangan. Rumusan masalah adalah implikasi hukum pembatalan PPJB Rusun berdasarkan hukum pertanahan Indonesia. Penelitian ini juga menjawab mengenai analisis pertimbangan hakim atas pembatalan PPJB Rusun sebagai upaya hukum atas Izin AMDAL yang belum terbit berdasarkan Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia 3870 K/Pdt/2022. Penelitian ini menggunakan metode penelitian doktrinal dengan menganalisis data sekunder dengan menggunakan bahan hukum kepustakaan terkait transaksi jual beli, PPJB, dan Rusun. Hasil Penelitian ini menjelaskan implikasi hukum pembatalan PPJB Rusun berdasarkan hukum pertanahan Indonesia dan kesesuaian kasus posisi, amar putusan, serta pertimbangan-pertimbangan hakim dalam Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia No. 3870 K/Pdt/2022 yang ditelusuri berdasarkan Undang-Undang No. 20 Tahun 2011 tentang Rusun, Peraturan Pemerintah No. 13 Tahun 2021 tentang Penyelenggaraan Rumah Susun dan Kitab Undang-Undang Hukum Perdata. PT SLD memenuhi persyaratan administratif untuk kepentingan konstruksi pembangunan Rusun Komersial CL. Namun, tidak memenuhi persyaratan teknis dan persyaratan ekologis, khususnya kepemilikan izin AMDAL. Dalam hal terdapat permohonan permintaan pembuatan PPJB atas bangunan Rusun yang konstruksi pembangunannya belum mencapai minimum keterbangunan sebesar 20% (dua puluh persen) dan persyaratan lainnya, Notaris dapat menolak permintaan tersebut karena belum memenuhi persyaratan-persyaratan sesuai UU Rusun.

Unissued EIA permit leads to the cancellation of flat sales and purchase agreement made either in front of a Notary or privately. The core problem lies in the legal implications of canceling these SPAs in accordance with Indonesian land law. This research delves into the analysis of the judge's considerations regarding the cancellation of flat SPAs as a legal remedy for the absence of an EIA permit, as per Supreme Court Decision 3870 K/Pdt/2022. Employing a doctrinal research approach, this study scrutinizes court verdicts by examining legal materials related to real estate transactions, SPAs, and flats. The findings of this research shed light on the legal repercussions of canceling flat SPA under Indonesian law. The study also assesses the congruence of the case, the verdict, and the judge's considerations in Supreme Court Decision No. 3870 K/Pdt/2022. This analysis is rooted in Law No. 20 of 2011 concerning Flats, Government Regulation No. 13 of 2021 regarding the Implementation of Flats, and the Civil Code. PT SLD has met the administrative requirements for constructing CL Commercial Flats but falls short in terms of meeting the technical and ecological requirements, notably the possession of an EIA permit. If there is a request to create an SPA for a flat building that hasn't yet achieved the minimum buildability threshold of 20% (twenty) percent and other requirements, the Notary is within their rights to reject the request due to non-compliance with the Flat Law."
Jakarta: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2023
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>