Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 149527 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Adinda Sekar Setianing Gusti
"Maskulinitas subordinat merupakan salah satu bentuk maskulinitas yang belum banyak direpresentasikan di media. Dengan pemahaman masyarakat yang masih terbatas pada bentuk maskulinitas hegemonik, yakni laki-laki yang kuat, mandiri, dan dominan, bentuk maskulinitas subordinat masih sering mengalami diskriminasi dalam mengekspresikan identitas mereka. Pada industri K-Pop, Tomorrow by Together (TXT) merupakan salah satu grup K-Pop laki-laki yang sering menyuarakan isu stereotip dan norma gender, salah satunya melalui fesyen yang mereka kenakan. Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis representasi subordinate masculinity, terutama dalam bentuk androgynous fashion yang ditampilkan anggota TXT pada acara red carpet Mnet Asia Music Award (MAMA) 2022. Terdapat beberapa konsep yang akan digunakan dalam penelitian ini, antara lain representasi media, maskulinitas subordinat, dan TXT sebagai grup K-Pop yang akan dianalisis. Penelitian dilakukan dengan menggunakan metode analisis semiotika oleh Roland Barthes untuk membahas penanda (signifier) dan petanda (signified) yang ada pada fashion TXT serta menggali sistem makna denotatif dan konotatif di baliknya. Hasilnya, ditemukan bahwa TXT berhasil merepresentasikan fesyen androgini melalui koleksi pakaian yang mereka kenakan dan memperoleh reaksi positif dari banyak pihak. Sebagai artis muda, TXT berhasil membangun branding sebagai sebuah grup yang merepresentasikan isu sosial melalui fesyen mereka.

Subordinate masculinity is one form of masculinity that has yet to be widely represented in the media. With society's understanding still limited to hegemonic forms of masculinity, such as strong, independent, and dominant men, men with subordinate masculinity still often experience discrimination in expressing their identity. In the K-Pop industry, Tomorrow by Together (TXT) is one of the male K-Pop groups that often voices issues of stereotypes and gender norms, one of which is through the fashion they wear. This study aims to analyze the representation of subordinate masculinity, especially in the androgynous fashion displayed by TXT members at the 2022 Mnet Asia Music Award (MAMA) red carpet event. This research will use several concepts, including media representation, subordinate masculinity, and TXT as a K-Pop group that will be analyzed. The research was conducted using Roland Barthes' semiotic analysis method to discuss the signifier and signified in TXT's fashion and explore the denotative and connotative meaning systems behind it. As a result, this research found that TXT successfully represented androgynous fashion through the Burberry Menswear Collection they wore at the event and received positive reactions from many people. As a young artist, TXT managed to build branding as a group representing social issues through their fashion.
"
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2023
MK-pdf
UI - Makalah dan Kertas Kerja  Universitas Indonesia Library
cover
cover
Winner Se Naufallaksono
"ABSTRAK
Tulisan ini akan meneliti sifat-sifat maskulin yang direpresentasikan melalui tokoh-tokoh laki-laki di dalam novel Tschick ndash; in einfacher Sprache karya Wolfgang Herrndorf. Terdapat tiga tokoh yang akan dianalisa, yaitu Maik, Tschick, dan ayahnya Maik. Ketiga tokoh tersebut akan dianalisa sifat-sifat maskulin mereka yang paling menonjol melalui kajian gender dan seperti apa keterkaitannya dengan gaya hidup masyarakat urban. Lebih jauh lagi, tulisan ini akan meninjau apakah gender tokoh-tokoh tersebut sesuai dengan konstruksi gender yang ada di dalam masyarakat dan bagaimana peran gender masing-masing tokoh mendapat pengaruh dari anggota keluarga dan teman sebaya yang direpresentasikan dalam novel ini. Orang tua dan teman sebaya memiliki peran penting dalam proses pembentukan gender seorang remaja yang sedang dalam masa transisi. Hal ini yang akan menjadi unsur utama pembahasan dalam tulisan ini.

ABSTRACT
This paper will examine the masculine traits that represent through male characters in novel by Wolfgang Herrndorf, Tschick in einfacher Sprache. There are three characters that will be analyzed, they are Maik, Tschick, and Maik 39 s father. Those three characters will be analyzed through their most prominent masculine traits within gender studies and what are their correlations within urban lifestyle. Furthermore, this paper will examine whether the gender of those characters fit in the existing gender constructions within the community and how the gender roles of each character are influenced by the family members and peers that represent in this novel. Parents and peers does have an important role in the gender forming process of a teenager in transition. These will be the main point of the discussion in this paper."
Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia, 2018
MK-Pdf
UI - Makalah dan Kertas Kerja  Universitas Indonesia Library
cover
Haiqa Albitya
"Penelitian ini dilakukan untuk menelaah bagaimana representasi maskulinitas alternatif di tampilkan pada tokoh Yuzuki Hayato dalam anime Yuzuki san Chi no yon Kyoudai serta bagaimana tanggapan masyarakat Jepang dalam anime merespons maskulinitasnya yang tidak sejalan dengan pandangan tradisional masyarakat. Teori yang digunakan dalam penelitian ini adalah teori hegemonic masculinity milik Raewyn Connell. Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode analisis film dengan menganalisis narasi, dialog, penokohan, dan elemen visual. Berdasarkan analisis yang sudah dilakukan, ditemukan bahwa tokoh Yuzuki Hayato menampilkan bentuk maskulinitas yang tidak sejalan dengan maskulinitas tradisional Jepang, yaitu sosok pria yang aktif berurusan dalam ranah domestik dan mengurus anak. Tema laki-laki yang memiliki maskulinitas alternatif pun kini banyak diangkat oleh beberapa judul anime untuk menayangkan bentuk maskulinitas yang tidak kaku. Gambaran respon masyarakat sekitar terhadap maskulinitas Hayato ditanggapi secara positif dan negatif. Melalui respon tersebut, menandakan bahwa potret maskulinitas Yuzuki Hayato menggoncang sekaligus mengukuhkan norma tradisional yang berlaku.

This study aims to examine the representation of alternative masculinity on Yuzuki Hayato from the anime Yuzuki san Chi no yon Kyoudai and how the Japanese society in the anime responds to his masculinity. The theory used in this study is Raewyn Connell’s hegemonic masculinity theory with film analysis method by analyzing narration, dialogue, characterization, and visual element. Based on the analysis, it is found that Yuzuki Hayato displays a form of masculinity that doesn’t align with traditional Japanese masculinity, namely a man who actively deals in the domestic sphere and takes care of children. This theme of anime also seems to be picked up by several anime titles to showcase other forms of alternative masculinities. The response towards Hayato’s masculinity from the people around him are both positive and negative. Suggests that Yuzuki Hayato’s potrayal of masculinity not only challenges, but also reinforces the prevailing of traditional norms."
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia, 2025
TA-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Diandra Sekarayu
"Isu gender merupakan salah satu isu sosial yang masih sering menjadi diskursus dalam masyarakat Jerman. Salah satu subtema dari isu gender yang masih terus menjadi diskursus dalam masyarakat Jerman adalah perihal maskulinitas laki-laki sejak lama. Beberapa produk media membentuk konstruksi maskulinitas dalam masyarakat  Jerman, salah satunya lagu. Beberapa lagu yang mengusung tema maskulinitas laki-laki di antaranya adalah lagu Männer (1984) oleh Herbert Grönemeyer dan Nicht die Musik (2019) oleh Kummer. Untuk melihat konstruksi maskulinitas di Jerman pada tahun 1980-an dan di masa Jerman kontemporer, penulis membandingkan kedua lagu tersebut menggunakan metode analisis tekstual dengan metode semantik. Hasil penelitian menunjukkan bahwa konstruksi maskulinitas pada kedua lagu tersebut disajikan dalam berbagai bentuk stereotipe, berdasarkan teori maskulinitas hegemonik oleh R.W. Connell (2005). Penelitian ini juga memperlihatkan bahwa konstruksi maskulinitas yang disajikan dalam kedua lagu tersebut tidak bersifat tunggal, tidak tetap, dan disajikan secara kontekstual.

Gender issue is one of the social issues which are still a topic of discourse in German society. One of the subthemes of gender issue that continues to be discussed in German society is the longstanding issue of male masculinity. Some media products shape the construction of masculinity in German society, including songs. Some songs that carry the theme of male masculinity are Männer (1984) by Herbert Grönemeyer and Nicht die Musik (2019) by Kummer. To look at the construction of masculinity in Germany in the 1980s and in contemporary Germany, the author compares the two songs using the textual analysis method with the semantic method. The results show that the construction of masculinity in both songs is presented in various forms of stereotypes, based on the theory of hegemonic masculinity by R.W. Connell (2005). This research also shows that the construction of masculinity presented in both songs is not singular, not fixed, and presented contextually."
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia, 2023
TA-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Annisa Anindya
"Penelitian ini berawal dari keresahan peneliti atas pembagian gender maskulin dan feminin yang membuat laki-laki dan perempuan dalam beberapa hal menjadi pihak yang harus tunduk dengan tatanan sosial dan budaya masyarakat. Laki-laki, mengalami krisis identitas terkait posisinya secara personal dan komunal di dalam masyarakat dan karakter androgini menjadi pilihan dalam menunjukkan identitasnya. Identitas gender androgini dapat dilihat melalui gender performativity dan fashion. Untuk itu, penelitian ini menggunakan fenomenologi dalam melihat pengalaman laki-laki androgini.
Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa pertama, androgini merupakan identitas gender dan juga androgini secara psikologis merupakan bentuk kecerdasan emosi; kedua, keluarga yang konvensional dan lingkungan yang sex-type memunculkan identitas gender androgini; ketiga, media cenderung mengkomodifikasi androgini salah satunya melalui fashion; dan keempat, setiap individu memiliki keunikan dalam mengekspresikan fashion dan gender performativity.

This research come from researcher restless thought about masculine and feminine binary. This gender binary somehow makes men and women as part of the society have to adjust themselves to social and cultural norms. Men gets identity crisis on their personal and communal life, therefore they create androgini identity gender. Androgini identity gender can be seen on gender performativity and fashion. This research use phenomenology to observe androgyny men life experience.
The result shows, first, androgyny is emotional intellectual that is related to psychological character development; second, conventional family and sex-type environment create androgynous person; third, media shows androgyny on fashion as commodity; and fourth, every human being has her/his own uniqueness on fashion and gender pervormativity; one of their appearance shows androgynous characteristics.
"
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2015
T43794
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Lutfiyah Haniifah Oktaviani
"Penelitian ini bertujuan untuk menggambarkan redefinisi maskulinitas melalui penggunaan genderless fashion di kalangan laki-laki melalui gender performativity. Studi-studi sebelumnya mengatakan bahwa penggunaan genderless fashion pada laki-laki merupakan salah satu bentuk dalam ekspresi gender melalui fashion telah mengalami redefinisi maskulinitas. Namun, peneliti melihat bahwa studi-studi sebelumnya tidak membahas bagaimana proses terbentuknya redefinisi maskulinitas melalui penggunaan genderless fashion yang digunakan sehari-hari di kalangan laki-laki. Dengan menggunakan konsep gender performativity dan identitas gender oleh Butler sebagai pisau analisis dari penelitian ini. Peneliti berargumen bahwa laki-laki menggunakan genderless fashion yang dilakukan secara terus menerus sebagai cara mereka untuk menunjukkan identitas gender mereka. Selain itu, penelitian ini berargumen bahwa penggunaan genderless fashion pada laki-laki menunjukkan redefinisi maskulinitas yang berbeda dengan masyarakat Indonesia yang pada akhirnya mampu menegosiasikan makna maskulinitas modern, yaitu laki-laki yang peduli dengan penampilan diri melalui genderless fashion. Data pada penelitian ini diperoleh dengan pendekatan kualitatif denganstudi fenomenologi yang menggambarkan pengalaman individu dari suatu fenomena. Sumber data dari studi ini adalah wawancara mendalam dengan laki-laki pengguna genderless fashion yang digunakan dalam kegiatan sehari-hari sebagai identitas diri.

This study aims to to describe the redefinition of masculinity through the genderless fashion among men through gender performativity. Previous studies say that the use of genderless fashion among men is a form of gender expression through fashion that has experienced a redefinition of masculinity. However, researchers see that previous studies did not discuss the process of redefinition of masculinity through genderless fashion in daily use among men. By using Butler's concepts of gender performativity and gender identity as analytical tools for this research. Researchers argue that men use genderless fashion continuously to show their gender identity. In addition, this research argues that the use of genderless fashion among men shows a redefinition of masculinity that is different from Indonesian society which is ultimately able to negotiate the meaning of modern masculinity, namely men who care about their own appearance through genderless fashion. The data in this research was obtained using a qualitative approach with a phenomenological study which describes individual experiences of a phenomenon. The data source for this study is in-depth interviews with men who wear genderless fashion in their daily activities."
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2024
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Resti Nurfaidah
"Tesis ini membahas representasi maskulinitas yang terdapat dalam korpus berupa film yang berjudul Malaikat Bayangan dan Malaikat Tanpa Sayap. Penelitian ini dilakukan sebagai penelitian kualitatif melalui pendekatan cultural studies. Penelitian ini menggunakan beberapa teori berikut, yaitu maskulinitas Reeser dan Beynon, metafora konseptual dari Lakoff dan Johnson, metafora multimodal Forceville, dan struktur film dari Boggs dan Petrie, serta Nathan Abrams, et.al. Reeser dan Beynon memandang maskulinitas sebagai satu konsep yang dinamis, cair, dan kompleks. Kedua korpus penelitian tersebut memiliki perbedaan, antara lain, dalam latar tahun produksi, genre, atau setting. Film Malaikat Bayangan mengangkat tema maskulinitas imperial dengan latar era kolonial. Sosok maskulin imperial, Thomas, mengabdikan diri sepenuhnya pada kepentingan negara tanpa mengaharapkan imbalan materi. Untuk itu maskulin imperial dituntut untuk tidak menjalin hubungan yang terlalu intim dengan lawan jenis serta memiliki kemampuan untuk menguasai diri seutuhnya. Jika dikaitkan dengan teori Reeser, sosok maskulin imperial dalam film Malaikat Bayangan tidak berkonstitusi dengan jenis maskulinitas lain. Namun, dalam sebuah penyamaran, Thomas tidak dapat menghindari untuk mengadopsi unsur-unsur dari kluster lain, seperti metroseksual dan narcissist. Sementara itu, Film Malaikat Tanpa Sayap mengangkat konsep maskulinitas breadwinner yang dapat berkonstitusi dengan jenis maskulinitas lain, yaitu new man as a nurturer dan maskulinitas imperial. Sosok maskulin yang diangkat di dalam tesis ini merupakan sosok yang dianggap sebagai malaikat (malaikat metaforis). Metafora konseptual yang muncul sebagai penguat tokoh malaikat metaforis cenderung untuk mengarah pada sikap, sifat, serta peristiwa yang dialami oleh para tokoh. Dalam film Malaikat Bayangan, sosok Thomas memenuhi kriteria sebagai malaikat karena ia mengabdi dengan sepenuh hati tanpa pernah memikirkan imbalan materi; memiliki kekuatan fisik dan batin yang prima; patuh pada aturan, dan cernat. Sementara itu, film Malaikat Tanpa Sayap menampilkan tokoh Amir sebagai sosok yang dianggap sebagai malaikat. Tokoh Amir tanpa menunjukkan kontak fisik mampu memberikan kontribusi besar bagi anaknya sendiri dan orang lain. Konsep maskulinitas tersebut didukun unsur sinematografis (teknik pengambilan gambar, penentuan ukuran gambar, teknik pencahayaan) dan unsur naratif (tema, alur, latar, dan penokohan).

This thesis discusses the representation of masculinity in Malaikat Bayangan (1987) and Malaikat Tanpa Sayap (2012). This is a qualitative research with cultural studies approaches. There are several theories used in this study: Reeser (2010) and Beynon (2002) masculinities, Lakoff and Johnson's (2003) conceptual metaphor, Forceville's (1996) multimodal metaphor, and film structures from Boggs & Petrie (2008) and Nathan Abrams, et al (2001). Both movies have differences, especially in these points: year of production, genre, or setting. However, they were assumed to share common concepts of masculinity. Malaikat Bayangan provided representation of imperial masculinity. The imperial masculine gave his life serving the state totally without material orientation. He was not allowed to have an overly intimate relationship with women and ought to have a perfect stamina. Based on Reeser's view, the imperial masculine figure in Malaikat Bayangan can not be substituted with another type of masculinity. However, on certain occasions, the main character must be adaptive to elements of other clusters, such as metrosexual and narcissist. On the other hand, Malaikat Tanpa Sayap provided a fluid masculinity concept. The breadwinner can be subsituted with other types of masculinity, such as nurturer or imperial masculinity. The thesis focuses on masculine figures that are metaphorically regarded as angels. Conceptual metaphor application is related to their attitudes, characteristics, and experiences. In Malaikat Bayangan, Thomas gives his total commitment for the state without material reward. He has the most powerfull energy, obedient, and has good precision. Meanwhile, Malaikat Tanpa Sayap is featuring Amir as a metaforic angel in a different way. Through his own fight, without physical contact as Thomas, which is associated to the contemporary period, Amir fulfills his angelic criteria. The concept of masculinity that emerges in both movies is supported by the cinematographic elements (shooting technique, size of the image, or lighting techniques) and narrative elements (theme, plot, setting, and characterization)."
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia, 2014
T42489
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Hulya Amina Putri
"Artikel ini membahas bagaimana laki-laki menggunakan makeup dan membuat video tutorial makeup di YouTube seperti Jeffree Star dan Patrikstarrr yang menentang konsep maskulinitas tradisional dengan menggunakan makeup. Dalam studi kasus ini, media sosial, yaitu YouTube, tidak hanya berperan sebagai media ekspresi diri, namun juga sebagai media untuk memperoleh persamaan hak. Analisis Alvarez mengenai maskulinitas digunakan sebagai kerangka dalam studi ini. Dengan menggunakan analisis teks, dapat ditampilkan bahwa laki-laki yang menggunakan makeup cenderung dimarginalisasi oleh laki-laki yang berada dalam grup dominan di dalam masyarakat yang menganut sistem patriarki dimana mereka diharapkan untuk menerapkan ciri-ciri yang secara stereotipikal merepresentasikan laki-laki, seperti memiliki tubuh yang berotot dan menekan emosi yang dirasakan. Selanjutnya, artikel ini tidak hanya membahas tujuan laki-laki tersebut untuk menentang hegemoni maskulinitas dan mendapatkan persamaan hak, melainkan mereka juga memperkuat standar kecantikan bagi perempuan dengan menampilkan cara tertentu dalam mengaplikasikan makeup. Oleh karena itu, artikel ini memberikan kontribusi dalam pengetahuan mengenai laki-laki yang mengaplikasikan karakter feminin dan penggunaan media sosial yang memberikan pengaruh lebih lanjut dalam studi mengenai gender, jenis kelamin, dan identitas.

This article investigates how men who wear and do makeup tutorial videos on YouTube like Jeffree Star and Patrickstarrr challenge the traditional concept of masculinity by wearing makeup. In the chosen case studies, social media, in this case YouTube, does not only work as a media of expression, but also as a tool to seek equality. Alvarez rsquo s analysis about masculinities is used as the framework of this study. By using textual analysis, it is shown that men who wear makeup are more likely to be marginalized by the dominant group of men in patriarchal society where men are expected to perform the traits that stereotypically represent masculinity, such as having muscular bodies and oppressing emotions. Furthermore, this article does not only discover the purpose of these men to challenge hegemonic masculinity and seek equality, this also finds that they reinforce beauty standards on women by showing the way they put on makeup. Thus, this study contributes to the knowledge about men who perform feminine traits and the use of social media which give further impacts in the study of gender, sex, and identity."
2017
MK-Pdf
UI - Makalah dan Kertas Kerja  Universitas Indonesia Library
cover
Javano Sultan Mastoni
"Dalam tulisan ini, saya mendeskripsikan bagaimana laki-laki dewasa di dalam keluarga intinya mengambil keputusan untuk menjadi seorang bapak rumah tangga yang dalam realitanya berlawanan dari peran gender ideal masyarakat Jakarta serta pengaruhnya terhadap maskulinitas hegemoni yang berlaku di Jakarta. Penelitian ini dilakukan dengan wawancara jarak jauh menggunakan gawai terhadap lima bapak rumah tangga, dua pasangannya, dan enam masyarakat umum di Jakarta. Menggunakan konsep doing dan undoing gender saya berusaha menjelaskan bagaimana mereka menjadi seorang bapak rumah tangga dan menggunakan konsep hegemonic masculinity untuk menjelaskan posisi unik mereka yang secara bersamaan menegaskan maskulinitas tradisional dan memunculkan cara baru untuk menjadi laki-laki. Hasil temuan penelitian ini adalah pengaruh signifikan peristiwa pendorong yang sangat berkaitan dengan keadaan ekonomi dalam merasionalisasikan peran bapak rumah tangga yang dijalankan oleh laki-laki. Dari peristiwa pendorong ini muncul praktik-praktik baru untuk menjadi laki-laki yang dimungkinkan oleh pembatalan gender pada praktik tugas domestik. Hal ini tidak sepenuhnya bertentangan dari maskulinitas hegemoni tapi saling berkelindan sehingga menciptakan maskulinitas lokal unik yang tetap mengacu pada maskulinitas hegemoni bapak di tingkatan regional sebagai kerangka budaya. Para bapak rumah tangga menempati posisi yang unik, melakukan gender dengan menegaskan maskulinitasnya dan membatalkan gender dengan membingkai ulang maskulinitasnya

In this paper, I describe how the adult male in his nuclear family decides to become a stay-athome dad, which in reality is contrary to the ideal gender role of the people of Jakarta and its influence on the hegemonic masculinity that prevails in Jakarta. This research was conducted through long-distance interviews using mobile devices with five stay-at-home dads, two spouses, and six extra informants in Jakarta. Using the concepts of doing and undoing gender I try to explain how they become stay-at-home dads and use the concept of hegemonic masculinity to explain their unique position which simultaneously affirms traditional masculinity and gives rise to new ways of being male. The findings of this study are the significant influence of driving events that are closely related to economic conditions in rationalizing the role of housewives carried out by men. From this driving event emerged new practices for being men made possible by the undoing gender in the practice of domestic labor. This is not completely contrary to hegemonic masculinity but is intertwined to create unique local masculinity that still refers to the father hegemonic masculinity at the regional level as a cultural framework. Stay-at-home dads occupy a unique position, doing gender by affirming their masculinity and canceling gender by reframing their masculinity."
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2021
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>